Bab IV: Denting Pertama
(Peta Dikara. Akan diperbaharui secara berkala hehe)
***
Dharta masih tercengang menatap langit. Kendati Iora telah menyuruhnya lari, laki-laki itu hanya mematung tatkala kini—tak hanya satu—tiga makhluk lain menyusul terbang di cakrawala Kota Sadana. Mereka semua serupa yang pertama: bersayap lebar seperti kelelawar, berkaki delapan dengan kuku-kuku tajam, dan bermoncong lancip dengan taring yang mencuat panjang. Mata keempat makhluk tersebut mewujud lubang oval hitam yang menancap pada kulit sisik mereka, menatap nyalang ke arah orang-orang yang berlalu lalang di daratan.
Teriakan penduduk yang mulai memenuhi kota akhirnya menyadarkan Dharta. Derap langkah resik lekas terdengar dari berbagai penjuru.
"Apa lagi ini?!" tanya Dharta.
Namun, sang Arwa telah berlari menuju arah terbang makhluk-makhluk besar tersebut. Dharta ragu sesaat: antara mencari tempat berlindung—seperti halnya para penduduk yang serempak bersembunyi ke dalam bangunan terdekat—atau menyusul Iora? Lalu, dengan decihan terpaksa, Dharta pun menaiki kudanya.
"Sini naik!" seru laki-laki itu begitu mengimbangi langkah Iora.
Sang Arwa menyambut uluran tangannya. "Antar aku ke istana!"
Dharta menurut, mengarahkan kudanya untuk berderap ke arah istana. Di sekitarnya, orang-orang berteriak tak keruan. Terlihat para prajurit istana berupaya memanah empat makhluk megah di langit, tetapi bahkan anak panah mereka tak sanggup mencapai makluk-makhluk tersebut. Beberapa prajurit berseru pada para penduduk untuk mencari lokasi aman dan menenangkan diri, padahal jelas-jelas mereka pun panik serta tak mengerti akan situasi yang sedang terjadi.
"Kali ini apa?" sentak Dharta pada perempuan di belakangnya.
"Naga," sebut Iora. "Salah satu dari sekian jenis yang ada."
"Maksudmu masih banyak yang seperti ini?" sergah Dharta. "Mengapa mereka kemari? Dari mana asal mereka?!"
"Sebaiknya kautanya raja sialan itu!" bentak Iora, yang tak disangka-sangka oleh Dharta akan keluar kata-kata demikian dari mulut seorang Arwa yang seharusnya suci. "Lihat ke mana mereka mengarah!"
Dharta memberanikan diri lagi mendongak ke atas. Dilihatnya makhluk-makhluk itu—naga—melaju ke arah istana. Namun, makhluk yang paling depan kini mendelik ke bawah, ke arah hiruk pikuk di bawah yang jelas telah mengalihkan perhatiannya. Detik berikutnya, semburan api keluar dari makhluk tersebut. Tidak besar, lebih menyerupai peluru singkat, tetapi cukup untuk menghanguskan dua atap rumah sekaligus.
"PETAKA!" jerit seorang perempuan, tak jelas dari mana, tetapi serta-merta membangkitkan ketakutan semua orang.
Sambil memacu kudanya untuk berderap lebih kencang, Dharta memerhatikan kekacauan di sekelilingnya. Anak-anak dan bayi menangis dalam gendongan orangtua mereka. Beberapa lansia yang tak kuat berlari terjatuh dan terisak di jalanan—tanpa bantuan, sebab setiap orang kini hanya mementingkan dirinya masing-masing.
Saat seorang nenek terjatuh tak jauh dari mereka, Dharta refleks memberhentikan kudanya. Laki-laki itu turun segera, menggendong tubuh ringkih sang nenek lalu menurunkannya di pinggir rumah terdekat, kemudian kembali ke Iora yang menunggu di atas kuda. Sang Arwa sempat memberinya tatapan menyelidik, tetapi Dharta lekas memalingkan kepala sebelum melompat ke atas pelana, lanjut memacu kuda ke arah istana.
