28 | Paroxysm
9 tahun kemudian di Kepulauan Sabaody ...
Dermaga sangat ramai, sama persis seperti terakhir kali gadis itu kunjungi beberapa bulan yang lalu. Kali ini sedikit berbeda. Dia tidak lagi mengubah rambutnya menjadi merah darah seperti milik kakeknya saat sebelum uban menyapa usianya yang semakin lanjut.
Rambutnya kali ini bewarna cokelat, dia kepang kelabang dan ditutupi oleh topi hitam. Tatapannya yang sebelumnya tertuju pada kesibukan orang-orang di dermaga, kini beralih menatap papan pengumuman yang berdiri di depan toko buku dan majalah. Kakinya yang jenjang melangkah mendekat. Matanya memicing saat melihat beberapa poster bounty bajak laut yang tertempel di sana.
Monkey D. Luffy.
Dead or alive.
Tiga ratus juta Belly.
“Tch!”
Tanpa sadar Thalassa berdecak. Bocah laki-laki itu belum genap setahun memulai karir sebagai bajak laut, tapi peningkatan harga kepalanya begitu drastis. Keonaran apa lagi yang sudah dia dan kru-nya lakukan?
“Kau mengikuti kabarnya?”
Tiba-tiba saja seseorang mengagetkannya dengan mengajaknya berbicara. Thalassa menoleh, mendapati seorang pria bertubuh gempal, tak lama gadis itu merespon dengan mengangguk sekilas.
“Dia ... Apa yang dilakukan olehnya kali ini?”
Pria yang Thalassa tebak adalah pemilik toko buku tersebut terkekeh. “Dia dan krunya berhasil menerobos Ennies Lobby dan menyatakan perang terhadap Pemerintah Dunia!”
Thalassa terdiam. Matanya—yang kini bukan lagi bewarna biru laut, melainkan berwarna hijau gelap—kembali menatap poster tersebut. Ujung bibirnya tertarik, menciptakan senyum misterius yang hanya dia seorang yang paham maksudnya.
“Begitu, ya?” Thalassa meraih poster tersebut, melipatnya dan memasukkan ke dalam saku. “Kau pernah melihatnya langsung?” tanya Thalassa sekali lagi.
Pemilik toko itu menggeleng. “Tidak. Lebih baik bagiku untuk tidak pernah bertemu dengannya. Bajak laut itu sangat bengis, Nona.”
Respon pria itu berhasil membuat senyum di bibir Thalassa memudar. Perlahan gadis itu mengangguk dan pamit. Baru beberapa meter berjalan meninggalkan papan pengumuman, dia tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria tua berkacamata dengan tubuh tinggi serta rambut yang telah dipenuhi uban. Jubah putihnya bergerak saat pria itu berjalan dan tidak sengaja menyentuh bahunya. Sejenak Thalassa merasa pernah bertemu dengannya saat dia masih kecil dulu. Pria tua itu terlihat familiar. Tapi sayanya, gadis itu terlalu malas untuk sekedar menoleh. Toh, pria tua itu pasti tidak akan mengenalinya lantaran penampilannya yang berubah. Bukan lagi gadis berambut perak dan bermata biru laut seperti yang orang-orang awam lihat 11 tahun yang lalu.
“Tunggu!”
Tanpa pernah gadis itu duga, pria tua itu memanggilnya. Thalassa tidak berhenti melangkah, namun dia memelankan langkahnya. Menunggu respon selanjutnya.
“Apakah kita pernah bertemu—” Kalimat pria itu terpotong saat terdengar suara gaduh dari salah satu kedai makanan yang tak jauh dari posisinya. Sepersekian detik berikutnya muncul beberapa orang berpenampilan urakan mendekat dan mengepung pria tersebut.
