19 | Whelve

Ini aneh. Seharusnya setelah menenggak satu botol anggur merah bisa membuat dirinya sedikit rileks dan tertidur dengan pulas. Tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Gadis itu keluar dari kabin khusus para perempuan dan naik ke dek atas di mana klinik berada. Seperti dugaannya, Chopper belum tidur dan masih berkutat dengan ramuan-ramuan herbal di mejanya.

“Kau belum tidur, Chopper?” sapanya saat pintu klinik itu dia buka.

“Loh, Asa? Ada apa? Apa kau sakit?” Chopper menghentikan aktivitasnya sejenak dan hendak mengambil stetoskop miliknya.

Buru-buru gadis yang dipanggil Asa itu mengangkat tangannya untuk menghentikan aksi dokter tersebut. “Sshh, just relax! Aku hanya ingin tidur di sini. Mungkin aku bosan dengan suasana kabin, dan bangkar klinik sepertinya terlihat begitu menggoda.”

Chopper menatapnya sejenak. “Kau serius tidak ada yang sakit?” tanyanya sekali lagi.”

Asa mengangguk, kemudian merebahkan tubuhnya di atas bangkar. Chopper turun dari kursinya dan mengambil selimut dari lemari untuk dia berikan kepada gadis itu.

“Asa, jika kau tidak keberatan ... apa aku boleh bertanya?” tanya Chopper. Rusa kutub itu kembali naik ke kursinya dan menyibukkan diri dengan kegiatan meraciknya. “Tapi jika kau merasa keberatan, tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu.”

Gadis itu menatap punggung Chopper lekat-lekat. Chopper bukan manusia sungguhan. Tapi dia tahu, hewan itu memiliki emosi dan perasaan. Lagipula, sejak kapan seekor rusa bisa menjadi dokter dan petarung yang kuat? Chopper bukan sembarang rusa. Tapi jika dia harus memilih, kepada siapa dia ingin mencurahkan isi hati dan pikirannya, rusa kutub itu berada di pilihan pertama.

“Apa ini soal papaku?” tebak Asa.

Chopper terkejut. Tubuhnya tersentak.

Asa tahu, penjelasannya di dek kapal beberapa jam yang lalu masih amat rancu untuk dipahami. “Chopper, jika aku menceritakannya sedikit padamu, apakah kau akan menyimpan rahasiaku rapat-rapat?” tanyanya.

Chopper menoleh, menatap gadis itu dari posisinya berada. “Tentu saja. Kau bisa menceritakannya padaku. Aku akan menjaganya sebaik mungkin!”

Gadis itu tersenyum. Dia menatap sejenak langit-langit ruangan. Menarik napas dalam sekali tarikan hingga akhirnya kalimat pertama yang dia katakan adalah, “Aku ingin mengalahkan Kaisar Laut Akagami.”

Hening sejenak. Chopper membelalakkan matanya terkejut. Jelas dia tahu siapa yang dimaksud olehnya barusan.

“A—Akagami? Maksudmu Shanks Akagami? Pemilik topi jerami yang digunakan Luffy?!” tanyanya. Kini rusa kutub itu melompat dan naik ke atas bangkar. “Kau tidak salah bicara, kan??”

“Ya. Setahuku orang-orang masih menyebutnya demikian.” Asa melipat kedua tangannya dan menaruhnya di atas perutnya. “Mungkin itu terdengar mustahil, tapi aku tahu bagaimana cara mengalahkannya.”

Chopper menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tunggu dulu! Kau bilang impianmu untuk berlayar adalah bertemu dengan papa serta kakak perempuanmu. Lalu kenapa sekarang kau tiba-tiba mengatakan ingin mengalahkan seorang kaisar laut?!” tanyanya.

“Yeah, memang. Itu satu kesatuan.”

Rusa itu terdiam, hingga beberapa detik kemudian tubuhnya tiba-tiba menegang. Wajahnya memucat dan giginya gemetar ketakutan. “Tu—tunggu! Jadi maksudmu ... Papamu adalah Shanks Akagami? Kaisar laut?!”

Bingo!” Asa menjentikkan jarinya, lalu tertawa kecil. “Tidak usah takut begitu. Aku tidak akan membiarkan kalian ikut campur dalam urusanku. Ini adalah urusan keluarga.”

“Ta—tapi bagaimana jika Luffy tahu? Dia tidak akan mungkin membiarkanmu melawan Shanks!”

Asa menggeleng. “Dia tidak akan melarangku. Dia sudah berjanji tidak akan menghalangi impianku. Jadi, Chopper ... Tolong rahasiakan ini dari siapapun. Jika ini sampai bocor, maka yang pertama kali kuserang adalah dirimu.”

“Ba—baiklah ... Aku berjanji!”

* * *

Kapal Suuny Go berlabuh sebentar di salah satu pulau yang Robin bilang berafiliasi dengan beberapa keluarga kerajaan yang tergabung dalam pemerintah. Di setiap sudut di pelabuhan tersebar banyak angkatan laut serta beberapa agen pemerintah di pusat kota.

