Bab 2
Rinjani di bawa ke sebuah rumah mewah yang jauh dari kota. Rumah itu memiliki desain bak istana raja. Ia sangat yakin bahwa pemilik rumah ini pasti seseorang yang kaya raya. “Ini rumah siapa?” Rinjani membuka suara.
“Salah satu rumahku yang akan menjadi milikmu,” jawab pemuda tampan yang baru saja melamarnya. Pemuda ini bisa dibilang memenuhi semua kriteria dan harapannya. Tampan dan mapan. Tapi, mengingat apa yang baru saja terjadi di antara mereka, Rinjani mengurungkan niatnya untuk menerima lamaran tersebut.
Mereka melewati halaman depan yang begitu megah, kemudian masuk di bangunan utama beraksen Eropa klasik dengan lukisan-lukisan abstrak. Rinjani tidak berhenti menatap dan mengagumi sekelilingnya, bagaimana mungkin di rumah sebesar ini tidak ada seorang pun? Siapa sebenarnya pemuda di hadapannya ini?
“Jadi, soal tawaranku tadi. Aku butuh bantuanmu, menikahlah denganku. Kamu akan mendapat suami kaya, tampan dan penuh pesona seperti aku,” ucap pemuda itu penuh percaya diri. Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar, dia kaya, tampan dan penuh pesona. Tidak ada wanita yang mampu menolak pesonanya. Tapi, hal mustahil bagi Rinjani untuk menerima pemuda itu saat ini. Tidak ada cinta dan mereka baru saja kenal, bahkan nama pemuda itu saja dia tidak tahu.
“Bagaimana mungkin? Kita baru saja kenal, saya tidak mencintai Anda dan saya yakin bahwa Anda tidak mencintai saya,” jawab Rinjani. Hidupnya bukan drama, bagaimana mungkin dia mempertaruhkan masa depannya dengan permintaan konyol dari pemuda super tampan yang baru saja ia kenal.
“Cinta akan tumbuh dengan sendirinya, apa kamu sudah memiliki kekasih? Atau seseorang yang kamu cintai? Atau mungkin kamu penyuka sesama jenis?” ucap pemuda itu, menjejalinya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Rinjani menggelengkan kepala. Semua pertanyaan pemuda itu bukanlah alasan Rinjani takut menerimanya. Alasannya murni karena mereka baru saja saling kenal. Mungkin kalau tawaran pemuda ini untuk menjadi kekasih bukan istri, Rinjani dengan senang hati menerimanya.
“Terlalu cepat untuk menikah, kita baru kemarin sore bertemu, bahkan kita belum saling mengenal. Saya saja tidak tahu nama Anda,” ucap Rani. Pemuda itu malah tertawa mendengar penuturan Rani. Ia selalu tertawa mendengar cicitan Rani maupun ekspresi wanita itu.
“Baiklah, beri aku waktu satu minggu. Aku akan membuat kamu jatuh cinta, kalau kamu tidak bisa mencintaiku, kamu bisa pergi. Namaku Senja, kamu salah kalau mengira aku belum mengenalmu. Aku tahu kamu, Rani. Aku tahu orang tuamu, adikmu, semua tentang kamu.”
Rani terdiam, seberapa banyak Senja tahu tentang dirinya? Bahkan Senja tahu nama kecilnya. Sebenarnya siapa Senja? Apa dia bagian dari masa lalu? Atau Senja memang sengaja mencari tahu tentang dirinya? Pertanyaan itu berkecamuk di benak Rinjani. Pesona Senja begitu kuat, sulit bagi Rinjani untuk menolak tawaran itu, tapi menyanggupinya sama saja dengan menggadaikan masa depan.
“Karena kamu diam cukup lama, aku anggap kamu setuju.”
***
Setelah perbincangan itu, Senja memutuskan untuk mengantar Rinjani ke kantor. Mobil putih milik Rinjani sudah terparkir di depan gedung kejaksaan dengan rapi. Senja si pemuda sejuta pesona melambaikan tangan kepada Rinjani. Hari ini status lajang seorang Rinjani berakhir, kini dia wanita dengan seorang kekasih super tampan. Rinjani berjalan ke ruangannya, hari ini sudah terjadwal beberapa orang yang harus dia periksa. Ada puluhan kasus baru yang juga menunggu untuk ditanganinya, karena kriminalitas semakin meningkat akhir-akhir ini.
Ada hal yang mengganggu pikirannya, apabila Senja tahu alasannya menolak lamaran itu, lantas apa alasan pemuda itu melamarnya. Tidak mungkin cinta pandangan pertama. Nanti, dia harus menghubungi pemuda itu dan meminta penjelasan.
