Bab 4
Rinjani merebahkan tubuhnya di kasur hotel yang empuk. Senja menatap istrinya yang terlihat lelah sekali tersenyum dan menyalami setiap tamu undangan dengan rambut bersanggul, riasan tebal dan sepatu tinggi melukai kaki. Senja ikut merebahkan dirinya di samping wanita itu. Wanita itu memejamkan matanya, sepertinya dia sudah terlelap karena begitu penat hingga semua aksesoris yang ia kenakan masih lengkap.
"Rani, kalau kamu tidur seperti itu badanmu bisa sakit semua," ucapnya lembut, berusaha membangunkan Rinjani. Tidak ada jawaban dari wanita itu, lantas Senja berusaha mendudukkannya sembari berkata, "ayo aku bantu menghapus riasan itu atau kamu mau aku bantu membuka baju?" Rinjani langsung terkesiap. Dia membuka mata lebar-lebar tatkala mendengar kata-kata yang baru saja dibisikkan Senja.
"Iya, aku ganti baju dulu," ucap Rinjani setengah kesal karena dibangunkan padahal kantuknya sudah tidak tertahan.
Senja sudah mengganti pakaiannya, dia hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Sedangkan Rinjani yang sudah mengenakan gaun tidur sibuk menghapus riasan tebal di wajahnya. Besok siang mereka berdua berangkat bulan madu ke Negeri Matahari Terbit.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Rinjani yang sudah selesai membersihkan diri pun berbalik menatap Senja yang tersenyum kikuk. Dia melangkah ke sisi ranjang yang kosong bersiap untuk tidur. Rinjani membaringkan tubuhnya, memunggungi Senja yang masih setia menatap dirinya. Dia mengurai rambut panjangnya, membiarkan rambut indah itu memancarkan pesona. Senja menahan hasratnya mati-matian, bagaimana tidak? Wanita cantik yang sekarang sah menjadi istrinya tidur dengan pakaian yang begitu menggoda.
"Rani, kamu lelah?" tanya Senja, sembari berusaha mendekatkan tubuhnya ke arah Rinjani. Senja terus berusaha mengguncang pelan bahu wanitanya, tapi wanitanya tak bergeming. Malam semakin larut, akhirnya Senja menyerah dan memutuskan untuk memejamkan mata, memulai perjalanan ke alam mimpi. Sebenarnya Rinjani belum benar-benar tidur, dia hanya berpura-pura karena dia tahu apa yang Senja mau dan dirinya belum siap untuk mengabulkan keinginan suaminya.
***
Rinjani dan Senja bangun cukup siang, mereka bangun pukul sepuluh padahal jam sebelas pesawat yang akan membawa mereka ke Jepang akan lepas landas. Rinjani panik bukan main merapikan pakaian dan kamar hotel sedangkan Senja menyelesaikan urusan administrasi. Saat semua sudah siap, mereka segera melesat menuju bandara.
"Senja, apa kamu sudah mandi?" tanya Rinjani.
"Tentu saja, kamu tidak mencium bau wangi dari tubuhku?" Senja balik bertanya. Rinjani menggeleng lemas, tadi dia belum sempat mandi karena saat dia bangun Senja sudah siap dengan koper dan pakaian rapi, sedangkan barang-barangnya masih berserakan. Sepertinya Senja sengaja tidak membangunkan dirinya karena masih kesal dengan kejadian semalam.
Rinjani membuang muka ke arah luar, sedangkan Senja fokus mengemudi. Untung saja jalanan siang itu tidak terlalu macet. "Kenapa tadi kamu tidak membangunkan aku?" tanya Rinjani.
"Kamu tidur sangat lelap, aku tidak tega. Rencananya tadi kalau kamu tidak bangun juga akan menggendongmu sampai mobil." Senja menjawab pertanyaan Rinjani acuh tak acuh. Dia benar-benar jengkel, karena Rinjani ia tak bisa tidur semalaman, matanya terpejam tapi pikirannya tertuju pada apa yang ada di balik baju tidur Rinjani.
"Senja, soal kemarin aku minta maaf jika aku salah. Apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau memaafkan aku?"
