24 | Dejahoe

Gedung itu berdiri dengan megah. Kesan ornamen aristokrat begitu kental melekat di setiap lekuk bangunan. Terdapat beberapa patung tokoh-tokoh pendiri sekolah yang berdiri di taman utama, lorong-lorong, hingga ruangan-ruangan para pejabat yang memegang tinggi kekuasaan.

Ini baru sejam yang lalu Thalassa resmi berpisah dari keluarganya. Pria berambut kelabu yang berjalan di depannya ini tidak memberikan kesempatan bagi Shanks ataupun Benn untuk menemani gadis itu ke kamar asramanya. Sehingga mereka benar-benar berpisah di dermaga. Begitu cepat, nyaris tidak terasa bagi gadis itu jika kini dia benar-benar sendirian.

Air matanya ingin keluar, namun tertahan kala pria yang mengantarnya ini menatapnya dengan begitu intimidasi. Sehingga tepat saat gadis itu sampai di kamar asrama, dia langsung buru-buru menaruh barang-barangnya di pojokan dan kembali bersiap menuju kelas dengan tas ransel yang telah dia siapkan.

Gedung sekolah ternyata cukup jauh dari asrama. Mereka berjalan kurang lebih 5 menit menuju suatu ruangan besar yang memiliki pintu kayu raksasa yang menjulang ke atas.

Thalassa tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Di pulau dulu tempat dia tinggal hanya menyediakan sekolah kecil yang tentunya tidak menerima orang minoritas sepertinya. Jangankan berharap untuk sekolah, bisa hidup dan makan sehari sekali saja dia sudah amat bersyukur. Lagipula siapa yang butuh sekolah? Saat hidupnya saja saat itu tidak ada harganya.

Sedih sekali rasanya membayangkan masa lalu.

Pintu besar itu terbuka. Membuyarkan lamunan Thalassa dan menyadarkan gadis itu jika di dalam sana terdapat puluhan siswi tengah duduk teratur di mejanya masing-masing. Kehadirannya mendadak menghentikan segala aktivitas di ruang kelas tersebut. Semua kepala menoleh, menatap gadis berambut perak itu dengan curiga.

Merasa jika semua tatapan tertuju padanya, refleks Thalassa menunduk menatap ujung sepatunya.

“Mohon perhatiannya, anak-anak!” Wanita yang Thalassa tebak adalah guru, menepuk kedua tangannya untuk meminta atensi orang-orang di kelas. “Silahkan, perkenalan dirimu.”

Thalassa gugup. Gadis itu perlahan mendongak dan kembali mendapati semua orang menatapnya. “Ha—halo. Nama saya Thalassa. Mo-mohon bantuannya.”

Tidak ada balasan ataupun respon dari mereka. Membuat Thalassa meneguk ludahnya seraya meremas ujung roknya.

“Baiklah, cukup perkenalannya. Kau bisa duduk di kursi kosong sebelah sana,” ucap sang guru seraya menunjuk ke arah kursi yang berada di pojok barisan paling belakang. Thalassa mengangguk, melangkahkan kakinya melewati siswi-siswi yang menatapnya penuh selidik.

Ini di luar kontrol Thalassa. Gadis itu harus kembali beradaptasi di lingkungan sosial yang baru.

Tepat saat bokongnya mendarat di kursi, seorang gadis yang duduk barisan depannya menoleh. Dia memiliki mata hijau dengan rambut secokelat batang pohon pinus. Belum sempat bagi Thalassa untuk tersenyum menyapanya, gadis itu lebih dulu melempar senyum seringai. Mata hijaunya yang sebelumnya terlihat teduh, entah mengapa terlihat begitu gelap seperti memberikan sinyal pada Thalassa jika hari pertamanya di sekolah tidak semulus yang Papa dan Paman-pamannya ceritakan.

* * *

Sialan.

Siapa yang bilang sekolah menyenangkan?

Ini hanyalah representasi dari kata neraka di dunia.

Thalassa membuang ludahnya dengan kasar. Rasa amis dia rasakan saat bibir dan gusinya luka dan robek akibat benturan gagang sapu yang terus-menerus mengenai dirinya.

“Dia siswi lain yang termasuk golongan 4. Dia bahkan tidak memiliki nama keluarga.”

Erangan kesakitan lolos dari mulut Thalassa saat tangannya diinjak dan digesek di lantai membuatnya terpejam dengan kening yang mengkerut menahan sakit.

