recehan kadaluarsa

"Pak?" panggil suara di sampingku.

Aku memandangi Jedhi—seorang bocah lelaki yang tengah berdiri dengan satu kaki.

"Ya? Kenapa?"

"Saya udah boleh pulang?" tanya bocah itu, masih dengan kedua tangan memegang erat sepasang telinganya.

"Ya. Lain kali kamu ketahuan bawa alkohol, orang tua kamu yang saya panggil."

Dengan sigap, siswa bernama berseragam putih-biru itu beranjak dari pojok kelas dan mulai meninggalkan gurunya. "Iya, Pak. Siap, Pak," jawabnya sambil lalu.

Aku mengelus dadaku pelan. Kelakuan anak zaman sekarang memang sudah kelewat batas. Tidak tanggung-tanggung, anak itu ketahuan mengonsumsi alkohol di kantin sekolah. Padahal, aku yakin orang tua bocah tadi sudah setengah mati memperjuangkannya agar bisa sekolah di sekolah yang baik dan punya kesempatan untuk memiliki cita-cita tinggi. Pun aku yakin seandainya dia tahu semahal apa masa depan cemerlang, pasti tak akan disentuhnya barang-barang beracun tersebut.

Seandainya dia bisa melihat banyak orang yang tidak seberuntung dirinya. Seandainya dia menemaniku tujuh belas tahun silam, saat aku masih berprofesi sebagai mahasiswa arogan nan idealis dengan jaket kuning kebanggaanku.

Oh, tak ada yang spesial dari tujuh belas tahun silam. Kalau ditanya, aku hanyalah mahasiswa biasa yang sedang mencari bahan analisis untuk skripsi. Hari itu juga hari yang biasa-biasa saja. Langit cerah, awan nyaris tak terlihat, matahari bergelora tepat di atas kepalaku. Bising kendaraan dan adu klakson antar pengemudi yang tak tahu adab dan etika juga bukan sesuatu yang ekstra. Yang luar biasa hanya pengap dan penuhnya daerah tempatku duduk di sebuah stasiun tua di daerah ibu kota.

Karena tak mampu menahan pengap dan tipisnya oksigen di antara kerumunan orang, aku pun berdiri dan beranjak pergi, bermaksud mencari udara segar. Kebetulan, di tengah jalan pandanganku jatuh pada sesosok ibu dengan baju lusuh yang sedikit robek di bagian bahu. Di kepalanya berbalut kain tipis menyelimuti rambutnya, terlihat belum dicuci berbulan-bulan. Dalam dekapannya ada kain yang berbeda, bermotif batik dan digunakan untuk menggendong bayi mungil yang tertidur lelap. Aku tidak tahu apa yang membuatku memerhatikan mereka. Eksistensi mereka samar-samar di antara manusia yang hilir mudik.

Namun kakiku terus berjalan, lambat laun semakin dekat dengan dua sosok itu. Sampai pada akhirnya, aku tiba dan refleks berjongkok di hadapan wanita itu. "Maaf Bu, kenapa anak Ibu dari pagi sampe sekarang masih tidur?"

Katakanlah rasa sok ingin tahu yang bodoh, karena aku sudah pernah membaca jawabannya di penelitian dosen. Katakanlah aku tidak benar-benar ingin tahu jawabannya, aku hanya ingin melihat reaksi ibu tersebut, bertanya-tanya apakah masih ada sisa-sisa manusia di dalam sosok yang mencari nafkah dari rasa iba itu.

Terik mentari membuat hitungan detik terasa menit. Aku masih menunggu. Sayang, bukannya memberikan jawaban, ibu justru melengos dan beranjak dari tempatnya duduk.

"Loh, Bu? Saya kan cuma tanya. Kenapa harus pergi?" tegurku, seraya menahan ibu itu untuk melangkah.

Ibu itu menggeleng pelan. "Maaf, Mas. Saya harus pulang."

Suasana terminal masih ramai. Bus-bus bobrok antar kota silih berganti. Calon penumpang dan para calo pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, tidak peduli dengan mahasiswa ingusan dan wanita berkerudung di hadapannya.

"Ini, uang. Ambil." Aku menyodorkan lembaran uang berwarna hijau. "Buat anak ibu yang lagi sakit."

Meski ragu-ragu, uang itu akhirnya masuk ke dalam gelas plastik si ibu bersama logam-logam berlambang garuda yang menumpuk.

"Makasih, Mas. Permisi."

Kalau diingat-ingat, aku sebenarnya juga bingung dengan diriku sendiri. Entah apa yang merasukiku, tapi aku tetap bergeming. Tatapanku tertuju pada seorang bayi yang tertidur pulas—lelap dalam senyap, seakan tidak ditemani hingar bingar klakson dan mesin kadaluarsa.

"Ngapain kamu, Dek? Nggak lihat itu ibunya mau pergi?" Suara pria. Dari nadanya, aku rasa ia tidak senang dengan kehadiranku.

Ibu itu spontan berbicara dalam bahasa Jawa dengan pria di sampingnya. Aku berhasil menangkap beberapa kata dan menarik kesimpulan bahwa mereka membicarakan diriku.

"Oh, kamu mau cari ribut di sini?" tanya lelaki itu.

