Bab 3

Senja benar-benar membuktikan ucapannya. Pemuda itu dengan telaten mengantar dan menjemput Rinjani, menuruti segala permintaannya, bahkan membuat lelucon untuk menghibur Rinjani saat wanita itu terlarut emosi. Mereka sudah menjalin asmara selama satu bulan, persiapan pernikahan juga sudah selesai. Bulan depan mereka akan melangsungkan pernikahan. Selama satu bulan ini Senja menjadi sosok pemuda yang sempurna, tidak pernah membuat kesalahan dan bila Rinjani membuat kesalahan dia akan memaafkan wanita itu dengan senang hati.
“Halo, Sayang ..., apakah kamu menyukai bunga dariku?” Senja menghampiri Rinjani yang baru keluar dari kantor dengan bouquet bunga pemberiannya. Mendengar suara bariton pemuda yang dicintainya membuat Rinjani tersenyum, meskipun perasaan cinta belum bersemi, tapi kebaikan dan kelembutan Senja sungguh membuatnya terpesona. Senja merentangkan tangan meminta sebuah pelukan, biasanya Rinjani akan melewatinya begitu saja namun kali ini Rinjani membalas pelukannya.
“Anggap saja ini balasan untuk bunga cantik ini, Senja! Kamu belum berhasil menempatinya,” tutur Rinjani sembari menunjuk hatinya, tempat perasaannya bersarang. Senja mengangguk pasrah, Rinjani bukan gadis yang mudah ia luluhkan hatinya.
“Hari ini kita ambil baju yang sudah kita pesan, aku tidak sabar melihat kamu memakainya.”
Rinjani tersenyum melihat Senja yang begitu antusias, ia berharap apa yang dia putuskan tidak akan dia sesali. Pernikahannya dengan Senja membuat orang terdekatnya bahagia. Cinta akan datang dan tumbuh dengan sendirinya, Senja pemuda yang pengertian, penyabar dan dapat diandalkan. Bukan hal sulit untuk mencintainya.
***
“Baju-baju ini sangat cocok dengan paras cantikmu,” ucap sang desainer. Rinjani kembali tersenyum mendengar pujian itu. Ia melihat ke arah Senja yang tak kalah menawan saat mengenakan tuxedo hitam. Dia sangat gagah dengan pakaiannya. Selepas mencoba baju pengantin, mereka mengemas baju-baju tersebut dan membawanya pulang.
Senja mengajak Rinjani makan malam di sebuah restoran ternama sebelum mengantar wanita itu pulang. Sepanjang perjalanan menuju restoran mereka isi dengan pembicaraan seputar kasus yang sedang ditangani Rinjani, masalah-masalah perusahaan Senja. Sesekali Senja menggoda Rinjani yang dibalas tinjuan-tinjuan kecil. Hati Rinjani semakin menghangat, dia belum pernah jatuh cinta sebelumnya, banyak yang mendekatinya tanpa bisa menempati hatinya. Tapi, perasaan berbeda ia rasakan saat bersama Senja. Cinta atau sebatas kekaguman ia belum bisa menentukan perasaannya, yang pasti ada debar dan perasaan hangat yang mulai menjalarinya.
“Rani, setelah menikah kalau kita tinggal di rumahku kamu tidak masalah, kan?” tanya Senja sembari sibuk mengendalikan kemudi. Rinjani hanya tersenyum dan mengangguk karena jujur saja tenaganya sudah habis, dia lapar dan sedang tidak ingin bicara. Untung saja Senja pemuda yang tampan, setidaknya dengan melihat pemuda tampan di hadapannya membuat sedikit penatnya hilang.
“Nanti kamu mau makan apa?” tanya pemuda itu, lagi.
“Apa pun dengan porsi besar. Mencoba baju dan berdebat denganmu sangat melelahkan, tenagaku terkuras. Aku butuh sesuatu yang lezat dan banyak,” jawab Rinjani. Senja tertawa sembari mengelus puncak kepala Rinjani. Tawa pemuda ini, sorot matanya, rahangnya yang kokoh dan tubuhnya yang indah membuat wanita mana pun tak bisa menolak kharismanya. Rinjani memperhatikan dengan saksama sosok sempurna di hadapannya, pemuda ini benar-benar sebuah mahakarya. Dia berharap semoga dengan kehadiran Senja dalam hidupnya ia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia.