Kini di cakrawala, keempat naga sudah mencapai benteng istana, menghampiri puncak menara tertingginya. Barisan prajurit melempar panah ke atas--sebagian tak sampai ke ketinggian, sebagian lagi terbakar oleh luncuran api dari mulut para naga. Satu panah sempat lolos, tetapi tak sanggup menembus kulit mereka yang terlampau tebal.
Sebelum kudanya mencapai pintu benteng, Dharta sempat memperhatikan naga-naga tersebut. Melalui pencahayaan dari luncuran api, dia merasa dua hingga tiga naga itu sedang mencuri pandang ke arahnya dan Iora. Moncong salah satunya tertuju pada mereka, menunjukkan lubang hidung yang bergerak-gerak, seperti mengendus. Namun, perhatian keempat naga itu lantas tertuju pada sosok Raja Wikram, yang kini sudah berdiri di puncak menara istana. Di sekelilingnya, pasukan prajurit mengacungkan tombak, bersiaga.
Sayap keempat naga mengepak elok selagi mereka berhenti untuk membumbung di udara. Satu di antara mereka berposisi paling depan, sementara ketiga lainnya menyambar panah atau tombak yang menyasar mereka dengan api. Kemudian, suara berat menggema di kawasan istana tersebut, terdengar hingga ke telinga Iora dan Dharta. Sumbernya berasal dari mulut sang naga terdepan, kendati tak terlihat pergerakan pada moncongnya seolah-seolah suara tersebut menembus keluar begitu saja.
'Berikan persembahanmu,' ujar sang naga, dengan suara serupa pria dewasa, pada Raja Wikram di hadapannya. Suara itu berat, renta, tetapi amat tegas. 'Atau kutukanmu akan terus berlangsung dan negaramu hancur.'
Raja Wikram hanya berdiri tegak, tanpa jawaban, tanpa pergerakan. Mata elang penguasa Dikara itu hanya menatap sang naga dengan tajam, sedangkan prajurit-prajurit di sekitarnya sudah gemetaran.
'Pada purnama berikutnya,' lanjut si makhluk. 'Bawa puterimu ke Negeri Seberang.'
Masih, Raja Wikram tak menjawab. Sang naga hanya mendengkus--mengeluarkan embusan asap dari hidungnya yang terpaut dua puluh hasta dari sang raja--kemudian berbalik seraya mengibaskan ekornya yang serta-merta menumbangkan tiga sampai empat pengawal di tepi menara.
Kendati rombongan makhluk megah itu sudah menjauhi langit ibukota, jantung Dharta masih berdegup kencang. Refleks dia melirik Iora di belakangnya. Teriakan dan tangisan masih bergaung di kuping mereka berdua, tetapi ekspresi sang Arwa masihlah setenang angin di malam itu.
***
Dharta memerhatikan sisa-sisa kerusuhan semalam: rumah-rumah yang hangus, gerobak-gerobak yang rusak akibat dihantam kepanikan, serta barang-barang dagangan yang berceceran. Para penduduk masih kentara syok; anak-anak menangis di dalam pelukan ibu mereka, yang berpura-pura tabah kendati ketakutan melihat penampakan yang tak pernah mereka saksikan sebelumnya. Para ayah dan bujang berkerumun, bertanya-tanya, menagih penjelasan pada para prajurit istana yang berpatroli meski tanpa jawaban.
Menyaksikan itu semua sembari duduk di reruntuhan kayu, tatapan Dharta terfokus pada satu sosok tak jauh di seberang. Iora, beserta Arwa-Arwa lain, kini tengah merawat penduduk: membagikan roti dan sup, mengobati luka bakar pada beberapa korban, memberi bimbingan spiritual dalam kelompok-kelompok kecil, serta menyematkan jimat-jimat pada bekas gosong di dinding-dinding rumah.
Kendati sang Arwa telah menyuruhnya pergi saja, Dharta masih menatap, menjaga jarak tertentu, berharap mendapat penjelasan atau sekiranya tafsiran dari tatapan serta endusan naga yang sempat terarah pada mereka.
Sebab hal serupa terjadi dua malam lalu, ketika dia menumpas Anasir di Hutan Lagang: hidung makhluk itu pun mengendus-endus Iora secara mencurigakan.
Pengamatan Dharta tertunda kala Pandita Wasesa--dikawal oleh dua prajurit istana--datang menghampiri Iora, mengajak perempuan itu untuk ikut dengannya, kemudian lanjut mendekati Dharta. "Raja ingin bertemu kalian," ucap pria tua tersebut.
