26 | Agliophobia

Shanks akui, dia mengacaukan segalanya.

Satu tahun terakhir itu terasa menyiksa. Hari-harinya berjalan dengan banyak pikiran semrawut di kepala. Tiap malam pun pria itu selalu memikirkan bagaimana nasib dan keadaan putri bungsunya yang jauh darinya. Bagaimana hari-harinya di sana? Bagiamana tidurnya? Bagaimana makannya? Bagiamana belajarnya? Apakah dia memiliki teman? Atau sebaliknya?

Dia merindukannya. Tiap hari. Tiap jam. Bahkan tiap menit.

Hongou bahkan bilang jika kaptennya itu kehilangan banyak berat badan karena memikirkan segala macam hal hingga mengganggu waktu makan dan istirahatnya.

Meski Benn mengatakan berkali-kali, jika gadis kecil kesayangannya itu akan baik-baik saja, namun insting seorang Ayah tidak akan pernah bisa merasa tenang. Rasanya dia ingin mengambil alih kemudi kapal, dan memutar balik haluan kembali ke West Blue saat itu juga. Namun di sisi lain Shanks sadar, dia tidak punya keberanian untuk melakukannya.

Shanks terlalu takut untuk menempatkan Thalassa berada di tempat yang sangat bahaya—seperti bersamanya. Sekalipun  pria itu adalah ayah kandungnya—tempat ternyaman yang bisa Shanks pastikan tanpa ragu—namun suka atau tidak, dia harus mengakui jika pelukannya adalah perangkap mematikan yang bisa saja merenggut nyawa gadis kecil tanpa dosa tersebut. Itu bisa saja merenggut harta berharganya dalam hitungan detik.

Dia akan dicap sebagai seorang ayah yang gila dan bodoh jika terus mengedepankan egonya. Shanks sadar, dia adalah marabahaya untuk Thalassa. Shanks sadar, terlalu berbahaya bagi Thalassa untuk terus berlayar bersama Akagami.

Karena sumpah demi apapun, Shanks tidak ingin dunia tahu jika Thalassa adalah keturunan satu-satunya penyihir agung yang masih hidup dan memiliki darah bajak laut darinya. Demi apapun, pria itu akan melakukan segala cara sekalipun itu membuat putrinya membencinya.

“Kali ini dia akan benar-benar aman, Shanks.”

Lamunan pria berambut merah itu buyar saat Benn tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya yang tengah menatap lurus lautan dari buritan kapal. Udara malam terasa begitu menusuk tulang, namun entah kenapa rasanya tubuh Shanks mati rasa. Yang dia rasakan sekarang adalah bagaimana hatinya hancur saat tidak bisa menjemput dan membawa pulang permata hatinya kembali ke kapal. Ke pelukannya. Ke keluarganya yang menyayanginya di Red Force.

Benn menghela napas. Dia mengambil satu lintingan rokok dan memantiknya dengan korek. Asap tak lama mengepul, keluar bersamaan dengan dirinya yang menghela napas panjang. “Setidaknya kau sudah berusaha yang terbaik untuk mempertahankan nyawanya,” ucap Benn sekali lagi.

Shanks masih terdiam. Ekspresi wajahnya terlihat semakin getir. Berkali-kali dia menelan ludahnya susah payah, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal di dada dan tenggorokannya. Sesuatu seperti perasaan bersalah dan tak berdaya akan suatu hal yang tidak bisa dia kontrol.

“Aku telah ingkar janji, Benn. Aku meninggalkannya ... Untuk yang kedua kali.”

Wakilnya itu lagi-lagi menghela napas. “Kali ini kau meninggalkannya di tempat yang layak. Di tempat di mana dia dipastikan akan dicintai, sama seperti dia dicintai oleh Nerina dan kau.”

“...”

“Dia sekarang bersama Kakeknya, Shanks. Orang kedua yang dipastikan akan melindunginya meski nyawa taruhannya.”

Shanks menoleh, menatap wakilnya lekat-lekat. “Aku tidak pernah bisa percaya pada orang-orang Celestial Dragon. Mereka begitu berbahaya, mereka bisa saja membunuh putriku jika mereka tahu siapa  ibunya!”

“Tapi kau lupa, jika mereka tidak akan bisa menyentuhnya karena darah Figarland mengalir deras di nadinya.”

“...”

“Angkatan Laut dan Pemerintah Dunia bisa saja mengejar dan mengawasimu, tapi bukan berarti mereka bisa menghabisi nyawamu. Kau dianggap masih memiliki hubungan dengan Figarland meskipun kau adalah seorang bajak laut!” Benn menyesap rokoknya sejenak. “Yang mereka incar adalah kebenaran di balik laporan yang agen cyper tersebut berikan tempo lalu.”

