27 | Ameliorate
Dua tahun terakhir dunianya benar-benar berubah. Sampai sekarang Thalassa masih terus merasa skeptis terhadap apa yang sekarang terjadi padanya. Tentang fakta bahwa selama ini dia memiliki seorang kakek kandung yang merupakan kepala keluarga Figarland sekaligus ketua kelompok ksatria suci yang kalau Thalassa pelajari, cukup kompleks silsilahnya.
Yang jelas, dia tidak pernah berpikiran jika takdir yang bekerja padanya begitu lucu. Si sampah masyarakat yang dulu diinjak-injak kini dimuliakan bagaikan permata yang berharga. Tidak ada yang berani menghardik atau menganiaya dirinya. Tidak ada lagi orang yang bisa merundungnya semudah menghancurkan rumput di lapangan. Orang-orang yang dia kenal adalah golongan 1 dan 2 di sekolahnya dulu sudah tidak ada apa-apanya baginya. Jika dia punya keinginan untuk balas dendam, mungkin sejak dua tahun yang lalu sudah dia lakukan.
Nyatanya, tangan Thalassa terlalu berharga untuk membalas dendam pada para bedebah tersebut. Di saat semua kuasa bisa dia miliki, di saat apapun bisa kakeknya kabulkan, Thalassa memilih untuk diam. Gairahnya untuk hidup sudah tidak begitu terasa. Terkadang saat melihat dirinya mendapati terbangun di pagi hari, dia hanya akan bisa memulai semuanya dengan hela napas panjang yang sarat akan makna.
Sebenarnya, apa tujuan dia hidup?
Dulu saat ibunya meninggal, tujuan hidupnya adalah bertahan hingga dia bisa bertemu dengan papanya. Kemudian saat momen itu berhasil terkabul, tujuan hidupnya adalah hidup bahagia dan bisa tumbuh menjadi gadis normal meski berada di bawah naungan sebuah kelompok bajak laut, selama Thalassa senang, maka itulah tujuannya. Namun sayangnya semuanya berubah saat dia terpisah (atau pahitnya, Thalassa ditinggal oleh papanya tanpa ada sepatah kata). Janji manisnya terbakar begitu saja oleh fakta jika pria yang menjadi pusat kehidupannya itu tidak lagi menginginkan dirinya.
Thalassa banyak berpikir saat itu (bahkan sampai sekarang), bagaimana bisa ibunya bertemu dengan seorang pria brengsek seperti Shanks? Bagaimana bisa pria sialan itu mencuri hati ibunya hingga akhirnya menghancurkan segalanya dan membawa beban berat ini pada gadis kecil yang tidak tahu apa-apa sepertinya? Sedikit banyak dia menyalahkan keadaan, menyalahkan ego orang tuanya yang tidak bisa berpikir panjang akan perbuatan mereka kepadanya.
Dia cukup berterima kasih kepada Nerina. Setidaknya dia seorang ibu yang baik. Meski ingatan gadis itu tentangnya semakin memudar seiring berjalannya waktu, namun perlu Thalassa akui alam bawah sadarnya meyakinkan dirinya untuk meyakinkan jika Nerina adalah orang baik yang sudah melakukan segala hal untuk dirinya meski pada akhirnya harus mati dan meninggalkannya seorang diri.
Dia benci Shanks. Itu mutlak. Tidak ada alasan baginya untuk berbaik hati seperti sekedar melupakan perbuatannya. Well, mungkin Thalassa sudah melupakan semua hal baik tentangnya dan mengingat semua hal buruk tentangnya. Tentang bagaimana kesan pertama pria itu padanya yang memandang murka dirinya tanpa sebab, tentang bagaimana pria itu kerap kali melayangkan tatapan mematikan untuknya, tentang bagaimana rasanya napasnya tercekat saat pria itu berusaha mencekik lehernya untuk membunuhnya malam itu. Semua hal buruk tentang Shanks akan selalu dia ingat. Tak terkecuali.
