Bab VII: Perbatasan

Begitu matahari mulai terbit, dan begitu mereka yakin tak ada satu pun Anasir yang mengejar, Panglima Utkar—beserta sejumlah manusia lain yang tersisa dari pertempuran—menepi di hamparan terbuka pada padang rumput yang memungkinkan mereka untuk mengawasi sekitar.

Yang pertama panglima itu lakukan adalah menghitung jumlah pasukan yang tersisa. Tujuh belas orang, termasuk Puteri Kalina, dari semula lima puluh jiwa. Sebagian besar dari mereka terluka parah, dan hanya sebagian kecil lainnya—termasuk Iora dan si pelayan—yang mampu mengobati korban-korban terluka tersebut menggunakan peralatan seadanya. Seorang prajurit, sambil membaluti lengan kirinya yang bersimbah darah dengan upaya sendiri, melayangkan suara, "Kita harus kembali ke istana!"

"Dan membiarkan lebih banyak orang mati di Dikara oleh makhluk raksasa yang muncul malam itu?" balas Panglima Utkar.

"Yang paling penting," sergah si perempuan pembunuh bayaran yang sempat menolong Dharta, "kenapa makhluk-makhluk itu menyerang kita? Bukankah mereka ingin kita membawa Puteri Kalina hidup-hidup?"

Mendengar namanya disebut, tangisan Puteri Kalina—yang padahal tak sempat tersentuh oleh Anasir sedikit pun—semakin menjadi. "Pulangkan aku!" pekiknya berulang kali.

Namun, perkara Anasir membuat tangisan sang puteri tak terhiraukan.

"Apa benar pemimpin makhluk-makhluk tadi, atau yang kalian bilang sebagai pemimpin Negeri Seberang, akan mewujudkan ucapan mereka? Bagaimana kalau mereka hanya ingin kita mati konyol?" sergah si perempuan pembunuh bayaran lagi.

"Mereka hanya ingin mengurangi jumlah kita, supaya tak banyak pengganggu," Wakil Panglima Ryas menimpali. "Enam tahun silam, kejadian serupa terjadi, dan pasukan kita berhasil memojokkan mereka hingga kabur. Lihat saja tadi, mereka justru saling melawan sesamanya, bukan?"

Si wakil panglima menyeringai dengan raut penuh keyakinan. Iora sempat memergoki lelaki itu mengelus dagu pelayan yang sedang mengobati luka bekas cakaran Anasir pada kakinya, kentara menggoda paksa. Si pelayan lekas menarik wajahnya dengan takut-takut.

"Jadi, kita akan tetap menuju Negeri Seberang, yang memuat lebih banyak makhluk-makhluk tadi?" tambah si perempuan pembunuh bayaran.

"Tidak ada rencana yang berubah," ujar Panglima Utkar, menepis sisa darah pada keningnya, satu-satunya luka kecil yang dia dapatkan dari pertempuran melawan para Anasir. "Kita tidak akan sempat meminta bala bantuan dari kerajaan karena keterbatasan waktu."

"Nyawaku tak sebanding dengan ini, berapa pun imbalannya!" protes salah satu pembunuh bayaran, meludah ke rumput sembari angkat kaki menuju arah sebaliknya. Kasak-kusuk sempat terjadi di antara para pembunuh bayaran lain, yang mana pada akhirnya mereka turut meninggalkan sisa rombongan untuk kembali ke Dikara. Hanya tersisa Dharta, yang masih mengamati Iora dengan saksama, dan si perempuan pembunuh bayaran, yang tercengir puas karena berkurangnya jumlah saingan. Pandita Dhimani, walau sesaat tampak ingin mundur, tetap bertahan semata karena mengkhawatirkan harga dirinya sebagai utusan pemuka agama. Kembali ke Dikara hanya akan membuatnya dicap sebagai pengkhianat Sang Samad dan penghinaan besar bagi seantero kuil.

