Bab 6
Setelah satu pekan menghabiskan bulan madu di Jepang, Rinjani dan Senja sudah kembali di sibukkan dengan pekerjaan dan hiruk pikuk kota terbesar kedua di Indonesia itu. Sejak hari pertama kembali bekerja, Rinjani selalu diantar jemput Theo, sekretaris pribadi suaminya. Sedangkan Senja memilih mengemudikan mobilnya sendiri. Senja memiliki perusahaan yang bergerak di bidang akomodasi dan pariwisata. Ada beberapa hotel berbintang dan restoran peninggalan orang tuanya.
Perjalanan rumah tangga Senja dan Rinjani sama halnya dengan rumah tangga bahagia lainnya. Selain menjadi wanita karier yang andal, Rinjani selalu menyiapkan berbagai hidangan yang dapat memanjakan perut suaminya. Dua minggu pernikahan mereka berjalan begitu sempurna. Sesekali Rinjani berusaha mencari tahu lebih banyak mengenai suaminya. Senja, suaminya itu tergolong sosok pemuda yang begitu sempurna tanpa cela. Kesempurnaan itulah yang membuat Rinjani begitu ingin tahu lebih banyak tentang suaminya, karena bagi Rinjani tidak ada yang benar-benar sempurna. Ia tidak ingin Senjanya menutup rapat setiap masalah dan kesedihan dalam hidupnya, menyimpan semua dalam diam.
"Halo Paman Theo, maaf membuat Anda menunggu begitu lama. Hari ini ada begitu banyak pekerjaan," ucapnya sembari memasang sabuk pengaman.
"Tidak masalah, ini tidak begitu lama. Ada kasus baru?" tanya Theo yang mulai melajukan mobil. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan sedang, menyibak keramaian jalanan sore itu. Rinjani selalu pulang satu jam lebih awal dari Senja, tapi hari ini karena ada kasus baru ia sedikit terlambat. Mungkin dia dan Senja akan tiba bersamaan di rumah.
Sepanjang perjalanan Rinjani dan Theo membicarakan soal kasus baru yang tengah dikerjakan Rinjani. Sebenarnya Rinjani malas membahas masalah pekerjaan, dia sudah cukup penat hari ini. Tapi, karena Theo begitu ingin tahu, mau tidak mau Rinjani menanggapi setiap pertanyaan Theo. Tiba-tiba terbersit sebuah ide untuk menggali informasi tentang Senja dari Theo. Bukankah Theo yang merawat suaminya itu sejak orang tuanya meninggal?
"Paman, bolehkah aku bertanya?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Theo, "bukan pertanyaan serius," lanjutnya.
"Iya, Rani. Tanyakan apa yang mau kamu tanyakan!" ucap Theo.
"Bagaimana Anda bisa bertemu Senja saat kedua orang tuanya meninggal?" Rinjani dapat melihat perubahan pada raut wajah Theo. Wajah pria itu mengeras, sorot matanya tiba-tiba menggelap. Bukannya menjawab pertanyaan Rinjani, Theo malah balik bertanya sembari memberikan tatapan tajam.
"Untuk apa kamu menanyakan itu? Apa kisah itu mempengaruhi pernikahan kalian?" Suara Theo yang meninggi jelas memperlihatkan bahwa pria itu terganggu dengan pertanyaan Rinjani. Sedangkan Rinjani terlihat takut dan bingung dengan reaksi mengejutkan Theo. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan yang dia pikir 'biasa' dapat mengusik Theo yang selama ini terlihat sabar dan penyayang. Hari ini dia membuat Theo marah besar.
"Ma ..., maafkan aku Paman Theo. Aku tidak sopan menanyakan pertanyaan seperti itu," ucap Rinjani, penuh penyesalan. Mereka akhirnya tiba di rumah. Rinjani benar, dia dan Senja tiba hampir bersamaan, setelah keluar dari mobil ia melihat mobil Senja yang baru saja memasuki pekarangan rumah mereka. Rinjani menunggu suaminya keluar, sedangkan Theo lebih dulu pergi dengan wajah kesal.
"Ada apa dengannya, Sayang?" tanya Senja saat melihat Theo yang tidak menyapanya.
"Maafkan aku, dia marah karena pertanyaanku. Sungguh aku tidak sengaja," ucap Rinjani. Saat ini dia bingung dan merasa bersalah karena membuat Theo semarah itu. Untung saja Senja memberi tanggapan baik, suaminya itu tersenyum sembari menggenggam tangannya, menghantarkan pesan 'tidak apa-apa' melalui genggaman itu.
