Satu

"Ketika cinta di antara gerbang dunia tak kasat mata...."

***

Sebelum pandemi covid menyerang....

"Garvi!"

Lavani berteriak sambil melempar pena hingga mengenai kepala lelaki itu. Garvi hanya meringis tanpa mengalihkan pandang. Setengah jam lagi mereka harus presentasi dengan klien, tapi sejak tadi Garvi hanya melamun menatap ke satu arah. Bahkan dia tidak memberikan saran sedikit pun. Lavani tidak terima jika hanya dirinya yang berpikir, sedangkan gaji bulanan yang mereka terima besarannya sama.

"Gue udah nyumbang empat saran. EMPAT SARAN." Lavani memberi penekanan pada kalimatnya. "Kita meeting setengah jam lagi dan lo nggak kasih kontribusi apa pun. Lo niat kerja nggak, sih?"

"Lo lihat cewek intern yang duduk di depan Rafael itu nggak? Gue harus dapat nomor hapenya," ucap Garvi, alih-alih merespons omelan Lavani

Lavani melirik anak intern yang dimaksud Garvi. Dia menarik napas panjang seraya menyipitkan mata. "Nggak cuma nomor hape, lo bisa dapetin nomor-nomor yang lain asal lo kasih masukan buat bahan presentasi. Dua puluh menit lagi klien kita datang, Gar."

Garvi menoleh ke arah Lavani. Memandang Lavani dengan senyum tipis. Tiga tahun mengenal Garvi, Lavani paham betul apa maksud dari setiap bahasa tubuh lelaki itu. Garvi belum pernah sesemangat ini menyambut kehadiran anak intern. Ada sesuatu yang membuat mata Garvi bersinar setiap kali membahas perempuan itu.

"Oke. Jadi, apa yang bisa gue bantu, Love?" tanya Garvi seraya memusatkan kembali kepada layar laptop di hadapannya.

Sebuah pena kembali mendarat di jidat Garvi hingga lelaki itu meringis. Orang sering salah paham ketika Garvi memanggil Lavani dengan panggilan 'Love'. Semua orang yang mendengarnya mengira mereka memiliki koneksi hati secara eksklusif satu sama lain. Apa lagi Garvi dan Lavani terlihat sering bersama. Wajar sih, soalnya mereka bergabung di kantor dalam batch yang sama.

Sebenarnya 'Love' adalah panggilan khusus yang disematkan Garvi pada Lavani. Tidak bermaksud apa pun, sekadar panggilan sebagai teman dekat. Garvi biasa saja dan tidak merasa berdosa setiap kali dia memanggil Lavani dengan sebutan itu, tapi Lavani tidak bisa merasa biasa-biasa saja.

"Jangan ngambek, dong. Bentar, gue sedang berpikir, nih. Lagian kenapa mesti injury time gini, sih? Lo nggak ngomong dari kemarin-kemarin. Seharusnya kita meeting sama manajer dulu sebelum sama klien," decak Garvi.

"Gue udah ingetin, tapi lo nggak peduli. Kita udah meeting sama Bang Ari, Garvi. Yang lagi kita susun ini adalah masukan berdasarkan revisi dari Bang Ari," ucap Lavani gemas.

Sudah tidak ada waktu untuk berdebat. Lavani mempersiapkan bahan presentasi tanpa menunggu Garvi. Sembari menunggu Lavani, Garvi kembali memutar kepala ke arah gerombolan anak-anak intern berada. Pada saat yang sama, perempuan yang dilihat Garvi berbalik menatapnya. Sontak Garvi memalingkan muka. Menyembunyikan wajahnya akibat tertangkap basah.

Untung saja presentasinya berjalan lancar. Semua saran yang diajukan telah diterima dengan baik oleh klien. Tinggal mengeksekusi untuk mengupayakan meminimalkan pajak perusahaan secara legal. Rasanya sangat lega dan puas bila pekerjaan terselesaikan sesuai target.

"Gue udah dapat nomornya, Lav. Namanya Rashi. Entar Rashi bakal gabung sama tim kita. Gue udah dapat bocorannya dari Bang Ari."

Garvi menunjukkan chat di ponselnya. Lavani hanya mengintip. Baru kali ini Garvi tidak berhenti membicarakan perempuan. Dia terlihat bersemangat dan menggebu-gebu. Walaupun lubuk hatinya tercubit, Lavani tidak bisa berbuat apa-apa. Berada di dekat Garvi dan mendengar cerita sehari-hari saja cukup membuat rasa nyerinya terobati. Namun, Lavani tidak pernah berhenti membuat Garvi melihat ke arahnya.