Mereka tidak punya banyak pilihan lantaran persediaan logistik sudah habis. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan, mengingat orang-orang di kapal memiliki nafsu makan yang tinggi. Franky, Usoop dan Sanji membeli logistik. Jimbe dan Brook menjaga kapal. Sisanya mencari makan siang yang sekiranya cocok dengan budget mereka sebagai perompak.

“Luffy, tutupi topi jeramimu dengan fedora. Sekarang orang-orang akan mengenalimu dari topi yang kau kenakan!” Chopper melompat dan memakaikannya topi yang rusa itu maksud.

“Baiklah, penyamaran kita sudah oke. Jimbe, Brook! Kami percayakan kapal pada kalian!” Nami melompat turun dari kapal, disusul oleh yang lain seperti Luffy, Zoro, Robin, Chopper dan Asa.

Awalnya Asa tidak ingin ikut. Dia ingin tetap di kapal bersama Jimbe dan Brook. Namun saat sadar jika 4 orang saja tidak akan cukup untuk memastikan Luffy tidak berulah. Apa lagi sekarang mereka berada di pulau yang begitu berbahaya bagi bajak laut seperti mereka. Alhasil dia ikut dan mengekor di barisan paling belakang untuk memantau jika semuanya baik-baik saja.

“Luat biasa! Bau masakan enak ini berasal dari restoran itu!!” Luffy berseru seraya menunjuk ke sebuah bangunan mewah yang siapapun tahu pasti menu-menu yang tersedia di sana tidak akan cocok dengan isi dompet mereka. “Ayo kita ke sana, Nami!” lanjutnya.

Tapi buru-buru Nami menahan kerah pakaiannya. “Enak saja! Kau pikir kau punya uang?!” tanyanya.

“Tidak. Tapi kau kan punya uang, Nami!”

Nami sudah mau kembali mengomeli Luffy, namun batal saat mendapati Zoro, Chopper dan Robin yang lebih dulu berjalan menuju restoran tersebut. “Hey! Apa yang kalian lakukan? Kembali ke mari!!”

Asa menghela napas lelah. Dia sudah memprediksi hal ini pasti akan terjadi. Semoga saja tidak ada masalah yang merepotkan.

“Aku mencium bau anggur enak di sini,” gumam Zoro saat mereka akhirnya sampai di depan pintu utama restoran tersebut. Saat masuk ke dalam, mereka langsung disuguhkan oleh suasana ballroom yang luas dengan lampu kristal raksasa yang menggantung di langit-langit bangunan. Mereka sempat mematung dengan mulut yang terbuka selama beberapa detik, kecuali Asa. Gadis itu hanya menghela napas gusar kala memori-memori masa kecilnya muncul secara acak di kepalanya.

“Permisi, apakah kalian sudah melakukan reservasi sebelumnya?”

Seorang pelayan dengan setelan tuxedo muncul menyapa. Luffy berdeham. “Belum. Tapi aku ingin makan di sini.”

“Baik, silahkan isi reservasi terlebih dahulu dan datang kembali sekitar seminggu kemudian.”

“Lama sekali, kami ingin makan sekarang!”

Pelayan itu tersenyum. “Maaf, Nak. Tapi semua meja sudah penuh.”

“Hey! Itu tidak adil! Mana ada—” Kalimat Luffy terpotong oleh Asa yang tiba-tiba maju dan memperlihatkan bandul di gelangnya.

Pelayan itu terdiam mengamati simbol di bandul tersebut selama beberapa detik, hingga kemudian menundukkan kepalanya memberinya hormat. Nami dan yang lain terkejut, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Maaf atas kelancangan saya, Nona. Mari ikuti saya.” Pelayan itu mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam dan duduk di salah satu meja yang berada di paling pojok, jauh dari keramaian dan suasananya lebih cozy. “Silahkan duduk.”

Mereka pun duduk satu persatu. Asa yang paling terakhir, lantaran dia berbicara sebentar terlebih dahulu dengan pelayan tersebut. “Berikan kami menu spesial. Dan, tolong. Jangan beri tahu kedatanganku pada mereka. Kau mengerti?”

Pelayan itu meneguk ludahnya. Lalu beberapa detik kemudian mengangguk sopan. “Baik, Nona. Kami tidak akan memberitahu kepada Tuan. Silahkan menunggu makanannya datang.”

Setelahnya pelayan itu pun pergi. Asa pun duduk dan merilekskan sejenak punggungnya.

“Kau mengenal pelayan tadi?” tanya Robin.

Asa terkekeh kecil. “It just ... Magic trick. That’s all.

Zoro memicingkan matanya. Pria itu ingin berkomentar namun batal saat makanan datang, tak lupa degan wine kualitas terbaik disuguhkan di atas meja. Seketika Zoro lupa dengan niatnya barusan.

“Keren sekali kau, Asa!!” puji Luffy.

Asa tersenyum. Ini benar-benar mengingatkannya dengan masa lalu. Di restoran ini, tepat di meja yang sekarang mereka tempati, adalah awal mula di mana dia memutuskan pilihan tersulit dalam hidupnya.

Ngomong-ngomong dia baru teringat ... Bagaimana kabar pria tua itu? Semoga saja darah tingginya tidak kambuh saat tahu nilai kepalanya naik dratis menjadi 400 juta lebih.

* * *

Note:

Whelve (v.) to burry something deep; to hide.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top