Bab 5
Pagi menjelang, setelah pertempuran panjang kemarin malam Senja lebih dulu terbangun dengan wajah lebih segar. Meskipun kemarin energinya terkuras habis, rasa puas telah mengembalikan kekuatan dalam dirinya. Senja membelai lembut wajah Rinjani yang masih tertidur pulas. Dia sadar kemarin adalah kali pertama bagi Rinjani dan dia bermain cukup keterlaluan karena menggauli istrinya itu tanpa ampun. Ia merapatkan tubuhnya pada Rinjani dan memeluk tubuh wanita itu erat-erat. Mulai detik ini Rinjani adalah harta yang harus ia jaga.
"Selamat pagi," sapa Senja pada Rinjani saat wanita itu baru saja membuka mata. Senja sudah berpakaian lengkap dan sibuk menyiapkan sarapan yang baru saja diantar resepsionis hotel. Dia menyerahkan segelas air pada Rinjani yang berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Rinjani masih begitu berantakan, ia hanya mengenakan kaos polos milik Senja karena semalam bajunya terkoyak tak berupa. Badannya pun masih kebas karena perbuatan Senja kemarin malam. Mengingat soal kemarin malam, ia sekarang menatap Senja dengan dongkol. Ingin rasanya ia mengambil pisau steak di nampan dan menguliti suaminya itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Bagaimana ia bisa menguliti Senja? Tenaga saja saat ini ia tidak punya.
"Kamu mau makan apa, Sayang? Biar aku ambilkan." Senja kembali buka suara. Dengan tangkas ia menyiapkan nampan, gelas berisi susu dan piring. Ia siap mengambil menu yang diminta permaisurinya.
Senja menghampiri Rinjani dengan sepiring nasi goreng udang, telur mata sapi, segelas susu dan apel merah. Rinjani terbiasa makan buah dan susu ketika sarapan, kebiasaan yang ia lakukan sejak di bangku SMP. Akan tetapi hari itu lain, dia sangat-sangat lapar hingga sebuah apel dan segelas susu saja tak cukup mengganjal perutnya.
"Kamu sakit? Dari tadi aku perhatikan kamu diam saja," tanya Senja. Bukan. Rinjani bukan sakit, Rinjani hanya merasa kesal karena kejadian kemarin malam saat Senja tak memberinya kesempatan istirahat padahal ia sudah memohon dan kelelahan. Rinjani tidak menjawab pertanyaan suaminya, ia hanya melempar tatapan tidak suka sembari merebut piring nasi goreng dari tangan suaminya itu.
"Sayang, aku tahu kamu masih marah soal kemarin malam. Maafkan aku, ya!?" pintanya.
Rinjani menghela nafas panjang. Dia masih marah dengan suaminya itu, tapi apa boleh buat? Senja terlihat menyesal dan meminta maaf dengan tulus. "Jangan kamu ulangi!" ucap Rinjani. Mendengar jawaban istrinya, Senja senang bukan kepalang dan langsung memeluk wanitanya itu.
Hari ini mereka mengosongkan semua agenda dan berencana tetap tinggal di kamar hotel karena tubuh Rinjani masih kehabisan tenaga. "Apa yang ingin kamu lakukan hari ini di sini?" tanya Senja. Rinjani masih diam karena malas menjawab pertanyaan suaminya. Senja melihat Rinjani masih kesal kepadanya, muncul ide untuk menjahili istrinya itu, lantas ia bertanya, "apa kamu mau melanjutkan permainan kemarin malam?" Sontak Rinjani melemparnya dengan bantal dan mendorongnya menjauh dari ranjang.
***
"Kamu masih marah?" tanya Senja pada Rinjani yang asyik mengutak-atik ponselnya. Karena tidak mendapatkan respons, Senja langsung merangkul tubuh mungil istrinya 'back hug'. Rinjani terkesiap, ia berusaha menarik diri, tapi tangan kokoh Senja mampu menahan dirinya.
"Aku tidak marah. Hanya sedikit sebal," ucap Rinjani.
