Bab III: Anasir

"Apa?"

Sepenggal kata itu yang sempat diucapkan Dharta, sebelum desisan berat keluar dari salah satu mulut makhluk hitam besar di depan sana. Laki-laki itu refleks mundur perlahan, bersiaga dengan pedang di hadapan badan. Di belakangnya, Iora berbisik lagi. "Pedangmu cukup tajam? Penggal kepala mereka."

"Mereka ada tiga, demi apa pun!"

Tepat ketika Dharta memprotes demikian, ketiga makhluk tersebut—sambil menyeret punggung bungkuk mereka—berjalan menujunya. Sembilan mata kuning di kegelapan kini menyasar dua manusia di dekat altar kuil. Si penculik hendak kabur, tetapi Iora memperingatkan, "Mereka akan mencabikmu selagi kamu lari. Lawan!"

"Tsk!" Dengan keringat dingin yang mulai mengalir, Dharta batal berlari dan mengacungkan pedangnya. Ketiga makhluk itu masih berjalan, belum menerjang, seolah waspada terhadap benda tajam yang dipegang kuat-kuat oleh si laki-laki. Dalam jeda sesaat, Dharta berbisik ke sang Arwa, terutama penasaran terhadap fitur manusiawi—berjalan dengan kedua kaki—pada tiga makhluk tersebut. "Hewan apa ini?"

"Sudah kubilang, mereka Anasir," jelas Iora. "Kamu yang bukan pemercaya takkan tahu. Mereka—"

Belum selesai Iora bicara, Dharta melepas ikatan tali yang menghubungkan tangannya dengan tangan sang Arwa. "Lari," kata penculik itu, membebaskan sanderanya.

Satu makhluk terdepan lekas berlari menyasar Dharta. Dua sisanya menunggu dalam bisu, memerhatikan dengan awas tatkala kawan mereka menerjang si manusia. Tangan Dharta sempat gemetaran, tetapi naluri untuk mempertahankan nyawa selalu mangkus pada saat-saat krusial. Sabetan pedang laki-laki itu menusuk dada si makhluk, sempat mengakibatkannya jatuh merangkak, tetapi dapat berdiri kembali seraya dada berbulu makhluk tersebut mengucurkan cairan merah pekat.

"Penggal," suruh Iora yang—alih-alih kabur menyelamatkan diri—masih berdiri tak jauh di belakang Dharta.

"Memangnya gampang?!" Sambil memprotes, Dharta mengayun pedang lagi sebab si makhluk sudah kembali menerjangnya.

Usai pedang Dharta hanya mampu menyabet secuil sisi leher makhluk tersebut, Iora menyentak, "Matanya. Tusuk matanya!"

Geraman kecil lolos dari mulut Dharta—kesal pada sang Arwa berisik serta si makhluk tengik yang sulit ditumbangkan. Namun, mengikuti saran Iora, Dharta mengarahkan mata pedangnya ke salah satu mata si makhluk—persisnya pada mata ketiga di bagian yang sepertinya merupakan dahi.

Pedang Dharta menusuk mata tersebut dengan telak, mengoyaknya hingga hancur, menyebabkan cairan merah kekuningan mengalir ke luar. Si makhluk melengking keras-keras, memegangi matanya dengan kesakitan seraya kedua tangannya meraba-raba ke depan seperti orang buta. Kedua mata yang tersisa seakan tiba-tiba berhenti berfungsi pula.

"Saraf setiap matanya terhubung," jelas Iora. "Sekarang dia buta total."

Mendengar suara Iora, makhluk hitam itu pun mengendus-endus untuk menarget mangsanya. Kesempatan itu Dharta manfaatkan untuk mengincar leher si Anasir dan, langsung saja, dia menebas kepala makhluk tersebut. Kerasnya leher tersebut mengakibatkan bilah pedang Dharta sempat tersangkut, sehingga laki-laki itu harus mengerahkan lebih banyak tenaga pada lengannya untuk mengoyak daging si Anasir. Lantas, darah memuncrat deras seiring kepala terlepas dari badan, terlontar hingga terguling-guling di lantai kuil. Makhluk itu tewas seketika, mengundang lolongan marah dari kedua kroninya. Satu makhluk bergegas mengincar Dharta, sedangkan satu lainnya menghambur ke arah Iora.

Dalam jeda singkat, Dharta sempat ragu: menghadapi makhluk di hadapannya lebih dulu atau mengutamakan sang Arwa. Namun, refleks untuk sintas bekerja lebih cepat dari benak. Serta-merta Dharta mengulang gerakan yang sama: menusuk mata di dahi si makhluk hitam yang mengincarnya. Si makhluk pun melolong, bersimpuh seraya memegangi dahi; belum sanggup melakukan pergerakan lain. Dharta lekas berpaling, menduga bahwa sang Arwa telah dilahap oleh makhluk hitam lainnya dan berakhir seperti ketiga mayat manusia di sana.

Namun, yang disaksikan Dharta justru berbeda.