Mereka tiba di restoran ternama yang menghidangkan berbagai macam makanan laut. Bau sedap menguar ketika pramusaji membukakan pintu restoran untuk mereka. Senja memilih tempat yang privat karena dia ingin menikmati makan malam berdua dengan calon istrinya. Rinjani memang cantik, namun dia tidak ada bandingannya saat berada di samping Senja. Puluhan pasang mata wanita menatap iri ke arahnya dan menatap kagum ke arah Senja. Astaga! Andai saja tidak ada hukum dan dia bukan ahli hukum, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan mencungkil mata wanita-wanita itu, atau menyiram mereka dengan air putih gratis di meja.
“Rani, ada apa?” Senja menatap Rinjani yang terlihat bersungut-sungut menatap arah lain. Dia tahu, apa yang membuat wanitanya kesal. Senja langsung menggenggam tangan Rinjani, membuat wanita di resto itu bersungut-sungut tak terima, sedangkan Rinjani tertawa pongah penuh kemenangan.
“Sepertinya Nona Rani adalah calon istri pencemburu,” Senja mengucapkan kata-kata untuk meledek Rani yang suasana hatinya sudah membaik. Rani langsung mendelik mendengar ucapan Senja. Apanya yang cemburu? Dirinya hanya tidak suka ada yang menatap remeh hanya karena wanita sepertinya bersama dengan Senja.
“Siapa yang cemburu, percaya diri sekali. Aku hanya tidak suka tatapan menghina yang mereka tujukan padaku.” Rinjani menjawabnya dengan nada ketus.
“Bukan karena mereka menatapku yang terlampau tampan, ini?” goda Senja.
“Cih ..., aku juga cantik, pintar dan mandiri. Tidak kalah hebat dengan Anda, Tuan Senja,” jawab Rinjani yang mulai kesal karena terus saja digoda. Untung saja makanan yang mereka pesan sudah tiba. Satu porsi lobster dan sepiring nasi untuk Rinjani serta satu porsi cumi-cumi dan sepiring nasi untuk Senja.
Mereka menikmati makan malam dan semua hidangan dengan baik. Rinjani lebih memilih diam saat Senja mulai mengusilinya di sela-sela acara santap menyantap. Dia akan memukul tangan Senja saat pemuda itu berusaha mencicip lobsternya atau meminum jus yang dia pesan. Pertengkaran-pertengkaran kecil yang justru menghangatkan meja makan. Sikap menyenangkan yang dimiliki Senja ‘lah yang terus menuntun Rinjani semakin jatuh hati.
***
Setelah acara makan malam kala itu, Senja dan Rinjani tidak bertemu selama satu minggu karena tradisi pingitan yang masih dipercaya keluarga Rinjani. Senja pria sebatang kara, Theo yang akan menjadi walinya. Semua urusan pernikahan sudah ia serahkan kepada wedding organizer dan ibu dari calon istrinya.
Hari ini adalah hari yang dinantikan semua orang, hari pernikahan Rinjani dan Senja yang digelar mewah di sebuah hotel ternama. Senja adalah pengusaha properti yang sukses, sedangkan Rinjani adalah jaksa cantik yang kondang di kota itu. Pernikahan mereka tentu digelar luar biasa untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka pasangan sempurna, bahwa malam ini mereka ‘lah raja dan ratunya.
“Ya ampun, Mbak ..., gila kamu cantik banget!” seru Tari, adiknya yang menatap pantulan dirinya di cermin. Rinjani baru saja selesai di rias. Dia juga sudah mengenakan kebaya putih untuk akad nikah. Ayah dan ibunya pun sudah siap, tinggal menanti kehadiran sang mempelai pria.
“Rani, kamu sudah siap, nduk? Senja dan ayah sudah menantimu bersama penghulu,” ucap ibunya. Rinjani merasakan debar jantungnya semakin tak karuan, sebentar lagi statusnya akan berubah, dari seorang Nona dia akan menjadi Nyonya Bimantara, pengusaha muda yang sukses.
Rinjani berjalan perlahan menuju tengah ruangan di mana acara akad nikah akan digelar, seluruh tamu undangan yang merupakan kolega, sahabat serta keluarga besarnya bersorak dan bertepuk tangan. Ada beberapa tamu yang tidak ia kenal, seperti teman orang tuanya dan rekan bisnis Senja. Pernikahan mereka pun diliput media, karena di luar dugaannya, Senja begitu popular di luar sana.