“Nona muda,” seseorang memanggilnya dengan sebutan yang tidak biasa. Tidak ada wanita lain di koridor, lantas apakah dirinya kini menjadi ‘nona muda’ itu? Rinjani membalikkan badan dan mendapati pria paruh baya yang tadi membantu Senja mengemudikan mobilnya. “Ini kunci mobil Anda. Jika Nona perlu bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi saya. Nama saya Theo, saya orang kepercayaan Tuan Senja,” ucap pria itu, penuh hormat. Tidak ada yang pernah berbicara seformal itu kepada Rani sekalipun itu koleganya.
“Terima kasih, Tuan Theo. Panggil saja saya Rani,” ucap Rani sembari mengulurkan tangan pada Theo. Theo pun terkesan, betapa baik wanita yang dipilih majikannya.
“Kalau begitu jangan panggil saya, Tuan. Cukup Theo atau Paman Theo,” balas pria paruh baya itu sembari menjabat tangan pertanda sepakat. Rani mengangguk senang atas keramahan pria itu.
Sisa hari digunakan Rani untuk menyelesaikan pekerjaan kantor, dia tidak mau ibu dan adiknya berceramah lagi karena dia membawa pekerjaan ke rumah. Ada banyak konsultasi dan masalah baru yang harus dia tangani secepat mungkin. Tanpa Rani sadari, jam menunjukkan pukul lima. Tiba saat jam pulang, Rani bergegas mengemasi barangnya sebelum jalanan kembali dipenuhi kendaraan yang menyebabkan kemacetan. Sore itu, Rani berencana memilih rute yang berbeda. Rani masuk mobil dan mulai mengendarai kereta besi itu tanpa menyadari ada yang mengikutinya.
Sore itu, rute yang Rani pilih memang tepat. Dalam waktu tiga puluh menit ia hampir tiba di rumahnya. Kali ini ibunya juga tidak menitip rendang atau makanan apa pun untuk santap malam. Tepat pukul 5.45 Rani tiba di pelataran rumahnya, saat ia hendak menutup kabar ia dikejutkan sosok pemuda tampan yang sudah tidak asing lagi.
“Selamat sore, Rani. Apa kamu tidak berencana mengenalkan aku dengan calon mertua dan saudara iparku? Pasti mereka sangat gembira,” Senja, pemuda itu berjalan sembari menyugar rambutnya dengan jari. Kemeja putih yang iya gulung bagian lengannya, dasi yang tidak rapi, dan jas yang ia sampirkan di tangan menambah kesan dingin yang seksi pada pria itu. Astaga, sekarang jantung Rani berdebar sangat kencang ada gelenyar aneh dalam tubuhnya. Bahkan ada bisikan dari setan-setan laknat untuk menghambur ke pelukan pemuda itu. Dada bidang pemuda itu pasti tempat bersandar terbaik bagi dirinya.
“Astaga, Senja. Sejak kapan kamu ada di sini? Jangan bilang kamu mengikutiku?” tanyanya, penasaran. Rani berkacak pinggang, pura-pura kesal karena merasa dimata-matai. Sebenarnya, ia bersikap begitu untuk menutupi debar jantung dan keringat dingin yang hadir karena pesona Senja. Matahari yang hangat dan sosok Senja yang memesona adalah dua hal paling epik untuk menutup hari.
“Rani, kok tidak masuk? Ada siapa?” tanya Ayu yang sudah lebih dulu mendekat untuk melihat tamunya sebelum Rani sempat menjawab. Lihat. Bahkan Ayu yang usianya sudah setengah abad saja terperangah melihat mahakarya di hadapannya. Ayu juga tidak mengedipkan matanya, seolah melihat malaikat datang menghampirinya karena pemuda di hadapannya begitu tampan dan bercahaya.
“Astaga siapa gerangan yang membuat dua wanita pujaanku tidak berkedip hingga nyaris buta seperti ini?” suara Arjuno membuyarkan fantasi Ayu dan Rani yang disusul tawa dari Senja yang merasa dirinya sudah disambut di keluarga Rani.
“Mohon maaf, Pak, Bu. Perkenalkan nama saya Senja Bimantara, Anda dapat memanggil saya, Senja. Saya kekasih Rinjani,” jawab Senja sembari menggenggam lembut tangan Rinjani yang kosong. Debar jantung yang berusaha dikendalikan Rinjani susah payah justru semakin tak karuan hanya karena genggaman tangan. Rani pun yakin kini mukanya pasti merah padam. Jantungnya seperti terjun ke mata kaki karena perlakuan lembut Senja. Apakah semudah itu dia jatuh hati?
“Wah ..., Mbak Rani punya pacar seganteng artis Korea tapi nggak mau ngenalin ke aku? Aku kan bisa senang dan sombong kalau punya abang ipar yang ganteng badai aduhai kayak begini,” ucap Tari yang tidak kalah heboh dengan kedua orang tuanya. Senja yang terus menerus dipuji hanya tersenyum untuk menanggapi. Ayu dan Tari sudah menggantikan posisi Rani, mereka yang sekarang mengamit tangan Senja penuh semangat. Sedangkan Arjuno hanya geleng-geleng melihat tingkah putri bungsu dan istrinya.