Sang Arwa masih berdiri tegak, sementara si makhluk hitam mematung di depannya. Hidung si makhluk mengendus-endus tubuh perempuan itu. Matanya berkilat sembari menyipit, sedangkan mulutnya berupaya membendung liur. Iora lantas melirik Dharta, seolah memberi isyarat. Si penculik paham, tak mengulur waktu, lalu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi sebelum menebas kepala Anasir di hadapan sang Arwa.  

Sebentuk kepala hitam pun mendarat di lantai kuil, menyusul kepala lain yang terlebih dulu buntung. Darah dari pangkal lehernya menciprati jubah Iora, meninggalkan bercak-bercak merah seperti lukisan abstrak. Sementara itu, seakan menyadari rekannya sudah tewas, satu makhluk hitam yang tersisa gegas beranjak. Kentara panik, dia berlari menyelamatkan diri, menyisakan tetes-tetes merah kekuningan sepanjang jejaknya hingga sosoknya ditelan kekelaman malam.

"Biarkan," ucap Iora, ketika Dharta hendak menyusul.

Si penculik pun menurunkan pedangnya sembari menghela napas lega dalam-dalam. "Apa-apaan tadi?!"

Iora tak menjawab, hanya menatap kepala hitam di depan kakinya dengan datar. Dharta, mengira perempuan itu terlalu syok sampai-sampai tak sanggup bereaksi, menghampirinya. "Kamu tak apa?"

"Jangan mendekat," tegas Iora, kontan menjauhi laki-laki itu seraya bergidik jijik, tak lain akibat keusilan Dharta menyentuh tubuhnya sore tadi.

"Aku hanya ingin mengecek," cibir Dharta, tersinggung ditampik demikian. Setelah lebih dapat menenangkan diri, seraya membersihkan pedang dengan kain jubah mayat Pandita di dekatnya, dia melanjutkan, "Kita harus cepat pergi dari sini kalau-kalau lebih banyak makhluk seperti ini menyusul. Aku tak mau mati mengenaskan seperti si Pandita dan dua anak buahnya. Ayo."

Sang Arwa terdiam, masih memandangi kepala beralas genangan darah di bawahnya. Sejenak kemudian, dia bertanya pada si penculik, "Kamu punya destinasi setelah ini?"

"Ha? Masih perlu ditanya?" balas Dharta sebal. "Sudah ditipu Pandita sialan ini dan malah diserang makhluk tak jelas—berani sumpah mereka itu beruang cacat—ya, tentu saja aku tak punya tujuan!"

"Kalau begitu, silakan pergi sendiri. Aku sudah tak dibutuhkan lagi, bukan?"

Dharta pun menggeram, memungut tali dari lantai demi menunjukkan wibawanya sebagai penculik lagi. "Kamu masih tawananku, takkan kulepas sampai dapat untung. Kalau perlu kujual kamu ke rumah bordil, akan kulakukan."

Sekali itu, akhirnya sang Arwa sudi memandangi si penculik persis di mata. Lekat, intens, penuh kebencian bila bukan amarah, hingga membuat Dharta nyaris merinding. Namun, yang dikatakan Iora berikutnya justru mengagetkan laki-laki itu, "Kalau begitu, kita pergi ke Istana."

Dharta nyaris melengking. "Apa?!"

"Bawa kepala salah satu Anasir ini," ujar sang Arwa, kembali melirik kepala makhluk hitam di bawahnya.

"Gila, untuk apa? Aku tak sudi!" protes Dharta, kian heran dengan Iora yang semakin tidak mencerminkan citra Arwa nan lemah lembut sekaligus penakut yang selama ini dia kira.

"Kamu butuh uang, bukan?" tanya Iora.

"Yah, bisa dibilang aku merugi karena penculikanmu ternyata sia-sia. Tapi memangnya kamu tahu orang lain yang mau membelimu?"

Iora mendelik pada Dharta, membubuhkan intonasi persuasif pada suaranya. "Bagaimana jika kamu bisa mendapat jumlah uang yang jauh lebih besar, melebihi yang ditawarkan Pandita itu atas diriku?"

"Bagaimana caranya?" selidik Dharta.

Iora menjawab datar. "Seperti yang kubilang tadi. Istana."

Dharta tercengir. "Kamu memang sudah gila," ujar si penculik seraya geleng-geleng kepala. "Wajar kalau makhluk-makhluk tadi membuatmu trauma."

"Anasir," ralat Iora, sebentar kemudian mengamati sekeliling. Tatapannya tertambat pada secarik kain putih yang menutupi sebagian atas mimbar. Dia pun mengambil kain tersebut lalu, sebab Dharta kentara enggan, mengangkat kepala salah satu Anasir dengan tangan kosong tanpa rasa takut sedikit pun. Dibalutnya kepala Anasir dengan kain tersebut dan, seiring merah darah merembesi putih kain, Dharta berusaha keras menahan mual.

"Kamu benar-benar akan membawanya?!" sergah Dharta.

"Ya, aku perlu bukti. Kalau kamu tak minat ikut, aku akan pergi sendiri," jawab Iora, mengikat keempat ujung kain tersebut menjadi simpul erat.