"Mulai sekarang panggil aku, Sayang!" jawab Senja sambil menyeringai puas. Ia tahu benar bahwa Rinjani mudah sekali merasa bersalah. Bukannya mengiyakan Rinjani justru memonyongkan bibirnya lantaran tidak terima. Meskipun status mereka sudah suami istri, namun masih canggung bagi Rinjani untuk mengucapkan panggilan-panggilan sayang. Alasan pertama karena Rinjani memang belum menaruh hati sepenuhnya yang kedua karena bagi seorang amatir dalam hal asmara seperti Rinjani, hal-hal semacam panggilan sayang terkesan berlebihan.
"Tapi, itu aneh. Aku tidak terbiasa," ucap Rinjani
"Biasakanlah kalau kamu serius dengan penyesalanmu."
"Baiklah, Sayang." Akhirnya Rinjani mengangguk pasrah karena kemarin dia memang bersalah, untung saja Senja tidak memaksanya kemarin. Senja tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Rinjani tidak tahu bahwa suami tampannya itu sedang menyusun rencana balas dendam karena dirinya tidak bisa tidur semalaman.
***
Senja memarkir mobil dan membawa keperluan mereka, sedangkan Rinjani mengekorinya. Mereka terburu-buru masuk karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Senja dan Rinjani ikut serta dalam antrean check in. Mereka segera menyiapkan boarding pass.
"Ada apa?" Senja menoleh ke arah Rinjani yang terlihat tegang setelah duduk di kursi pesawat. Bagaimana tidak? Ini penerbangan pertama bagi Rinjani sekaligus perjalanan pertamanya ke negara lain. Perjalanan pertamanya dengan lawan jenis selain ayahnya dan pemuda itu merupakan suaminya.
"Aku takut, ini perjalanan pertamaku, apakah naik pesawat itu mengerikan?" tanya Rinjani. Sebelum Senja menjawab pertanyaannya, suara pramugari terdengar dari pengeras suara, memperingatkan bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas jadi, seluruh penumpang diperkenankan untuk mengenakan sabuk pengaman dan duduk dengan tenang.
"Tenang, pegang tanganku! Hanya ada guncangan kecil," ucap Senja sembari memasangkan sabuk pengaman dan menggenggam tangan istrinya. Dia menatap istrinya yang terlihat tegang, mengusap punggung tangan wanitanya sembari memamerkan senyuman menawan. Tidak lama kemudian pesawat lepas landas, menyebabkan guncangan kecil yang cukup menakutkan bagi Rinjani. Rinjani meremas tangan Senja sambil memejamkan mata, takut bila pesawat gagal lepas landas dan kembali ke permukaan tanah.
Pesawat yang mereka tumpangi sudah berhasil mengudara, cuaca siang hari cukup cerah sehingga tidak banyak bentukan awan yang dapat menimbulkan guncangan. Bila mengenai awan, pesawat akan terguncang seperti mengendarai mobil di jalan berbatu. Rinjani mulai membuka matanya dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Senja yang meringis karena ia meremas tangan suaminya itu sangat kuat.
"Maaf." Rinjani melepaskan pegangan tangannya dan mengusap tangan Senja yang memerah. Senja tersenyum sembari menangkup wajah istrinya dan memandangi paras cantik di hadapannya.
"Aku punya cara untuk membuatmu lebih tenang dan nyaman," ucap Senja. Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke arah kening Rinjani dan mengecupnya dengan lembut. Senja mengusap puncak kepala wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu. Ia menyandarkan kepala Rinjani di pundaknya dan menyuruh wanita itu untuk tidur agar perjalanannya tidak terasa.
***
Setelah satu setengah jam perjalanan, mereka harus transit terlebih dahulu di Bandara Soekarno-Hatta selama 9 jam lamanya. Senja membangunkan Rinjani yang masih terlelap di bahunya. "Sudah sampai?" tanya Rinjani, polos. Senja mengusap lembut pipi wanita di sampingnya itu sembari menggelengkan kepala.
"Transit 9 jam di Tangerang, sayang. Kamu lapar?" Senja meraih tangan Rinjani dan menggandengnya keluar dari badan pesawat. Perutnya sudah lapar karena mereka belum sempat makan apa pun tadi. Rinjani mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya matahari yang masih terik menyinari Jakarta siang itu. Dia berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya setelah duduk di pesawat untuk pertama kali dalam 25 tahun hidupnya.
"Berapa lama penerbangan untuk sampai ke Jepang?" Rinjani melihat sekelilingnya, bandara itu seperti lautan manusia yang sibuk hilir mudik membuat matanya lelah. Senja tertawa melihat wanitanya yang terlihat jelas tidak menyukai perjalanan udara. Mereka melangkah menuju sebuah restoran di Bandara.