"Memang apa yang kamu tanyakan sampai Theo seperti itu?" tanya Senja saat mereka berjalan bersama memasuki istana megah mereka.
"Aku menanyakan bagaimana kamu dan Theo bisa bersama," jawab Rinjani. Senja terdiam sesaat. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sejak dulu ingin ia tanyakan pada Theo. Namun, pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya dan dia memutuskan untuk mencari tahu segala seorang diri.
"Sebaiknya, jika kamu ingin tahu apa pun tanyakan saja padaku. Lagi pula, apa pun yang ingin kamu tahu nantinya kamu juga akan tahu, semua ada waktunya. Mencari tahu yang tidak seharusnya kita tahu hanya menimbulkan luka," ucap Senja dengan menekankan kata luka yang akan timbul jika Rinjani terus ingin tahu.
Rinjani tertunduk lemah, apa yang dikatakan Senja bisa jadi benar. Dia tidak seharusnya terlalu ingin tahu, setiap orang memiliki rahasia di masa lalu yang sengaja mereka kubur demi mendapat kehidupan lebih baik di masa depan. Seharusnya dia bisa menghargai Senja dan Theo, bukan malah menyinggung atau mengungkit masa lalu yang mungkin saja luka besar menganga yang berusaha diobati oleh waktu. Tapi, sebagai seorang Jaksa ia tak bisa memungkiri naluri selalu ingin tahunya yang begitu tinggi. Akhirnya Rinjani menghela napas pasrah, ia harus sadar bahwa orang-orang terdekatnya bisa saja terganggu dengan keingintahuannya itu.
"Maafkan aku," lirihnya.
"Tidak masalah, Sayang. Ayo aku bantu siapkan makan malam, jangan terlalu dipikirkan, Theo akan kembali nanti. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri." Senja meletakkan jas dan tas kerjanya serta menggulung lengan kemeja, bersiap membantu Rinjani.
"Kita mandi dulu saja, badanku rasanya lengket karena seharian ini AC di ruang kantorku rusak," ucap Rinjani yang sudah lebih dulu membuka pintu kamar mereka. Senja mengekori langkahnya dan ikut serta merebahkan diri saat Rinjani menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk di hadapannya.
"Apa kamu mau kubuat lebih berkeringat, Sayang?" bisik Senja. Rinjani bergidik ngeri mendengar ucapan suaminya. Selain humoris, suaminya ini senang sekali menggoda dirinya dengan pikiran-pikiran dan ucapan-ucapan kotornya. Sebelum Senja berbuat aneh-aneh ia mendorong tubuh suaminya itu untuk menjauh. Bukannya menjauh Senja malah semakin mengeratkan pelukannya, membuat Rinjani bergerak-gerak gelisah berusaha melepaskan diri.
"Satu kali ya? Kalau kamu terus bergerak-gerak, kamu malah semakin meningkatkan libidoku, Sayang." Senja kembali berbisik sambil mencium daun telinga Rinjani. Tubuh Rinjani meremang, Senja selalu berhasil meningkatkan gairahnya, membuatnya tak berdaya dan kehilangan akal sehat. Sebuah erangan lolos dari bibirnya ketika Senja mengecup tengkuknya, menghisap aroma tubuh di ceruk lehernya.
"Saaa ... tu khali," ucapnya dengan suara parau. Matanya kini sudah gelap oleh kabut gairah. Mendapat lampu hijau dari istrinya yang sudah mabuk kepayang menimbulkan seringai kemenangan di bibir penuh Senja. Tanpa buang waktu, ia melucuti setiap helai kain yang membungkus tubuh indah Rinjani.
"Rani, kamu adalah candu bagiku," bisiknya sembari melakukan manuver yang langsung membuat tubuh Rinjani menggelinjang menahan nikmat. Permainan panas tak terelakkan pun terjadi. Kalau sudah begini bisa jadi bukan satu ronde, tapi satu malam pun Senja tidak berhenti sebelum puas membuat Rinjani lemas.
