11. Hanya kamu ....
Happy reading 😍😍
***
Setengah berlari Aisyah memasuki rumah, bibir yang tersungging senyuman masih menghiasi wajahnya. Jantungnya mulai bergerak dengan cepat menahan rasa bahagia yang tidak bisa terlukis dengan aksara. Tanpa ucapan salam, dia masuk ke rumah dan langsung menuju ke kamarnya.
Rumana memandang heran pada Aisyah. Apa yang terjadi dengan keponakannya itu? Dia berdiri dan mencoba mencari tahu, ada apa di luar sana. Sepanjang pengamatannya, dia hanya melihat sebuah mobil yang kemungkinan adalah milik Zaki.
Oh, rupanya kamu, Mas, penyebabnya. Aku kira ada apa? Pasti kamu sudah melakukan sesuatu kepada, Aisyah. Dasar keponakan bucin. Rumana tersenyum dengan pemikirannya sendiri.
Dia kembali memasuki rumah dan melangkahkan kakinya menuju kamar Aisyah. Dilihatnya Aisyah sedang berdiri di sebalah birai jendela, tangannya memegang pinggiran korden. Rona merah di pipinya masih sangat terlihat oleh Rumana.
"Asalamualaikum, Ais. Kamu sedang mengintip siapa?" Bahu Aisyah terlihat terangkat ke atas, dia menoleh pada sumber suara.
"Tante Rum, bikin Ais kaget saja. Ais, tidak mengintip siapa-siapa. Ada apa, Tan?"
"Tidak ada apa-apa, Tante, cuma heran. Tidak biasanya kamu masuk rumah tanpa mengucap salam. Jadi, Tante penasaran saja."
"Hmm. Ais lupa, Tan. Maafkan sikap, Ais," katanya menunduk.
Rumana tertawa melihat sikap malu-malu yang Aisyah tunjukkan. Dia semakin yakin Zaki telah melakukan sesuatu kepadanya. Tak perlu menanyakan lebih lanjut pada Aisyah karena Rumana tahu dia tidak akan menjawab.
"Kamu sudah makan? Jangan sampai karena bahagia kamu melupakaan kesehatan," sindir Rumana.
"Apa sih, Tan. Ais, sudah makan tadi sama Mas Zaki."
"Oh, rupanya Mas Zaki sudah mentraktir wanita kecilnya ini." Mencolek dagunya dan segera berlalu sebelum teriakan Aisyah menggema.
"Tante ...!" Tawa Rumana semakin keras.
Aisyah tersenyum dengan godaan tantenya. Dia mulai membayangkan apa yang dilakukan Mas menjengkelkannya itu di dalam mobil tadi. Ternyata di balik sikapnya yang selalu membuat hatinya marah, ada cinta yang begitu besar yang dia miliki pada Aisyah.
***
Dalam perjalanan pulang, Aisyah meyandarkan tubuhnya pada kursi dan mulai memejamkan matanya, meskipun tidak tertidur. Dia terlalu lelah dengan semua drama Zaki tadi. Zaki menghentikan mobil ketika memasuki pelataran rumah Rumana.
Dia melirik ke arah Aisyah dan mengecek keadaannya. Dia mendekatkan wajahnya kepada Aisyah, tak ada reaksi dari adiknya itu. Dekat semakin dekat wajahnya dengan wajah Aisyah. Merasa ada sesuatu yang nengenainya, Aisyah membuka mata dan reflek menggerakkan kepalanya ke arah depan.
Cup ...
Sesuatu yang kenyal menyentuh bibir Aisyah. Dia salah tingkah dan membuang pandangannya ke arah lain. Zaki segera kembali ke posisi duduknya semula. Kejadian tak terduga itu membuat kesehatan jantung Aisyah terganggu. Detaknya semakin cepat, bertalu tak beraturan. Setali dengannya, Zaki pun merasakan hal yang sama. Tangan kiri Aisyah segera menyentuh gagang pintu, kakinya sudah bergerak keluar. Namun, tangan sebelahnya tertahan oleh genggaman Zaki.
"Ca, tunggu! Maaf, atas kejadian tadi."
"Hmm." Hanya itu yang Aisyah ucapkan.
"Ca, tidak bisakah kamu membuka hati untuk, Mas?" katanya serius, "sudah lama rasa ini bersarang, berjalan dan bertumbuh tanpa tahu cara mengungkapkan. Memendam sendiri tanpa tahu kapan memunculkan. Perih ketika melihat kebahagianmu dengan lelaki lain. Tersayat saat kamu tersenyum bukan karenaku. Banyak orang berkata cinta itu adalah siksaan, nyatanya aku menikmati setiap siksaan itu demi kamu. Jika, ada sejuta lelaki yang mencintaimu di dunia ini, maka masmu ini salah satunya. Jika, hanya ada satu lelaki, maka akulah orang itu. Jangan pernah lagi tertawa ataupun meminta sesuatu pada lelaki lain selain masmu, ini! Katakan apa yang kamu inginkan hanya pada, Mas!" Zaki mencium punggung tangan Aisyah dengan penuh perasaan. Kali ini dia tidak membiarkan Aisyah berkata sepatah pun.