Rinjani menyantap makanannya penuh semangat, dalam waktu 10 menit seluruh makanan yang tersaji tandas tak tersisa. Tenaganya pulih kembali, masih ada 8 jam tersisa. "Dari sini kita tiba di Bandara Narita kurang lebih tujuh jam, jadi besok kita baru tiba di sana," ucap Senja.
Hari sudah mulai sore, Senja dan Rinjani memutuskan untuk berkeliling daerah sekitar, mengisi waktu luang. Mereka mengisi waktu sore itu untuk saling mengenal, Senja yang mendominasi percakapan. Ia selalu membuka pembicaraan dengan pertanyaan seputar makanan kesukaan, warna, hingga hobi yang digemari Rinjani. Terkadang Senja membuat lelucon supaya wanitanya tak bosan. Apabila Senja terdiam, giliran Rinjani yang bertanya mengenai pribadi Senja, terkadang dia juga menceritakan mengenai pekerjaan dan impiannya. Rinjani merupakan sosok yang ceria, tidak sulit baginya membuka hati dan berbagi kisah dengan orang di sekitarnya, hal itu yang membuat Senja ingin memilikinya.
Rembulan sudah bersinar sempurna, mereka memutuskan untuk kembali ke Bandara setelah makan malam. Sekarang pukul delapan, satu jam lagi pesawat yang mereka tumpangi akan lepas landas menuju Negeri Sakura. Ada perasaan senang sekaligus waswas yang terpancar jelas melalui sorot mata Rinjani. Senang karena ia akan mengunjungi negeri impiannya, waswas karena ia akan dibawa terbang kembali mempertaruhkan nyawa. Mengingat risiko kematian yang tinggi akibat kecelakaan pesawat.
Rinjani dan Senja sudah berada di dalam pesawat, mereka memasang sabuk pengaman dan duduk senyaman mungkin karena pesawat akan lepas landas. Suara pramugari yang indah dan lembut memberi peringatan bahwa pesawat bersiap lepas landas. Rinjani sudah lebih tenang, tubuhnya tidak setegang saat di Juanda. Saat pesawat sudah mengudara dengan stabil, para pramugari menawarkan makanan dan minuman kepada penumpang. Malam semakin larut, mereka baru tiba di Tokyo esok pagi, Senja kali ini yang menyandarkan kepalanya di bahu Rinjani. Rinjani tersenyum melihat pemuda yang baru saja menjadi suaminya itu memiliki sisi lembut juga. Tanpa terasa akhirnya mereka pun terlelap bersama.
***
Pesawat berhasil mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Narita setelah tujuh jam mengudara. Rinjani terlihat berpuluh-puluh kali lipat lebih semangat, bahkan ia bergegas keluar saat pramugari mempersilakan penumpang ke luar. Saat ini Jepang sedang mengalami musim semi, meskipun musim sakura sudah berlalu, ketika mereka datang di sepanjang jalan terhampar elok pemandangan bunga Azalea yang bermekaran.
Musim semi memang menjadi waktu terbaik bagi siapa pun yang ingin menghabiskan waktu berlibur di Jepang. Meskipun Senja dan Rinjani tertinggal musim sakura, tapi Senja sudah menyiapkan tiket untuk festival Fuji Shibazakura, Great Wisteria Festival di taman bunga Ashikaga dan Bunkyo Azalea Festival di Kuil Nezu, Tokyo. Karena selama di Jepang mereka akan menginap di Tokyo, yang akan menjadi destinasi pertama mereka adalah Kuil Nezu. Rinjani begitu bersemangat membaca jadwal yang telah mereka susun selama di Jepang, andai tubuh mereka tak lelah dan Rinjani tidak mengalami jetlag, mungkin saat ini ia akan memaksa Senja untuk mengajaknya ke Kuil. Tapi hati, pikiran dan tubuhnya sedang tidak bekerja sama. Saat ini saja kakinya sudah kebas dan hampir jatuh apabila Senja tak menopangnya, jika saja antar negara dapat ditempuh dengan perjalanan darat.