Panglima Utkar lantas memaparkan rencana selanjutnya pada dua belas orang yang tersisa: beristirahat memulihkan diri hingga tengah hari, kemudian melanjutkan perjalanan sampai matahari terbenam. "Ada sebuah desa tak berpenghuni di dekat perbatasan menuju Negeri Seberang. Kita akan bermalam di sana."

Sesuai instruksi, mereka semua pun beristirahat, terkecuali Puteri Kalina yang terus-terusan menyeru, "Kuperintahkan kau untuk memulangkanku!" pada Panglima Utkar yang hanya mendiamkannya. Iora dan si pelayan lanjut merawat prajurit-prajurit yang terluka, sementara Dharta memanfaatkan kesempatan ini untuk minta diobati oleh sang Arwa.

Pada gilirannya, laki-laki itu berujar, "Apa aku bisa minta didoakan untuk kesembuhanku juga? Seperti halnya kamu mendoakan Anasir-anasir untuk berhenti menyerang kita?"

Iora tak menggubris Dharta, hanya membalut luka pada lengan laki-laki itu dengan sedikit kain pendek yang tersisa. Bungkamnya perempuan itu hanya membuat Dharta semakin bertanya-tanya. "Kamu terluka juga, kan?" ujarnya, melirik kaki kiri sang Arwa yang tertutupi jubah putih.

"Hanya terkilir sedikit," sambut Iora pendek.

"Percakapan kita kemarin belum selesai. Kenapa kamu bisa mengetahui tawaran Wasesa padaku?" selidik Dharta.

Iora balas menatap Dharta lekat-lekat. Tanpa ekspresi dan terlampau tenang; selalu demikian sehingga Dharta tak pernah bisa menebak pikiran perempuan itu. Pada akhirnya, sang Arwa hanya merespons, "Aku tak mengerti maksudmu."

Dengan cepat, perempuan itu menuntaskan ikatan perban pada lengan Dharta kemudian pergi meninggalkannya.

Dharta tak menghalau sang Arwa, tetapi menyadari bahwa perempuan itu sesekali menatap langit, atau pada titik tak menentu di kejauhan, seperti sedang mencari sesuatu. Gerak-gerik yang persis seperti ketika Dharta menculiknya di hari Dalu Suci. Namun, pengamatan Dharta terbuyarkan oleh si perempuan pembunuh bayaran yang kini menghampirinya. "Kalau kita berdua selamat, kamu bilang akan membagi imbalanmu denganku, kan?" tagih perempuan itu.

Dharta tercengir, menyanggupi ucapannya dan berterima kasih pada si perempuan pembunuh bayaran yang kini dia ketahui bernama Zi.

"Tapi aku harus tanya," ujar Dharta penasaran. "Kenapa kamu menyelamatkanku?"

"Pertama, kamu beruntung posisimu dekat denganku saat itu. Kedua, walau kamu banyak lengah, teknik berpedangmu paling bagus di antara orang-orang lain di sini. Aset yang harus diselamatkan," jawab Zi. "Lain kali lebih berhati-hatilah."

Dharta mengangkat alis. Perempuan pembunuh bayaran itu, Zi, tampak hanya beberapa tahun lebih tua darinya tetapi berlagak seperti sesepuh tua dengan segudang pengalaman. Terlebih ketika perempuan itu menambahkan, "Ketiga, seperti dirimu, aku juga curiga dengan Arwa itu. Kalau kamu menemukan sesuatu, beritahu aku."

Dharta tertegun namun mengangguk. Setidaknya, membentuk aliansi di saat seperti ini akan menguntungkannya.

