10. Saudara atau ....

Happy reading 😍

***

Dengan hati yang masih merasa dongkol, Aisyah berjalan ke ruangan sahabatnya, Riana. Dia mengetuk pintu dan memasukinya ketika sang pemilik ruangan mempersilahkan. Riana berteriak histeris menyambut kedatangan sahabatnya itu.

"Asalamualaikum. Ais, sayang. Apa kabar? Selamat udah ganti status," cerocosnya. Aisyah masih memasang muka cemberut.

"Waalaikumsalam. Kabar buruk," jawabnya acuh.

"Eh. Pengantin baru, masak kabar buruk? Ada apa? Ceritakan! Aku siap, jadi pendengarmu." Raut mukanya terlihat tidak suka dengan kehadiran Aisyah. Namun, perkataannya berbanding terbalik.

"Tidak apa-apa, Ri. Teruskan saja kerjaanmu! Aku duduk di sofa saja."

Riana adalah akuntan senior di Aulia Colection. Dia menjadi atasan dari tiga orang bagian administrasi termasuk Aisyah ketika masih bekerja dulu. Dari pertama kali bekerja, Aisyah sudah mengenal dan dekat dengan Riana.

"Oke. Kalau kamu siap untuk bercerita, aku luangkan waktu untukmu."

"Siap! Ri, katanya mau traktir aku makan, ya?"

"Bukan aku yang mau traktir, tapi masmu."

"Siapa, Pak Rico?"

"Iyalah, siapa lagi? Bulan depan datang, ya! Kami bertunangan."

"Selamat, Ri. Akhirnya, Pak Rico gak jadi jomblo." Keduanya tertawa.

Dulu Riana sempat cemburu karena Rico lebih dekat dengan Aisyah. Riana  menyangka, Aisyah menikungnya karena Rico terlihat sangat dekat dengan sahabatnya itu. Hal yang sebenarnya berbalik dengan kenyataan yang ada.

"Waw. Selamat! Masih lama, ya, jam makan siang? Aku lapar, Ri," adu Aisyah.

"Bentar lagi, lagi lima belas menit."

"Oke, aku tunggu!"

"Aku telepon dia dulu, ya! Bilang kalau kamu sudah di ruanganku."

Beberapa menit kemudian Rico masuk ke ruangan Riana. Dia membawa sebuah paper bag dan menyerahkannya kepada Aisyah. Aisyah sedikit bingung dengan barang yang diberikan kepadanya.

"Ini apa, Pak?"

"Hadiah buat kamu. Selamat atas pernikahannya, ya."

"I-ya, Pak," jawab Aisyah gugup.

"Ayo, Mas, berangkat! Lima menit lagi sudah jam istirahat."

Mereka bertiga keluar dari kantor menuju resto di sebelah kanan gedung. Tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahat makan siang. Riana menyapa reseptionis kantor dan mengajaknya sekalian untuk bergabung.

"Bentar lagi, Mbak Ri. Tinggal aja, gak apa-apa!" kata Ida, si reseptionis.

"Aku tunggu di resto sebelah, ya!" jawab Riana.

"Siap."

Seorang lelaki turun dari sebuah mobil dia menyapa Ida dan bertanya. "Permisi, Mbak. Apa di dalam ada Aisyah?"

Ida mengerutkan keningnya, dia mulai berpikir apa lelaki ini suaminya Aisyah. "Aisyah, lagi makan-makan, Pak, di resto sebelah."

"Sebelah mana? Kanan apa kiri?" Ida masih menatap Zaki lekat. "Mbak, sebelah mana?"

"I-ya, Pak, sebelah kanan."

"Terima kasih, Mbak." Zaki melangkah meninggalkan Ida yang masih terbengong.

Di dalam resto, Zaki melihat Aisyah dengan seorang lelaki duduk berhadap-hadapan, terdengar tawa dari keduanya. Raut wajahnya seketika berubah melihat kedekatan Aisyah dengan laki-laki itu. Dia segera menghampiri Aisyah.

"Ca, ayo pulang!" Memegang tangan Aisyah untuk segera berdiri.

"Mas, apa-apaan, sih!"

"Kamu yang ngapain? Berduaan sama laki-laki di sini." Rico menatap heran pada Zaki.

"Ya, mau makanlah. Mumpung ditraktir," ucapnya enteng.

"Kalau, cuma pengen ditraktir minta aja sama, Mas. Ngapain minta sama orang lain. Ayo!" Memegang tangan Aisyah. Aisyah sedikit takut melihat muka Zaki yang memerah karena marah. Dia berdiri lalu mengambil paper bag yang diberi oleh Rico. "Itu, apalagi?" tanya Zaki.

"Hadiah dari Pak Rico," jawab Aisyah polos. Dia masih berusaha mengalah dengan Zaki.

"Berikan padanya lagi! Aku akan memberimu yang lebih dari ini." Menatap tajam pada Rico.

Rico masih heran dengan sikap lelaki di depannya, terlihat sekali kecemburuan sedang menguasai hatinya. "Tunggu, Mas!" katanya. Sebelum, Zaki dan Aisyah melangkah pergi. "Sebenarnya, Mas, ini siapanya Aisyah?"