Senja memutuskan untuk istirahat terlebih dulu di hotel yang sudah dipesannya sejak lama. Ia tahu Rinjani sudah tidak sabar berkeliling Jepang, namun wanitanya itu terlihat kurang sehat akibat jetlag selama perjalanan. Resepsionis membawakan barang mereka, sedangkan Senja menggendong Rinjani yang tertidur saat di taksi menuju hotel. Ia memperhatikan wajah Rinjani yang terlelap, begitu damai dan indah. Bulu mata lentik, bibir ranum, hidung mancung dan kulit langsat muda membuat wajah itu bisa dinilai dalam kontes kecantikan Asia.
Senja merebahkan diri di samping Rinjani yang sudah terlelap, ia membelai lembut wajah permaisurinya itu, menyingkirkan anak rambut Rinjani yang menutupi wajahnya. Senja mendekatkan tubuhnya, menghirup aroma vanila lembut dari tubuh istrinya. Aroma itu selalu membuatnya mabuk kepayang, membuat dirinya ingin segera memiliki wanita itu seutuhnya, menembus benteng pertahanan terakhir wanita itu dan lebur bersama penuh kenikmatan. Sial. Membayangkan saja sudah membuat bagian dirinya terbangun, ia selalu kehilangan kendali saat berada di dekat Rinjani. Bahkan jauh sebelum mereka menikah. Sekarang status mereka sudah sah, anggota tubuh dan pikirannya jelas mengerti hal itu. Mereka bersatu, sepakat untuk melakukan serangan dan ingin merasakan euforia yang selama ini mereka tahan. Meskipun hatinya berkata lain.
"Kita di mana?" Rinjani menggeliat dan mengerjap-kerjapkan matanya mengatur intensitas cahaya yang diterima indra penglihatannya. Ia terbangun dan menatap bingung suaminya yang tengah tersenyum sambil mengusap lembut puncak kepalanya.
Cup ... .
Rinjani masih berusaha mengumpulkan kesadarannya saat Senja mencuri sebuah kecupan dari bibirnya. Suaminya itu tersenyum jahil ke arahnya yang mengusap bibir tidak terima. Ia hendak memaki sang suami, tapi justru ia mendapat serangan lagi. Suaminya yang usil itu menciumnya kembali, bukan lagi sebuah kecupan melainkan ciuman yang dalam dan memabukkan. Entah setan dari mana hingga Rinjani ikut terlarut dan membalas pagutan-pagutan itu sampai membuat Senja sedikit terkesiap. Apakah istrinya memberikan lampu hijau? Ia mencoba peruntungannya. Senja mulai menyentuh bagian-bagian sensitif yang mampu meningkatkan gairah wanitanya, menuntun wanitanya untuk menyerahkan diri tanpa melepas ciumannya. Rinjani mendorong tubuhnya, pelan. Wanitanya kehabisan pasokan oksigen.
Senja tak mau memberi jeda, melihat Rinjani yang sudah terbuai tanpa perlawanan ia kembali mencoba memberi sensasi lain. Ia menciumi leher jenjang aroma vanila milik Rinjani. Wanita itu melenguh, kehilangan kendali atas dirinya. Ini adalah pengalaman pertamanya, ia benar-benar hanyut dalam pesona Senja hingga tak mampu berbuat apa-apa. Saat mereka hampir tiba dipuncak permainan dan Senja sudah siap dengan manuvernya, Rinjani malah menghentikan aksinya. Istri cantiknya itu tiba-tiba mendorong tubuhnya dan terduduk.
"Tunggu!" ucap Rinjani, tiba-tiba. Senja rasanya ingin meledak, ia jengkel sekali. Sudah hampir, kurang sedikit lagi dia benar-benar menikmati tubuh indah Rinjani tapi semuanya kandas begitu saja. Ia berusaha mengendalikan emosinya dan mengendalikan bagian tubuhnya yang sudah merongrong menginginkan kehangatan wanita.
"Ada apa sayang? Kamu belum siap?" tanyanya berusaha setenang dan selembut mungkin. Ia tidak ingin membuat wanitanya marah dan benar-benar tidak memberikan apa yang ia inginkan.
"Ehm ..., maaf bukan begitu. Kata orang-orang setelah kita melakukan itu, rasanya akan sakit karena baru pertama kali."
"Lalu?"