Sialan. Ini bukan soal rasa sakitnya.

Tapi soal bagaimana bisa-bisanya anak berusia 6-12 tahun melakukan tindakan keji ini tanpa ada pengawasan sedikitpun dari guru. Dia tidak masalah jika disiksa dengan orang dewasa, namun melihat fenomena ini, dia tidak habis pikir.

Apakah sekolah memang seperti ini?

Jika memang seperti ini ... Ya Tuhan, bagaimana dia menghadapi 6 bulan ke depan?

Bahkan ini belum genap sebulan dirinya bersekolah.

Tangannya akhirnya terlepas. Buru-buru Thalassa tarik dan mendapati luka lecet yang berdarah di punggung tangannya. Brengsek. Haruskah Thalassa buat mereka pingsan dan kabur ke UKS untuk merawat luka-lukanya sebelum tubuhnya beregenerasi dan luka-lukanya hilang dalam semalam.

Thalassa, ingat! Apapun yang terjadi, jangan sekali-kali menggunakan sihirmu! Kau paham?

Kalimat Papanya tiba-tiba terlintas di kepalanya. Membuatnya kembali teringat jika tujuan utama dirinya terpisah dari Papa dan Paman-pamannya adalah untuk melindungi keberadaannya yang merupakan seorang penyihir.

“Sudahlah! Dia mulai membosankan.” Siswi yang barusan menginjakkan tiba-tiba melempar sapu ke pojokan ruangan. Dia menepuk-nepuk roknya dan tersenyum jahat kepadanya. “Kita bisa lanjutkan lagi besok.”

Bajingan.

Sekolah ini adalah kumpulan anak-anak yang memiliki sifat persis seperti Uta. Ah, bukan! Mereka memiliki sifat lebih buruk dibandingkan Uta!

Thalassa menghela napas saat siswi-siswi brengsek itu pergi dari gudang. Gadis kecil mengatur napasnya yang terasa sesak seraya menyeka darah di sudut bibirnya. Setelahnya dia menatap langit-langit gudang yang penuh debu dengan tatapan kosong.

Dia rindu Red Force.

Dia rindu suara laut dan suara ombaknya yang menghempas haluan kapal.

Dia rindu orang-orang di kapal.

Dia rindu Paman Benn.

Dia juga rindu Papa.

Sehari di sekolah asrama ini rasanya seperti setahun. Dia tidak yakin bisa bertahan hingga 6 bulan ke depan.

Kruuuk!

Thalassa menggigit bibir bawahnya seraya memeluk perutnya. Dia tidak sempat sarapan karena terkunci di kamar asrama, membuatnya kehabisan jatah sarapan sekaligus telat masuk kelas pertama. Saat bisa senang bertemu makan siang, siswi-siswi brengsek itu datang dan mengacaukan semuanya. Dia hanya bisa memakan 2 suap nasi dan sepotong brokoli.

Aku rindu masakan Paman Roo. Aku rindu kalian semua. Kenapa aku harus berpisah??

Air matanya luruh. Thalassa menangis dalam diam, ditemani oleh laba-laba di pojokan dan debu yang nyaris menyelimuti karena cukup lama berbaring di lantai yang kotor. Hampir 5 menit dia puas menangis, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang UKS. Dia hanya diberikan obat merah oleh salah satu petugas. Yeah, itu bukan masalah besar. Diobati atau tidak diobati, luka-luka di tubuhnya juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.

Merasa sudah selesai dengan lukanya. Khususnya di tangan dan wajah. Thalassa tidak langsung kembali ke asrama. Dia melipir ke samping gedung sekolah. Terdapat tanah lapang (tidak terlalu luas) yang ditumbuhi rumput jarum. Lokasi sekolah dan asrama ini berada di atas tebing. Sehingga Thalassa dapat melihat luasnya lautan dan matahari yang mulai tenggelam ditelan senja.

Angin laut menerpa wajahnya, menyibak rambutnya dan memperlihatkan wajahnya yang sedikit babak belur. Mata biru lautnya yang jernih memantulkan cahaya senja. Ditatap pemandangan di hadapannya ini lamat-lamat, seraya berdoa semoga waktu bisa berlalu dengan cepat.

“Kalian sedang apa di sana?”

* * *

Note:

Dejahoe (adj.) the feeling of having met this hoe before.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top