Shanks tahu. Dia tahu benar alasan mengapa dia harus lakukan ini. Ketakutannya lah yang membuatnya mengambil keputusan besar untuk menyerahkan hak asuh Thalassa pada Garling, kakeknya. Keluarga kandung lainnya yang memiliki pengaruh besar di hadapan Pemerintah Dunia maupun Celestial Dragon.

Pria berambut merah itu mengusap wajahnya kasar. “Aku tahu!” ucapnya. Dia kembali melengos menatap buih-buih air di bawah sana. “Aku hanya tidak sanggup  menerima kebencian darinya, Benn. Dia putriku, satu-satunya yang kumiliki setelah aku kehilangan ibunya!” lanjutnya.

Benn terdiam. Kali ini dia sulit untuk membalas kalimat kaptennya.

“Dia pasti membenciku sekarang. Thalassa, putriku pasti sangat membenciku!” Shanks memukul pagar pembatas, menyalurkan emosinya yang tidak bisa dia bendung. “Aku Ayah yang buruk, Benn! Aku Papa yang buruk! Aku tidak pantas disebut seorang Papa saat putriku menunggu untuk dijemput oleh Papanya!”

“...”

“Thalassa pasti membenciku ...” lirih Shanks. Dia memejamkan matanya sejenak. Mengatur gejolak emosi yang tidak kunjung mereda. Sekarang aku harus apa, Nerina?

* * *

“Sampai kapan kau tidak mau menyentuh makananmu, hm?”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang sukses membuatnya mendongak menatap lawan bicaranya yang duduk di ujung meja, saling berhadapan dengannya dengan makanan mewah yang tersaji di meja panjang di hadapannya. Demi apapun, Thalassa tidak lapar.

Dibanding merasa lapar, dia lebih merasa benci dengan situasi dan suasana asing ini. Dia tidak pernah meminta untuk dibawa ke tempat yang tidak pernah dia bayangkan. Selama hidup bersama bajak laut dan sekolah di sekolah elit—di mana dia menjadi siswi golongan terendah—membuatnya tahu betul tempat apa yang kini dia tapaki.

Hanya orang gila penuh kuasa yang bisa menginjakkan kaki dan tinggal di sini. Namun yang membuat gadis berusia 6 tahun itu makin tidak menyangka adalah saat tahu jika pria tua yang mengaku kakeknya ini merupakan salah satu penghuni Marijoise. Artinya pria tua yang duduk di hadapannya ini bukan sembarang orang. Jika Thalassa lengah sedikit, bisa saja kepalanya melayang. Meski dia tidak yakin apakah pedang panjangnya itu benar-benar bisa membunuhnya.

“Berapa kali harus aku katakan, kau tidak perlu takut denganku. Aku bukan musuh!” Garling memotong steak-nya dengan tenang dan menyuapi potongan kecil tersebut ke dalam mulutnya dengan gerakan yang anggun. “Setidaknya untukmu—cucu kandungku—aku bisa menjadi pria paling baik di dunia sekalipun orang-orang jelata di bawah sana mencap diriku bengis dan berdarah dingin.”

Thalassa masih belum bereaksi apa-apa. Dia hanya menatap pria itu tanpa ekspresi. Membuat Garling harus ekstra sabar menghadapi anak berusia 6 tahun tersebut.

“Baiklah, aku tidak bisa memaksamu untuk menyukaiku. Tapi makanlah isi piringmu! Kalau kau tidak suka, katakan! Biar aku suruh pelayan menyiapkan yang lain yang bisa kau makan!”

“...”

“Apa kau mendadak menjadi bisu dan tuli, Kurcaci?!” Garling menukik alisnya, kesal menghadapi sikap kekanak-kanakan Thalassa. Lagipula memang pada dasarnya dia masihlah anak kecil yang seharusnya tidak dihadapkan oleh situasi rumit seperti ini. Anak kecil mana yang mau ditinggal dan dibuang oleh orang tuanya dan tiba-tiba dibawa paksa oleh orang asing yang mengaku kakeknya?

Alhasil karena ikut kesal, Thalassa jadi semakin mantap untuk tidak bersuara. Dia merajuk. Dia ingin pulang. Walau dia sendiri juga tidak tahu ingin pulang ke mana. Kembali ke sekolah adalah jalan bunuh diri yang ciamik. Pergi pulang ke pulau Deer sama saja seperti jatuh ke lubang yang sama. Lalu apa? Memohon untuk membawa kembali menemui Papanya? Pria itu saja lupa jika dia punya seorang putri yang dia tinggal di tempat penuh orang-orang gila! Apa namanya selain kalau dirinya ini dibuang?

