20 | Dystychiphobia

Cerita kembali beralih pada masa lalu. Tepat saat beberapa jam setelah perawatan intensif pada luka di tubuh Thalassa yang diduga gadis itu telah tenggelam dan terseret ombak selama berjam-jam.

Lembar pernyataan yang menunjukkan hasil laboratorium tes DNA antara Thalassa dan Shanks berhasil membuat semua kru kapal shock. Mereka tahu 80% ada kemungkinan jika Thalassa adalah anak kandung sang kapten, namun mereka tidak menyangka jika Shanks sampai melakukan tes DNA dengan bantuan kenalannya yang tidak disebutkan siapa namanya tersebut.

Sekarang sudah jelas. Semua kebetulan yang sangat pas itu dikonfirmasi jika memang mereka ada hubungan darah antara ayah dan anak.

Shanks merenggangkan sejenak persendiannya. Sudah berjam-jam dia terduduk di sofa sembari menemani Thalassa yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Pria itu kemudian terdiam seraya menatap lurus putri kandungnya tersebut lekat-lekat. Mengamati pergerakan dadanya yang naik-turun secara teratur disertai suara napasnya yang terdengar lembut. Shanks memejamkan matanya sejenak.

Dugaannya benar. Thalassa anak biologisnya dengan Nerina. Entah ini sudah berapa kian kalinya Shanks merutuki dirinya, menyumpah serapahi dirinya yang bodoh akan sikapnya yang buruk pada gadis kecil itu.

Bagaimana jika Thalassa membencinya? Bagaimana jika dia tidak mau menerimanya atau bahkan sekedar menatap matanya. Bagaimana ini?

Kepalanya semakin pusing saat dia terus berdebat dengan dirinya sendiri. Pria itu akhirnya berdiri, menarik kursi dan memilih untuk duduk tepat di samping Thalassa. Mata cokelat teduhnya menatap wajah polos itu yang masih tertidur pulas. Ujung bibirnya tertarik menciptakan senyum tipis kala merasa ada setitik kebahagiaan di dadanya. Shanks memberanikan diri memegang tangan Thalassa dan mengecupnya lembut.

Dia tahu, dia sudah melakukan kesalahan. Bahkan begitu banyak kesalahan. Dia tidak pantas untuk Nerina, dia juga tidak pantas menjadi sosok ayah bagi putrinya. Dia benar-benar tidak pantas dalam segala hal. Namun dia berharap semoga dia diberi kesempatan sekali lagi untuk mencintainya. Dia tidak mau kehilangan lagi. Dia tidak mau merasakan menjadi pria paling tidak pantas untuk yang kedua kalinya.

Tak sengaja, Shanks menatap kalung yang melingkar di leher Thalassa. Dia baru tersadar jika gadis kecil itu mengenakan perhiasan tersebut di lehernya. Merasa familiar, pelan-pelan pria itu melepaskan kaitannya sejenak. Itu kalung emas berliontin bunga kamelia. Kalung yang pernah dia berikan kepada Nerina dulu. Rupanya, wanita itu masih menyimpannya bahkan mewariskannya kepada Thalassa. Lagi-lagi senyuman muncul di bibirnya, hingga kemudian dia tersadar kalung itu sedikit bercahaya. Tatapan Shanks lantas tertuju pada bunga kamelia tersebut hingga tanpa dia sadari, dirinya bukan lagi berada di dalam kabin kapal, alih-alih berada di padang rumput dengan angin sepoi-sepoi membelai tubuhnya.

Shanks mengerjapkan matanya berkali-kali. Kenapa tiba-tiba dia bisa ada di sini?

“Akhirnya kau datang juga.”

Punggung Shanks mendadak menegang kala mendengar suara wanita. Refleks pria itu berbalik, mendapati seseorang wanita mengenakan gaun putih gading tengah berdiri menghadap ke arahnya. Angin menggerakkan rambut peraknya yang panjang, menampilkan wajah cantiknya yang selalu Shanks rindukan di setiap malamnya.

Tenggorokan Shanks tiba-tiba terasa tercekat. Dia kesulitan untuk bersuara lantaran terkejut melihat wanita tersebut.

“Aku tahu, kau pasti marah padaku, Shanks.” Wanita itu tersenyum masam. “Aku minta—”

Kalimatnya terpotong saat Shanks lebih dulu berlari mendekat dan memeluknya begitu erat. Kini gantian, tubuh wanita itu yang menegang saat merasakan deru napas pria itu di lehernya.

“Maafkan aku.” Suara lirih terdengar tak lama kemudian. Tanpa Shanks sadar, air mata menetes dari pelupuk matanya kala akhirnya dia bisa kembali merasakan raganya berada dalam pelukannya. “Aku minta maaf, Nerina. Aku minta maaf.”

Mendengarnya, tak lama membuat Nerina ikut merasakan emosinya. Dia ikut menangis sedetik kemudian seraya membalas pelukan pria itu.

