18 | Enkrateia

“Thalassa!”

“THALAA!!”

“Thalassa kau di mana?!!”

Sekitar jam 4 subuh, tidak ada angin tidak ada hujan, Shanks tiba-tiba terbangun dengan perasaan yang tidak enak. Dia mendapati kantung tidur milik Thalassa yang kosong melompong. Saat itu juga dia membangunkan semua orang dan menyuruh mereka menyisiri pulau untuk mencari gadis berambut perak tersebut.

Jujur, semua orang frustasi mencarinya, lantaran keberadaan gadis itu tidak bisa terdeteksi dengan haki. Pikiran buruk mengenai Thalassa langsung muncul baik di kepala Shanks maupun yang lainnya. Mereka berdua lah yang paling panik. Bahkan Benn yang dikenal memiliki pembawaan yang tenang saat itu kalang kabut menyusuri hutan untuk mencari keponakannya.

Shanks tidak perlu ditanya. Dia sudah memikirkan yang tidak-tidak sejak sedetik saat mendapati Thalassa tidak ada di sekitar camp. Pria itu tiba-tiba dilanda rasa bersalah jika membayangkan Thalassa kenapa-kenapa. Apa yang harus dia lakukan, sialan?! Dia benar-benar buntu dan tidak tahu harus apa!

“BOS!! KAMI MENEMUKAN SANDALNYA!!”

Shanks berlari menghampiri Yasoop di pesisir pantai. Meraih sandal yang telah koyak tersebut dengan tangan bergetar. “Di—mana kau menemukannya?” tanyanya.

“Di pesisir pantai. Benda itu terbawa ombak.”

Penjelasan Yasoop sukses membuatnya Shanks meneguk ludahnya susah payah. Membayangkan situasi apa yang tengah Thalassa hadapi sekarang dan entah apakah dia masih bernapas atau tidak. “Lakukan penelusuran sejauh 100 meter dari bibir pantai!” perintahnya kemudian. Shanks berbalik untuk memanggil beberapa krunya. “Lime, Snake, Punch! Bantu aku turunkan sekoci!”

Tepat saat Shanks berhasil naik ke atas Red Force, suara pekikan burung elang terdengar. Pria berambut merah itu tersentak dan refleks mendongak. Itu elangnya, setelah penantian hampir 2 bulan lamanya, akhirnya burung itu datang membawa kabar. Tapi ... Kenapa harus sekarang? Di saat situasi sedang begitu kacau.

Shanks merentangkan tangannya dan bersiul memanggil elang tersebut untuk turun dan hinggap di lengannya. “Snake, perintah yang lain untuk mulai mencari! Aku akan menyusul.”

Shanks membawa elang tersebut ke kabinnya dan mengambil sebuah surat beramplop hitam dengan segel lilin bewarna emas dengan lambang keluarga Figarland. Pria itu tanpa lama-lama membuka surat tersebut yang berisi beberapa lembar penyataan hasil laboratorium. Hampir 2 menit Shanks mematung membaca lembaran tersebut hingga tiba-tiba matanya memanas dan dengan cepat mengambil telesnail di meja untuk menghubungi seseorang.

Gotcha!

“Ini aku!”

Di ujung sana, si penerima telepon tertawa. “Ah, biar kutebak. Kau sudah menerima hasilnya, bukan? Kau tahu, aku sudah merayakan pesta di barak selama 3 hari 3 malam untuk merayakan hal ini. Siapa sangka aku memiliki seorang cucu—”

“Kenapa kau tidak langsung menghubungiku?! Kenapa kau membuatku menunggu dalam ketidakpastian?!” balas Shanks dengan dada yang menggemuruh. Matanya terasa panas. Entah ini dorongan alam bawah sadarnya atau apa, dia ingin menangis sekarang juga.

“Oy, apakah ini balasan yang pantas untukku? Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk itu. Bahkan uang tutup mulutnya saja tidak kecil! Seharusnya ucapan terima kasih sudah cukup, dasar brengsek!”

Shanks meremas rambutnya frustasi. Sisi lain dia sadar tidak seharusnya dia protes kepada orang yang sudah membantunya. Tapi di sisi lain dia ingin sekali marah, andai saja dia tahu hal ini lebih awal, dia akan mendekap gadis kecil itu dalam pelukannya sehingga tidak akan pernah terlepas dari pengawasannya sedetik pun.

Rasa frustasi semakin menyelimutinya. Shanks menutup sambungan telepon dan terduduk di lantai kabin.

Kau di mana, Thalassa?

Tolong bertahan sebentar lagi.

Papa akan menyelamatkanmu. Papa akan menyelamatkanmu.

* * *

Dia tahu bagaimana rasanya hampir merenggang nyawa. Belasan kali. Puluhan kali. Ratusan kali. Hingga dia berhenti menghitung, sebab yang dia pikirkan dia akan kembali baik-baik saja dan menjalani hidup bagaikan di neraka.

Tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar akan mati. Dia benar-benar menyerah meski kata berserah tidak pernah mengacuhinya. Dia siap mati detik itu saat tubuhnya terhempas oleh dinginnya air laut. Dia juga sudah siap menyerahkan jiwanya saat tubuh kecilnya terbentur oleh ombak dan batu karang yang merobek punggung dan dadanya. Air asin sudah bercampur dengan rasa amis saat kepalanya menabrak batu karang sekali lagi. Merenggut kesadarannya, atau bisa jadi nyawanya pula.

Bukankah ini kabar baik? Dia akhirnya mati. Meninggalkan dunia menyedihkan ini dan bisa bertemu dengan Ibu dan Ayah Zack di sana. Lupakan Papanya. Dia sudah cukup merasakan momen menyenangkan dengannya meski harus dirusak oleh putri angkatnya yang sebelas dua belas serupa dengan iblis pengacau. Jika Tuhan memberikan kesempatan untuk bergentayangan, dia ingin menakut-nakuti Uta hingga dia sadar jika itu adalah karma untuk anak nakal sepertinya. Ah, bukan. Uta tidak nakal. Dia jahat. Anak yang jahat.