"Aku akan melakukan apa pun supaya kamu tidak lagi kesal." Senja mendudukkan tubuh Rinjani di atas pangkuannya dan membuat Rinjani menjatuhkan pandangan tepat di mata hazelnya. Senja menyisihkan rambut halus yang menutupi paras ayu istrinya. Ia mendekap erat wanita di hadapannya itu sembari berkata, "maafkan aku karena membuatmu sakit. Apa sekarang sudah baik-baik saja?" bisiknya.
Rinjani mengangguk sembari tersenyum. Ia mendorong pelan tubuh Senja karena berada dalam dekapan suaminya itu bisa membuat jantungnya kalang kabut. "Apa aku boleh minta sesuatu?" tanyanya.
"As you wish," jawab Senja.
"Aku belum banyak tahu tentang dirimu, ceritakan semua tentang dirimu!" pinta Rinjani.
"Apa yang ingin kamu tahu?" Mimik wajah Senja seketika berubah, ada kelabu yang menutupi wajahnya, pancaran sinar matanya pun seolah meredup. Ia menghela nafas panjang, hal yang paling dibenci dirinya adalah mengungkit masa lalu atau menceritakan sesuatu yang ia jaga pada orang lain. Sekali pun itu istrinya, tapi apa boleh buat? Masalah akan semakin larut kalau ia menolak Rinjani saat ini.
"Kenapa kamu hanya tinggal dengan Paman Theo?" Rinjani angkat bicara. Satu pertanyaan lolos dari mulutnya.
"Cerita ini sangat panjang. Sebenarnya Theo yang merawatku sejak kecil, tepatnya sejak kedua orang tuaku terbunuh." Kalimatnya terhenti, ada gurat kesedihan yang terpancar jelas dari manik matanya. Rinjani yang mengerti situasi langsung memeluk suaminya, menyalurkan kehangatan.
"Tidak perlu kamu lanjutkan kalau itu berat." Rinjani menepuk-nepuk punggung Senja. Ia melepaskan pelukannya dan beralih mengusap penuh kasih wajah suaminya.
"Rani, berjanjilah untuk selalu ada di dekatku tidak peduli apa yang terjadi!" pintanya. Rinjani mengangguk dan kembali mendekap tubuh kekar itu. Dibalik kekonyolan Senja, ada kesedihan yang sengaja ia tutupi. "Theo sudah seperti orang tua bagiku, semua yang aku miliki saat ini karena ada dia di sampingku. Dia mengajarkan banyak hal. Aku menghormati semua keputusannya, termasuk untuk menikahi kamu," lanjutnya.
"Jadi, kita menikah karena permintaan Theo?" Rinjani turun dari pangkuan Senja karena tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dia merasa sedikit tertipu karena ia kira mereka menikah karena keinginan Senja sendiri.
"Kamu mau ke mana? Kembali ke sini! Aku akan menjelaskan semuanya." Senja merentangkan tangannya, meminta Rinjani duduk kembali di atas pangkuannya. Senja mulai menjelaskan bahwa memang Theo yang menyarankan mereka untuk menikah, karena mungkin saja Rinjani berada dalam bahaya. Tapi, Senja sendiri menerima usulan Theo tanpa paksaan karena baginya, Rinjani gadis baik yang pantas dilindunginya.
"Tunggu! Bahaya apa maksud kamu?" tanya Rinjani.
"Apa kamu lupa? Dulu saat aku pertama kali melamarmu, aku sudah menjelaskan secara singkat alasanku melamarmu." Rinjani terlihat berpikir sebentar lantas menggeleng. Senja yang mengerti benar dengan situasi saat itu hanya mampu menghela napas, pasrah.
