25 | Anglocita

Ada 4 golongan siswi di sekolah asrama putri ini.

Golongan pertama, adalah mereka yang berasal dari keluarga kerajaan tersohor dan diakui oleh dunia. Golongan kedua, adalah anak-anak dari keluarga pejabat yang bekerja di World Government atau Angkatan Laut. Golongan ketiga adalah mereka yang merupakan anak-anak dari keluarga pengusaha tersohor dan sangat berpengaruh di dunia. Lalu terakhir adalah golongan keempat. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang bukan siapa-siapa. Biasanya diterima bersekolah di sekolah tersebut karena beasiswa atau pemenang undian tahunan bagi masyarakat jelata untuk mendapatkan pendidikan formal yang layak.

Thalassa berada di golongan keempat.

Ada pepatah yang mengatakan; tidak ada ruang bernapas bagi kalian si golongan 4.

Dan gadis itu mengakuinya.

Tidak ada ruang untuknya di antara anak-anak di atas golongan 4. Hari-harinya jika tidak dirundung maka akan dikurung. Gadis itu berdecak, menepuk-nepuk rok dan jas seragamnya yang basah kuyup akibat tersiram air bekas pel-an. Rambut silvernya telah berubah menjadi sedikit kelabu karena air tersebut.

Dasar anak-anak sialan!

Thalassa terlalu lelah hanya sekedar mengeluarkan sedikit Mana untuk menggunakan sihir guna membersihkan serta mengeringkan tubuhnya. Alhasil dia hanya mendobrak pintu kubikel toilet yang dikunci dari luar. Pantulan dirinya seketika langsung terlihat di cermin wastafel. Sungguh mengerikan.

Dia akui, tubuhnya semakin kurus. Sebab sehari dia hanya bisa makan malam saja. Tak jarang hal tersebut justru membuatnya sulit mengeluarkan Mana.

“Kau dari mana saja?!”

Itu adalah kalimat pembuka dari guru musik yang akan melatih beberapa siswi untuk pertunjukan paduan suara saat acara kelulusan berapa bulan lagi. Thalassa mendongak, menatap wanita paruh baya tersebut lalu matanya mengerling menatap beberapa siswi di atas panggung yang menjadi pelaku kenapa dirinya bisa telat datang di sesi latihan minggu ini.

“Maaf, Miss.”

Miss Soza mengerutkan keningnya kala tersadar jika penampilan Thalassa begitu mengenaskan. “Apa yang terjadi padamu?”

Lagi-lagi Thalassa hanya terdiam dan mengucapkan kalimat maaf. Beruntung wanita itu terlalu lelah untuk meladeni siswi aneh sepertinya, lalu menyuruhnya untuk pergi dan berbaris di tempatnya.

Yah. Ini sudah terhitung hampir 1 tahun dan dua semester pembelajaran. Beberapa bulan lagi kelulusan. Seharusnya Shanks dan yang lain akan datang dan menjemputnya. Dia bahkan sudah sering bertanya pada paman Brandon—kenalan Benn yang memasukkannya ke sekolah ini—apakah ada surat atau titipan dari mereka barangkali mereka tidak bisa menjemputnya di 6 bulan pertama.

Namun nyatanya nihil. Tidak ada kabar apapun dari mereka.

Thalassa mencoba untuk berpikir positif. Mungkin untuk mengirim pesan terlalu sulit, atau mungkin pergerakan bajak laut Akagami terbatas lantaran diperhatikan oleh Angkatan Laut. Ada banyak kemungkinan. Sialnya, Thalassa tidak suka itu.

Beberapa malam pernah mengganggu tidurnya. Dia cemas, bagaimana jika Papa tidak menjemputnya? Bagaimana jika dia sengaja ditinggalkan di tempat ini? Bagaimana jika ternyata terjadi sesuatu pada Papa dan kru-nya? Dia tidak bisa berhenti memikirkan itu.