Inilah alasan Zaki yang sebenarnya, meminta rencana B untuk segera dilakukan sebelum keberangkatannya ke Surabaya. Aisyah segera berlari masuk ke dalam rumah. Wajahnya merah karena malu, tak pernah di sangka, jika Zaki akan mengatakan semua itu kepadanya. Sementara, Zaki menatap kepergian Aisyah dengan senyuman. Beban yang selama ini terus mengganjal di hatinya telah dia lepaskan.
Helaan napas panjang dia embuskan untuk menstabilkan keadaan. Saat detak jantungnya kembali normal dia mulai melajukan mobilnya ke tempat pelatihan. Hari ini penuh kejutan bagi Zaki. Saran ayahnya memang tak pernah salah. Perempuan itu butuh pengungkapan rasa selain penunjukan sikap.
***
Cermin di depannya, memperlihatkan seberapa besar kebahagiaan yang kini terpancar. Rona merah itu masih betah bertakhta di pipinya. Dia teringat pada kartu kecil yang diberikan Zaki.
Aisyah membuka tas yang dipakainya tadi. Dia mencari dan mengeluarkan kartu ajaib itu, menyimpannya kembali di dalam laci. Saat ini dia tidak ingin menggunakan kartu itu. Aisyah berpikir, tidak ada haknya di sana untuk mengeluarkan setiap rupiah yang telah dihasilkan oleh Zaki.
"Ais, bisa minta tolong?" teriak Rumana.
Dia segara keluar dan turun mencari Rumana. "Apa yang bisa Ais bantu, Tan?"
"Tolong bukain pintu! Mungkin itu ommu." Tangannya sibuk menguleni adonan kue.
"Baik, Tan."
Saat pintu terbuka Aisyah segera berlari ke kamarnya. Dia malu karena bukan omnya yang pulang, melainkan Zaki. Jantungnya kembali berdegup kencang, apalagi dia tidak mengenakan hijab ketika membuka pintu tadi. Setelah ini, dia pasti mendapat teguran lagi seperti yang dilakukannya waktu itu.
"Asalamualaikum, Tan," salam Zaki pada Rumana yang masih di dapur. Tangannya terulur untuk menyalami tantenya itu.
"Waalaikumsalam. Cepet banget pulangnya, Mas?"
"Iya, Tan. 'Kan sudah ada yang nunggu di rumah," kerlingnya, "kangen sama dia terus, Tan."
"Mas ...! Sejak kapan kamu semakin bucin?" teriak Rumana karena Zaki sudah melangkah ke kamarnya.
Zaki terkekeh, dia terus melangkah tanpa menjawab pertanyaan tantenya. Sesampainya di depan kamar Aisyah, Zaki mengetuk pintunya. Ada sesuatu yang akan dia berikan pada Aisyah.
"Kenapa lari melihat, Mas?" tanyanya saat pintu telah terbuka.
"Gak ada apa?"
"Masih malu karena tadi?"
"Enggak!" tegasnya.
"Jangan bohong! Pipimu semakin merah nanti. Nih!" Sebuah kotak kecil dia serahkan.
"Apa?"
"Buka saja! Itu hadiah untuk seorang istri yang nurut sama suami." Segera berjalan ke kamarnya.
Aisyah membuka kotak yang diserahkan Zaki padanya, satu set perhiasan terlihat berkilauan di mata. Dia menganga melihat benda-benda di hadapannya. Masih tak percaya atas pemberian Zaki. Seumur-umur baru kali ini Aisyah diberi hadiah semahal itu oleh seseorang.
Suara merdu penyanyi wanita dari Malaysia terdengar di ponselnya. Sebuah nomor yang tak tersimpan dikontak terlihat di layar. Aisyah mengernyitkan kening, bertanya dalam hati siapa orang yang sedang meneleponnya kini. Segera saja dia menggangkatnya, berpikir bahwa bisa jadi itu panggilan interview kerja untuknya.
"Halo,"
"Suka sama hadiahnya?" Suara basnya terdengar menggema karena jarak mereka yang berdekatan.
"Mas Zaki?"
"Iya. Kamu kira siapa?"
"Tau, ah."
"Kok gitu? Gak suka sama hadiahnya? Mau, Mas, belikan lagi yang lainnya?"
"Enggak, Mas!" katanya kesal, "ini terlalu mahal hadiahnya, sayang uangnya. Mengapa tidak diberikan kepada istrinya nanti?"
"Kamu beneran gak suka sama hadiahnya? Buang saja kalau gitu!" Zaki segera menutup teleponnya.
Aisyah segera menghampiri Zaki di kamarnya, dia ingin menjelaskan. Aisyah merasa bersalah karena berkata seperti itu. Tanpa mengetuk pintu, dia langsung masuk ke dalam. Sedangkan, Zaki tengah bertelanjang dada dan hanya melilitkan handuk untuk menutupi bagian bawahnya.
"Aaaa ...," teriaknya sambil menutup pintu kembali.
Kenapa dia berteriak histeris seperti itu? Memangnya dia tidak pernah melihat lelaki dengan keadaaan sepertiku saat ini? Salah sendiri masuk gak ketuk pintu. Monolog Zaki.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 5 November 2020
Publish ulang, 6 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top