***

Pada kelanjutan perjalanan mereka hari itu, belum ada hambatan lain yang menerjang. Sebagai pengganti kereta, Puteri Kalina menunggangi satu-satunya kuda yang tersisa, dipandu oleh si prajurit bongsor bernama Jagat. Panglima Utkar berjalan paling depan, dibuntuti oleh Wakil Panglima Ryas yang bersiul santai di belakangnya. Ditambah tiga prajurit yang berjaga di belakang, rombongan itu menyisakan Iora, Dharta, Zi, si pelayan, dan Pandita Dhimani. Perbekalan yang tak sempat diselamatkan akibat serangan Anasir semalam membuat mereka harus berburu kelinci dan memungut buah-buahan untuk disantap selama perjalanan.

Persis ketika matahari nyaris terbenam dan lelah mulai mendera mereka, penampakan desa tak berpenghuni yang disebut Panglima Utkar mulai terlihat di kejauhan. Wakil Panglima Ryas menjadi satu-satunya yang semringah. Dia mengoceh riang, "Ah, nostalgia!"

Di belakang, mendengar itu, Iora mengepalkan kedua tangannya. Jantungnya mencelus sebelum menggelegak oleh amarah. Sambil menunggu anggota rombongan lain berjalan lebih dulu, dia menarik lengan si pelayan untuk memelankan langkah bersamanya. Iora lantas bertanya dalam bisikan, "Kamu bisa mengendarai kuda?"

Si pelayan, dengan mata masih membasah, terheran. "I-iya?"

"Begitu malam turun, kaburlah menggunakan kuda itu," ujar Iora tegas.

"M-maksudnya, nona Arwa?"

"Akan kualihkan perhatian mereka," lanjut Iora. "Anasir-anasir itu mengincar kami, jadi kamu akan aman selama perjalananmu. Kujamin itu."

Si pelayan masih tak mengerti maksud dari sang Arwa. Namun, intonasi dan tatapan tegas Iora menyatakan dia tak mau dibantah. Si pelayan hanya tertunduk patuh sementara Iora mulai mempercepat langkahnya untuk menyusul rombongan.

Desa yang dimaksud ternyata benar-benar mati. Tak ada satu orang pun yang menghuni rumah-rumah serta kedai-kedai terlantar di dalamnya. Sebagian besar bangunan bahkan sudah hancur lebur. Kendati demikian, membutuhkan tempat bernaung, Panglima Utkar memilih salah satu rumah yang paling layak dan mengajak rombongan untuk memasukinya.

"Apa yang terjadi pada tempat ini?" Zi langsung bertanya.

Ryas menjelaskan dengan angkuh, "Seperti yang kuceritakan kemarin. Desa inilah tempat pertempuran melawan Anasir enam tahun silam. Semua warganya antara sudah mati, atau mengungsi dan terlalu takut untuk kembali."

"Dan persisnya, kenapa mereka datang menyerang?"

"Tak ada yang tahu. Hanya ingin bikin kacau, mungkin," balas Ryas, mendudukkan diri di lantai lalu menenggak bekal araknya.

Zi menggumam curiga, tetapi lantas mencari kamar yang sekiranya masih punya alas untuk ditiduri. Panglima Utkar dan para prajurit istana menggeledah isi rumah tersebut, menemukan beberapa lilin di dalam lentera, dan berusaha menyalakan api sebagai penerangan. Sementara itu, usai mempersiapkan sebuah kamar yang masih mempunyai kasur berdebu, Iora menuntun Puteri Kalina ke dalam kamar tersebut sembari mengerlingkan pandangan berisyarat pada si pelayan. Mereka pun berdiam di dalam kamar yang dijaga oleh Prajurit Jagat di luar pintu, menunggu Puteri Kalina tertidur usai kelelahan menangis, sebelum kemudian Iora membuka jendela kamar dan mengajak si pelayan untuk keluar bersamanya. Di luar rumah yang mereka huni, Iora mengira akan menemukan seorang prajurit berjaga di samping kuda yang diikat di dekat pintu. Ternyata, Dharta yang sedang berjaga di sana.

Iora mendecih kesal. Laki-laki itu masih saja berniat menyusahkannya.