Selama sesi latihan berlangsung, Thalassa hanya sibuk dengan dunianya. Yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar waktu berjalan begitu cepat? Dia sudah muak berada di sini. Dia sudah tidak tahan terus-terusan menjadi samsak portabel di saat sebenarnya dia bisa saja melawan. Dia ingin pulang. Demi Tuhan dia ingin pulang!

Meong!

Kesadaran Thalassa buyar saat gadis itu mendapati kehadiran seseorang kucing hitam yang berada di pagar pembatas lorong kelas yang menghadap pinggir jurang.

“Apa yang kau lakukan di sana? Hush!” Namanya Dumb. Entahlah, Thalassa hanya ingin mengumpat saat menamainya sebab dia nyaris mematahkan tulang rusuknya hanya untuk melindungi kucing bodoh itu yang hendak dimutilasi oleh anak-anak golongan 1 dan 2. Mereka benar-benar memiliki jiwa psikopat!

Kucing itu mengikutinya. Sebenarnya Thalassa merasa risih, namun dia terlalu malas untuk berdebat dengan seekor kucing bodoh yang bahkan tidak mengerti sepatah katapun darinya. Lebih baik dia menutup mulutnya dan melanjutkan langkahnya menuju asrama.

* * *

Mereka bohong.

Sialan. Sepertinya mereka bohong.

Thalassa tidak melihat mereka ada di antara jejeran penonton yang merupakan para orang tua dan wali para siswi. Gadis itu sebisa mungkin untuk bersikap tenang. Mungkin saja Papanya menunggu di sisi lain gedung sekolah, mengingat banyak orang-orang penting yang hadir di acara kelulusan tersebut. Pun gadis itu juga sudah sempat bertanya pada Brandon—staf tata usaha yang merupakan kenalan Benn—yang kemudian pria itu mengatakan jika Thalassa tidak perlu khawatir.

Katanya, Akagami akan datang. Paling lambat saat acara kelulusan selesai. Tapi tetap saja. Hatinya terasa risau, saat belum mendapati kehadiran Papanya itu. Bahkan saat dia dan kelompok paduan suara segera tampil, kepalanya tidak bisa berpikir jernih. Mulutnya memang bergerak menyanyikan lagu, namun matanya terus menyapu para penonton untuk mencari sosok pria berambut merah yang dia rindukan.

Di mana dia?

Di mana mereka?

Pasti mereka sudah datang!

Pasti mereka datang untuk menjemputnya!

Netra biru lautnya yang sibuk ke sana kemari akhirnya berhenti pada seorang pria tua berambut merah yang duduk di salah satu bangku paling belakang. Awalnya dia mengira itu adalah Papanya, namun setelah dia perhatikan lagi, itu bukan Shanks.

Rasa kecewa benar-benar menyelimuti hatinya. Dia berhenti menyanyi. Kepalanya tiba-tiba menunduk, menatap ujung sepatunya. Tangannya terkepal dan bibirnya dia gigit kuat-kuat. Dia tidak ingin menangis dan mengacaukan pertunjukan.

Papa pasti datang ... Papa sudah berjanji waktu itu akan menjemputnya kembali.

Dia putrinya. Thalassa putri kandungnya. Tidak mungkin pria itu meninggalkannya dan membiarkan Uta yang merupakan anak angkat tinggal bersama mereka. Tidak mungkin Shanks menelantarkan darah dagingnya hanya untuk iblis kecil seperti Uta.

Tahan Thalassa. Jangan dulu menangis. Simpan tangismu untuk nanti saat dia berhasil berada di dalam pelukan Papanya. Tangis ini tidak boleh menjadi tangis menyedihkan.

Dan waktu pun terus berlalu. Acara kelulusan sekaligus penutup akhir tahun pelajaran telah berakhir. Namun bagi Thalassa itu terasa seperti satu menit yang lalu. Kabar baiknya, dia tidak bertemu anak-anak golongan di atas 4 yang akan merundungnya—mereka sibuk membayar rindu dengan keluarganya. Namun kabar buruknya, Nirmala benar-benar tidak menemukan keberadaan bajak laut Akagami. Dia bahkan sampai menggunakan kemampuan sihirnya untuk melacak keberadaan mereka hingga radius 10 km dari posisinya berada. Hasilnya tetap nihil.

