1. Retak
Hayuk tekan bintangnya di pojok kiri dulu!
Cus dibaca ya, semoga suka 🙏🙏
Happy reading 😍😍
***
Keheningan malam meliuk menarikan suara hati. Kilatan cahaya mengiris perih luka yang baru tergores. Petir yang menyambar menghancurkan kepingan hati yang dimiliki, berserakan tak berbentuk layaknya pasir gurun tertiup angin. Tak mungkin lagi disatukan menjadi sebongkah rasa yang utuh.
Kakinya meluruh ke lantai diikuti benda pipih berwarna silver yang terlempar dari tangannya. Suara gaduhnya mengusik ketenangan malam. Musnah sudah harapannya, patah sudah hatinya. Bagaimana bisa hati yang telah dia jaga selama tujuh tahun itu, menghancurkan segala yang telah ia bangun dengan sekejap mata. Hanya sebuah kedipan mata darinya, semua selesai.
"Ais, suara apa itu?"
Sorot mata tajam mengintimidasi apa yang dia lakukan. Sementara, putrinya masih asyik dengan nyayian patah hatinya. Tak terhitung jumlah air mata yang telah mengalir di pipi.
"Ais, dengarkan, Bapak! Kamu kenapa, Nak?" Menguncang pelan kedua bahu putrinya.
Suara tangisannya makin mengeras. Tak peduli apa anggapan orang di di dekatnya. Sakit ... sakit, hanya itu yang terus dia rasakan. Kesalahan apa yang telah membuatnya ditinggalkan seperti ini. Semua menggelap dalam pandangan matanya dan akhirnya dia tak mengingat apa pun setelahnya.
"Bu ... Ibu ...." Sekuat tenaga lelaki itu memanggil istrinya.
Dari dalam kamar utama rumahnya, tergopoh dia memghampiri sang suami. Jelas, suara teriakan itu berasal dari kamar putri semata wayangnya. Resah mendera perasaannya sebagai seorang ibu.
"Pak, Ais, kenapa?" teriaknya.
"Bapak, enggak tahu, Bu. Cepat telepon dokter! Dia pingsan setelah menangis tadi."
"Astagfirullah." Hanya itu yang mampu ia lafalkan ketika mengetahui keadaan putrinya.
Kepanikan membuatnya tak mampu berpikir hingga harus turun kembali ke bawah untuk menelepon dokter. Padahal, di dalam kamar Aisyah pun ada telepon.
Panggilan teleponnya belum juga terangkat, beberapa menit dia menunggu. Namun, tak juga ada yang menjawabnya. Kembali dia bergegas ke kamar sang putri dengan membawa kotak obat. Keringat mulai membasahi wajahnya.
"Pak, teleponnya belum diangkat sama dokter. Ini, Ibu, bawakan kotak obat! Kita kasih minyak kayu putih saja untuk menyadarkan Aisyah."
"Apa sebaiknya kita bawa ke klinik saja?" Suaranya terdengar bergetar ketakutan.
"Tenang dulu, Pak! Kita tunggu beberapa menit, jika Ais belum sadar juga, baru kita bawa ke klinik."
"Ibu, temani dia! Bapak bereskan pecahan handphone-nya."
Endang mengoleskan sedikit minyak kayu putih di sekitar hidung Aisyah. Botol minyaknya juga dia dekatkan di sekitar hidung. Sebelah tangannya yang bebas dia gunakan untuk memijit lengan putrinya.
"Pak, sudah selesai belum? Tolong pijit bagian kakinya! Siapa tahu dia bisa segera tersadar."
"Sebentar, Bu!"
Burhan meletakkan ponsel Aisyah yang sudah tak berbentuk ke atas meja riasnya. Dia melangkah, mendekati putrinya yang belum sadar dan mulai memijit kakinya sesuai perintah sang istri. Lebih dari sepuluh menit berlalu, Aisyah belum sadar juga.
"Bu, tolong telepon kembali dokternya! Siapa tahu dia mau mengangkat."
"Iya, Pak. Ini, minyak kayu putihnya! Gantian, Bapak yang di sini!" tunjuknya pada posisinya yang sekarang.
Sebelum Endang melangkah pergi, dia merasakan ada pergerakan halus dari tangan putrinya. Diurungkan sebentar niatnya, dia berusaha memastikan keadaan Aisyah. Kedua kelopak mata Aisyah mulai bergerak, meskipun masih terpejam.
"Bu, cepet sana telepon dokter! Jangan diam saja!" katanya khawatir.
"Pak, tunggu sebentar! Aisyah sudah mulai bereaksi. Lihat tangan dan matanya ini!" tunjuk Endang.
"Alhamdulillah. Bener, Bu. Matanya sudah mulai bergerak."
Burhan berpindah posisi kebagian atas, sejajar dengan istrinya. Dia memanggil-manggil nama Aisyah disertai usapan lembut pada lengannya. Perlahan Aisyah membuka matanya. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, kaca-kaca di matanya mulai terlihat memenuhi kornea.
"Katakan pada Ibu, Nak! Kamu kenapa?" Bukan jawaban yang Endang dapatkan, tetapi isak tangis Aisyah yang terdengar olehnya.