Hari-hari berganti, Garvi semakin dekat dengan Rashi. Bahkan di kantor, perempuan itu mulai duduk bersisian dengan Garvi. Setiap hari Lavani harus menyaksikan pemandangan drama situasi berseri.

"Akhir bulan ada long weekend, nih. Ada jadwal mendaki lagi lo mau ikut nggak, Lav?" tanya Garvi sambil meneliti kalender.

"Ke mana?"

"Gunung Slamet. Rencananya gue pengin ajak Rashi."

"Emang Rashi bakal mau lo ajak ke gunung? Kayaknya dia bukan tipe-tipe suka outdoor." Lavani mengedikkan bahu.

"Gitu, ya? Kalau lo ikut nggak?"

Lavani menarik napas dalam. Sebenarnya mendaki bukanlah kegiatan yang Lavani suka. Berhubung Garvi hobi dengan kegiatan itu dan sering meracuni Lavani dengan cerita serta kisah funtastis selama pendakian, akhirnya Lavani memberanikan diri terjun ke sana. Setelah mencoba mendaki satu kali ternyata menyenangkan juga. Lavani jadi ketagihan.

"Ikut, dong. Gue udah suntuk banget, nih. Butuh piknik."

"Rashi gimana, ya? Menurut lo gimana, Love?"

Bola mata Lavani berotasi. Sudah pasti ada maunya setiap kali Garvi memanggilnya 'Love'. Garvi hanya terkekeh sambil menepuk puncak kepala Lavani. Dalam satu detik, jantung Lavani terasa berhenti berdetak.

"Ya, ajak aja. Tapi, sebenarnya lo pernah ajak dia jalan di luar kantor nggak, sih? Gue lihat lo nggak pernah jalan bareng meskipun cuma makan siang. Lo makannya sama gue mulu."

"Yah, gimana lagi. Dia nggak mau. Maunya sama rombongan anak-anak intern. Agak susah menyusup kalau kayak gitu."

"Lo gimana, sih? Masa usaha lo segitu doang. Coba deh lo ajak Rashi jalan entar pulang kantor. Makan sate atau apa, deh. Lo harus mulai membangun chemistry sama doi sebelum mendaki biar greget. Buat pemanasan gitu. Kalau lo nggak berani biar gue yang bilang, deh."

Garvi manggut-manggut. Yang dikatakan Lavani ada benarnya. Tidak mungkin tiba-tiba mengajak Rashi bepergian ke tempat yang jauh apa lagi mendaki. Perlu observasi lebih dalam untuk mengenali sasaran yang dituju.

Sore itu juga, Garvi mengajak Rashi jalan-jalan. Dia tidak menyebutkan tempat spesifik, hanya menjanjikan perjalanan menikmati suasana ibukota di sore hari. Lavani tertawa mendengar ide Garvi. Bukannya menikmati, yang ada malah terjebak macet.

Namun, justru itu yang menyenangkan. Berbincang dia atas motor berjalan beradu dengan sayup-sayup suara angin tanpa mendengar jelas perkataan masing-masing. Lavani jadi ingat masa-masa ketika dirinya sering nebeng Garvi ke stasiun. Tampaknya, sekarang dia tidak akan menemui momen itu lagi karena posisinya telah terganti.

Garvi: Gue ajak Rashi makan sate langganan kita, Love. Dia suka. Thank's, ya. ☺

Lavani tersenyum tipis, tapi matanya memanas.

***


Kamu bisa akses lanjutan cerita ini di :

WWW.HIPWEE.COM

atau lewat link

https://bit.ly/SekarHP

Holaa ... ini adalah project novela bersama Hipwee. Novela ini terdiri dari 10 chapter dan akan tayang cepat di Hipwee Premium. Cerita ini dipastikan nggak akan ngaret dan selesai tepat wakttu. 😁😁

Apa itu Hipwee Premium?

"Hipwee Premium menyajikan konten-konten eksklusif dari kreator konten favorit dan para expert, ringan dan insightful"

Untuk bisa baca konten di Hipwee Premium itu pembaca bisa membeli akses berupa single artikel atau berlangganan dengan paket 1 bulan (Rp14.900,0), 6 bulan (Rp54.900,-), atau 12 bulan (Rp94.900). Kalau sudah berlangganan, pembaca bisa baca konten apa pun di Hipwee Premium (jadi nggak cuma novela ini saja). 

Kalau masih bingung atau ada yang mau tanya terkait Hipwee Premium bisa colek aku via DM Instagram @purpleefloo yaa ...

😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top