***
Permainan panas pun selesai ketika Rinjani sudah benar-benar marah hingga menghadiahkan cubitan di perut indah suaminya. Sekarang badannya benar-benar lelah, rasanya kakinya kebas bahkan untuk berdiri saja rasanya susah. Tulang-tulang seolah melunak seperti agar-agar. Senja yang melihat istrinya sudah uring-uringan malah tertawa terbahak-bahak. Memandang wajah marah Rinjani adalah hal yang paling dia sukai. Istrinya itu terlihat begitu menggemaskan, pipinya kembang kempis saat mengucapkan umpatan-umpatan untuknya, bibir mungilnya yang mengerucut, hingga semburat merah yang menghiasi wajahnya.
"Kalau kamu lelah kita pesan makanan saja, ya? Kamu mau makan apa, Sayangku?" tanya Senja sembari mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas.
"Aku sudah belanja, kita masak saja. Nanti udangnya busuk, kata Paman Theo kamu suka udang asam pedas, jadi tadi kami mampir membeli udang. Pasti sekarang udangnya bau karena aku lupa tidak meletakkan di pendingin," ucap Rinjani sembari melangkah panik, mencari udang yang sudah dibelinya. Senja yang melihat istrinya tergopoh-gopoh tersenyum kagum penuh syukur karena ia tak salah menjatuhkan pilihan.
"Biar aku bantu," ucap Senja sembari meraih semangkuk udang dari tangan Rinjani. Rinjani bergeser mengupas bawang dan bumbu pelengkap lainnya. Dari kegiatan memasak, hal yang sangat ia benci adalah menghaluskan si bawang merah. Si merah selalu berhasil membuatnya kepayahan hingga berurai air mata.
Senja membasuh mata wanitanya dan menyelipkan anak rambut yang mengganggu Rinjani. Wanitanya menangis karena bumbu dapur, pemandangan ini juga menjadi bagian favoritnya saat menemani Rinjani menyiapkan makanan. Meskipun kepayahan, Rinjani akan bersikukuh menghaluskan bumbu dengan cobek, "rasanya akan hambar kalau dihaluskan dengan blander," ucapnya.
Tak berselang lama, hidangan makan malam siap tersaji. Rinjani menyiapkan makanan untuk suaminya, tak lupa ia menyajikan jus apel kesukaan Senja. Karena Senja terbiasa minum atau makan buah sebelum makan nasi. Untuk menjaga tubuh, katanya.
"Besok akhir pekan, kamu ingin aku temani ke mana?" tanya Senja. Sudah satu minggu mereka menempati rumah Senja setelah menikah. Tetapi Rinjani belum tahu setiap sudut rumah besar itu. Sepertinya menghabiskan akhir pekan dengan room tour dan mencoba menu masakan baru bukan ide buruk.
"Aku mau keliling rumah ini, bagaimana mungkin aku tinggal di rumah sebesar ini tanpa tahu isinya? Setiap hari dalam satu minggu ini aku hanya tahu kamar, ruang tamu, ruang makan dan dapur. Bagaimana dengan ruang lain? Taman? Bangunan terpisah dari bangunan utama ini, aku tidak tahu sudut rumah ini," ucap Rinjani.
"Aku yang sudah puluhan tahun di sini saja tidak tahu ruangan lain selain ruang utama yang setiap hari kita tempati. Lagi pula aku tidak tertarik untuk mengetahuinya, bagaimana kalau kita ke pantai saja?" tanya Senja, berusaha mengalihkan keinginan Rinjani untuk room tour. Ada gurat kegelisahan di raut wajah Senja, karena memang ada yang ia sembunyikan dari Rinjani. Luka di setiap ruang-ruang tersembunyi di istana ini. Tempat orang tuanya tewas mengenaskan, ia takut Rinjani melihat jati dirinya jika Rinjani menemukan ruangan itu.
"Ayolah! Aku tidak ingin pergi ke mana pun. Apakah ada yang kamu sembunyikan? Atau sengaja kamu sembunyikan?" Mata Rinjani menelisik, berusaha mencari tahu kebenaran yang disembunyikan Senja. Senja menarik napas jengah, ia tahu bahwa tidak akan cukup dengan kata-kata memuaskan rasa penasaran Rinjani. Keingintahuan Rinjani yang begitu menggebu inilah yang paling dia benci.
"Baiklah, tapi ada syaratnya. Saat aku bilang itu ruangan terlarang, jangan tanya kenapa dan jangan coba mendekatinya! Aku tidak menyembunyikan apa pun, hanya aku belum siap untuk mengatakannya. Kamu paham?" Rinjani terpaksa mengangguk melihat raut wajah Senja yang serius, gurat-gurat kekhawatiran terpatri di wajahnya.