Thalassa tidak menoleh sama sekali, justru terus berjalan meninggalkannya yang masih terpaku menatapnya. Itu mustahil. Tidak ada orang selain Garling dan Aldian yang mengenalinya meskipun dalam penampilan menyamar seperti ini. Gadis itu berbelok ke gang terdekat dan berhenti sejenak. Samar-samar dia mendengar orang-orang berandal tersebut yang mengumpat dan berkata kasar kepada pria yang berhasil mereka ringkus barusan.
“Ikut aku, pria sialan!”
Kening Thalassa mengkerut. Dia memberanikan diri untuk mengintip apa yang terjadi dari balik gang, namun aksinya gagal saat sebuah tangan menyentuh bahunya. Gadis itu tersentak dan memekik terkejut. Tubuhnya langsung berbalik dan secepat kilat mengeluarkan sebilah pisau yang dia acungkan pada seorang pria berambut hitam legam yang barusan mengagetkan dirinya.
“Sa—Saintess ini aku!”
Aldian mundur selangkah seraya mengangkat kedua tangannya di udara.
Gadis itu berdecak kesal. Menurunkan belatinya dan kembali merilekskan tubuhnya sejenak. “Kau! Kenapa tiba-tiba mengagetkanku?!”
Aldian menghela napas. “Kenapa Saintess tiba-tiba menghilang? Kenapa pula Saintess mengganti pakaian mewah milik anda menjadi ...” Pria itu memperhatikan sejenak pakaian casual milik majikannya itu dari atas sampai bawah. Hanya celana jeans dan kaos bewarna merah maroon dengan sepatu kets. Pakaian normal yang biasa orang-orang pakai. Well, mungkin normal bagi orang-orang yang hidup di bawah Red Line.
“Gaun itu terlalu ribet untuk dipakai di sini. Lebih baik menyamar dan menyatu dengan orang-orang sekitar agar tidak mencuri perhatian.”
“Tapi Saint Carlos—”
Kalimat Aldian langsung Thalassa potong dengan suara decakan kesalnya. “Pria itu dari dulu terlalu norak! Jangan samakan aku dengan dirinya. Dia tidak pantas disebut Saint jika kelakuannya sebelas-dua belas persis seperti sampah!”
Aldian lagi-lagi menghela napas. Dia tidak berani membantah. Dari awal pria itu sudah mengerti jika cucu majikannya itu berbeda dari para bangsawan suci pada umumnya.
“Baiklah, hamba minta maaf.”
Sekarang Thalassa menaikkan salah satu alisnya, bingung. “Untuk apa?”
Kini Aldian bingung untuk menjawab apa. Gadis itu sering kali membuatnya banyak berpikir dan terdiam saat bibirnya itu mengucap kalimat yang sangat aneh untuk dikeluarkan oleh orang-orang suci.
“Untuk ... Anu ...”
“Kau telah khawatir aku kenapa-kenapa karena menghilang selama lebih dari 2 jam. Seharusnya aku yang meminta maaf,” lanjut Thalassa.
“...”
“Maaf ya, telah membuatmu khawatir.” Gadis itu menepuk pelan pundak Aldian lalu memilih berjalan lebih dulu di depan.
Ya Tuhan ... Saintess Thalassa memang benar-benar berbeda!
“Ta—tapi Saintess! Acaranya sebentar lagi akan segera dimulai!”
Langkah Thalassa seketika berhenti. Dia tiba-tiba langsung teringat tujuan utama dia (sebagai perwakilan Garling) pergi mengunjungi pulau Sabaody.
“Ah, kau benar.” Thalassa berbalik, kembali mendekati Aldian. Pria yang berjabat sebagai asisten, pelayan dan bodyguard-nya sejak dia masih kecil itu memberikannya sebuah jubah hitam yang terdapat bordiran bunga-bunga rambat bewarna emas serta simbol keluarga Figarland.
“Saint Garling memberikan pesan untuk minimal membawa satu budak yang akan dibawa ke kastil.”
Thalassa terkekeh. “Kau tahu apa yang akan aku lakukan, bukan?”
“...”
“Sampai kapanpun, aku benci membeli manusia.”
“...”
