21 | Eccedentesiast

Canggung.

Satu kata yang bisa mendeskripsikan keadaan sekarang adalah canggung.

Tidak pernah terpikirkan di benaknya, akan satu ruangan dengan pria itu tanpa ada aura membunuh darinya. Thalassa mencoba untuk menenangkan dirinya dengan meremas selimut yang menutupi kakinya. Ini sudah 3 menit berlangsung sejak dia terbangun, dan belum ada percakapan apapun di antara mereka berdua. Baik Thalassa maupun Shanks, keduanya sama-sama canggung untuk memulai pembicaraan.

Hingga akhirnya Shanks mau memberanikan diri untuk berdeham, membuka awal pembicaraan. “Apa kau merasa sakit?” tanyanya. Pria itu menatapnya lekat-lekat, kemudian beralih melihat tangan kirinya yang dibebat oleh perban akibat luka robek.

“Tidak. Aku ... Baik-baik saja.”

Shanks mengangguk kecil. Kini dia bingung mau berbicara apa lagi, hingga kemudian dia teringat jika gadis kecil itu perlu makan. Perutnya pasti keroncongan karena seharian belum terisi apapun. “Kau pasti lapar. Tunggu sebentar, aku akan ambilkan makanan untukmu,” katanya. Lalu keluar sebentar dari kabinnya 

Pria itu datang tak lebih dari 2 menit bersama nampan yang terisi semangkuk sup ayam dan segelas air. Shanks awalnya ingin menawarkan diri untuk menyuapinya, namun batal saat gadis itu sudah lebih dulu mengambil alih sendok dan mulai menyantap makanannya. Lagi-lagi mereka dilanda canggung. Shanks mati kutu. Thalassa gugup bukan main.

Yang terdengar di antara mereka hanya suara dentingan sendok dan sapuan ombak dari luar. Sebenarnya, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Thalassa bicarakan. Tapi sepertinya timing-nya kurang tepat. Dia ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, kenapa pria itu menatapnya dengan ekspresi aneh seperti itu, juga bagaimana pria itu bisa-bisanya memanggil dirinya ‘Papa’ untuknya. Padahal Thalassa belum memberikan kalung milik ibunya.

Tunggu, di mana kalung ibunya?!

Melihat gadis itu yang tiba-tiba panik seraya meraba-raba lehernya, membuat Shanks tersenyum dan memberikan kalung tersebut. “Kau mencari ini?”

Mata Thalassa terbelalak. Kalung itu sudah disentuh olehnya. Itu artinya ...

“Aku sudah bertemu dengan ibumu. Kita berbicara banyak hal. Tentangmu tentunya.”

“...”

“Maafkan Papa, Thalassa.” Shanks terdiam sejenak. Menyusun kalimat yang pas untuk dia katakan selanjutnya. “Aku telah jahat padamu. Aku tidak pantas menjadi sosok ayah bagimu. Bahkan aku tidak pantas menerima pengampunanmu.”

“...”

“Tapi kuharap kau mau memberikanku kesempatan kedua. Kesempatan bagiku untuk mencintaimu.”

Thalassa tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya bisa terdiam, menahan sesuatu di dalam dirinya. Jangankan mendapati pria ini memohon maaf padanya, membayangkannya saja dia tidak pernah. Dia sudah merasa cukup bahagia bisa berlayar dengan pria yang merupakan ayahnya yang sesungguhnya.

Gadis itu mengesampingkan sejenak makanannya dan memilih untuk memeluk pria itu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa, tapi setidaknya dia ingin melakukan ini sejak pertama kali mereka bertemu.

“Aku memaafkanmu, Pa.”

* * *

Ada beberapa hal yang berbeda sejak orang-orang tahu siapa Thalassa yang sebenarnya. Meskipun Benn dan yang lain masih bersikap sama padanya, namun Uta dan Shanks 180 derajat berbeda.

Shanks sejak kejadian itu, sekarang mulai terang-terangan bersikap baik padanya. Beberapa kebiasaan yang dulu Benn lakukan padanya, dia lakukan. Thalassa tidak merasa keberatan, hanya saja dia belum terbiasa dengan itu.

Sedangkan Uta tiba-tiba menutup diri. Gadis itu mengusahakan dirinya agar tidak bertemu dengan Thalassa. Lagipula siapa juga yang mau bertemu dengan iblis licik sepertinya. Thalassa sudah sangat baik dengan tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Seharusnya jika Uta memang masih memiliki hati nurani, dia bisa datang diam-diam menemuinya untuk minta maaf. Meski Thalassa tidak akan melupakan perbuatannya, mungkin dia masih mau memaafkannya.

Apa iya, Thalassa juga yang harus meminta maaf padanya seperti yang sudah-sudah?

Suara pintu kabinnya terbuka. Thalassa yang sedari tadi mencoba untuk menutup matanya kembali membukanya lebar-lebar. Lantaran ini sudah hampir satu jam kantuk belum kunjung datang. Dia bingung harus apa agar segera tertidur, padahal Thalassa sudah meminum susu hangat tadi.

“Kau belum tidur?”