Karena perlu diakui, kemampuan berpikir Thalassa sejak 2 tahun yang lalu berkembang begitu pesat. Sejak dulu dia sudah didewasakan oleh keadaan, beberapa pemahaman yang sulit untuk dimengerti oleh anak seusianya bukanlah hal tabu baginya. Thalassa paham. Semuanya dia paham. Dia paham kenapa alasan kehadirannya di dunia ini begitu kompleks. Seharusnya dari awal dia tidak usah dilahirkan saja.
“Bicara apa kau ini?! Berhenti membaca buku-buku tersebut. Kau terlalu pintar untuk anak seusiamu!”
Garling sering kali protes saat Thalassa mengungkapkan beberapa pendapatnya tentang eksistensi dirinya. Pria tua itu suka mengomelinya dan menyita beberapa buku di kamarnya atau bahkan mengunci pintu perpustakaan agar Thalassa tidak bisa mengaksesnya selama beberapa hari. Atau terkadang pria itu tega mengirimnya ke barak latihan para ksatria suci agar diberi pelatihan dini. Meski kecil kemungkinan gadis itu akan meneruskan jabatannya sebagai pemimpin ksatria suci sekaligus kepala keluarga Figarland, tapi tidak ada salahnya mengenalkan dasar-dasar bela diri padanya.
“Aku sudah tidak membaca buku sejak dua minggu yang lalu! Perpustakaannya terkunci!” jawab Thalassa kesal. Sarapan di mejanya sudah tidak terasa menggiurkan lagi.
“Lalu kenapa kau masih saja terus mengatakan pertanyaan konyol tersebut? Kau lahir dan ditakdirkan sebagai seorang Figarland! Cucu kandungku! Sekali lagi kau mengatakan itu, kau akan selamanya tinggal di barak!”
Thalassa mendengkus. “Kau tidak lagi menyayangiku?” tanyanya.
“Ya Tuhan, pertanyaan konyol apa lagi itu?!” Garling melepas kacamata hitamnya. Menatap gadis berusia 8 tahun tersebut dengan tatapan kesal. Tidak, Garling tidak benar-benar kesal, dia hanya pusing menjawab pernyataan yang sama setiap harinya selama 2 tahun lamanya. “Aku mengatakan itu, karena aku menyayangimu, Kurcaci!”
“Kau saja bahkan tidak pernah memanggil namaku dengan benar ...”
“Kau juga tidak pernah memanggilku Kakek, Kurcaci!”
“Kan?”
Garling terdiam. Menghela napas sejenak sebelum akhirnya meneguk minumannya. “Terserah! Setelah ini aku ada urusan dengan para tetua. Jangan bertingkah selama aku tidak ada!”
Lagi-lagi Thalassa mendengkus. Mungkin dia kurang suka dengan sikap Garling, tapi dia lebih tidak suka saat kakeknya itu pergi mengurus beberapa urusan penting. Pasti dia akan dititipkan oleh Paman Don, anak dari adik Garling yang menjadi dalang mengapa banyak pemikiran ekstrim selalu bermunculan di kepalanya.
Salah satu yang diingat Thalassa adalah perkataannya yang bilang jika dia adalah anak haram.
Entah itu benar atau bukan, tapi Garling selalu menekankan jika sekalipun dia anak haram, peduli setan! Gadis itu tetap cucunya!
“Aku ingin ikut!”
“Tetap di kastil. Dan jangan bertingkah.”
“Aku akan tetap bertingkah jika kau melarangku ikut!”
Rasanya Garling ingin menjedotkan kepalanya. Semakin bertambah usia, Thalassa semakin pandai bersilat lidah. Garling seperti berhadapan dengan dirinya versi muda yang keras kepala namun dalam kemasan perempuan.
“Kunci aliran Mana-mu. Dan gunakan kalung it—”
Sebelum Garling menyelesaikan kalimatnya, gadis itu lebih dulu menunjukkan kalung dengan bandul lingkaran yang terdapat ukiran pedang dan naga yang menjadi ciri khas dari keluarga Figarland.