“Aku mengiyakan perintah pria tua itu, karena aku hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh sampah-sampah itu di acara lelang tersebut.”
Aldian lagi-lagi hanya bisa terdiam. Berusaha untuk tidak kaget dengan respon dari gadis itu.
“Aku bingung, Aldian. Kenapa manusia-manusia jelek seperti Carlos ada di dunia ini?” ucapnya dengan santai seraya berjalan menuju Grove 1. Lokasi di mana toko perlelangan manusia itu berada.
“Sa—Saintess ...” lirih Aldian. Takut ucapan gadis itu terdengar di telinga Saint Carlos dan keluarganya.
“Apa?” Thalassa menoleh tanpa ada rasa bersalah. “Kau takut aku akan dihukum karena menjelek-jelekkan mereka?”
“Bu—bukan. Hanya saja ...”
“Tenanglah Aldian. Keluarga Rosward berada jauh di bawah keluarga Figarland yang merupakan pemimpin Ksatria Suci. Mereka tidak akan mungkin bisa menyentuhku.”
Benar juga. Tapi tetap saja ... Itu terlalu berbahaya untuk dikatakan.
* * *
Ingatkan Thalassa untuk membeli kopi setelah acara ini selesai. Atau haruskah dia minggat sebelum acara selesai? Sebelum item utama ditampilkan?
Sial! Ini benar-benar membosankan.
“Saintess. Aku dengar item utama yang ditawarkan adalah seorang duyung. Itu adalah hal yang langka. Pasti—” Aldian tidak melanjutkan kalimatnya lagi saat Thalassa menatapnya tajam. “—Maksudku ... pasti harganya sangat tinggi.”
Thalassa melipat kedua tangannya di dada, memandang ke arah panggung di depan sana dengan tatapan yang tidak tertarik. “Siapa yang peduli? Yang aku pedulikan adalah seperti apa bentuk duyung? Apakah persis seperti yang digambarkan oleh buku pengetahuan?”
Aldian tersenyum simpul. “Yeah. Kurang lebih mirip seperti itu.”
Gadis itu mengangguk samar. Dia membetulkan sejenak posisi duduknya serta menurunkan posisi topinya agar bisa menutupi sebagian wajahnya. “Aku mengantuk sekali, Aldian. Bangunkan aku jika item utama ditampilkan.”
“Tapi Saintess!”
“Shhh, berisik! Kau menolak perintahku?!” Thalassa menatap tajam pria yang duduk di sampingnya itu.
“Ma—maafkan, hamba.” Aldian membungkukkan kepalanya. “Aku akan membangunkan Saintess saat item utama dikeluarkan.”
“Good.”
Dan tanpa menunggu waktu yang lama, Thalassa pun tertidur di posisi duduknya yang berada di barisan kursi penonton paling pojok. Hingga satu jam berlangsung, Aldian akhirnya membangunkannya saat sebuah tabung aquarium yang berisi seekor duyung dinaikkan ke atas panggung. Thalassa yang masih merasa mengantuk hanya terdiam mencoba untuk mengumpulkan kembali nyawanya.
“Saint Carlos menawarkan harga 500 juta Berry!” ujar Aldian antusias.
Gadis itu berdecak dan melakukan sedikit perenggangan. Penonton di acara lelang ini semakin bertambah dari terakhir kali sebelum dirinya tertidur. Thalassa mengedarkan pandangannya sejenak, hingga dirinya tersadar jika penonton bagian belakang terdiri dari beberapa kelompok bajak laut yang terkenal akhir-akhir ini. Bahkan belum sempat gadis itu mengatur ekspresinya, mata hijaunya tak sengaja menangkap kehadiran seseorang yang terlihat familiar akhir-akhir ini.
Itu ... Bukankah itu Nami si Kucing Pencuri? Sedang apa dia di sini? Apa itu artinya Topi Jerami ada di pulau Sabaody?!
“A—Aldian—” Belum sempat Thalassa memanggil pelayan setianya itu, tiba-tiba sesuatu muncul dari langit-langit gedung. Menghentikan acara pelelangan tersebut secara mendadak dan tentunya mengejutkan semua orang termasuk Thalassa.