"Nanti sore kan kita mau mengunjungi Kuil, kalau aku tidak bisa berjalan karena sakit bagaimana?" tanya Rinjani dengan wajah polosnya yang seperti peri di buku dongeng. Bagaimana Senja mampu marah dengan istri cantiknya yang begitu menggemaskan ini? Seketika gelak tawa Senja terdengar, membahana mengisi ruang kamar VIP itu. Ia memang kesal karena aksinya gagal, tapi rasa kesal itu menguap seketika berganti rasa syukur karena mendapat gadis baik dan polos seperti Rinjani.
"Aku akan menggendongmu ke mana pun kamu mau," ucapnya sembari mengecup dahi istrinya.
"Tapi kan tidak nyaman. Nanti malam ya, aku janji! Besok pagi kita tidak usah pergi, waktu kita kan satu minggu di sini. Hari ini hari terakhir Festival di kuil, aku sungguh ingin melihat Azalea, berlarian ke sana ke mari melihat pemandangan, bukan digendong."
Kali ini Senja menyerah pasrah, ia harus lebih sabar menghadapi Rinjani. Wanita ini tidak mudah mengalah jika memiliki keinginan. Akhirnya Senja mengangguk lantas menutupi seluruh tubuh mereka dengan selimut dan membaringkan tubuh Rinjani, menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.
"Sekarang kita tidur dulu, ya! Ada yang marah karena kamu menggagalkan misinya, kamu nanti harus menenangkannya," ucap Senja.
Rinjani memang polos, tapi ia bukan anak SD yang tak mengerti maksud dari ucapan suaminya. Ia mengangguk menuruti suaminya meskipun sejujurnya ia sendiri belum yakin untuk menyerahkan diri pada Senja. Senja memang suaminya, dia sendiri menyetujui hal itu, tapi entah kenapa hatinya belum yakin. Meskipun tubuhnya dan pikirannya dapat dikendalikan Senja dengan mudah, tapi rasa gusar di hatinya lebih menang kali ini. Entah nanti.
***
Seperti yang sudah direncanakan, sore ini mereka mengunjungi Bunkyo Azalea Festival di Kuil Nezu. Rinjani mengenakan gaun selutut berwarna ceria karena ini musim semi yang ceria dan hangat. Sore itu tidak terlalu panas, udara di kuil sungguh sejuk. Azalea terhampar sepanjang mata memandang.
Seperti wanita pada umumnya, Rinjani mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Sesekali diam-diam ia mengambil potret Senja di antara pohon bunga Azalea dan pancaran sinar matahari sore yang hangat menghasilkan sebuah siluet yang epik. Ia juga meminta Senja mengambil gambar dirinya yang bergaya di antara bunga Azalea saat tidak ada pengunjung yang melintas.
"Sudah puas, Nona?" tanya Senja yang melihat Rinjani begitu semringah melihat hasil foto mereka. Rinjani mengangguk penuh semangat, ia sibuk membuat kata-kata indah untuk deskripsi gambarnya. Saat asyik memilih foto perutnya berbunyi cukup keras, hingga Senja yang ada di sampingnya tertawa geli.
"Aku lapar, kamu jangan menertawakan. Wanita itu spesies menyeramkan ditambah saat mereka lapar, aku bisa saja memakanmu!" ucap Rinjani, berang. Suaminya ini selalu saja usil dan membuatnya kesal bercampur malu.
Malam itu mereka memutuskan untuk makan sushi, makanan khas negara itu yang sangat terkenal. Setelah makan mereka berkeliling sebentar untuk menikmati suasana malam di Tokyo. Rinjani begitu takjub dengan hiruk pikuk kota itu. Selama ini baginya Surabaya sudah ramai dan penuh sesak, nyatanya mobilitas penduduk di Tokyo jauh lebih tinggi dari pada tanah kelahirannya itu. Hanya saja, masyarakat Jepang lebih suka perjalanan kaki atau menaiki transportasi umum dari pada menggunakan kendaraan pribadi. Bertolak belakang dengan masyarakat pribumi yang lebih suka mengendarai mobil pribadi meskipun penumpangnya hanya satu orang, seperti dirinya sendiri tempo hari.
"Senja ..," lirihnya pada Senja yang berjalan di sampingnya. Pemuda itu langsung berbalik menatapnya.
"Ada apa, Sayang?"