"Hei, siapa bilang kamu sudah bebas?"

Kali ini, Dharta benar-benar menghadang Iora, hendak mengikat perempuan itu kembali sebelum Sang Arwa membalas tenang, hampir seperti menantang, "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Aku yang cari uang. Aku pula yang menentukan caranya. Kuberi bagianmu, lalu kamu melepaskanku. Kamu tak perlu ikut campur. Kamu hanya perlu membiarkanku. Setelah itu, kita tak punya urusan apa-apa lagi."

Pegangan tangan Dharta pada tali mengendur. "Kamu takkan menipuku?"

"Aku Arwa. Sang Samad akan menghukumku bila berbohong," ujar Iora. "Jadi?"

"Jadi apanya?"

"Jadi, sepakat atau tidak?" Sambil berkata demikian, Iora mulai berjalan sambil mengangkut buntalan berisi kepala. Perempuan itu memilih jalur yang mereka tapaki semula, yang sempat dia hapalkan selama perjalanannya kemari, tak peduli pada gelap yang masih melanda.

Terkesiap, Dharta memanggilnya. "Hei, lalu bagaimana dengan mayat Pandita ini?"

"Biarkan saja. Ini sudah cukup jadi bukti," balas Iora, suatu jawaban yang semakin tidak disangka oleh Dharta sebab—sejauh yang dia ketahui, kendati dia bukan pemercaya—para Arwa biasanya bertanggungjawab dalam mengurus dan memberkahi prosesi pemakaman, bukan menelantarkannya begitu saja.

Namun, karena sang Arwa masih berjalan abai, Dharta pun memungut lentera dari pilar kuil lalu mengikuti si perempuan, meninggalkan mayat-mayat di belakang mereka. Tatkala langkah Dharta nyaris mengimbangi, Iora cepat-cepat mencegah laki-laki itu. "Jaga jarak dariku. Enam langkah. Jangan kurang."

"Hei!" Dharta hendak protes, tetapi sang Arwa sudah berjalan cepat hingga jarak di antara mereka secara harfiah merenggang enam langkah. Lebih karena aura misterius dari sang Arwa, daripada fakta bahwa perempuan itu sedang menjinjing sebongkah kepala, Dharta pun menurut dengan gerutu.

Perjalanan mereka sunyi, seperti mulanya, selagi sang Arwa membawa kepala dengan santai layaknya belanjaan di pasar dan Dharta bertanya-tanya dalam keheranannya sendiri. Setengah kesal karena perempuan di depannya sangat irit bicara, Dharta pun memecah keheningan. "Jadi, makhluk itu apa?"

"Anasir," ralat Iora lagi, memerhatikan sekeliling kalau-kalau ada teman-teman si pemilik kepala yang datang.

"Apalah namanya, mereka itu apa?" timpal Dharta. "Belum pernah kulihat yang seperti itu!"

Iora menghela napas, kentara malas menjelaskan. "Di Kitab Agung, mereka selalu disebut-sebut. Musuh abadi manusia."

"Mana kutahu, aku kan tak pernah baca kitab kalian. Jadi kamu tak mengada-ngada?"

"Kitab Agung bukan sepenuhnya dongeng seperti yang kamu kira, bukan?" balas Iora.

Dharta mengangkat bahu. "Isinya tetap tak masuk akal." Dia lantas meneruskan, "Menurutmu, mengapa makhluk-makluk itu menyerang Pandita dan anak buahnya? Kebetulan saja?"

"Tak tahu," jawab Iora dingin.

Si penculik mendesak lagi, kali ini dengan nada usil, "Tak ada terima kasih untukku?"

"Untuk apa?"

"Karena telah menyelamatkanmu, duh."

Iora tak menjawab, bahkan tak melirik Dharta barang sedetik pun. Hal itu membuat si penculik ingin menelisik lebih lanjut, menyuarakan kejanggalan yang terpendam sejak kejadian di kuil. "Kulihat makhluk itu, sewaktu hampir menerkammu, tampak ragu."

Sang Arwa, tak terusik, membalas, "Benarkah?"

"Dia seperti mengendusmu, dan sesuatu membuatnya berhenti."

"Mungkin karena tubuhku terselubungi doa dan berkah Sang Samad?" balas Iora.

Dharta mendengkus jengkel. "Ayolah. Aku takkan termakan omong kosong itu."

Sekali ini, Iora mendelik dari rentang enam langkah di hadapan Dharta. "Bagaimana bila kenyataannya begitu?"

Menaksir perbincangan mereka akan berlanjut pada ceramah religius, Dharta hanya mendengkus lagi sebelum berhenti bertanya. Sisa perjalanan mereka lalui dengan hening, seraya setiap waktu mengawasi sekitar, tetapi tidak ada susulan apa pun hingga akhirnya mereka mencapai tepi Hutan Lagang ketika pagi menjelang.

Di desa terdekat yang mereka temui, Iora berkata, "Kita butuh kuda supaya lebih cepat sampai istana. Kamu bawa uang, bukan?"