"Aku tak mau," balas Dharta ketus.
Pandita Wasesa berdeham. "Ini bukan permintaan, tapi perintah."
Sambil mendecih, Dharta terpaksa beranjak, terutama karena dua prajurit yang bersama Wasesa menyiapkan pedang untuk mengancam. Diliriknya Iora, tetapi perempuan itu tampak ikut dengan sukarela. Mereka pun digiring menuju istana, persisnya ke ruangan singgasana raja yang baru saja mereka datangi kemarin.
Belum sampai mereka di ruangan tersebut, Iora dan Dharta sudah bisa mendengar teriakan seorang perempuan dari dalam sana.
"TIDAK! Tidak mau! Jangan serahkan aku!"
Dari balik pintu ruangan yang terbuka, mereka bisa melihat Puteri Kalina sedang menangis histeris di hadapan singgasana. "Aku anakmu satu-satunya!" jeritnya kemudian, dengan mata merah dan pipi membasah.
Raja Wikram, duduk di singgasananya, hanya terdiam. Di sampingnya, ratu menangis sedih dengan tangan menggenggam sapu tangan berenda. Seperti kemarin, ruangan dipenati oleh para menteri dan Pandita yang sibuk berkasak-kusuk satu sama lain, membicarakan peristiwa kemarin serta rencana penanggulangannya. Seperti yang terdengar dari suara si naga yang membahana, Puteri Kalina diminta sebagai persembahan dari sebuah 'janji' yang tak mereka ketahui.
Ruangan sempat hening ketika Iora dan Dharta masuk, tetapi hanya sejenak sebelum kasak-kusuk kembali berkecamuk. Raja Wikram lantas berdiri untuk menenangkan ruangan dan membungkam tangisan Puteri Kalina.
"Seperti yang kita saksikan kemarin, hadirin sekalian, sekumpulan makhluk asing, yang mungkin baru pertama kali kalian lihat, telah mengancam Dikara," ujarnya tegas. "Harus kuakui, aku dan segelintir bawahan khususku mengetahui keberadaan mereka, para Makhluk dari Negeri Seberang, walaupun aku tak bisa memberi tahu kalian demi menjaga kedamaian negara kita. Namun kemarin, Makhluk itu mengancam kita, memberi negara kita kutukan entah atas alasan apa, lalu menagih persembahan. Meminta puteri semata wayangku."
Beberapa orang di dalam ruangan serta-merta tertunduk masam atau memalingkan muka, seakan mengonfirmasi ucapan sang raja tetapi memang dilarang membicarakannya selama ini. Puteri Kalina lantas terisak lagi, meratapi nasibnya yang berubah hanya dalam semalam. Menanggapi isakan tersebut, Raja Wikram meneruskan, "Karena itu aku mengumpulkan kalian di sini, untuk mengabari keputusanku, sebab aku tak mungkin menyerahkan satu-satunya pewaris tahtaku."
"Yang Mulia, izinkan saya berbicara," ucap salah Menteri Jrapani di dekat singgasana. "Tapi bagaimana bila monster mengerikan itu benar-benar datang kembali untuk menghancurkan kita semua? Ratu masih bisa hamil. Yang Mulia juga punya banyak selir..."
Menteri lainnya lantas menimpali, "Izinkan saya berbicara juga, Yang Mulia. Menurut saya, apa perlu kita mengikuti keinginan mereka? Bagaimana bila kita lawan mereka dengan seluruh pasukan Dikara bila mereka datang lagi kemari? Kemarin kita kelabakan, tapi kali selanjutnya kita sudah bisa bersiap-siap. Lagi pula, apa yang monster itu maksud dengan kutukan?"
Raja Wikram menggeram, terutama karena banyak menteri lain yang mengangguk-angguk setuju. Dia pun berkata keras, "Kalian semua tahu sendiri! Semua anak laki-lakiku tak ada yang bertahan sampai dewasa! Semuanya meninggal belia, apa lagi kalau bukan kutukan? Lalu kalian memintaku untuk menjadi seseorang yang bengis dengan melemparkan puteriku ke kandang monster? Atau diam saja sementara sudah pasti kita tak sanggup melawan monster-monster raksasa seperti kemarin?"