"Nanti, sepulang kita dari tempat ini kalau kamu tidak bisa mengantar atau menjemputku lebih baik aku naik angkutan umum saja," ucapnya. Malam ini dirinya tertampar, sebagai wanita dengan pendidikan tinggi tidak seharusnya dia melakukan hal yang merugikan alam dan lingkungan hidupnya. Berapa banyak polutan yang ditimbulkan kendaraan bermotor jika seluruh manusia egois dan konsumtif. Selama ini dia dan orang-orang di sekelilingnya telah dibutakan dan menjadi kaum hedonis. Sedangkan negeri para pencipta justru dipenuhi manusia yang lebih toleran terhadap lingkungan.
"Kita punya Theo, Sayang. Apa kamu lupa?" Theo adalah asisten pribadi Senja sekaligus satu-satunya orang selain dirinya yang berada di sekitar Senja. Suaminya ini sungguh misterius karena di rumah semegah itu ia hanya tinggal berdua dengan Theo tanpa pembantu rumah tangga.
Malam semakin larut. Senja memutuskan untuk segera kembali ke hotel sebelum Rinjani kelelahan atau mengantuk. Dia tidak rela jika istrinya itu menghindar lagi dan lagi. Malam ini bagaimana pun caranya ia harus bisa memuaskan hasrat yang sudah ia pendam sejak lama.
***
Senja dan Rinjani sudah tiba di suite room hotel mereka. Rinjani tahu betul mengapa suaminya itu buru-buru mengajaknya pulang padahal masih jam delapan malam di Jepang. Sejujurnya Rinjani juga menginginkan hal itu, apalagi sentuhan dan perlakuan Senja yang begitu halus mampu memabukkannya. Menghempaskan seluruh akal sehatnya, memikirkan otot perut di balik kaos Senja saja sudah membuatnya susah payah menelan saliva. Tapi, di satu sisi ia masih takut. Takut dan ragu untuk memenuhi kewajibannya. Ia masih belum mengenal benar siapa suaminya, waktu perkenalan mereka terlalu singkat tapi, Senja selalu saja mengatakan bahwa lebih baik mereka segera menikah supaya dirinya dapat melindungi Rinjani. Soal perkenalan, itu semua dapat dilakukan setelah menikah.
"Sayang, kamu tidak lupa janjimu, kan?" Senja mencolek-colek perut Rinjani yang pura-pura memejamkan matanya. Jantung Rinjani rasanya seperti mau copot, suaminya yang sudah berganti pakaian dan sekarang bertelanjang dada ikut rebahan di sampingnya. Bau parfum maskulin dari tubuh itu mampu menggelitik hidungnya dan mengendalikan saraf-sarafnya. Rinjani segera bangun dan menggeleng-gelengkan kepala, kewarasannya sudah benar-benar hilang hanya karena pesona Senja.
Rinjani berjalan cepat menuju kamar mandi hendak berganti pakaian, tapi gerakannya dengan mudah terbaca oleh Senja. Senja tidak tinggal diam, ia segera mengangkat tubuh mungil istrinya dan menghempaskannya ke ranjang. "Mau kabur?" tanyanya.
Rinjani hanya bisa pasrah, ia diam karena kikuk, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya untuk menyelamatkan diri dari suaminya yang super tampan itu. Belum tuntas ia berpikir, Senja sudah lebih dulu bereksplorasi pada setiap inci tubuhnya, membuatnya menggelinjang karena desiran aneh dalam dirinya. Senja menghentikan aksinya dan menatap manik mata wanitanya itu lekat-lekat. Mata itu dipenuhi kabut gairah, sama seperti dengannya. Lantas, Senja tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia membantu Rinjani melucuti pakaian dan memberi kenyamanan pada wanitanya itu. Sungguh ia terpukau dengan setiap inci tubuh yang terpahat sempurna di hadapannya, apalagi aroma vanila yang manis dan begitu menggugah selera. Senja seolah dihadapkan pada es krim vanila yang siap meleleh di mulutnya.
"Kamu yakin? Kalau kamu belum siap katakan sekarang!" Senja mencium puncak kepala wanitanya yang sudah terkulai pasrah, terbuai gairah. Sedangkan Rinjani hanya mengangguk, memberi persetujuan. Ia tidak mampu berkata-kata karena tubuhnya sudah hilang kendali.
Senja kembali menciumpuncak kepala istrinya, beralih ke dahi kemudian kedua mata Rinjani danterakhir bibir ranum wanita itu. Malam itu akan menjadi malam panjang yang takterlupakan terutama bagi Rinjani. Senja telah menerobos pertahanan terakhirnyadan kini dirinya telah utuh menjadi wanita milik Senja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top