Garling berdecak sebagai respon, yang kemudian disusul oleh senyuman lebar milik Thalassa yang entah kenapa membuat rasa kesal pria itu seketika hilang.
“Yes!” Thalassa berseru. Gadis itu tiba-tiba mengambil ancang-ancang untuk turun dari kursinya. Namun batal saat Garling lagi-lagi menginterupsi.
“Mau ke mana kau?” tanyanya, menaikkan salah satu alisnya.
“Bersiap-siap. Aku harus mengganti warna rambutku, kan?” tanyanya. Sekedar informasi, tidak ada yang tahu warna asli rambutnya. Sebab selama gadis itu berada di kastil Figarland bagian Utara, hanya kakeknya dan beberapa pelayan setia yang tahu tentang rambut peraknya yang menjadi salah satu ciri khas dari penyihir agung. Setiap kali gadis itu keluar, dia akan menggunakan ramuan khusus untuk menggantikan warna rambut aslinya menjadi merah gelap seperti milik Garling.
“Habiskan sarapanmu dulu! Aku tidak ingin mendengar perutmu yang keroncongan selama berada di kastil Pangea!”
Thalassa berdecak. Namun akhirnya tetap menghabiskan omelette di piringnya. Suasana di ruang makan pun kembali hening selama beberapa menit. Hingga kemudian Garling teringat akan sebuah agenda di akhir bulan mendatang.
“Ada acara khusus di Red Port akhir bulan nanti,” ujarnya.
“Acara apa?” tanya Thalassa. Gadis itu masih sibuk menghabiskan sarapannya.
“Hari Kebangkitan Naga.”
Gadis itu terdiam. Dia tahu acara tersebut. Setiap tahun akan diadakan acara arak-arakan seluruh keluarga Celestial Dragon dari Marijoise ke ujung Red Port. Acara itu dihadiri oleh seluruh jajaran Pemerintah Dunia hingga Angkatan Laut, bahkan para budak pun turut meriahkan acara tersebut tentu dengan porsi mereka masing-masing. Arak-arakan itu akan berakhir di Red Port. Khususnya pada restoran megah yang akan menyuguhkan hidangan lezat untuk para Celestial Dragon.
Restoran megah itu adalah restoran yang terafiliasi 80% dengan Figarland.
“Oh. Aku tahu.” Thalassa terdiam sejenak. “Kau ingin aku ikut seperti tahun lalu, kan?” tanyanya.
“Tentu saja. Pinta Aidan untuk mengukur pakaian gaun yang baru untukmu.” Garling meneguk minumannya sejenak. “Aku tersadar kau makin bertambah besar dan tinggi.”
* * *
Hari Kebangkitan Naga.
Nama yang aneh dan acara yang menjijikan. Kalau Thalassa boleh berbicara jujur, dia tidak suka acara orang-orang bangsawan ini. Di mana mereka menunjukkan sikap buruk mereka pada rakyat jelata yang sebagian besar menjadi budak. Rasa trauma Thalassa kerap mencuat kala melihat bagaimana menderitanya para budak tersebut.
Berkali-kali Thalassa mendapatkan tawaran untuk bisa memiliki budak seperti sepupu-sepupunya yang lain, tapi selalu berakhir dengan tolakan. Garling berhenti menawarinya tepat di usianya yang ke-7, tepat saat pria itu menangkap basah cucunya sedang memberikan sepotong roti pada seorang budak anak kecil yang sepertinya sebaya dengannya. Dari sana, Garling paham cucunya tidak sama seperti anak-anak Celestial Dragon lainnya.
“Tegakkan punggungmu, Kurcaci! Jangan turunkan pandanganmu! Sikap duduk macam apa itu?!” protes Garling. Membuyarkan lamunan Thalassa.
Gadis itu segera membetulkan postur tubuhnya. Garling yang duduk di sebelahnya mendengkus. “Sepertinya Aidan harus lebih tegas dalam mengajar kelas tata krama padamu!” ucap Garling, masih mengomel.