"Dengarkan aku baik-baik!" ucap Senja sembari mengapit bahu Rinjani dengan tangan kokohnya. Senja kembali menghela napas panjang kemudian melanjutkan ucapannya, "ini cerita yang paling aku benci. Sebenarnya aku tak ingin mengatakan hal ini, tapi kamu berhak mengetahuinya. Aku butuh bantuanmu untuk menangani kasus pembunuhan yang akhir-akhir ini terjadi. Pembunuhan itu terhubung dengan kasus dua puluh tahun yang lalu, di lokasi yang selalu sama. Tapi, jaksa maupun polisi yang menangani kasus tersebut tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sialnya, kejaksaan menugaskan wanita secantik kamu dalam kasus ini. Aku tidak bisa membiarkan kasus ini berlanjut dan membahayakan dirimu," tandasnya.
"Pertama, apa yang terjadi 20 tahun lalu? Kedua, kenapa kamu repot-repot mengkhawatirkan keselamatanku padahal kita belum saling kenal? Ketiga, apa kamu tidak tahu kalau aku jaksa terbaik di kota ini sehingga mereka memilihku?"
"Astaga!!!" Senja menghela napas jengah, kemudian melanjutkan ucapannya, "Pertama, aku akan menjawab pertanyaan keduamu terlebih dahulu. Aku menyukai wanita cantik yang pemberani, kamu masuk dalam kriteria itu dan aku langsung jatuh hati saat pertama kali melihatmu secara langsung di hari kamu menabrak mobilku. Jawaban itu sekaligus menjawab pertanyaan ketigamu, tentu saja aku tahu dan itu membuatku semakin menyukai sekaligus ingin melindungimu. Kamu jasa terbaik dan pembunuh itu juga pembunuh terbaik. Terakhir, pertanyaan ini paling berat, dengarkan dulu tanpa bertanya!
Orang tuaku tewas bukan karena kecelakaan seperti pemberitaan media masa. Mereka tewas terbunuh di lokasi yang sama dengan lokasi penemuan mayat-mayat itu. Aku tidak tahu siapa dan kenapa laki-laki itu membunuh mereka, aku tidak ingat wajahnya. Aku terbangun satu minggu setelah kejadian itu dan sejak saat itu Theo bersamaku," ucap Senja. Ia menyugar rambutnya sembari tertunduk menahan rasa sakit dan marah yang datang begitu saja. Rinjani yang mengerti akan situasi suaminya itu dan kesalahannya karena mengungkit luka di masa lalu Senja langsung memeluk pria itu erat-erat.
"Semua akan baik-baik saja sekarang. Kita akan menemukan penjahat itu, aku akan selalu bersamamu," tandasnya. Ia menatap kedua mata pemuda di hadapannya yang balik menatapnya. Ia menghantarkan kehangatan melalui pancaran matanya. Selama ini ia selalu berkeluh kesah tentang hidupnya, tanpa ia tahu masih banyak manusia yang lebih tidak beruntung darinya.
"Kamu adalah obatku saat ini dan sampai kapan pun Rinjani! Sekali pun semua orang menganggapku monster, menjauhiku atau bahkan berlebihan mengagumiku. Satu-satunya pendapat dan ucapan yang berarti adalah ucapan yang keluar dari mulutmu." Senja menghirup dalam-dalam aroma vanila dari tubuh Rinjani yang mampu merelaksasi pikirannya.
"Baiklah, kita lupakan saja masalah ini. Maaf karena aku merusak suasana, seharusnya aku tidak menanyakan hal-hal seperti itu saat bulan madu," ujar Rinjani sembari menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya.
"Tidak apa-apa, selain itu ada lagi hal tentangku yang akan kamu tahu cepat atau lambat. Untuk cerita barusan kau harus membayarku karena membuatku bersedih," ucap Senja sembari memonyongkan bibirnya. Rinjani mengecup singkat bibir Senja kemudian berpaling pergi karena malu.
"Ada kemajuan, aku suka itu, Sayang!" seru Senja di sela tawanya yang membahana melihat Rinjani yang kikuk berlari ke kamar mandi.
***
Hari yang tersisa mereka gunakan untuk mengunjungi tempat-tempat yang telah mereka jadwalkan. Selama di Jepang, Rinjani mulai belajar menerima Senja sebagai suaminya dan sadar akan kewajiban yang harus dia lakukan. Ia mulai menyayangi pemuda itu dan tak ingin meninggalkannya.