Sorot mata lelaki itu tajam, penuh intimidasi. Di antara kedua jarinya terdapat sebatang rokok. Ujungnya terbakar api, asapnya disemburkan keluar mulut dengan congkaknya. Badannya kekar. Seluruh lengan berototnya tertutup rajah berbagai bentuk.

Pria ini adalah populasi wajib yang ada di setiap stasiun dan terminal. Preman.

"Nggak, Pak. Saya tuh cuma tanya, anak ibu ini kenapa? Kok dari pagi tidur terus?" tanyaku tenang. Meski gugup, aku berusaha tak gentar.

Aku ini mahasiswa. Mahasiswa adalah agent of change. Mahasiswa bisa mengubah dunia, menggulingkan pemerintahan, menyuarakan suara orang kecil. Mahasiswa tidak takut dengan preman terminal yang belum tentu lulus SD.

"Apa hak kamu nanya kayak gitu?" balasnya, sinis.

Di sudut mataku, aku melihat ada beberapa pria dengan perawakan mirip preman di depanku berjalan mendekat. Aku menelan ludah.

Sekilas, aku mencuri pandang ke ibu dan anak yang hanya diam mengawasi interaksi kami. Dari bahasa tubuhnya, terlihat jelas bahwa pengemis itu meminta perlindungan preman terminal, seolah-olah mengkonfirmasi isu mengenai kegiatan mengemis selama yang dinaungi oleh 'organisasi jalanan'. Seakan berteriak, "Ya! Kami pengemis, penjahat juga!"

"Saya ngerti kamu wong pinter, tapi nggak perlulah kamu urus-urus ibu ini," tambah preman itu.

"Loh? Saya kan cuma tanya. Saya juga bukan wartawan, Pak. Kenapa harus jadi masalah?"

Pria itu mengembuskan asap rokoknya di wajahku. Ekspresinya berubah kesal.

"Halah, berisik kamu! Anak kecil sok tahu. Sudah sana pulang! Perlu saya hajar dulu?" ancam lelaki itu. Senyuman sinis nan bengis menghiasi wajahnya.

Panasnya mentari membuat hatiku rasa-rasanya jadi panas juga. Aku paling tidak suka ditantang. Lelah akibat seharian mencari bahan untuk skripsi semakin membakar bara di tubuhku. Kepalaku berdenyut, mengalahkan kerasnya teriakan kondektur.

Tanpa sadar, tangan kananku sudah menghantam wajah preman itu, menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga.

"Brengsek!" teriak preman itu, memegangi hidungnya yang cedera.

Hanya butuh satu detik bagi preman itu untuk membalas pukulanku. Dua detik untuk ibu dan bayi tadi pergi. Kemudian dua detik lagi untuk preman-preman lain bergabung membantu temannya.

:::: o ::::

Pernah memberikan secercah uang Anda untuk pengemis? Merasa iba jika pengemis itu membawa bayi atau anak-anak? Berharap uang Anda akan membantu ekonomi mereka? Coba pikir lagi.

Jika Anda pernah menghabiskan waktu dengan seorang bayi, Anda pasti menyadari bahwa bayi sangat mudah terbangun dari tidurnya. Entah itu karena lapar, buang air, atau kaget.

Coba bayangkan jika bayi itu berada di sebuah tempat yang bising dan tidak nyaman. Apakah bayi itu tidak akan terganggu?

Sekarang coba bandingkan dengan bayi-bayi yang dibawa pengemis. Di terminal maupun di lampu merah, suasananya hiruk pikuk dan tidak sesuai untuk bayi yang sedang tidur. Mereka juga dibawa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Terkadang bahkan bayi itu dibawa berlari mengejar bus kota. Tapi bayi itu tetap saja terlelap di alam tidurnya.

Pernah Anda berhenti sebentar dan berpikir kenapa?

Bayi-bayi yang dibawa pengemis itu sudah dijejali dengan obat bius, minuman beralkohol, hingga heroin. Tidak jarang dosisnya pun sangat tinggi dan membahayakan bagi bayi. Tujuannya agar pengemis-pengemis itu tidak diganggu oleh rengekan bayi yang dibawanya.

Sudah terbayang bagaimana dampaknya di tubuh rentan bayi-bayi malang tersebut?

Bayi-bayi itu tidak mampu mengatasi bahaya yang dihasilkan dari pemberian minuman dan obat-obatan terlarang. Banyak dari bayi-bayi itu yang meninggal selama mereka dibawa mengemis. Yang mengerikan, pengemis tersebut membawa anak dan bayi yang meninggal hingga malam hari. Karena ketidaktahuan, banyak orang yang memberikan uang kepada pengemis itu. Tindakan yang awalnya didasari rasa kasihan justru malah membantu pengemis-pengemis itu mengeksploitasi bayi dan anak-anak.

Ingin tahu yang lebih mengerikan?

Para pengemis itu membawa bayi dan anak yang berbeda setiap harinya. Karena bayi-bayi yang mereka gunakan merupakan bayi-bayi yang disewa, atau bahkan diculik dari keluarganya.

Bayangkan jika anak dari seseorang yang Anda kenal diculik, dibius, kemudian dieksploitasi. Bagaimana perasaan Anda? Masih iba, kah?

Depok, 2001.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #sampah