Kali ini makan malam bukan lagi waktu mengerikan bagi Rani, orang tuanya sangat bahagia mendengar setiap penuturan Senja yang segera ingin memperistri Rani. Keluarga Rani tidak bisa menampik dan menyembunyikan kebahagiaan yang hadir secepat itu saat Senja hadir ke dalam keluarga mereka. Rani pun turut bahagia, dia bisa membahagiakan dan memenuhi harapan keluarganya, semua karena Senja.
***
“Terima kasih untuk malam ini, kalau kamu tidak datang pasti mereka sudah mem-bully diriku,” ucap Rani sembari tersenyum.
“Jadi, kenapa tidak dipercepat saja pernikahannya?” kali ini Senja yang bertanya.
“Pernikahan tidak sesederhana itu. Aku masih perlu waktu untuk meyakin diriku. Lagi pula ada hal yang ingin aku tahu ...,” Rinjani menggantungkan kalimatnya dan beralih menatap tajam ke arah Senja “kamu tahu alasanku menggantungkan lamaranmu, lantas apa alasanmu ingin menikahi aku?” Rinjani melanjutkan kalimatnya dengan tegas. Ia berhak tahu alasan Senja ingin menikahinya dengan segera. Dia bukan gadis bodoh yang masih mempercayai cinta pada pandangan pertama. Alasan Senja ingin bersamanya sudah jelas bukan karena cinta.
“Kamu benar-benar ingin tahu?” Senja balik bertanya. Rinjani hanya mengangguk sedangkan Senja menghembuskan napas kasar. Dia tahu benar bahwa Rinjani bukan gadis bodoh yang akan mempercayai cinta begitu saja, lagi pula memang bukan itu yang melatar belakangi keinginannya mempersunting Rinjani.
“Kamu melihat berita tentang hilangnya model cantik dan beberapa wanita hilang yang ditemukan tewas di lokasi sama?” Rinjani mengangguk, ia ingat kasus-kasus itu dia yang menuntaskan. Wanita-wanita itu didiagnosis bunuh diri, namun ia yakin bahwa kasus tersebut merupakan pembunuhan berencana yang belum ditemukan siapa pembunuhnya. Kasus tersebut kasus yang kejam dan rapi, tapi terlalu janggal untuk ukuran kasus bunuh diri.
“Apa kaitannya pernikahan dengan kasus itu?” tanya Rinjani. Dia mulai bergidik ngeri karena tatapan Senja tiba-tiba kosong dengan gurat kesedihan mendalam terbentuk di air mukanya.
“Kasus itu bukan kasus baru, ibuku menjadi korban pertama. Tapi setiap Jaksa atau pun Polisi yang ingin mengungkap kasus tersebut akan berakhir mengenaskan. Aku sudah tahu sejak lama bahwa kamu menangani kasus itu, awalnya aku berpikir kamu hanya akan menangani satu atau dua kasus kemudian beralih ke kasus lain. Tapi dugaanku salah. Kamu justru ingin tahu lebih banyak dan hal itu membahayakan dirimu,” Senja meraih tangan Rinjani dan menatap wanita itu kemudian melanjutkan kalimatnya, “aku juga ingin mengungkap kasus itu. Aku ingin menjagamu dengan menikahimu, Rani.”
Rani tidak melihat kebohongan di manik mata pemuda di hadapannya, dia dapat merasakan ketulusan Senja melalui sentuhan laki-laki itu. Senja merengkuh tubuh Rinjani dalam pelukannya. Pemuda itu mengecup lembut puncak kepala Rinjani, sedangkan Rinjani masih diam membeku menerima semua perlakuan manis itu.
“Sudah larut, kamu harus istirahat. Apa pun yang kamu tahu, lihat dan dengar katakan padaku. Aku akan membantumu,” ucap Senja sembari melangkah pergi menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumahnya. Pemuda itu segera meninggalkan Rinjani yang masih mematung memandangi kepergiannya. Rinjani melangkah masuk rumah dengan pikiran yang bercampur aduk. Di depan pintu ibu dan ayahnya menyambut dengan tangan terlentang. Rinjani langsung menghambur ke pelukan keduanya.
“Dia pemuda yang baik, Nduk. Kamu terima saja, ya!” pinta ibunya. Rinjani juga merasakan hal yang sama, bahkan ayah dan adiknya juga mengangguk setuju. Hari ini hari pertama dari waktu satu minggu yang dijanjikan Senja. Namun, dengan hebat pemuda itu mampu membuatnya jatuh hati dalam satu hari saja. Memang cintanya belum besar, rasa itu masih sebatas kagum. Kagum akan sifat dan sikap yang dimiliki Senja, namun Rinjani yakin lambat laun perasaan itu akan tumbuh menjadi cinta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top