Si menteri yang mengajukan usul langsung menggeleng-geleng dengan takut. "M-maafkan saya, Yang Mulia! Tapi rencana apa yang bisa kita lakukan tanpa menyerahkan Tuan Puteri?"
"Aku sudah punya rencana," ujar Raja Wikram. "Aku akan mengirim puteriku ke Negeri Seberang dengan para petarung terbaik. Para pembunuh terbaik di Dikara, dengan imbalan yang sangat besar! Para Makhluk itu akan mengira aku menuruti keinginan mereka, menuntun rombongan kita hingga sampai ke pemimpin mereka, hanya untuk ditumpas habis. Lalu, puteriku akan kembali ke sini dengan selamat dan Dikara tetap aman."
Meskipun rencana tersebut terdengar lebih baik dan tak mengancam keselamatan penduduk, Puteri Kalina masih terisak. Sama saja, dia tetap harus menuju Negeri Seberang, lokasi yang tidak pernah terjamah oleh paling tidak satu juta warga Dikara. Seisi ruangan lantas kembali berkasak-kusuk, kali ini mengumandangkan gumaman setuju. Belum selesai, Raja Wikram memecah keramaian lagi. "Wasesa! Kedua bawahanmu, yang kemarin lusa sudah membunuh salah satu makhluk itu, akan turut serta. Mereka akan ikut dengan prajurit-prajuritku yang sudah berpengalaman."
Dharta langsung terbeliak, hendak memprotes, tetapi Pandita Wasesa sudah menyahut, "Baik, Yang Mulia."
"Sementara itu, para pembunuh bayaran lain sedang dalam perjalanan kemari. Aku sudah mengirimkan orang untuk mengumpulkan mereka dari seluruh penjuru Dikara sejak kemarin malam," perintah Raja Wikram. "Kalian semua akan berangkat besok pagi."
Setelah mengucapkan itu, Raja Wikram beranjak dari singgasananya. Dia pun meninggalkan ruangan, diikuti oleh sang ratu dan Puteri Kalina yang tersedu-sedu, serta barisan dayang di belakang mereka. Sepeninggalan raja, ruangan kembali rusuh, dipenuhi oleh pro dan kontra atas rencana yang riskan tersebut. Dharta pun langsung memprotes.
"Ini sama saja dengan bunuh diri, aku tak akan ikut!"
Alis Pandita Wasesa mengerut tajam. "Kuulangi, ini bukan permintaan, ini perintah! Kami harusnya sudah menahanmu di bui karena menculik pemuka agama, tapi Arwa Iora memintamu dibebaskan. Jadi turuti saja!"
Dharta melirik Iora dengan geram. Bahkan dalam kondisi seperti ini, perempuan itu masihlah tenang dan tanpa ekspresi, terlebih sewaktu berkata, "Kamu bisa mendapat imbalan besar dari rencana ini, bukankah itu yang kamu inginkan? Sesuai perjanjian kita di awal."
Dharta hanya bisa mendecih sebab yang Iora katakan telak. Perempuan itu memang menjanjikannya bayaran yang lebih besar bila mau ikut ke istana, tetapi Dharta tak mengira harus sampai terlibat dengan 'Makhluk-makhluk' yang tampak akan bisa menghancurkannya dengan sekali tebas.
Saat itu, Dharta memilih diam, berpura-pura setuju, dan menurut saja ketika Pandita Wasesa memberinya kamar di salah satu penginapan untuk beristirahat hingga pagi. Dia pun membiarkan sang Pandita dan Iora kembali ke sisa-sisa kekacauan di kota untuk memberi ketenangan spiritual pada para penduduk. Dharta tak penasaran untuk mencari tahu lebih banyak sebab, malam itu juga, dia memutuskan kabur. Mempertaruhkan nyawa, kendati dengan bayaran luar biasa setimpal, tak sepadan apabila dia harus berhadapan dengan makhluk-makhluk tak lazim seperti dua malam belakangan. Namun, baru sampai di ambang pintu depan penginapan, langkah laki-laki itu terhenti.
Di sana, Pandita Wasesa sudah menunggunya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top