Dharta berpikiran serupa, kendati masih ragu apa dia benar-benar akan mengikuti sang Arwa sampai ke istana? Tawaran uang tersebut gamang, tetapi jelas menggiurkan. Kepala yang dibawa sang Arwa mungkin memang ada harganya. Atas dasar asumsi tersebut, Dharta menyanggupi. "Baiklah. Akan kubeli pakai uang muka yang diberi Pandita itu," ketusnya. "Tapi kamu harus mengganti uangku setelah ini."

Iora tak menjawab, hanya mengikuti Dharta mencari rumah-rumah yang memiliki kandang kuda di desa tujuan mereka. Desa itu tergolong kecil, dengan jumlah rumah yang tak lebih dari lima puluh—semuanya berbahan kayu serta jerami. Segelintir orang yang sudah bangun dan berkeliaran di desa tersebut melirik kedua pendatang dengan heran, terlebih pada buntalan putih bercampur merah yang dijinjing oleh Iora. Namun, melihat jubah kebesaran Arwa Dwaya yang Iora kenakan, beberapa penduduk yang tampaknya merupakan penganut taat tak berani bertanya-tanya, justru menundukkan kepala selaku gestur hormat. Mereka percaya, sebagaimana diajarkan para pendahulu mereka, bahwa kedatangan Arwa bukanlah berita buruk, melainkan untuk memberkahi dengan doa-doa sehingga mereka tak berani bertanya apalagi mengganggu.

Termasuk salah satu penduduk yang rumahnya diketuk oleh Dharta. Tatkala Dharta memberi sejumlah uang untuk membeli salah satu kudanya, si pemilik rumah langsung menyodorkan kuda terbaiknya tanpa curiga, bahkan memberi satu kuda tambahan serta perbekalan makanan untuk satu hari secara cuma-cuma.

"Berkahi kami, Oh Arwa yang Sang Samad kasihi. Musim panen kali ini tidak bagus," pinta si pemilik kuda—seorang laki-laki paruh baya dengan muka memelas.

Iora tersenyum lembut, menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil memandang langit biru muda dengan khidmat. "Semua akan baik-baik saja. Sang Samad selalu melindungi kita."

Si pemilik kuda lantas mengucapkan terima kasih berulang kali, melepas Iora dan Dharta sambil mendoakan keselamatan mereka keras-keras. Beberapa penduduk yang menyaksikan proses tersebut tampak iri dengan si pemilik kuda yang baru diberkahi. Melihat itu, usai membantu Iora naik ke atas kuda dan mengikat buntalan berisi kepala Anasir di ujung pelana, Dharta menyerocos, "Itukah yang diajarkan di kuil-kuil kalian? Bermain peran dan menipu orang-orang dengan janji palsu?"

"Diamlah," ketus Iora. Senyum yang sempat dia terbitkan pada penduduk desa kini lenyap sepenuhnya seiring kuda melaju. Di belakang, Dharta tercengir mengejek, apalagi selama menyaksikan Sang Arwa yang berkali-kali nyaris jatuh dari kuda karena ketidakmampuannya mengarahkan tunggangan tersebut. Kentara amatir, sewajarnya orang yang menghabiskan usia di dalam kuil. Tatkala laki-laki itu nyaris mengimbanginya, Iora memperingatkan lagi, "Enam langkah dariku."

Untuk kesekian kali dalam sehari itu, Dharta menggerutu lagi tetapi menurut—menjaga jarak kudanya supaya tak terlalu dekat dengan Iora. Mengandalkan posisi matahari, ke arah Barat mereka bertolak. Sepanjang perjalanan mereka tak bicara, dan Dharta masih menyimpan sejuta tanya selagi memandangi buntalan berisi kepala enam langkah di depannya. Barulah ketika matahari nyaris terbenam, mereka berdua pun tiba di Sadana, ibukota Dikara. Di jantung kota itu, destinasi mereka—istana—berada.

Dharta belum pernah menapaki Sadana sekali pun, bahkan selama sembilan belas tahun hidupnya. Sejauh yang pernah dia dengar, Sadana serupa mimpi indah yang membungkus segala angan. Kota yang makmur, relatif tenteram, dan menjadi pusat perkembangan negara Dikara. Melalui gerbang utama yang menjadi jalur keluar-masuk bagi para musafir, kemegahan yang disuguhkan menjadi pelepas penat serta dahaga. Dari kejauhan, puncak cerobong pada rumah-rumah penduduk menyerupai menara mungil, menyalurkan asap-asap yang mengepul dari makanan lezat berlimpah. Melalui celah gerbangnya, orang-orang berlalu lalang—muda hingga tua, pria dan wanita, hingga gerobak-gerobak serta kuda atau keledai mereka. Dharta dan Iora tiba di saat yang tepat, begitu gerbang nyaris ditutup oleh para prajurit istana—peraturannya, matahari tenggelam, gerbang tertutup rapat. Namun, sesampainya di sana, dua prajurit menghadang jalan mereka usai melihat kantung merah mencurigakan yang Iora bawa.