Kendati demikian, sang Arwa berbisik pada si pelayan di belakangnya. "Aku akan mengalihkan perhatian dia. Sementara itu, kamu lepas ikatan si kuda dan kabur secepatnya."

Si pelayan mengangguk. Sambil mengenakan tudung jubahnya, Iora berjalan cepat melewati Dharta. Benar saja, laki-laki itu langsung menyusulnya. "Mau sembunyi untuk berdoa lagi, ha?"

Iora mendelik dingin, berucap, "Bukan urusanmu," lalu lanjut berjalan ke arah kawasan terbuka di tengah desa mati tersebut. Baginya, dia hanya perlu mengulur waktu cukup lama sampai si pelayan berhasil kabur. Dia sendiri tak ingin berlama-lama di sana. Bukan karena takut, tetapi karena pemandangan di sekitarnya--biar sudah enam tahun berlalu--masihlah terasa segar baginya. Seperti baru kemarin dia meninggalkan tempat itu.

"Hei!" panggil Dharta dari belakang, tetapi Iora tak menggubrisnya dan justru berjalan kian jauh dari persinggahan mereka.

Mendadak, bulu kuduk Iora merinding. Dia tidak mau berprasangka. Namun, dia yakin baru saja melihat seorang gadis kecil melintas di dalam gang di depan sana. Sosok gadis itu persis seperti terakhir kali Iora melihatnya, dengan gaun tidur semata kaki, serta rambut cokelat bergelombang yang teruntai sepanjang punggung.

Iora lekas mengejar sosok itu, membuat Dharta turut mempercepat langkah. Ketika Iora berhenti di tengah gang, kebingungan mencari sosok yang telah menghilang itu ke mana, siluet gadis kecil itu muncul kembali dari arah yang berlawanan. Iora berlari lagi ke arah sosok itu, mengabaikan Dharta yang sudah menyusulnya.

Bagi Dharta, tingkah sang Arwa yang begitu mengherankan telak menghabiskan kesabarannya. Dia pun menarik lengan Iora, lalu mendorong perempuan itu ke dinding rumah terdekat, menyudutkannya di sana.

"Katakan, kamu ini sebenarnya siapa?!" ancam Dharta.

Iora balas menatapnya tajam. Tak ada rasa takut sedikit pun dia tunjukkan, murni kekesalan karena merasa terganggu. "Lepaskan."

Namun, tangan kiri Dharta justru mencengkeram kerah jubah Iora semakin kencang. Tangan kanannya siap mengambil pedang dari sabuk. Satu-satunya hal yang memberhentikannya adalah teriakan seorang perempuan yang mendadak terdengar dari dekat mereka.

Iora lekas mendorong Dharta dan meloloskan diri, bergegas menuju sumber teriakan tersebut. Arahnya dari gang di dekat rumah persinggahan mereka. Di belakangnya, Dharta turut mengejar.

Di sana, diterangi cahaya lentera yang tergolek di pinggir gang, mereka mendapati Wakil Panglima Ryas sedang mendekap si pelayan dengan paksa sambil menindihnya di atas tanah. Pakaian perempuan itu sudah robek di berbagai bagian, menampilkan sebagian besar tubuhnya. Dipergoki demikian, si lelaki hanya menyeringai, berkata, "Jalang ini kutemukan mau kabur. Aku harus menghukumnya."

Iora mendecih, Dharta pun mengacungkan pisaunya, tetapi begitu mereka berusaha mendekat, wakil panglima itu mengacungkan pisau ke leher si pelayan. "Jangan ikut campur atau kubunuh dia!"

Sang Arwa mengepalkan tangannya. Sementara itu, si pelayan yang meronta tak berdaya dalam cengkeraman Ryas menangis tersedu-sedu. "Ini semua gara-gara Anda, nona Arwa. G-gara-gara Anda menyuruh saya kabur...."

