17 | Gumusservi

Red Force berlabuh di sebuah pulau tak berpenghuni di perairan dekat Calm Belt. Mereka mencari lokasi di dalam hutan untuk mendirikan tenda dan membuat api unggun. Di malam harinya, mereka mengadakan acara makan malam yang begitu meriah. Semua orang turut membantu memasak, terkecuali Thalassa yang sejak kejadian ributnya dengan Uta beberapa hari yang lalu membuatnya menjadi lebih pendiam dan tidak banyak berbicara.

Benn sudah membujuknya untuk duduk bergabung bersamanya. Namun gadis kecil itu menolak dan memilih untuk menyelimuti tubuhnya dengan kantung tidur. Melukapan makan malamnya, sebab dia tidak suka duduk satu tempat dengan Uta.

Dia tidak takut lagi. Rasa takutnya lenyap dengan rasa benci. Lantaran kini barang-barang hadiah ulang tahunnya terpaksa harus dibuang karena tidak ada yang bisa dibetulkan. Bahkan lampu tidur yang baru sehari dia peluk pun tidak bisa ditolong.

Jika Uta memang membencinya dengan begitu kejam, lalu kenapa dia juga tidak bisa melakukan hal yang sama?

Ah, nyamuk sialan!

Tidur di tengah-tengah hutan ternyata ide yang buruk. Dia ingin protes, tapi yang mengemukakan ide ini adalah Shanks.

Menutup seluruh tubuhnya dengan kantung tidur justru malah membuat tubuhnya terasa panas dan sulit bernapas. Alhasil dia terus bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gelisah, hingga akhirnya gagal menuju alam mimpi.

Benn datang seraya membawa sepiring nasi dan ayam katsu. Serta sebuah lotion anti nyamuk. Pria itu duduk di sampingnya dan menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu setelah mengoles lotion tersebut di tangan dan kakinya.

“Kau yakin tidak ingin bergabung dengan mereka?” tanya Benn untuk yang kesekian kalinya.

Thalassa menggeleng. “Telingaku bisa panas jika terlalu sering mendengar nyanyian payah si iblis kecil tersebut!” sindirnya untuk Uta yang sekarang sedang bernyanyi mengikuti alunan petikan gitar yang dimainkan Punch. Thalassa tiba-tiba menggeram kesal. Selama setengah tahun berlayar bersama bajak laut Akagami, dia muak mendengar lagu ciptaan gadis itu yang liriknya mengenai mimpi bersama teman-temannya.

Teman dari mana? Dia saja jahat ke padanya! Atau memang dia dari awal tidak dianggap sebagai temannya?

Tch! Benar-benar gadis licik tidak punya perasaan!

“Thala, matamu bisa keluar jika terus-terusan melotot!” Benn tiba-tiba mengacak-acak rambutnya. “Kau ingat perkataan Shanks? Pria itu akan bertanggung jawab mengganti semua barang-barang yang sudah dirusak oleh Uta. Jadi tidak usah khawatir,” lanjutnya.

Thalassa mencurutkan bibirnya. Dan mulai menyantap makanannya. Setelah isi piringnya habis, dia kembali masuk ke dalam kantung tidurnya dan mencoba untuk kembali tertidur. Suara nyanyian Uta masih terdengar, mungkin beberapa orang sudah terlelap akibat kemampuan buah iblisnya yang dapat merangsang orang tertidur apabila mendengar suara nyanyiannya. Orang yang terkena efek tersebut biasanya akan bermimpi seakan-akan sedang menonton sebuah konser musik yang digelar begitu spektakuler.

Tapi sayangnya, kemampuan Uta tidak berpengaruh padanya. Entah itu akibat sihirnya atau memang kemampuan buah iblis tersebut tidak berpengaruh pada orang yang benar-benar membencinya.

Ya, Thalassa sudah memutuskan. Dia membenci Uta. Sama seperti dia membenci orang-orang di desa tempat dulu dia tinggal.

Baiklah, lupakan tentang Uta dan nyanyiannya yang terdengar menyedihkan itu. Perutnya sudah kenyang. Nyamuk dan serangga tidak lagi  mengerubunginya. Ini kondisi yang pas baginya untuk tidur.

* * *

Tengah malam dia terbangun.

Thalassa terbangun setelah menyadari jika semua kru kapal sudah tertidur pulas di sekitarnya. Gadis itu tiba-tiba merasa kebelet buang air kecil. Alhasil cepat-cepat dia bangun dari posisinya dan berlari dengan langkah senyap untuk mencari tempat yang pas buat menuntaskan panggilan alam tersebut.

Setelah urusannya selesai di balik semak-semak, dia berencana untuk kembali tidur dan meringkuk di dalam kantung tidurnya. Tapi niatnya batal saat melihat langit yang menyembul di balik dahan pepohonan yang begitu terang akan bintang. Thalassa terdiam sejenak dengan kepala yang mendongak.

Alih-alih kembali ke camp, Thalassa justru berjalan ke arah sisi lain pulau, yang di mana terdapat sebuah tebing yang memperlihatkan hamparan laut yang memantulkan cahaya bulan purnama. Gadis itu dibuat takjub dan tidak bergeming selama beberapa detik. Entah kenapa bulan di malam ini terlihat lebih besar dan terang. Lebih indah ketimbang saat dia melihatnya di kapal.

“Thalassa?”

Tiba-tiba, seseorang muncul di belakangnya. Thalassa tersentak, refleks berbalik badan dan mendapati sosok Uta dengan gaun tidurnya tengah berdiri menatapnya.

Alih-alih terkejut, Thalassa memicingkan matanya. “Sedang apa kau?” tanyanya.

“Aku juga ingin menanyakan hal yang sama. Sedang apa kau?”