* * *

Sebenarnya, baik dari keduanya masih ingin terus menyalurkan rasa rindu yang sudah terlalu menumpuk. Namun Nerina tahu, waktunya terbatas. Dia harus menjelaskan semuanya sebelum energi sihirnya benar-benar menghilang.

“Ada beberapa hal yang ingin aku jelaskan padamu.” Nerina mencoba melepas pelukannya. Namun Shanks rupanya tidak mengizinkannya. Pria itu masih setia memeluknya begitu erat, bahkan sesekali mengecup kepalanya.

“Apa tentang anak itu?” tanya Shanks. Nerina tiba-tiba terdiam. “Tidak apa-apa, Nerina. Putri kita akan baik-baik saja.”

Nerina tersentak pelan, pupilnya mengecil akibat terkejut dengan perkataan pria itu barusan. “Kau ... Ba—bagaimana kau tahu?!”

Shanks tersenyum. Pria itu kembali mengecup keningnya. “Sshh, insting seorang Papa tidak pernah salah, bukan?”

Wanita itu mendongak, memberanikan diri untuk menatap langsung wajahnya. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Perlahan Nerina tidak bisa lagi menahan tangis yang sebenarnya sudah dia tahan sejak kedatangan Shanks barusan.

Melihat mata indah tersebut yang berkaca-kaca hingga meneteskan air mata, Shanks dengan cekatan menyekanya. “Katakan padaku, Nerina. Bagaimana ini bisa terjadi? Kau adalah penyihir paling kuat yang pernah aku temui. Bagaimana bisa kau ...” Jujur, Shanks tidak sanggup untuk melanjutkannya.

Nerina mencoba mengatur napasnya. Pelukannya kini perlahan terlepas, dan dia beralih untuk menggenggam kedua tangan Shanks erat-erat. “Memento mori, memento vivere. Remember you must die, so remember to live. Itu yang selalu aku ingat terakhir kali aku berpisah dari ayahku.”

“...”

“Aku mengorbankan manaku* untuk mempertahankan Thalassa,” lanjut Nerina.

Respon Shanks hanya terdiam. Pria itu membalas genggaman tangannya tidak kalah erat. Dia tahu ini begitu berat bagi Nerina untuk menjelaskannya. Namun di sisi lain, Shanks butuh penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku tidak tahu faktor apa yang mempengaruhinya. Tapi kandunganku saat itu begitu lemah. Aku tidak ingin mengorbankan Thalassa begitu saja. Aku ... Aku melakukan berbagai cara agar dia bisa selamat dan lahir sehat. A—Aku ... Aku hanya ingin dia selamat, Shanks.”

Shanks menundukkan kepalanya. Dia tidak sanggup bersitatap dengan Nerina. Dengan segenap usaha, dia kembali bertanya. “Jika memang itu yang terjadi, lalu kenapa kau pergi? Kenapa kau meninggalkanku dan memilih untuk hidup bersama pria lain?” tanya pria itu putus asa.

Bibir Nerina bergetar. Wanita itu tahu betapa hancurnya pria di hadapannya ini. “Aku tidak ingin menghancurkan impianmu.”

Jawaban singkat dari Nerina berhasil membungkam Shanks. Tentu saja dia tidak lupa, se-egois apa dirinya dulu pada wanita yang dia cintainya.

“Aku memutuskan pergi saat tahu aku tengah berbadan dua. Lalu aku bertemu dengan seorang teman. Dia mau menolongku dan memberikanku tempat tinggal.” Nerina masih menatapnya dengan mata biru lautnya yang berkaca-kaca. “Maaf ... Aku tidak ingin mengecewakanmu. Aku juga tidak ingin mengganggu tujuanmu yang sudah kau rencanakan jauh sebelum kita bertemu.”

“Nerina.” Shanks menyentuh pipi wanita berambut perak tersebut. “Ini bukan salahmu. Ini salahku. Aku yang seharusnya minta maaf, sayang.”

Tangis Nerina semakin pecah kala pria itu memanggilnya demikian. Buru-buru Shanks kembali menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung dan kepalanya dengan lembut.

“Aku minta maaf, Nerina. Ini semua salahku.” Shanks kembali meminta maaf.

Di tengah tangisnya, Nerina berujar. “Selama ini aku mencoba untuk melukapanmu, tapi tidak pernah satu detik pun berhasil.”

“...”

“Aku tersadar, ternyata aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Aku tidak akan sanggup melakukannya, Shanks.”

Shanks memejamkan matanya. Hatinya terasa tertusuk oleh puluhan pisau saat mendengar penuturan Nerina. Shanks sempat, bahkan beberapa kali mencoba untuk membencinya. Terakhir kali dia nyaris nekat mengakhiri hidup Thalassa. Shanks tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia kelewatan dan nyawa anak itu melayang di tangannya.

“Shanks, I realize that always love you. And I do.”

* * *

Note:

Dystychiphobia (n.) the fear of hurting someone.

*Mana: energi sihir

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top