"Apa yang kauangkut?" tanya si penjaga.

"Ini belum malam," cetus Iora lembut pada kedua penjaga tersebut. Kedua pria itu pun sempat terdiam, mengamati jubah sang Arwa—yang kendati kotor, masih tampak elegan dan memberi kesan wibawa—sebelum menagih lagi.

"Tunjukkan isinya," ujar salah satu penjaga.

Di belakang, Dharta mengencangkan kekangannya pada tali pelana, bersiap kabur kalau-kalau semua tidak berjalan lancar. Namun, sang Arwa justru melihat ke arah gerbang dengan tenang. Di sana, dari arah bagian dalam kota, seorang pria tua berjanggut kelabu dan berjubah putih dengan hiasan bordir emas sedang berjalan menuju mereka.

"Dia tamuku!" sentak pria tua tersebut dari kejauhan. "Biarkan dia masuk!"

Kedua penjaga serempak menoleh. Bagi mereka, sosok pria tua yang merupakan Pandita Luhur tersebut setara petinggi istana sehingga perintahnya ialah mutlak. Mereka pun menyahut patuh, "Baik, Pandita Luhur."

"Pandita Wasesa," ucap Iora, mengangguk hormat tatkala pria tua itu mencapainya.

Pandita Luhur tersebut hanya menatap Iora sekilas, sebelum matanya tertuju pada kantung merah yang terikat di pelana, lalu pada laki-laki di belakang sang Arwa. "Kukira kamu takkan tiba secepat ini," sambutnya.

"Dan kukira Anda takkan berada di sini," balas Iora, "sesudah membiarkanku dibawa oleh orang ini."

Dharta sedikit tertegun, lantas samar-samar mengingat bahwa pria tua itu adalah sosok yang sama dengan Pandita Luhur yang memimpin proses penobatan di Kuil Chalya kemarin. Sang Pandita sendiri hanya menatap Iora, tidak memedulikan si penculik lagi, lalu menggerakan dagunya sebagai isyarat agar Iora mengikutinya.

Iora pun turun dari kuda, sedikit timpang ketika kakinya memijak tanah, lalu berjalan menyusul Pandita Luhur sambil menuntun kuda. Meskipun kebingungan, Dharta mengikuti mereka berdua dari belakang sambil mencuri dengar pembicaraan.

"Anda kemari karena kerusuhan kemarin?" ucap Iora pada sang Pandita.

Pandita Wasesa berjalan sambil menatap lurus ke depan, tetapi mulutnya menjawab pertanyaan sang Arwa, "Begitulah. Kamu bertemu mereka? Si Makhluk?"

Iora mengangguk, menjawab, "Ya, kubawa bagian dari Anasir," dalam bisikan supaya orang-orang di sekitarnya tak bisa mendengar jelas. "Bagaimana Anda tahu?"

"Sejak dua hari lalu, salah satu Pandita Luhur Istana, Utpala, menghilang. Para bawahannya bilang dia menuju Hutan Lagang ... "

"Apa?!" sergah Dharta cepat-cepat, menerobos ke dekat sang Pandita Luhur. "Utpala? Dia yang menyuruhku untuk menculik salah satu Arwa dari kuil kalian!"

"Begitukah?" tanya Pandita Wasesa. "Di mana dia sekarang?"

"Dicincang oleh makhluk jadi-jadian yang kalian sebut-sebut itu," balas Dharta dengan jengkel. "Aku bahkan belum dibayar penuh!"

Pandita Wasesa mengusap dagunya sekilas. "Semuanya menjadi lebih jelas, kalau begitu. Kepergian Utpala, kemunculan Anasir." Sejenak kemudian, dia melirik Iora, "Dan mengapa kamu bawa serta orang ini?"

"Aku butuh saksi," ucap Iora, setengah menggumam dalam keberatan. "Walaupun bukti ini sudah lebih dari cukup, tapi bila benar salah satu Pandita Istana adalah salah satu dalangnya, pasti ada sangkut pautnya dengan pihak Istana."

"Bertepatan itu, Raja sedang menggelar pertemuan dengan para Menteri dan Pandita sekarang. Aku akan membawamu ke sana. Perlihatkan pada mereka, Arwa Iora, supaya tak ada lagi pembangkang. Waktu yang tepat, waktu yang akurat," ucap Pandita Wasesa, lantas mempercepat langkahnya menuju komplek istana yang terletak di jantung kota. "Aku ingin melihat isi kantungmu, tapi membukanya di sini sangat berisiko. Tak sabar, tak sabar."

Dharta mengernyitkan dahi selagi menyimak racauan sang Pandita tersebut. Mulutnya mengucap, "Orang tua sinting," tanpa suara pada Iora, tetapi perempuan itu jutru membalasnya dengan peringatan, "Kamu jangan berucap apa-apa di hadapan raja. Biar kami saja yang bicara."

