22 | Drapetomania

Gelap, lembab, dan pengap.

Selama berlayar bersama bajak laut Akagami, Thalassa tidak pernah berlama-lama berada di lambung kapal. Dia memang sering membantu kru kapal membersihkan tempat ini, tapi nyatanya dia tidak pernah menginjakkan kakinya secara langsung. Meskipun dulu dia pernah tinggal di gudang penyimpanan barel anggur, tetapi suasana di keduanya begitu berbeda.

Ini sudah lewat 15 menit sejak Shanks pergi meninggalkannya. Kini penglihatannya mulai terbiasa dengan kegelapan. Suara benturan (entah itu ombak atau mungkin pertempuran) terdengar saling sahut-sahutan. Hal tersebut membuat jantung Thalassa tidak bisa berhenti berdetak kencang.

“Ayah dan yang lain tidak akan mudah dikalahkan!”

Tiba-tiba Uta berbicara. Thalassa refleks menoleh, menatap mata violetnya yang bersinar di kegelapan. Tapi tidak sampai dua detik, Thalassa melengos. Padahal gadis itu berharap tidak mendengar sedikitpun suara iblis kecil itu.

“Tutup mulutmu. Aku tidak menyuruhmu berbicara.” Thalassa berdiri. Dia mengeluarkan sedikit sihirnya berupa cahaya tipis yang sedikit membantu penerangan.

Uta memicingkan matanya. “Sekarang kau sudah memiliki taring. Ironis memang.”

Thalassa terkekeh. “Aku sudah memiliki taring sejak aku datang ke kapal ini. Aku hanya menunggu kapan waktu yang tepat bagiku untuk menunjukkannya.”

“Lalu kenapa baru sekarang?” tanya Uta.

“Entahlah. Mungkin karena aku punya hati?” jawab Thalassa. “Aku tidak ingin mengacaukan hubungan manismu dengan Shanks. Meskipun aku tahu kau hanya anak pungut.”

Uta mendengkus. Dari dulu dia tidak suka disebut demikian. Dia tidak punya ibu, bahkan dia tidak punya ayah. Shanks adalah ayah angkatnya. Dia tahu itu sejak dia berusia 5 tahun. Kehadiran Thalassa yang ternyata adalah anak kandung ayah angkatnya benar-benar menampar dirinya begitu keras.

“Kenapa? Kau tidak terima aku sebut anak pungut? Padahal aku begitu karena tidak tahu apakah kau ini sebenarnya anak yatim piatu atau bukan.”

“...”

“Sayang sekali, ya. Selama ini kau telah salah berurusan denganku. Aku bukan yatim piatu. Semua tahu siapa orang tuaku. Tapi, apakah kau tahu siapa orang tua aslimu?” tanya Thalassa. Ya Tuhan, ternyata merundung orang se-asik itu.

“Hentikan! Tutup mulutmu!” Uta berdiri dan menghadap dirinya.

Jika Thalassa yang dulu ditatap demikian oleh Uta akan gelisah dan ketakutan, tapi sekarang tidak lagi. Gadis berambut perak itu hanya menyeringai. “Baiklah. Tidak perlu sampai marah seperti itu,” ucapnya. Lalu berjalan ke sisi lain gudang dan duduk di sana.

Uta masih berdiri menatapnya tidak suka. Melihatnya, Thalassa memiringkan kepala. “Apa? Kau masih ingin berbicara?” tanyanya.

Uta bersedekap. “Bagaimana kau bisa berani seperti ini?” balasnya.

Thalassa mengendikkan bahunya. “Tidak tahu. Sepertinya rasa takutku sudah hanyut saat tenggelam di lautan,” balasnya begitu sarkas. “Kau tahu Uta, aku sebenarnya ingin berterima kasih. Berkatmu, aku bisa seperti ini.”

Uta mengeraskan rahangnya. Dan tanpa sempat Thalassa duga, Uta mendekat dan meraih kerah piyamanya. Gadis itu menatap Thalassa dengan amarah yang menggebu-gebu. Dan untungnya, Thalassa menikmati ini semua.

“Jangan macam-macam denganku!” ancamnya.

Thalassa menaikkan salah satu alisnya. “Oh ya? Atau apa?”

“Meskipun kau anak kandung ayahku! Tapi aku lebih disayang olehnya!”

Ucapan Uta seketika menggelitik perutnya. Thalassa tertawa tanpa bisa ditahan. “Yeah. Terserah. Kau bebas mengatakannya, Uta.” Gadis itu melepas paksa tangan Uta darinya.

Tepat saat itu juga, samar-samar terdengar suara langkah kaki dari luar. Tadinya hanya satu orang, namun tak lama disusul oleh banyak orang. Baik Uta maupun Thalassa seketika terdiam mematung. Belum sempat mereka memutar otak, pintu gudang didobrak secara paksa hingga terbuka. Cahaya senter menyeruak menyinari seisi gudang. Sepersekian detik berikutnya, Thalassa secara refleks memasang badan.