"Saya, suaminya," jawab Zaki lantang.

"Maaf, kalau saya lancang, Mas. Itu adalah hadiah pernikahan dari saya untuk Aisyah. Jadi, jangan dikembalikan! Maaf, saya tidak bisa menghadiri pernikahan kalian waktu itu."

"Iya." Zaki segera menggandeng tangan Aisyah.

Di dalam mobil, Aisyah hanya diam. Dia terlalu jengkel pada Zaki karena mengaku-ngaku pada semua orang bahwa dia suaminya. Keduanya diam dalam perjalanan. Zaki melajukan mobilnya dengan pelan. Sesampainya di sebuah restoran cepat saji yang sangat terkenal, Zaki memarkirkan mobilnya.

"Ayo, turun! Kamu belum makan siang, 'kan?"

"Gak usah! Ais, gak punya uang untuk beli makanan di sini. Nanti saja, makan di rumah Tante." Wajahnya ia palingkan ke arah luar.

Zaki mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. "Pake ini, kalau mau beli sesuatu!" Aisyah masih bergeming, dia tak menghiraukan benda yang diberikan Zaki padanya. "Ca, ambil ini! Habiskan semua isinya, Mas, rela." Suara Zaki terdengar lembut di telinga Aisyah.

Aisyah melirik benda yang dipegang Zaki, kartu ATM sebuah bank yang berlogo M dengan bendera kuning di atasnya. Dia mulai berpikir, mengapa Zaki memberinya kartu itu? Apa ini sebuah sogokan?

"Ca, ambil ini!" Sekali lagi Zaki menyuruh Aisyah. "Jangan pernah lakukan lagi hal seperti tadi! Ingat itu baik-baik! Masmu ini masih sanggup memberi nafkah buat kamu."

Aisyah semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Zaki. Dia hanya diam saja memandang Zaki, tetapi benda digenggaman Zaki ia ambil juga. Akhirnya dia pun turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran itu.

"Ca, tunggu! Jangan marah sama, Mas!" teriak Zaki.

"Siapa yang marah? Ais, cuma lapar. Ayo cepetan, Mas!" Zaki tersenyum, dia telah salah sangka kepada Aisyah tadi.

Zaki segera mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Aisyah mengantri di kasir dan memesan makanan. Dia tidak perlu bertanya lagi apa yang akan dipesan oleh Zaki. Aisyah sudah hafal apa yang diinginkan lelaki itu, jika makan di restoran ini.

"Silahkan isi pinnya, Mbak!" kata kasir. Aisyah menoleh ke arah Zaki dia melambaikan tangannya agar Zaki mendekat.

"Kenapa?" tanya Zaki.

"Pinnya, Mas?" jawab Aisyah.

"Tanggal lahirmu." Zaki segera berlalu sebelum Aisyah berkata kembali.

Dasar orang aneh. Kartu milik dia, tapi pinnya tanggal lahirku. Duh, kok ada sih, cowok kayak dia.

"Terima kasih, Mbak. Tunggu sebentar, ya! Kami siapkan pesanannya."

Aisyah berdiri di sebelah kasir untuk menunggu pesanannya. Dia melamunkan semua kata-kata Zaki. Setelah ini, dia harus mendapat semua penjelasan darinya.

"Silahkan, Mbak, ini pesanannya! Terima kasih."

"Terima kasih, kembali." Aisyah segera membawa makanannya kepada Zaki.

Mereka makan dalam diam. Aisyah mencuri pandang ke arah Zaki saat dia sedang tertunduk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba Aisyah teringat kata-kata Aulia tadi.

"Mas, kamu pernah datang ke kantorku tadi, ya?" Zaki tersedak mendengar pertanyaan Aisyah. Aisyah segera memberi minuman padanya, dia tidak ingin masnya itu sakit lagi karena tersedak.

"Belum, kenapa?"

"Lalu, mengapa Bu Aulia tadi bilang begitu? Katanya, ada seorang lelaki yang datang padanya mengaku sebagai suamiku. Ciri-ciri yang dia sebutkan tadi mengarah pada ciri fisiknya, Mas." Susah payah Zaki menelan makanannya. Dia berusaha mencari jawaban yang tepat untuk membungkam Aisyah.

"Kenapa kamu masih pengen kerja?"

"Selalunya, pertanyaan dijawab pertanyaan. Hadeh!" ucap Aisyah kesal.

"Gak usah kerja! Cukup jadi istri yang baik dan nurut. Itu sudah cukup buat, Mas."

"Apa?!" Aisyah mendelikkan matanya.

"Biasa, aja. Gak usah heran!"

"Kamu bilang ke semua orang aku istrimu, Mas. Bagaimana aku enggak kaget kalau seperti itu?" katanya,"jangan main-main dengan pernikahan!"

"Siapa yang main-main? Aku memang sudah ...." Kalimat Zaki terpotong oleh dering ponselnya.

Zaki segera menyudahi percakapan mereka dan mengantar Aisyah pulang setelah menerima panggilan tadi. Dia harus segera kembali ke tempat pelatihan. Aisyah semakin di buat bingung dengan sikap Zaki.

***

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 4 November 2020
Publish ulang, 5 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top