Sang Arwa pun kembali mengawasi kantung merah yang kini kehitaman pada gantungan pelana. Sementara itu, Pandita Wasesa tetap berjalan tegak di depan, sesekali berkomat-kamit tak keruan. Orang-orang sekitar, mendapati adanya Pandita Luhur dan Arwa, hanya menyingkir dan membungkuk hormat tatkala keduanya lewat, tidak berani menyapa maupun bertanya-tanya, yang sedikit-banyak membuat Dharta merasa risi.

Di depan gerbang Istana, usai menitipkan kuda, kedatangan mereka pun tidak dihalangi penjaga musabab atribut milik sang Pandita Luhur serta Arwa Dwaya—dan karena Dharta dianggap sebagai bagian dari rombongan suci tersebut, dia turut diizinkan masuk. Ruangan pertama yang mereka masuki adalah aula istana yang sedemikian luas dan megah, tetapi hanya mereka susuri sepintas untuk memasuki ruangan lain di sayap kanan aula tersebut. Di dalam sana, seraya diawasi oleh enam penjaga berbaju zirah, Dharta langsung ternganga.

Selama ini, dia hanyalah petarung dan penculik bayaran yang terbiasa berkeliaran di jalanan, dan tak pernah seumur hidup membayangkan akan bisa menginjak bahkan secuil bagian istana. Namun sekarang, bersama dua sosok relijius yang notabene dia benci, laki-laki itu mendapati dirinya berdiri di hadapan kurang lebih dua lusin sosok penting yang mengatur pemerintahan Dikara. Kumpulan laki-laki tua—dan sedikit perempuan tua yang merupakan perwakilan Arwa—duduk di dua sisi ruangan, menyisakan jalur lurus di bagian tengah yang persis menuju singgasana raja. Di sana, di ujung tengah ruangan, seorang laki-laki duduk di singgasana berupa kursi berangka emas murni. Jubahnya paling cemerlang dan menjuntai di antara semua orang. Di kepalanya, memuncaki rambut hitam keabuan, tersemat mahkota yang tersusun dari ranting pohon suci Morane serta hiasan permata. Wajah paruh bayanya menatap lurus ke depan, ke ketiga tamu yang baru saja tiba, dengan penuh intimidasi.

Dialah Wikram Aklar, Raja Dikara.

Di samping kirinya, Dharta melihat Pandita Wasesa dan Iora sudah membungkuk hormat. Laki-laki itu pun terpaksa turut membungkuk, apalagi dengan lebih dari dua puluh lima pasang mata menyasar dirinya. Begitu Raja Dikara mengayunkan telapak tangannya untuk mempersilakan ketiga tamu itu bicara, Pandita Wasesa langsung mengambil kesempatannya. "Yang Mulia, seperti yang saya sampaikan sebelum meninggalkan ruangan ini beberapa waktu lalu, Arwa yang saya maksud sudah kembali. Rupanya dia mengalami hal nahas dan membawa barang bukti."

Iora lantas maju selangkah, dua langkah, kemudian mengeluarkan isi kantung pada jalur kosong di hadapan singgasana. Begitu sebentuk kepala hitam terlontar keluar, seisi ruangan seketika terhenyak, disertai jeritan dari berbagai sudut acak. Para Pandita dan Arwa serta-merta berkomat-kamit mengucapkan doa andalan mereka, sementara beberapa menteri menutup hidung dengan jijik akibat bau busuk yang menguar.

"Makhluk apa itu?!" sentak salah satu menteri, yang duduk paling dekat dengan singgasana raja.

"Anasir, Yang Mulia. Sebagaimana disebut di dalam Kitab Agung. Makhluk yang diciptakan untuk menyebar kesengsaraan pada manusia," jelas Pandita Wasesa.

"Bukankah mereka sudah punah?" sergah si menteri, bahkan sebelum Raja Wikram, yang masih mencermati kepala hitam mengerikan dari singgasananya dengan saksama, sempat berkomentar.

"Meragukan ciptaan Sang Samad adalah dosa besar, Menteri Jrapani yang Terhormat," kecam Pandita Wasesa, yang diamini oleh sebagian Pandita Luhur dan Arwa Utama. Hanya saja, Dharta yakin penuh, dia sempat melihat beberapa pemuka agama tersebut tampak ragu di balik kegentaran mereka. "Sebagaimana yang sebagian dari kita pernah saksikan hampir satu windu lalu, Makhluk ini nyata dan masih ada," tambah Wasesa.

Kini, sebagian hadirin di ruangan tersebut bergumam, bila bukan menundukkan kepala atau memberengut. Saat berikutnya, salah satu Pandita Luhur lainnya, berdiri dan berkata, "Izinkan saya berbicara, Yang Mulia. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat pada rekanku Pandita Wasesa, dalam Kitab Agung telah disebutkan bahwa kemunculan Anasir adalah di akhir zaman. Seperti tertera pada Almanak Seratus Sembilan Puluh Delapan, 'Tatkala gunung-gunung meletus, laut mengamuk, dan langit runtuh, Anasir-Anasir akan bermunculan dari rekah tanah.' Sedangkan, seperti yang bisa kita semua lihat, keadaan negara kita baik-baik saja."