"Ais, dengarkan Ibumu! Ceritalah! Apa yang sedang terjadi? Kami sebagai orang tua akan mendukungmu selalu."
Aisyah memandang sedih kepada kedua orang tuanya. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan itu, jika mengecewakan mereka saja dia tidak sanggup. Melihat kekhawatiran kedua orang tuanya semakin membuat Aisyah bingung, darimana dia akan memulai ceritanya. Tangis pun pecah kembali.
"Menangislah! Setelah itu, ceritakan pada kami! Apa yang membuatmu seperti ini?" Endang merengkuh tubuh putrinya yang masih berbaring.
"Bapak, ke bawah sebentar, Bu."
Burhan berjalan ke arah telepon di rumahnya. Dia mulai menekan nomor yang dihapalnya. Seseorang yang mungkin bisa menjelaskan keadaan putrinya saat ini. Dia yakin orang yang diteleponnya ini tahu masalah yang menimpa Aisyah.
"Asalamualaikum," salamnya.
"Waalaikumsalam," jawab Burhan.
"Ada apa, Pak?"
"Bisa kamu datang ke rumah, Mas?"
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa, jika ini menyangkut masalah saya dengan Aisyah. Saya rasa, semua sudah saya jelaskan padanya tadi. Saat ini, saya sedang di Surabaya."
"Bapak, merasa perlu penjelasan yang lebih detail dari kamu, Mas. Bapak, tunggu kedatangannya! Jika, tidak hari ini, maka besok." Burhan segera menutup teleponnya.
Apa yang telah dia katakan pada Aisyah sampai putriku itu histeris seperti itu. Jika, hanya masalah perbedaan penyelenggaraan pesta pernikahan mereka, tidak mungkin kesedihan tampak dari wajahnya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang bisa mengganggu rencana pernikahan mereka.
Sesak rasa hati seorang ayah membayangkan apa yang sedang di alami putrinya. Jika, di pabrik dia bisa berbuat garang pada semua bawahannya. Berbeda ketika dia dihadapkan kepada masalah keluarganya. Burhan akan sedikit melunak untuk mengahadapinya. Dia yakin kejadian yang menimpa Aisyah berkaitan dengan lelaki bernama Haritz Ridauddin.
Lelaki yang telah membersamai putrinya selama bertahun-tahun. Selangkah lagi, mereka akan mematenkan hubungan menuju rida Ilahi Sang Maha Cinta. Namun, entah mengapa jawaban dari perkataan lelaki itu di telepon menguatkan prasangkanya. Telah terjadi sesuatu di antara dua orang yang saling jatuh cinta itu.
"Pak! Kenapa melamun seperti itu? Ada apa?" Kesadarannya perlahan kembali.
"Ya, Bu. Ada apa?"
"Bapak ini, ditanya malah balik tanya. Hadeh! Lagi mikir apa, Pak?"
"Bu, sepertinya Aisyah lagi ada masalah sama Haritz."
"Masalah bagaimana, Pak? Kemarin siang, mereka masih keluar bareng ke KUA, katanya ada pengarahan sebelum nikah. Mereka berdua masih terlihat baik-baik saja. Jangan ngarang kalau ngomong, Pak!" Endang melangkahkan kakinya ke dapur hendak mengambil air putih untuk Aisyah.
"Bu, tunggu! Bapak, gak ngarang. Tadi, Bapak sempat telepon Haritz dan menanyakan tentang keadaan Aisyah sekarang, tapi reaksinya berbeda. Nada omongannya seperti orang yang tidak peduli dengan keadaan calon istrinya."
"Omongan, Bapak, semakin ngaco saja. Sudah! Ibu, mau ke dapur kasihan, Ais."
Endang melewati suaminya begitu saja. Dalam pemahamannya, mana mungkin mereka berdua bertengkar. Sepulang dari KUA saja, wajah kebahagiaan jelas terpancar dari keduanya.
Burhan mengelengkan kepala, istrinya tak mempercayai perkataannya. Sementara, hatinya yakin ada sesuatu yang sedang terjadi dengan hubungan Aisyah dan Haritz. Dia berjalan menaiki tangga ke kamar Aisyah. Memastikan bahwa prasangkanya itu salah.
Di dalam kamar, Aisyah menatap kosong langit-langit tempat tidurnya. Beribu tanya mengisi ruang memorinya. Satu per satu dia memutar kenangan bersama dengan Haritz. Adakah kesalahan fatal yang dilakukannya sehingga mudah sekali terlontar kata pisah dari mulut calon suaminya itu.
"Ais, melamunkan apa? Bapak, dari tadi ngomong, tapi gak dihiraukan." Tangan kanannya menyentuh lembut bahu putrinya itu.
"Tidak ada, Pak." Memalingkan wajah ke arah lain. Merasa bersalah dengan kegagalannya menjaga hubungan dengan Haritz.
"Apa kamu bertengkar dengan Haritz?"
Jedar ....
Suara petir itu mengiringi kegalauan hatinya saat ini. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan ayahnya?
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 26 Oktober 2020
Publish ulang, 6 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top