“Ketemu. Tangkap mereka!”

* * *

Ini adalah salah satu ketakutan Shanks sejak dirinya resmi menjadi seorang ayah. Pada dasarnya dia tidak takut pada lautan. Dia tidak takut dengan pertempuran. Dia tidak takut bertarung dengan maut. Dia juga bahkan tidak takut dengan aparat penegak hukum seperti Angkatan Laut dan pemerintah.

Yang dia takutkan adalah keselamatan anaknya. Anak-anaknya.

Shanks tidak memperdulikan luka di tubuhnya, keadaan rekan-rekannya, bahkan dia tidak peduli dengan kondisi kapal yang hampir rusak akibat serangan bombardir dari kapal pemerintah yang menghadang mereka. Meskipun kelompok bajak laut tersebut berhasil menyerang hingga ke kapal musuh, serta membekukkan para agen-agen pemerintah satu persatu dengan masif. Namun ada satu hal yang Shanks serta krunya lewatkan. Mereka tersadar saat mendengar suara teriakan orang-orang yang menggema bersamaan dengan cahaya biru terang memancar dari kapal Red Force. Tubuh Shanks mematung. Kepalanya refleks menoleh menatap kapalnya yang hening seketika.

“Siapa yang berjaga di kapal?!” tanya Shanks panik.

Semua terdiam. Pasalnya kru mereka terbilang sangat sedikit. Tidak ada satupun yang berjaga di kapal. Bahkan Snake si navigator sekaligus juru kemudi ikut bertarung bersama mereka.

Shit!”

Shanks mengumpat. Pria itu menyarungkan kembali pedangnya, dan tanpa berpikir panjang melompat melewati pagar pembatas menuju Red Force. Pria itu meraih lampu petromax di tiang layar dan berlari menuju geladak. Matanya seketika terbelalak saat melihat kondisi lorong geladak yang penuh oleh darah segar belecetan di mana-mana. Orang-orang yang merupakan agen pemerintah tergeletak tak berdaya dengan kondisi tangan dan kaki yang tak lagi bersatu.

“Thalassa ...”

Thalassa berdiri di tengah lorong dengan mata birunya yang bercahaya sangat terang. Meskipun di geladak ini sangat gelap, Shanks bisa melihat jika tubuhnya penuh dengan noda darah. Bahkan rambut peraknya telah berubah sebagian menjadi merah darah.

“Thalassa, ini Papa.”

Ini seperti deja vu. Shanks pernah melihat kejadian ini sebelumnya. Nerina pernah lepas kontrol terhadap energi sihirnya. Membuatnya tidak sadar jika kekacauan yang terjadi adalah akibat ulahnya. Biasanya ini terjadi karena  peningkatan Nama yang mendadak dan ketakutan yang mendalam.

“Papa ... Hiks!”

Mata biru lautnya perlahan meredup. Shanks berjalan pelan menghampirinya. Namun pria itu tersadar tersisa satu orang di ujung lorong yang masih bertahan.

This is Black Anoa! We got situation here, there are a great witcher who still alive! She’s sail with Akagami. Please send me—”

Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Haki raja Shanks lebih dulu menyerangnya hingga jatuh pingsan. Pria berambut merah itu mendekat, menginjak den-den mushi tersebut hingga hancur.

Shanks masuk ke dalam gudang untuk mencari keberadaan Uta. Gadis itu terbaring dengan luka sobek di pelipisnya. Tapi beruntung napasnya masih teratur. Alhasil dia mengangkat tubuh Uta dengan satu tangan. Setelahnya dia menarik tangan Thalassa yang masih terduduk dengan pandangan kosong.

“Kita ke atas,” katanya. Meminta gadis itu untuk bangkit. Namun sayangnya, kakinya terlalu lemas hingga tak sanggup untuk sekedar berdiri. Alhasil Shanks juga mengangkat gadis itu, naik ke atas dek kapal.

Di sana krunya sudah berkumpul. Terlihat kapal pemerintah yang barusan menyerang mereka telah hanyut terbakar di tengah gelapnya malam. Benn dengan sigap menghampiri Shanks dan membantunya dengan mengambil alih tubuh Thalassa.

“Mereka kenapa?” tanya si wakil kapten.

“Nanti aku jelaskan. Sekarang kita harus fokus untuk segera meninggalkan Grand Line Paradise!” perintah Shanks. Pria berambut merah itu kini beralih menatap Hongou, memberikannya tatapan bahwa dia membutuhkannya segera. “Hongou, lakukan apa yang harus kau lakukan!”

Dokter kapal tersebut mengangguk. Dia segera menuntun Shanks dan Benn menuju klinik. Memberikan pengobatan pada kedua gadis kecil tersebut.

* * *

Note:

Drapetomania (n.) an overwhelming urge to run away.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top