Sebagian besar orang di dalam ruangan langsung berdeham setuju. Raja Wikram masihlah diam, seperti menunggu, hingga akhirnya Pandita Wasesa kembali mendesaknya, "Ini adalah pertanda, Yang Mulia! Saya yakin hilangnya Pandita Utpala berkaitan dengan hal ini!"

"Saya benar-benar melihatnya," ucap Iora kemudian, dengan lantang, hingga membuat seluruh isi ruangan kembali hening. "Saya diculik, oleh laki-laki di samping saya, pada kerusuhan kemarin di Kuil Chalya di Kalari. Pandita Utpala yang menyuruh dia, tapi malah terbunuh oleh makhluk ini. Kami beruntung bisa membunuhnya dan membawanya kemari sebagai bukti."

Hening yang sempat melingkupi ruangan lekas menyirna tatkala Menteri Jrapani kembali menyerocos, "Pandita Utpala itu? Menculik Arwa muda sepertimu? Haha! Paling-paling hanya untuk kesenangannya saja!"

Seluruh menteri, ditandai oleh atribut jubah biru yang mereka kenakan, serempak tertawa. Termasuk seorang pria kekar berbaju zirah yang duduk paling dekat dengan Raja Wikram, yakni Panglima Prajurit Istana. Hanya padanya, Iora melemparkan tatapan sengit yang sarat kebencian. Sementara itu, para Pandita dan Arwa terdiam, seolah memaklumi bahwa ucapan Menteri Jrapani memang lumrah dilakukan oleh Pandita Utpala.

Namun, tawa tersebut terakhiri oleh isyarat tangan dari Raja Wikram. Akhirnya, setelah selama ini hanya mengamati, orang yang paling berkuasa seantero Dikara itu bersuara, "Kalian kuiizinkan ke sini, hanya untuk menyampaikan omong kosong ini?"

Pandita Wasesa dan Iora terhenyak. "Tapi, Yang Mulia—" sergah Iora.

"Trik apa lagi ini, beruang yang kalian buat cacat atau kalian permak sedemikian rupa, bukankah itu lebih mudah dipercaya?" potong Raja Wikram. Kami punya hal yang jauh lebih penting, seperti pemberontakan terhadapku dan kerusuhan-kerusuhan di kuil-kuil, daripada ini. Keluar, kalian berdua! Wasesa, tetap di sini dan kita akan membicarakan apakah kuilmu layak dipertahankan."

Sang Pandita Agung tertunduk. Iora, masih menatap tegak ke arah singgasana, menahan napasnya dalam-dalam seraya menyembunyikan kepalan tangannya di balik keliman jubah. Namun, saat berikutnya, dua penjaga di pintu langsung menghampiri mereka. Iora tak tunggu digiring; perempuan itu lantas berbalik seraya menelan sisa-sisa tawa meremehkan dari para menteri.

Begitu pintu ruangan ditutup di belakang mereka, Dharta yang terlebih dulu menyuarakan kesumatnya. "Semua ini omong kosong! Seharusnya aku tak kemari! Utpala itu, lalu kamu..... Justru kalian semua, orang-orang yang mengaku suci, yang ternyata penipu!"

Dikatai demikian usai dipermalukan di hadapan banyak orang, Iora sudah tak bisa menahan amarahnya. Hampir dia balas mengatai Dharta, sebelum tiba-tiba pintu aula utama istana dibukakan oleh para penjaga. Dari baliknya, sesosok perempuan muda, diikuti oleh lima pelayan di belakang, berjalan memasuki ruangan.

Perempuan itu sangat jelita—dengan rambut cokelat keemasan, mata cokelat cerah yang melengkung elok, serta bibir yang merah merekah. Gaun emasnya menyapu lantai, membungkus tubuh rampingnya, serta tampak gemerlap seiring langkahnya melintasi aula. Sepintas dia melirik Iora serta Dharta di sudut aula, kentara tak tertarik dan cenderung merendahkan, lantas mulai menaiki tangga di tengah ruangan, masih dengan dibuntuti dayang-dayangnya.

Puteri Kalina Aklar, sebagaimana yang tersebar melalui mulut ke mulut, memang secantik yang orang-orang katakan.

Dharta sempat termangu oleh pemandangan tersebut, bahkan menunggu hingga sosok sang puteri sudah tak terlihat di puncak tangga, sebelum meneruskan, "Aku pergi dari sini! Anggap kamu beruntung kali ini, aku melepaskanmu!"

Dengan kata-kata tersebut, akhirnya dia benar-benar pergi meninggalkan istana. Iora tak menyahut, hanya berganti memandangi puncak tangga dan pintu ruangan singgasana hingga, tak lama setelah Dharta, turut bertolak dengan benak beriak.