Bunga yang bermekaran di Jepang telah menyihir hati Rinjani, menjadikan bunga di hati wanita itu turut serta mekar. Ia mulai menyadari bahwa takdir itu mempertemukan dia dengan Senja, membuatnya jadi wanita paling beruntung seantero dunia. Rinjani tersenyum menatap punggung suaminya di antara bunga-bunga saat festival Fuji.
"Kenapa senyum-senyum? Kamu mikir jorok ya!" Senja meledek Rinjani yang terlihat kikuk karena kepergok memandanginya.
"Itu kamu, aku gak pernah mikirin hal gak berguna begitu," jawab Rinjani, acuh. Dia berjalan cepat meninggalkan Senja yang mengekorinya masih sambil terbahak-bahak. Melihat Rinjani salah tingkah adalah kesenangan barunya, karena Rinjani yang kikuk seperti ini terlihat berkali-kali lipat lebih menggemaskan.
"Tapi kamu kelihatan puas dengan kejorokanku, Sayang. Jangan bohong! Kamu saja sampai mendesah nikmat." Kali ini Rinjani tak tinggal diam, ia menutup mulut suaminya itu dan mencubiti lengannya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal-hal pribadi di tempat umum. Wajah Rinjani sudah merah padam karena marah dan malu. Berpasang-pasang mata di festival itu memandanginya. Dia mendorong tubuh Senja dan berjalan cepat menghindari suaminya itu.
"Rinjani daisuki!!!" seru Senja yang mendapat tepuk tangan dari pengunjung lain. Mungkin orang-orang itu beranggapan bahwa mereka adalah pasangan baru dan si wanita sedang merajuk, maka dari itu sang pria menyatakan cinta di tengah lautan pengunjung festival saat ini. Rinjani berjalan semakin cepat mendengar riuh pengunjung yang ditujukan pada Senja dan dirinya. Meskipun dia malu, ada rasa hangat menjalar di hatinya. Ia bersyukur bila dirinya bisa menjadi alasan Senja bahagia dan melupakan masa kelamnya.
Rinjani tidak ingin melihat Senja yang menyembunyikan kesedihan dan ketakutan di balik sifat periangnya itu. Rinjani tidak ingin lagi melihat Senja yang bermimpi hingga menangis di tengah malam karena kejadian buruk di masa lalunya. Ia akhirnya berbalik dan merentangkan tangan, menyambut Senja yang berjalan ke arahnya. Ia memberikan pelukan terhangat itu untuk suaminya, ia tahu alasan dibalik sifat kekanakan suaminya. Karena suaminya ingin dicintai, cinta yang belum pernah ia dapatkan dari orang tua juga kekasih.
"Kamu membuatku malu, Sayang! Memangnya hanya kamu yang bisa melakukan hal tak terduga di tempat umum?" Rinjani tersenyum sembari mengusap wajah suaminya.
"Astaga! Kamu memanggilku sayang!? Aku akan lebih sering bertingkah konyol jika itu bisa membuatmu menyayangiku," ucap Senja.
Para pengunjung festival bersorak-sorai, riuh memberikan tepuk tangan dan suitan karena ikut senang melihat adegan sepasang kekasih di hadapan mereka. Bunga di Festival Fuji menjadi saksi kebahagiaan mereka. Gunung Fuji yang terlihat megah pun seolah mengaminkan harapan dan keinginan mereka untuk selalu berbahagia. Apa pun yang akan terjadi, dia tak akan melepaskan tangan Senja. Sepahit apa pun permasalahan yang nantinya terjadi, ia akan menjadi rumah bagi pemuda itu, tempat baginya berlindung.
"Senja, apa pun yang kamu rasakan. Sepahit apa pun kenyataan, jangan pernah sembunyikan kebenaran dariku. Kita bisa melalui semua jika bersama, percayalah!" ucapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top