Tapi sepertinya dia terpaksa harus menarik kalimat euforia-nya barusan.

Dia tidak mati.

Maut begitu membencinya, hingga tidak pernah mau menyapanya barang sedetikpun. Di saat tubuhnya perlahan tenggelam, energi sihir merambat dan mengalir begitu deras di pembuluh darahnya. Kemudian meluap, menciptakan sebuah cahaya putih yang membungkus dirinya seperti gelembung. Perlahan tapi pasti, air laut yang memenuhi dadanya perlahan keluar, tubuhnya yang membeku lamat-lamat menghangat, memastikan sang empu tetap hidup dan selamat.

Kejadian itu memakan waktu yang begitu lama di dasar laut. Berjam-jam hingga matahari terbit menuju tenggelam, gelembung sihir itu dengan perlahan mengangkat tubuhnya ke atas permukaan. Membawanya ke pesisir sisi lain pulau. Dan di detik saat tubuhnya merasakan permukaan pasir dan sapuan ombak, matanya terbuka.

Hal yang pertama yang Thalassa lihat adalah bulan purnama yang menjulang tinggi di atas sana. Beberapa awan tipis menutupi beberapa bagiannya yang indah. Tidak ada bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Entah kenapa, langit seakan-akan mempresentasikan perasaannya yang baru saja selamat dari maut untuk yang kesekian kalinya.

Gadis itu.

Harus dibunuh.

Dia dengan mudah membiarkan seseorang merenggang nyawa. Bahkan menyempatkan diri untuk tersenyum di bawah penderitaannya.

Uta harus dibunuh. Malam ini juga!

Mata biru lautnya bercahaya. Sinar biru terang seketika muncul di kedua tangannya. Dia bangkit berdiri, mengambil sebuah cangkang kerang berukuran besar yang di ujung-ujung permukaan memiliki tekstur yang cukup tajam. Kemudian dia berjalan dengan langkah yang terseok-seok, tidak memperdulikan penampilannya yang compang-camping dan luka besar di belakang punggungnya yang menganga.

Peduli setan! Palingan besok lukanya akan sembuh tak berbekas.

15 menit dia berjalan mengikuti naluri hatinya. Thalassa akhirnya muncul di pesisir lain pantai. Tempat di mana para kru kapal tengah berunding di depan api unggun yang menyala besar dan bergemerutuk suara kayu yang patah akibat kobaran api.

Thalassa tidak berteriak atau bersuara sedikitpun saat mendapati keberadaan mereka. Sebab atensinya sekarang hanya terfokus pada punggung gadis berambut merah putih yang duduk lurus tepat dari posisinya dia berjalan sekarang.

Dia harus mati.

Uta harus mati dan merasakan bagaimana sakitnya menjadi dirinya!

“Mati, kau!”

Gigi Thalassa bergemerutuk. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Saking kuatnya, membuat cangkang yang dia pegang melukai telapak tangannya.

“THALASSA?!”

Shanks yang duduk di lingkaran tersebut adalah orang yang pertama kali menyadari keberadaannya. Pria itu langsung bangkit, berlari menghampirinya yang masih terus berjalan terseok-seok mendekati Uta.

Penampilan Thalassa begitu mengenaskan. Rambutnya kusut, terdapat pasir kering menggumpal di bagian belakang kepalanya. Bajunya sobek-sobek. Kakinya telanjang lantaran sandalnya hanyut entah kemana. Darah juga menetes dari telapak tangannya. Hal tersebut membuat Shanks semakin melebarkan langkahnya untuk segera menghampirinya.

Perhatian Thalassa pecah saat pria itu datang dan menyentuh kedua bahunya dengan erat. Kesadarannya kembali total. Kabut amarah yang menutupi matanya seketika menghilang. Cangkang kerang yang telah dipenuhi darah terlepas di lembutnya pasir pantai.

“Kapt—” Belum sempat Thalassa menyelesaikan ucapannya, Shanks lebih dulu memeluknya begitu erat.

Thalassa nyaris tersentak karena menerima perlakuan pria ini yang begitu mendadak. Kepalanya mencoba untuk memproses apa yang sedang terjadi. Namun terhenti saat Shanks mengelus kepalanya dan menjatuhkan sebuah kecupan manis di keningnya.

Tubuh gadis kecil itu menegang. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini selain oleh ibunya. Kenapa ... Kenapa pria ini melakukan hal ini padanya?

“Papa minta maaf.”

Deg!

Mata biru lautnya terbelalak, menatap Shanks tidak percaya. Namun pria itu kembali mengecup keningnya dengan penuh perasaan. Membuat pertahanan gadis itu seketika hancur lebur terganti oleh tangisan lirih yang begitu menyayat hati.

“Papa minta maaf, Sayang. Papa minta maaf.”

“Hiks ... Hiks ...”

“Papa kira kau tidak akan selamat. Papa kira akan kehilanganmu sama seperti aku kehilangan ibumu.” Shanks lagi-lagi mengecup keningnya. “Papa minta maaf. Papa minta maaf.”

Tangis Thalassa semakin kejer. Tangan kecilnya membalas pelukan pria itu tak kalah erat. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Gadis itu terlalu lelah menelaah situasi ini. Hingga tanpa diduga, dia kembali jatuh pingsan—akibat dehidrasi selama seharian penuh—di dalam pelukan papanya. Akhirnya.

* * *

Note:

Enkrateia (n.) power over yourself, power over your own passion and instincts, self-control and self-mastery.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top