Mereka tidak datang.

Tangis Thalassa pecah saat itu juga. Beruntung dinding bangunan asrama benar-benar kosong. Hingga sangat cocok menjadi saksi bisu kesedihannya yang begitu mendalam. Sekarang Thalassa harus apa? Dia tidak punya siapa-siapa di sini. Tidak ada yang mau menerimanya selain tembok bisu dan seekor kucing hitam jelek yang sekarang berada 2 meter duduk di hadapannya yang berjongkok di tengah-tengah lorong.

Tangisnya berhenti saat samar-samar dia melihat ada sepasang kaki mendekat dari arah belakang Dumb. Kucing itu menoleh ke belakang dan entah kenapa sepertinya terkejut dan bergerak mendekati tubuh Thalassa. Bersembunyi di belakangnya.

“Gadis kecil yang malang.”

Suara bariton tersebut terdengar membuat tenggorokan Thalassa tercekat. Gadis kecil itu mengusap matanya dan mendongak hanya untuk mendapati seorang pria tua bertubuh tinggi tegap dengan rambut merah yang mengingatkannya dengan milik Papanya. Sial. Rasa sedihnya kembali muncul.

“Dia tidak akan datang. Jadi, berhenti menangis seperti anak bodoh yang menyedihkan!”

Thalassa tidak bisa merespon apapun. Gadis itu memilih menggeser tubuhnya sedikit melipir ke samping. Takut-takut aksinya barusan menghalangi jalan pria tua itu. Dia sedang bersedih meratapi nasibnya yang tidak tahu akan bagaimana, jadi tidak etis jika mencari ribut dengan orang yang sepertinya berasal dari kaum priyayi itu.

Pria itu memicingkan matanya saat melihat gadis kecil itu yang kembali terisak setelah berpindah posisi. “Aku tidak menyuruhmu bergeser, gadis kecil. Aku menyuruhmu untuk berhenti menangis!”

“...”

“Kau terlihat menyedihkan, asal kau tahu itu.”

“...”

“Sial. Apakah kau tuli?!”

“...”

Mendapati gadis kecil itu tidak merespon sama sekali akan kalimatnya, membuat pria itu menghela napas kasar. “Baiklah, Thalassa. Berhenti menangis! Papamu tidak akan datang. Tidak sekarang, tidak nanti!”

Deg!

Tubuh Thalassa tiba-tiba bergetar saat mendengar kalimat pria itu yang rupanya belum kunjung pergi. Dia kembali mendongak. Kini mendapati sosok pria itu tengah berjongkok di hadapannya.

“Tch, kau benar-benar tidak mirip dengannya. Seburuk itu kah genku, sampai tidak ada satupun kemiripan yang diwarisi padamu?!”

... Hah? Pria ini bicara apa?

Tangan besar pria itu terangkat. Tanpa pernah Thalassa duga, dia menghapus air matanya yang membasahi pipinya. “Sudahlah. Sebanyak apapun kau menangis, Akagami tidak akan datang.”

“... Kau—Apa maksudmu? Siapa kau?” tanya Thalassa.

“Menurutmu aku siapa? Yang tahu tentangmu hanya Ibumu, Papamu—mungkin seluruh kru-nya juga tahu tentangmu—dan tentu saja Kakekmu.”

Tunggu! Apa maksudnya ini?

“Maafkan Kakek, Thalassa.”

Pupil Thalassa melebar. Apa-apaan ini? Jangan bilang—

“Maaf membuatmu menunggu lama.” Garling melepas kacamata hitamnya dan kini netra cokelat yang mirip seperti milik Shanks itu menatap matanya dengan tatapan teduh. “Ayo kita pulang.”

* * *

Note:

Anglocita (sansekerta) express your heart.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top