Kini terdapat lubang besar di atas sana. Namun percayalah, bukan itu atensi semua mata. Melainkan kehadiran dua sosok yang baru saja berdiri dari timpahan puing-puing.
“Oy! Apakah kau tidak bisa mengendarai ikan terbang tersebut?! Kau nyaris saja membunuhku, sialan!” ucap seorang bocah laki-laki bertubuh mungil berambut hitam.
“Apa ini? Kau bilang kau akan membawakanku kembali ke Sunny Go! Di mana ini?” sahut rekannya yang memiliki rambut berwarna hijau.
Sejenak Thalassa dibuat terdiam. Matanya terbelalak melihat bocah tersebut, tepatnya pada topi jerami yang dikenakan olehnya.
Ternyata benar. Dugaannya benar. Topi itu adalah topi yang sama. Topi yang pernah dikenakan oleh seseorang di masa lalu.
Pikiran Thalassa mendadak kosong. Dia menatap kericuhan tersebut dalam gamang. Suara ribut orang-orang tiba-tiba mendadak menghilang dari pendengarannya. Pandangannya pun memudar, hal yang bisa dia lihat hanyalah bocah yang mengenakan pakaian berwarna biru serta topi jerami yang masih setia dia gunakan.
DOR!
Suara pistol terdengar. Membuyarkan semua lamunan Thalassa dan dirinya kembali tersadar jika dia berada di situasi yang chaos. Terlebih saat dirinya tersadar jika dalang suara senjata api itu berasal dari Carlos.
“Saintess, situasinya semakin buruk! Lebih baik kita keluar dari tempat ini sekarang juga!”
“Tunggu!” Thalassa menaikkan salah satu tangganya. Menahan Aldian untuk tetap di posisinya. “Aku ingin melihat apa yang terjadi.”
“Tapi—”
“Carlos tetaplah Carlos. Dia terlalu bodoh untuk berhadapan dengan manusia pemberontak seperti bocah ingusan tersebut.” Thalassa membetulkan posisi duduknya. Berusaha untuk tetap tenang, meski di dalam hatinya dia kepalang berebar hanya karena topi jerami yang digunakan oleh bocah itu.
Thalassa nyaris melukai lidahnya saat melihat bocah topi jerami itu mendekat ke arah Carlos dan tanpa pernah gadis itu mengira, dia akan melayangkan bogem mentahnya tepat pada wajah Carlos. Semua orang terkejut, tak terkecuali dirinya. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat seraya menahan napasnya.
Bocah itu. Bocah yang mengenakan topi jerami milik Akagami telah memukul seorang Celestial Dragon tanpa ada rasa takut dan bersalah.
Beberapa detik berlalu dalam hening. Namun Thalassa memilih untuk mengenakan tudung jubahnya dan menutupi seluruh kepalanya. “Kurasa sudah cukup pertunjukkannya. Ayo, kita pulang Aldian,” ucapnya.
Ada senyum kecil tersungging di bibirnya. Tanpa menoleh dia memberikan tangannya pada pelayan setianya itu. Memberikannya aba-aba jika mereka akan pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa perlu menggunakan pintu.
“Ba—baik, Saintess!” Aldian dengan patuh langsung ikut menutupi kepalanya dengan tudung jubahnya dan menggenggam tangan majikannya. Tidak sampai 2 detik, mereka menghilang kayaknya udara yang berhembus pelan, tanpa diketahui oleh orang-orang di sekitarnya.
Hari itu, tepat di saat dia melihat bocah itu, tekadnya semakin kuat. Setelah ini, dia perlu melakukan perundingan yang akan berakhir alot dengan kakeknya.
Usia Thalassa sudah 17 tahun, seharusnya pria tua itu akan menepati janjinya.
Yeah. Seharusnya.
* * *
Note:
Paroxysm (n.) a sudden outburst of emotion.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top