Prolog

IORA pernah dirundung keheningan yang lebih bising daripada ini sekali waktu. Dulu, setidaknya sudah dulu sekali. Dia tidak dapat mengingatnya, kecuali sekarang, tatkala dia sedang mengendap-endap sepanjang lorong Kuil Chalya yang penat oleh aroma dupa, kemenyan, dan beragam rempah. Jubah putihnya—pertanda keanggotaan Arwa nan jatmika—menyapu debu pada lantai-lantai batu kelabu yang Iora susuri.

Penaka sokongan, pelataran kuil di puncak malam senantiasa senyap. Takkan ada Pandita Luhur yang memergoki, pula takkan ada Arwa-Arwa lain yang menginterupsi. Kuil Chalya miliknya semata, untuk sementara, selagi lentera redup pada genggaman tangan menuntun Iora untuk mencapai persinggahan.

Sesampainya di pintu batu pada ujung lorong, Iora pun berhenti. Sejenak, demi memungut gelang perunggu dari balik jubah lalu memilih salah satu anak kunci yang tergantung di sana. Lekas dia masuk, masih tanpa suara, yakin sepenuhnya bahwa malam ini—seperti malam-malam pendahulu—bisa mewujud malam kemenangannya.

Langkah perempuan itu mulai gegas. Menuju bagian ujung perpustakaan kosong tersebut, kakinya lantas berjinjit tinggi-tinggi, menganju untuk mencapai tumpukan buku di rak yang sudah dia kenali secara faali.

Inilah saatnya. Usai ratusan kali mengkaji dan ribuan kali berasumsi, barangkali sekarang adalah waktunya.

Melirik sekilas ke jendela, Iora lega sebab rembulan masih bundar paripurna di langit gulita. Siapa pun yang berwawasan pasti paham, bila purnama tengah berjaya, Anasir-Anasir akan kelimpahan daya.

Termasuk dirinya sendiri.

Tanpa ragu, Iora lekas membuka buku yang dia pungut, secara tergesa menuju lembar yang sudah dia tandai sejak berpuluh-puluh purnama sebelumnya. Kitab Agung nan luhung boleh jadi hanyalah salinan tunggal dari riwayat asli, tetapi tafsir-tafsirnya melanglang buana pada salah satu buku yang kini dia pegang. Di sana, di lembar sasarannya, mantera itu masih tertera oleh tinta-tinta yang pudar. Jalan menuju pelepasan. Pembebasan.

Iora menarik napas.

Dia baca mantera yang telah diterjemahkan dari salah satu bahasa purbakala Dikara. Lima baris, enam puluh enam kata, tanpa rehat. Perlahan, dengan sarat keyakinan. Berkomat-kamit, tanpa ragu sekelumit. Lantas dia berhenti begitu mencapai penghujung mantera, menunggu, memandang purnama, sebelum ganti mengamati tangannya yang senantiasa pucat tanpa rona barang semburat.

Tidak mempan.

Iora pun mengulang. Kali ini lebih jelas, lebih keras, dan lebih memelas. Namun alih-alih Pelepasan, bahkan sebelum Iora berhasil mencapai akhir mantera untuk kedua kali, tenggorokannya menyesak seolah tercekik oleh tangan-tangan gaib. Suaranya terpekik sengit. Kesunyian yang semula merambati sekitarnya berganti menjadi gaung-gaung yang menusuk pendengaran perempuan itu.

Tak lama, gaung-gaung itu tak pelak berpadu, menyeru, 'Ikrar adalah janji yang harus ditepati.'

Sulur-sulur hitam perlahan menjalari tubuh Iora, membentuk pola berupa huruf-huruf kuno yang seumpama terpatri pada permukaan kulitnya. Tak jelas bermula dari mana, tetapi secara pasti merambat ke seluruh tubuh perempuan itu. Seiring rasa sakit yang ditimbulkan oleh sulur-sulur tersebut, Iora berulang kali mengerjap. Suara dari tenggorokannya masih disergap. Lirikannya awas mencari sosok si pembisik, tetapi—sama halnya dengan berulang purnama sebelumnya—dia tidak dapat menjumpai apa pun selain senyap.

Sementara itu, sang gaung kembali meraung, 'Pelepasan adalah pengingkaran. Kemustahilan!'

Napas Iora sontak menyesak. Tubuhnya berubah gemetaran tanpa bisa dia kendalikan. Lidahnya masih kelu, pun tiada seujung jarinya sanggup bergerak sampai-sampai kitab tafsir jatuh dari pegangannya ke lantai batu. Lututnya lemas seakan tulang-tulangnya menjelma tempias. Sebelum Iora limbung, bisikan itu justru kian gigih berdengung, memenuhi kupingnya dengan suara serak nan berarak.

'Demi Samad, tak terhambat abad.

Kamu Anasir-ku.

Milikku.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top