“Baiklah Kurcaci, kesabaranku semakin menipis!” Garling menyentakkan pisau dan garpunya, lalu bangkit berdiri dari posisi duduknya.

Detik itu, Thalassa seketika meneguk ludahnya saat melihat pria tua bertubuh jangkung tersebut berjalan menghampirinya. Tepat saat Garling mengangkat tangannya untuk menyentuh cucunya, spontan tangan gadis itu juga ikut terangkat. Menutupi wajah dan kepalanya dengan bahasa tubuh yang seperti ketakutan jika pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.

Sepersekian detik setelahnya, terdengar suara tangis yang begitu pelan. Ternyata gadis kecil itu menangis dengan tangan yang masih menutupi wajahnya. Bahu dan punggungnya bergetar, meyakinkan Garling jika anak itu memang benar-benar menangis ketakutan.

Untuk pertama kalinya, Garling merasa panik melihat seorang menangis di hadapannya. Pria itu menghela napas kasar dan mengelus kepala Thalassa dengan lembut.

“Nak, aku mendekat bukan untuk melukaimu ...” ucapnya. Tapi sayangnya itu tidak cukup untuk menghentikan ketakutan Thalassa yang tiba-tiba muncul.

Tidak bisa dipungkiri. Sejak dulu dia sudah hidup di bawah tekanan. Di usianya yang begitu belia, orang-orang memperlakukannya bagaikan sampah. Saat dia berhasil menemukan rumah teraman baginya untuk berlindung, dia harus terpisah dan dibuang dengan begitu menyakitkan. Thalassa harus kembali merasakan bagaimana rasanya menjadi sampah masyarakat yang tidak bernilai dan diperlakukan begitu buruk. Hidup penuh kesialan, matipun dia langsung dilepehkan oleh maut yang menolaknya mentah-mentah.

Sekarang kalau Thalassa mau mengadu, kenapa dia harus dilahirkan jika tidak ada satupun orang yang mau menerimanya dengan tulus?

Untuk apa Tuhan menciptakannya jika dia hanya bisa berakhir menderita? Untuk apa Tuhan menciptakannya jika dia saja hanya cocok menjadi sampah yang eksistensinya tidak satupun orang menginginkannya.

Untuk apa?

Tubuh Thalassa semakin tegang saat dua tangan besar milik Garling mengangkat tubuh kecilnya dari kursi dan menaruhnya pada gendongannya. Pria tua itu memang tidak terlalu banyak memiliki momen mengurus anak kecil. Dia saja bahkan lupa bagaimana caranya menenangkan bayi menangis yang dulu pernah dia lakukan pada Shanks yang berumur kurang dari satu tahun (waktu sebelum di mana kejadian God Valley terjadi).

“Sshh! Sudah jangan menangis, Kurcaci!” ucap Garling seraya mengusap punggung Thalassa. “Aku sudah bilang, untukmu aku bisa menjadi pria paling baik di dunia. Khusus untukmu!”

“...”

“Jadi tidak usah menangis. Tidak usah takut.”

Beruntung sekali, tindakan Garling tersebut berhasil membuat Thalassa sedikit lebih tenang. Gadis kecil itu akhirnya mulai berani untuk menurunkan tangannya dan berakhir melingkar di leher sang kakek.

“Sudah jangan, menangis! Aku tidak akan melukaimu, ataupun meninggalkanmu.” Garling lagi-lagi berbicara, pria tua itu masih terus mengusap dan menepuk-nepuk pelan punggung Thalassa, memberikan rasa nyaman agar gadis kecil itu bisa tenang dan mengatur napasnya yang tersendat-sendat. “Asal kau tahu, Kurcaci. Ada banyak hal yang belum bisa kau pahami.”

“Hiks ... Hiks ...”

“Ada banyak hal yang belum bisa kau pahami,” ucap Garling sekali lagi. “Tidak sekarang. Tapi nanti.”

“...”

“Kau akan tahu suatu saat nanti, Kurcaci. Tapi yang perlu kau tahu, aku adalah Kakekmu. Aku akan melindungimu hingga kau dewasa dan bisa menentukan pilihan hidupmu sendiri.”

“...”

“Jadi, berhentilah menangis. Seorang Figarland tidak pantas terlihat rapuh dan menyedihkan seperti ini ... Thalassa.”

* * *

Note:

Agliophobia (n.) the fear of being hurt.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top