“Mbak, jangan gemeter gitu jalannya!”
“Hih ..., bawel kamu! Pegangin Mbak yang bener!”
Saat mereka tiba di tengah ruangan, Ayu dan Tari membantu Rinjani duduk di samping Senja dan memakaikan keduanya kerudung putih. Prosesi akad segera dimulai. Senja melafalkan setiap kata dengan mantap dan lancar, hingga saat semua bersorak mengucapkan kata “sah” dan Senja dipersilakan mengecup kening Rinjani yang kini resmi menjadi istrinya. Tangis haru dan tepukan tangan membahana di ballroom gedung bernuansa putih itu. Kedua pengantin digiring, dipersilakan untuk pergantian busana. Selanjutnya adalah acara ‘temu manten’ dengan adat Jawa sesuai permintaan Ayu, ibu dari Rinjani.
“Mbak, Mas kalau mau istirahat dulu tidak apa-apa. 30 menit lagi baru dirias,” ucap asisten perias yang kemudian meninggalkan mereka di kamar hotel.
Selepas kepergian sang asisten, menyisakan Rinjani dan Senja di dalam kamar itu. Rinjani sudah panik dan was-was, statusnya boleh saja berubah, tapi dia masih minim pengalaman dalam cinta. Jangan hal lain yang dilakukan pasangan dewasa, ciuman pertamanya saja diambil paksa sendiri oleh Senja. Dia belum siap apabila Senja menuntut haknya untuk saat ini. Senja yang pintar membaca ekspresi langsung menangkap sinyal kepanikan yang terpancar jelas dari raut wajah dan sorot mata wanita di hadapannya.
“Aduh, gerah ya?” serunya sembari melepas satu persatu kancing beskap putih yang ia kenakan saat prosesi adat tadi. Senja menanggalkan semua pakaiannya hingga menampakkan pemandangan otot perutnya yang memesona. Rinjani semakin salah tingkah saat Senja menatapnya sambil terus berjalan mendekat.
“Senja ..., apa yang kamu inginkan?” tanya Rinjani yang sudah tersudut hingga tersudut ke tepian ranjang. Senja tidak menjawab pertanyaannya, ia justru tersenyum miring dan makin mendekat. Saat jarak di antara mereka semakin terkikis, Rinjani memutuskan untuk pasrah dan menutup matanya. Sungguh jantungnya berdebar tak karuan seperti saat lari maraton,  aroma tubuh Senja yang begitu maskulin membuatnya mabuk kepayang seperti ada ribuan kepak sayap kupu-kupu dalam perutnya, sangat menggelitik. Saat nyalinya semakin ciut, tiba-tiba ia mendengar suara gelak tawa Senja. Ya. Senja sedang menggodanya, pemuda itu sudah membuatnya malu. Rinjani yang kesal setengah mati akhirnya berdiri hendak melangkah berganti pakaian, tapi tangan kokoh Senja tiba-tiba menariknya dan memeluk tubuh mungilnya dari belakang. Kali ini bukan hanya lari maraton, tapi ada ribuan kuda yang berlari di jantungnya.
“Tidak perlu memaksakan diri dan takut, aku tidak akan berbuat macam-macam tanpa persetujuanmu. Membuatmu memerah seperti ini saja sudah membuatku senang dan memberiku kesadaran bahwa aku sudah jatuh dalam pesonamu, Sayang,” ucap Senja sembari mengecup lembut bahu Rinjani, kemudian beralih ke leher jenjang wanita itu. Apa yang baru saja dia katakan? Dia bilang tak akan berbuat macam-macam, sekarang apa? Tubuh Rinjani semakin menegang, ia merasakan jantungnya akan meletup bila pemuda ini terus saja menyentuhnya. Rinjani kehilangan keberanian dan kekuatannya, ia terperdaya oleh pesona pemuda yang telah sah menjadi suaminya.
“Astaga! Bernapas lah Sayangku!” seru Senja sembari membalik tubuh Rinjani yang membatu, “apa aku membuatmu takut?” tanya pemuda itu. Rinjani hanya menggeleng, ia tidak berani menatap Senja apalagi mengeluarkan suara. 