Thalassa mengerucutkan bibirnya. Bukannya dia tidak paham tata krama duduk yang baik dan benar. Hanya saja punggung dan bahunya pegal. Sudah hampir dua jam acara arak-arakan ini berlangsung, dan kereta kuda yang membawanya bersama kakeknya ini belum kunjung sampai di restoran Red Port. Gaun sutra yang dia kenakan pun membuat semuanya jadi kacau karena dia mulai merasa kepanasan.
“Kapan kita sampai, Kakek?” untuk pertama kalinya dalam minggu ini, Thalassa kelepasan memanggilnya kakek.
Sadar atau tidak, Garling tersenyum tipis. “Sabarlah, Nak. Nikmati saja para budak-budak yang kesakitan di pinggir sana.”
Sinting. Kakeknya ini memang sinting.
Thalassa memilih untuk tidak merespon apa-apa lagi. Hingga 30 menit berlalu, akhirnya mereka berhasil turun dan sampai ke atas Red Port. Para Angkatan Laut dan para rakyat jelata beramai-ramai menyambut mereka. Kelopak bunga berwarna-warni dilemparkan ke arah mereka termasuk kepada rombongan keluarga Figarland.
Sejenak Thalassa dibuat lupa dengan rasa lelahnya. Tangannya terangkat untuk mengambil beberapa kelopak bunga tersebut, hingga matanya tak sengaja menangkap setangkai bunga mawar merah gelap segelap warna rambutnya berada di antara kerumunan orang. Entah dorongan dari mana, gadis itu mengulurkan tangannya dan meraih bunga mawar tersebut dengan mudah saat kereta kudanya mendekat.
Saat tangan kecilnya menyentuh tangkainya (yang durinya telah dihilangkan), perasaannya tiba-tiba terasa aneh. Refleks kepalanya menoleh ke belakang, matanya aktif bergerak mencari sesuatu atau mungkin seseorang yang memberikan mawar tersebut. Hingga akhirnya pandangannya jatuh pada seseorang yang mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuh serta kepalanya. Yang bisa Thalassa lihat dari kejauhan adalah hidung dan mulut orang itu yang terlihat sangat familiar.
“I—itu! Kakek, itu—”
“Hentikan!” Garling dengan sigap menahan tangan cucunya. Menghentikan gadis itu yang mungkin saja secara impulsif akan turun dari kereta kuda dan menghampiri orang yang barusan memberikannya mawar merah tersebut. “Dia tidak akan menemuimu.”
Entah kenapa mata Thalassa tiba-tiba terasa panas. Jantungnya mendadak berdetak dengan cepat. Pikirannya menjadi kalang kabut. “Tapi—aku melihatnya! Di—dia ada di si—”
“Aku sudah bilang, dia tidak akan menemuimu!” ucap Garling, mencekal pergelangan tangan Thalassa dengan kencang. Memberikannya isyarat untuk tenang dan jangan bertindak gegabah di tengah acara sakral ini.
“Hiks ... Hiks ...”
Tangis Thalassa pun pecah. Dia tidak bisa menahan gejolak emosi yang muncul begitu cepat. Membuat sesuatu di dadanya yang sudah dia tahan amat lama meluap begitu saja dalam hitungan detik. “Pa—Papa ... hiks!”
Garling mendengkus. Pria tua itu menatap Aidan (pelayan setianya) yang duduk di hadapannya dengan tatapan lelah. Tak lama, dia menaruh pedangnya dan menarik Thalassa untuk duduk di pangkuannya. Membiarkan gadis kecil yang merupakan cucunya itu memeluknya dan menangis di janggut panjangnya.
‘Dasar cecunguk sialan! Bisa-bisanya dia nekat datang dan menunjukkan wajahnya di hadapan putrinya!’ batin Garling.
“Sudah, berhenti menangis! Dia tidak akan menemuimu!”
“Hiks—hiks! Papa ...”
“Sshh! Dia tidak bisa menemuimu, Thalassa. Sudah, jangan menangis.”
* * *
Note:
Ameliorate (v.) to make a bad situation better.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top