***

Malam itu, Dharta tidak tahu harus menuju ke mana. Dia hanya menuntun kudanya, yang dia beli dengan seluruh uangnya hingga tak bersisa, menyusuri ruas jalan setapak di Kota Sadana sebelum berencana meninggalkan kota tersebut esok pagi. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Seharusnya dia tidak pernah menerima tawaran menculik tersebut. Sejak awal memang kurang terjamin, tetapi dia tergoda dengan bayarannya yang besar. Selama ini, setidaknya sejak setahun belakangan, begitulah dia mencari penghasilan. Sudah bosan menjadi buruh bangunan dan tukang angkut, apalagi dengan upah yang kecil, dia mulai dari meminta rekan-rekan kerjanya terdahulu—yang beberapa adalah mantan kriminal—untuk mengajarinya cara berpedang. Sembari mengasah kemampuannya, dia kunjungi kota demi kota, kedai demi kedai, dan—melalui informasi yang beredar dari para pengunjungnya—mendapat tawaran-tawaran kerja lepas berupa membantu rentenir menagih hutang ke orang-orang dengan ancaman, serta bergabung dengan komplotan pencuri yang merampok rumah pedagang-pedagang kaya.

Tawaran menculik ini pertama kali baginya. Pada awalnya dia merasa cukup bagus dalam melakukan pekerjaannya tersebut, bahkan sempat percaya diri, sebelum ternyata sang Arwa bertingkah mencurigakan—bila bukan menyebalkan—lalu mereka malah dihadang makhluk tak lumrah di Hutan Lagang. Pada akhirnya, Dharta malah tak memperoleh keuntungan apa-apa selain dipermalukan di hadapan raja dan para penjilatnya. Satu-satunya hal bagus yang terjadi adalah dia sempat melihat kecantikan Putri Kalina yang marak dibicarakan, yang tentu kelak akan dia banggakan pada rekan-rekannya bila ada kesempatan. Memang benar kata orang-orang: Puteri Kalina bisa saja memandangmu rendah, seperti kecoak menjijikkan di tanah becek, tetapi kamu masih saja memujanya habis-habisan.

Namun, bayang kecantikan Puteri Kalina dalam benak Dharta lekas memudar, tergantikan oleh sosok hitam besar di Hutan Lagang serta sepasang kepala buntung yang mengalirkan darah busuk. Begitu nyata, begitu membuatnya bergidik, sekaligus membuatnya ragu. Apakah makhluk itu—Anasir—benar-benar seperti yang dikatakan oleh Pandita Wasesa, atau hanya berupa binatang cacat?

Di tengah keraguan, Dharta berbelok ke ruas jalan berikutnya. Kuda yang dia tuntun tiba-tiba mengembuskan napas keras, tampak gelisah, sontak membuat Dharta mengamati sekeliling. Tak dia sadari, ternyata jalan yang dilaluinya mengarah ke depan pekarangan sebuah kuil. Lebih besar dari Kuil Chalya kemarin, tetapi sepi sebab malam sudah turun dan para penghuninya pasti sudah berada di dalam--merencanakan penipuan lain, mungkin, batin Dharta dengan gerutuan. Namun, nyaris tertutupi kegelapan malam, Dharta bisa melihat ada sosok yang sedang berdiri di pekarangan kuil tersebut, mengenakan jubah putih kusam yang belum diganti sejak kemarin.

Itu adalah Sang Arwa Dwaya yang baru dinobatkan: Iora.

Dharta sudah ingin berbelok, hendak menjauhi sumber kesialan baginya tersebut, tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk mengamati sedikit saja. Dilihatnya perempuan itu sedang mendongak ke atas, memandangi bulan purnama paripurna di langit, persis seperti yang dilakukannya kemarin malam di Hutan Lagang. Melihat itu, kekesalan Dharta muncul kembali. Dia pun menyahut ke arah perempuan itu, "Ritual konyol lainnya, hah?!"

Iora melirik ke arah Dharta, sebentar saja. Sebab, detik selanjutnya, sebuah bayangan besar melintasi langit di atas mereka. Sangat besar, hingga menutupi penerangan samar dari lentera-lentera di pinggir kuil. Sontak Dharta menengok ke atas, hanya untuk dibuat ternganga oleh sesosok makhluk raksasa yang sedang terbang di atas sana. Makhluk terbesar yang pernah Dharta lihat, barangkali seukuran aula istana yang baru tadi sore dia kunjungi. Hanya saja, tidak pernah seumur hidupnya, atau bahkan sejauh pengetahuannya, dia pernah melihat rupa makhluk seperti itu. Bersisik, bersayap seperti kelelawar tetapi berkali-kali lipat lebih besar, serta berkaki delapan. Tatkala bayangan tersebut sudah melewati kuil dan cahaya lentera sudah tak tertutupi, Dharta bisa melihat rahang lancip yang menangkup sepasang taring tajam pada mulut makhluk itu. Makhluk tersebut melesat terbang, cukup cepat untuk ukurannya, menuju kawasan pusat kota. Istana.

Di samping Dharta, si kuda sudah mengangkat kaki dan berontak ingin lari kalau saja tali kekangnya tak dipegang. Laki-laki itu masih terus mematung menatap langit, ke arah makhluk megah di atas sana, sebelum sang Arwa meneriakinya.

"Lari!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top