“Aku ..., aku mau ganti pakaian dulu,” ucap Rinjani yang masih saja membuang muka. Apa Senja tidak mengerti juga bahwa Rinjani bisa saja terkena serangan jantung bila harus menatapnya saat ini? Hanya melihat ujung sepatunya saja Rinjani sudah gemetar apalagi melihat mata pemuda itu.
“Perlu aku bantu, Sayang?” tawar Senja.
“Tidak, tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri,” jawab Rinjani. Senja masih belum melepaskan tubuh wanitanya yang semakin gemetar, baginya ini adalah momen menyenangkan. Menggoda istrinya yang cantik lebih seru ketimbang wanita mana pun yang pernah hadir di hidupnya. Senja tak cukup puas, ia mengangkat wajah Rinjani hingga mata mereka bertemu. Bibir ranum Rinjani sungguh menggoda, terakhir kali ia mencobanya adalah saat kedua kali mereka bertemu. Bibir itu sungguh manis, membuatnya menjadi candu. Melihatnya dari jarak sedekat ini sungguh membuatnya hilang akal. Senja kembali mengeratkan rengkuhannya, ia menatap Rinjani, memohon untuk diizinkan mencicipi bibir ranum itu sekarang juga.
Rinjani yang diam tanpa perlawanan sama halnya memberi lampu hijau tak kasat mata pada suaminya. Jarak di antara mereka semakin menipis, Rinjani menutup matanya saat dia merasakan napas Senja, hangat menerpa wajahnya. Senja menyapu bibir ranum itu dengan ibu jarinya, kemudian secara perlahan tugas itu tergantikan oleh bibirnya. Bibir ranum itu sungguh manis dan memabukkan, mulai detik ini ia akan menjadi candunya. Rinjani bukan wanita yang mahir dalam percintaan, apalagi sampai hal seintim ini. Senja menuntunnya dengan lembut dan membuatnya turut serta menikmati permainan, hingga suara ketukan pintu kamar terdengar.
Rinjani buru-buru melepaskan diri, mukanya merah padam menahan malu. “Aku mau ganti baju dulu,” ucapnya sembari melangkah masuk kamar mandi. Ia malu menatap Senja apalagi kalau sampai ada orang lain yang tahu. Dia bisa menjadi bahan lelucon keluarganya atau pun sasaran kejahilan Senja.
Di lain sisi, Senja merasa kesal karena harus menghentikan aktivitas menyenangkan bersama istrinya. Rasa penasarannya belum terpuaskan saat kabut gairah sudah menutup mata dan pikirannya, seseorang datang mengganggu lantas memaksanya memadamkan api gairah yang membara karena sasarannya kabur. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Memang sang penata rias sudah berdiri berkacak pinggang, sepertinya pria setengah wanita itu sudah menunggu lama.
“Aduh ganteng, ke mana saja? Lagi ehm ..., ehm ..., ya sama istrinya? Buka pintu lama banget, Saya jamuran nungguin di luar,” ucap pria itu sembari berjalan masuk. “Pengantin wanitanya mana?” tanyanya.
“Istri saya di kamar mandi, silakan menunggu sebentar.” Senja mengenakan pakaian adat untuk prosesi temu manten dibantu asisten penata rias. Pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan Rinjani yang hanya mengenakan gaun tidur. Senja terperanjat melihat pemandangan itu. Siapa yang menyuruh istrinya mengenakan pakaian seperti itu di depan para perias?
“Nah, ini dia pengantinnya. Kita dandani dulu kamu, setelah itu ganti baju. Terima kasih sudah mengikuti instruksi saya untuk mengenakan gaun tidur ini, jadi nanti mereka bisa dengan mudah memasangkan baju adat. Ibumu kan minta supaya baju adatnya paes ageng basahan, jadi bahu kamu akan terekspos nantinya! Jangan pakai beha yang ada talinya begini!” seru si perias sembari menarik tali beha yang dikenakan Rinjani. Rinjani sungguh malu, apalagi di ruangan itu ada Senja yang sedari tadi menatapnya lekat-lekat seolah mengulitinya.
“Mas, sabar dulu ya! Saya tahu kok Mas lagi nahan, hehehe ...,” ucap seorang asisten perias yang tengah memasangkan jarit kepada Senja. Bagaimana bisa sabar, istrinya yang sungguh menggoda berdiri tepat di hadapannya dan sedang disentuh laki-laki lain meskipun laki-laki itu seorang waria.