Makan malam menjadi canggung karena pembahasan akhir pekan. Seusai makan malam Rinjani membersihkan piring sedangkan Senja pergi ke ruang kerjanya. Tidak biasanya Senja seperti itu, hari ini dia dua kali membuat kesalahan. Tapi kini rasa penasarannya justru semakin menjadi, ia yakin ada suatu hal tak beres yang disembunyikan Senja dan Theo.
Rinjani memainkan ponselnya sembari menunggu Senja yang tak kunjung menyusulnya. Sejak mereka kenal hingga dua pekan pernikahan mereka baru kali ini Senja terlihat begitu marah dan kecewa. Sekali lagi Rinjani menatap ponsel, belum terlalu malam untuk menghubungi orang tuanya. Sudah beberapa panggilan tapi orang tua dan adiknya tak kunjung menjawab, mungkin saja sudah tidur karena keluarganya terbiasa tidur sebelum pukul sembilan malam dan hanya waktu-waktu tertentu keluarganya tidur larut, seperti saat mempersiapkan pernikahannya.
"Kamu belum tidur?" Suara bariton Senja yang khas membuyarkan lamunannya. Ia langsung menoleh ke arah pintu mencari sosok suaminya. Rinjani langsung menghambur ke pelukan suaminya karena menyesal telah membuat suaminya itu kesal.
"Maafkan aku," ucapnya lirih. Senja hanya tersenyum sembari mengecup puncak kepalanya. Dering ponsel mengalihkan perhatian mereka, itu telepon dari Tari adiknya.
"Halo ...,"
"Ibu dan Ayah di rumah sakit, Mbak. Apa Mbak Rani dan Mas Senja bisa ke rumah sakit sekarang?" Ponsel itu nyaris lolos terjatuh dari tangannya. Bagaimana mungkin? Orang tuanya berada di rumah sakit saat ini, Tari menangis, dari suaranya tergambar jelas bahwa orang tua mereka sedang tidak baik-baik saja.
"Ada apa?" Senja menepuk bahunya, pelan. Dia merengkuh tubuh istrinya yang bergetar menahan tangis. Saat kepala wanita itu tenggelam di dekapannya, tangis wanita itupun semakin menjadi. Senja memundurkan tubuh, memberi jarak untuk melihat wajah istrinya yang dibanjiri air mata.
"Ada apa?" tanyanya, lagi.
"Ibu dan Ayah di rumah sakit, kamu bisa mengantar aku ke sana?" Rinjani menjawabnya dengan suara sengau. Tanpa menunggu lama, Senja segera menggangguk, meraih kunci mobil dan membuka pintu kamar untuk istrinya. Dia memapah istrinya yang masih saja menangis karena kalut dan panik memikirkan kondisi orang tuanya.
"Kamu tenang dulu! Mereka pasti baik-baik saja," ucap Senja berusaha menghibur Rinjani yang masih sesenggukan.
***
"Mbak Rani!" Setibanya mereka di rumah sakit, suara teriakan Tari menyambut mereka. Mata gadis itu juga terlihat sembab, bahkan Tari yang sangat memikirkan penampilannya dalam kondisi apapun hanya mengenakan baju tidur bahkan adiknya itu tak mengenakan jaket dan alas kaki.
"Bagaimana kondisi Ibu dan Ayah, Tar?" tanya Senja.
"Ibu dan Ayah belum sadar, Mas. Saat ini masih di ruang operasi. Kecelakaannya cukup parah, kata orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian, kecelakaan itu seperti disengaja," jawab Tari. Mendengar penuturan Tari, Rinjani yang sedari tadi berdiri di samping Senja langsung terduduk lemas di lantai rumah sakit. Dia tidak habis pikir, siapa yang tega melakukan hal sekeji itu kepada orang tuanya.
Ruang operasi terbuka, beberapa petugas medis keluar dengan wajah lega menandakan operasi yang mereka lakukan berjalan sesuai rencana. Salah seorang perawat berjalan mendekati mereka. "Keluarga Pak Arjuno dan Ibu Ayu?" Mendengar perawat menyebut nama orang tuanya membuat Rinjani terperanjat, buru-buru berdiri dan menghampiri perawat itu.
"Bagaimana keadakan orang tua kami?" tanyanya sembari menyeka air mata.
"Operasinya berjalan lancar, Anda semua sudah bisa melihat kondisi Pak Arjuno dan Bu Ayu," ucap perawat itu mempersilakan mereka masuk ke ruang perawatan. Sebelum meninggalkan mereka, perawat itu menyerahkan secarik kertas kepada Rinjani.