Itu Ben. Seperti biasa dia datang dengan lampu petromax di tangannya. Thalassa langsung mengubah posisi tidurnya menyamping, menghadap pria itu yang kini duduk di samping ranjang. “Paman sendiri kenapa belum tidur?” tanyanya.

Benn terkekeh. “Angin di luar cukup kencang, dan itu berpotensi munculnya badai ... jadi kami semua berjaga di dek kapal.”

Thalassa terdiam. Dia menatap pria berambut hitam panjang itu beberapa detik hingga kemudian beralih menatap langit-langit kabin. Suara desiran angin menyatu dengan hempasan ombak, terdengar cukup jelas dan membuat gadis itu percaya apa yang dikatakan oleh pamannya itu.

“Ada apa?” tanya Benn. Tidak dipungkiri, pria itu sangat khawatir dengan Thalassa. Mulai dari permasalahannya dengan Uta, lalu masalah dia yang sempat menghilang membuat semua orang panik mencarinya, juga tentang fakta jika gadis itu adalah anak kandung dari kaptennya. Dia benar-benar tidak menyangka. “Ada hal yang ingin kau ceritakan?” tanyanya lagi.

Gadis itu bangun dan bersandar di kepala ranjang. “Maaf.”

Benn mengernyit. “Untuk apa?”

“Untuk segalanya. Aku minta maaf telah menyembunyikan kebenarannya darimu. Padahal kau sudah ku anggap sebagai pamanku sendiri.”

“Tentang Shanks?”

Thalassa menatap Benn ragu-ragu. Tapi tak lama dia mengangguk pelan. “Ibu memberitahuku sebelum dia meninggal. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkan rahasia ini pada siapapun.”

Kini Benn yang terdiam. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menatap wajah gadis itu yang juga sama-sama terdiam.

“Paman ... Apakah aku akan tinggal bersama kalian dalam waktu yang lama?” tanya Thalassa

“Ya, tentu saja.”

“Seberapa lama?”

“Sangat lama. Sampai kami berhasil mewujudkan tujuan pelayaran kita, setelah itu kita semua akan pensiun.”

“Pensiun? Apa itu?” tanya Thalassa.

Benn menghela napas sejenak. “Well, waktu di mana kita sudah selesai melaut, dan melanjutkan hidup masing-masing. Contohnya aku akan pulang ke kampung halamanku di West Blue dan kau mungkin akan tinggal di suatu pulau bersama Shanks dan Uta?”

Thalassa mengerutkan keningnya. Dia merasa tidak suka dengan kalimat terakhir pria itu. “Apakah aku boleh ikut dan tinggal bersamamu?”

Pria itu tertawa kecil. “Shanks pasti tidak akan mengizinkannya.”

“Aku tidak ingin tinggal bersama Uta,” ucap Thalassa dengan wajah murung. Dia menekukkan kaki dan memeluk kedua lututnya.

“Thalassa, sekarang Uta adalah kakakmu. Meskipun bukan saudara kandung, dia tetap anak pertama Shanks.”

“Dia bukan putri Shanks!”

“Thalassa.”

Thalassa mendengkus. Mungkin sekarang dia sudah bisa bersikap keras kepala. Tapi percayalah, itu semua ada sebabnya. Dia bisa saja mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Uta di pulau itu. Dia bisa saja membuat semua orang di kapal bahkan Shanks membenci Uta. Tapi Thalassa cukup baik untuk menutup mulut, dan menyimpan rahasia itu rapat-rapat.

Dulu Uta dengan mudah mengancamnya dengan ancaman klise padanya. Tapi sekarang Thalassa juga bisa mengancam gadis itu dengan ancaman mematikan. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak angkat sepertinya, huh?

Yeah, semoga saja Uta tidak bertindak bodoh dan kembali macam-macam padanya.

BRAK!!

Tiba-tiba pintu kabinnya terbuka dengan kasar. Shanks muncul. Tubuhnya sedikit basah. Tatapannya sedikit was-was bercampur khawatir.

“Shanks? Ada apa?” tanya Benn. Pria berambut panjang itu segera berdiri dan menghampiri kaptennya.

“Ada kapal pemerintah. Mereka menangkap radar kita. Tidak ada celah untuk menghindar!”

Ekspresi Benn tiba-tiba kaku. Dia menoleh, menatap Thalassa yang terdiam menatap kedua orang dewasa itu dengan bingung.

“Siapkan yang lain. Aku akan mengamankan anak-anak dulu.” Shanks masuk ke dalam kabin dan menghampiri Thalassa. “Di sini terlalu berbahaya. Ayo ikut Papa.”

Thalassa tidak mengatakan apa-apa saat Shanks mengangkat tubuhnya dan membawanya keluar dari kabin. Pria itu juga menghampiri kabin Uta dan membawa gadis itu bersamanya menuju lambung kapal, tepatnya gudang penyimpanan barel anggur.

“Apapun yang terjadi, jangan pernah keluar sebelum aku yang menjemput kalian. Paham?” tanya Shanks.

Baik Thalassa maupun Uta mengangguk. Shanks pun menutup pintu gudang, meninggalkan mereka berdua di dalam lambung kapal yang gelap dan lembab.

* * *

Note:

Eccedentesiast (n.) someone who hide pain behind a smile.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top