Akhirnya perias waria itu mulai merias Rinjani, tangannya seperti tangan midas. Rinjani yang memang sudah cantik disulap menjadi berkali-kali lebih cantik, sungguh indah. Setelah bagian wajah selesai, si perias dengan gemulai menyanggul rambut panjang Rinjani. Di sampingnya, Senja juga sudah selesai dirias, bahkan sudah siap dengan pakaian adat lengkap, terlihat semakin gagah dan memesona.
Para asisten perias membantu Rinjani mengenakan pakaian di kamar mandi, beberapa menit kemudian Rinjani sudah siap mengenakan pakaian adat lengkap dengan rangkaian bunga melati dan mawar merah. Senja mengacungkan dua jempol ke arah istrinya yang terlihat kurang percaya diri.
“Pengantin wanitanya sudah siap, tapi ada yang kurang pas,” ucap sang perias. Dia berjalan melenggak-lenggok ke arah Rinjani yang mematung. Perias itu menyerahkan dua buah silikon kepada asisten perias lantas berkata, “buah dadanya terlaku kecil, pasangkan itu!”
Sebelum sempat menyerahkan buah dada palsu pada asistennya, Senja buru-buru berdiri dan meraih benda itu. Dia menarik kerah sang penata rias dengan kasar. Sejak tadi dia sudah geram melihat kelakuan penata rias yang terus berkomentar buruk dan menyentuh bagian tubuh istrinya. Senja membuka pintu kamar dan berkata, “tugas Anda selesai, kalau Anda tidak ingin tubuh Anda remuk, sebaiknya keluar! Perlu Anda tahu! Bagi Saya tubuhnya sudah sangat sempurna, tidak ada yang kurang semua pas.” Senja segera memerintahkan asisten perias untuk menggantikan posisi perias cerewet itu. Rinjani menghampiri Senja yang masih bersungut-sungut, mereka harus menunggu asisten perias menyiapkan prosesi selanjutnya.
“Kenapa semarah itu?” Rinjani menepuk-nepuk pundak suaminya untuk memberi ketenangan.
“Bagaimana tidak marah? Mulutnya itu terlampau cerewet, apanya yang kurang besar? Itu sudah cukup besar bagiku, dia sengaja ingin membuatmu jadi tontonan tamu undangan,” ucap Senja. Rinjani justru tertawa mendengar jawaban Senja. Dia tidak habis pikir bahwa suaminya itu bisa jengkel hanya karena seseorang mengkritik dirinya.
***
Prosesi temu manten berjalan dengan begitu hikmat. Rinjani dan Senja terlihat seperti Ratih dan Kamajaya pada pewayangan. Mereka melakukan sungkem pada kedua orang tua Rinjani, kemudian Theo yang menjadi wali dari Senja. Saat prosesi tersebut berlangsung Rinjani dapat melihat gurat kesedihan di mata suaminya. Seusainya prosesi, mereka menyalami tamu undangan yang datang mengucapkan selamat kepada mereka.
“Senja, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani. Senja hanya tersenyum, tak seceria biasanya. Rinjani menduga, mungkin saja pemuda itu sedang merindukan orang tuanya. Saat tamu yang menyalami mereka tidak ada, Rinjani mencoba menenangkan suaminya dengan menggenggam tangan itu, mencoba menyalurkan kehangatan.
Malam itu, adalah malam paling bersejarah dalam hidup mereka. Sebentar lagi dunia yang sebenarnya akan mereka hadapi bersama, pahit dan manis akan ditanggung berdua, suka atau pun duka akan dilalui juga. Senja membalas perlakuan hangat istrinya dengan merangkul bahu wanita itu.
“Kenapa sih Ibu pakai acara adat paes ageng basahan begini? Aku gak rela ya, istriku jadi tontonan,” ucap Senja.
“Ini cita-cita Ibu yang nggak kesampaian, dulu Ibu terlalu kurus kering jadi tulang belulangnya bisa terlihat,” jawab Rinjani seadanya. Senja tertawa lepas, ternyata sekarang Rinjani juga bisa menghiburnya.
Malam itu tamu yang datang cukup banyak, Senja dan Rinjani beberapa kali berganti pakaian masih dalam adat Jawa sesuai permintaan Ayu. Semua yang hadir malam itu bersuka cita, larut dalam ueforia pesta. Tapi ada sepasang mata yang terus was-was mengintai mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top