"Ibu ..., Ayah ...," Rinjani dan Tari menghambur ke dalam ruangan itu, merapat ke sisi ranjang rumah sakit tempat orang tua mereka terbaring tak berdaya.
"Apa aku bilang? Mereka akan baik-baik saja untuk kita," ucap Senja sembari merangkul pundak istrinya yang sudah mulai tenang. Rinjani lega melihat orang tuanya yang baik-baik saja meskipun belum siuman. Tiba-tiba, ia teringat secarik kertas yang diberikan perawat tadi kepadanya. Ia membuka kertas itu dan mendapat sebuah pesan yang membuat ubun-ubunnya mendidih.
Bagaimana rasanya terluka?
"Ada apa, kak?" tanya Tari yang khawatir melihat perubahan wajah Rinjani seusai membuka secarik kertas dari perawat tadi.
"Siapa yang memberi kertas ini?" Senja merebut secarik kertas di genggaman Rinjani. Siapa yang berani bermain-main dengan orangnya? Berani sekali orang itu mengganggu wilayah teritorinya. Senja meremas kertas itu, kemudian membuangnya ke sembarang tempat. "Tidak usah kamu pikirkan, aku akan membereskannya," tukasnya.
"Biarkan saja! Cukup hanya mereka yang terluka. Lupakan masalah ini! Ini resiko dari pekerjaanku, mungkin salah satu tersangka yang tidak terima, kumohon!" Rinjani menggenggam tangan suaminya, ia tidak mau masalah ini semakin berlarut dan menimbulkan korban lain.
Drrt ... . Drrt ... .
Ponsel yang ada di saku baju Rinjani bergetar pertanda sebuah panggilan masuk. Sebuah nomor khusus tertera di sana, ia memutuskan menjawab panggilan itu karena Senja sedang tak melihat ke arahnya dan Tari sudah pulang. "Halo?"
"Selamat malam, Nona Rani. Saya yakin kamu bisa mengenali suara saya, bagaimana kondisi orangtua Anda? Saya harap mereka masih baik-baik saja. Ini peringatan untuk kamu, jangan pernah mencari tahu apapun tentang saya atau suamimu karena kamu akan terluka lebih dari ini! Satu lagi! Jangan sampai Senja tahu soal ini, Rani!" Sambungan telpon itu dimatikan sebelum Rinjani sempat mengatakan apapun.
"Siapa?" tanya Senja.
"Bukan siapa-siapa, hanya kasus baru. Senja, maaf jika tadi aku menyinggung soal ruangan rumah atau masa lalu kamu, aku sungguh menyesal," ucap Rinjani. Dia tidak menyangka, niatnya untuk mengenal masa lalu suaminya akan membahayakan keluarganya.
"Apa yang kamu bicarakan? Baiklah aku memang tidak suka dengan ide room tour atau apalah itu, tapi sungguh aku tidak mempermasalahkannya. Pada akhirnya kamu akan tahu segalanya tentang aku, itu hakmu tapi, saat ini bukan waktu yang tepat. Baiklah, aku janji akan menjelaskan semuanya di akhir pekan yang akan datang, pembicaraan penting harus dibicarakan di tempat yang tenang. Kamu setuju?"
"Jika kamu tidak ingin mengatakan apapun juga tidak masalah, masa lalu itu milikmu dan masa sekarang sampai masa depan 'lah yang menjadi milik kita." Rinjani merengkuh lengan suaminya dan bersandar di bahu pemuda yang mulai saat ini dan seterusnya akan menjadi tempatnya bersandar.
"Kamu memang harus mengetahui semua itu, aku akan mengatakannya, semua. Di waktu dan tempat yang tepat."
Drrt ... . Drrrt ... .
Ponsel Rinjani kembali bergetar, ia buru-buru menjauhkan tubuhnya dari Senja dan mencari tahu siapa yang menghubunginya. Kali ini sebuah pesan singkat masih dengan ancaman yang sama dari orang itu, bahwa jika Senja mengetahui identitasnya, ia akan mencelakai seluruh keluarga Rinjani. Tak lupa orang itu membubuhkan emoji topeng di akhir pesannya. Seorang traitor ada di dalam kehidupannya dan dia harus mencari cara menjauhkan orang-orang terdekatnya dengan pria bertopeng itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top