Jantung Iora mencelus. Napasnya mulai naik turun tak beraturan. Ledakan emosi bernama rasa bersalah tiba-tiba memenuhi kepalanya, terlebih ketika pelayan itu berkata, "Apakah kau akan membiarkannya lagi? Seperti enam tahun lalu...?"

Dharta mengerutkan dahi di belakang sang Arwa, tak mengerti maksud si pelayan. Namun, meskipun Iora tidak mengenal pelayan itu sebelumnya, dia sudah dapat memahami maksud ucapan tersebut.

Kini, si pelayan tertawa. Dia berucap lagi, tetapi suara yang keluar dari mulutnya bukan lagi suara perempuan, melainkan suara berat laiknya pria. "Ha-ha-ha, masih tak berubah, rupanya--"

Tiba-tiba, si pelayan mengejang di bawah tindihan wakil panglima. Matanya menghitam. Mulutnya merekah semakin lebar seiring deretan giginya memanjang hingga membentuk taring. Cakar-cakar panjang nan tajam tumbuh dari setiap jari tangannya. Tak hanya itu, sebentuk ekor kelabu tebal muncul dari selipan roknya yang sudah compang-camping. Ryas terperenyak ngeri menyaksikan perubahan itu. Namun, sebelum dia sempat bangkit, sepasang tangan bercakar panjang milik si pelayan sudah kepalang mencengkeram lehernya.

"T-tolong!!" jerit si wakil panglima.

Si pelayan yang sudah menyerupai monster tersebut hanya lanjut tertawa dengan suara beratnya, kemudian menusukkan cakar-cakarnya pada leher lelaki itu dalam-dalam. Darah memuncrat, sebentar saja, sebelum detik berikutnya si pelayan mematahkan leher laki-laki itu dengan bunyi patahan tulang yang keras.

Si wakil panglima sontak tak bernyawa.

Tawa si pelayan makin menggelegar. Usai menendang tubuh Ryas dari atasnya, dia merayap lalu merangkak ke arah Iora. Kepalanya kini tidak lagi berbentuk manusia, terlebih dengan sepasang kuping lebar yang mencuat dari samping kiri dan kanan kepalanya. Rambut panjang yang semula memenuhi kepala si pelayan telah terganti dengan rambut-rambut tipis putih seumpama uban. Badannya, yang sudah tak tertutupi pakaian, menampilkan kulit licin kehijauan seperti kadal.

"Bukankah rasa sentimentalmu itu percuma?" tanyanya, menampilkan lidah panjan yang terjulur di antara taring-taringnya.

Tubuh Iora pun rubuh ke atas tanah. Tremor serta-merta menjalari tubuhnya. Sementara itu, walau kebingungan, Dharta sudah mengacungkan pedangnya ke arah si pelayan yang kini lebih pantas disebut monster. Atau Anasir.

"Hei, Arwa! Mundur!" sentak Dharta pada Iora, tetapi perempuan itu malah mulai mengejang di atas tanah.

Si monster tertawa di hadapan Iora. Berhenti dan seolah menunggu.

Dharta mendecih sambil mendekat untuk menarik Iora. Namun, sang Arwa menangkis uluran tangan tersebut dan, saat itu juga, Dharta mendapati lengan Iora kentara berbeda. Bukan terbalut kulit, melainkan sisik-sisik kelabu yang diselingi oleh barisan huruf-huruf hitam yang tak dia kenali. Kuku-kukunya yang semula bening berubah menjadi cakar runcing kehitaman. Suara ringisan serta-merta lolos dari mulut perempuan itu, bersamaan dengan dua pasang tanduk melengkung yang mencuat dari puncak kepalanya.

Dharta pun melangkah mundur, bersimbah keringat dingin, seiring sosok Iora perlahan bangkit sambil menanggalkan jubah putihnya.

Yang berdiri di sana bukan lagi sesosok manusia, melainkan makhluk abu seperti yang Dharta saksikan kemarin malam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top