Thalassa berdecak. “Untuk apa kau bertanya? Apakah hanya melihat pemandangan laut dan bulan membuatmu iri dengki?” tanyanya sarkas.

“Aku hanya tersadar, ternyata kau tidak terpengaruh oleh nyanyianku. Sayang sekali kau tidak bisa melihat konserku,” ucap Uta.

“Konsermu itu hanya khayalan yang dibentuk oleh kemampuan buah iblismu. Aku tidak akan terpengaruh oleh trik murahan seperti itu.”

“Apa karena kau adalah anak seorang penyihir? Benar, kan?” tanya Uta. Dia mendekat dan entah kenapa tiba-tiba membuat nyali Thalassa sedikit menciut. “Aku acungi jempol akan keberanianmu yang berhasil menggertakku waktu itu. Kau tahu, kedatanganmu di bajak laut Akagami membuatku muak. Aku tidak suka dengan anak kecil lugu, bodoh dan lemah sepertimu.”

Sialan, iblis ini mulai lagi!

“Thalassa, sekeras apapun kau berusaha untuk menggertakku, kau tetap akan kalah. Kau hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki siapa-siapa. Benn sekalipun akan tunduk pada ayahku. Kau hanya sendirian di sini.”

Thalassa mengepalkan kedua tangannya. Kini dia menatap tajam lawan bicaranya. “Oh ya? Benar, kah?”

Uta terkekeh. “Apa ucapanku kurang jelas? Perlu kuulangi?”

“Ya, tolong ulangi, putri kapten yang terhormat. Aku terlalu bodoh untuk memahaminya.”

Gadis berambut merah putih itu mengibaskan rambutnya sejenak. “Baiklah, biar aku persingkat. Intinya, kau tidak akan pernah bisa menjatuhkanku. Karena kau bukan siapa-siapa di sini. Camkan itu baik-baik!”

Tak lama setelah Uta mengatakan hal tersebut, Thalassa tertawa kecil. “Kau tahu, Uta. Ada beberapa fakta yang belum terungkap. Ibuku dulu memiliki hubungan khusus dengan ayahmu. Karena satu dan lain hal, Ibu memutuskan pergi meninggalkan Shanks dengan kondisinya yang sedang hamil muda.”

Satu detik ... Dua detik ... Tiga detik.

Pupil Uta mengecil secara mendadak. Bahunya tersentak dengan mulutnya yang refleks terbuka. “A—apa maksudmu?”

“Apa lagi? Bayi yang dikandung ibuku tentu saja adalah aku. Itu sebabnya takdir membawaku pada Shanks. Sebab ikatan darah lebih kental dari air, bukan?”

“Bo—bohong! BOHONG! KAU BOHONG!!” teriak Uta.

“Aku tidak pandai berbohong sepertimu, Uta. Seharusnya kau sudah tahu ini dari segala tanda yang sudah kuberi. Kau anak yang pintar, bukan? Golongan darah XF itu hanya 0.3% persen di dunia, jika kau tahu. Salah satunya adalah ayahmu.” Thalassa tersenyum misterius. “Atau haruskan kusebut Papa? Sebab ibuku menceritakannya demikian.”

“BERHENTI MENGATAKAN OMONG KOSONG DASAR SAMPAH!!”

Thalassa tertawa terbahak-bahak saat melihat reaksinya. “Well, well. Bagaimana Uta? Bagaimana jika fakta ini sampai terungkap? Aku yakin posisimu akan tergeser oleh sampah rendahan ini. Sebab ... Akulah putri kandungnya. Darah dagingnya,” ujarnya, yang entah kenapa dia senang sekali melihat reaksi Uta yang shock berat.

Emosi Uta sudah meluap-luap. Gadis itu dengan langkah tegas mendekat. Namun sedetik kemudian terhenti saat terdengar suara patahan. Baik Thalassa maupun Uta terbelalak, saat mengetahui patahan tersebut muncul di bawah kaki Thalassa. Membuat pijakannya di tebing itu goyah dan luruh begitu cepat. Uta dengan terbirit-birit berlari menghindar sejauh mungkin, meninggalkan Thalassa yang ikut terjatuh dan berakhir menggantung di ujung tebing dengan bertumpu pada kedua tangannya.

“Uta! Tolong aku!!” teriak Thalassa. Tangannya bergetar dan napasnya memburu. “U—Uta!! Aku tahu kau masih ada di sana!! Bantu aku!!” teriaknya lagi.

Uta terdiam. Lebih tepatnya mematung. Jika saja dia telat menghindar, dia pasti akan terjatuh di lautan. Mengingat dia pengguna buah iblis yang tidak akan pernah bisa bersahabat dengan lautan dan isinya.

“UTA!!”

Teriakan Thalassa membuatnya kembali tersadar. Alhasil dia buru-buru mendekat dengan hati-hati, takut-takut tebingnya akan kembali runtuh.

“Uta! Tolong tahan tanganku!! Aku tidak bisa menggunakan sihirku!”

“...”

“Uta!!”

Uta lagi-lagi hanya terdiam dia menatap Thalassa di bawah sana yang sudah berkeringat menahan tubuhnya. Lalu tak lama, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Hal tersebut membuat Thalassa terbelalak.

“Sampah sudah seharusnya dibuang, bukan?” tanya Uta. Setelahnya dia menjauh, meninggalkan Thalassa yang semakin kesulitan menahan tubuhnya.

“Tidak! Uta, kembali!! Tolong aku!!”

“...”

“UTAAAAA!!”

Suara Thalassa begitu menggelegar, namun sayangnya suara itu perlahan mengecil dan disusul oleh suara percikan air yang cukup besar.

Malam itu, saksi dari kejadian tersebut hanya Uta, pepohonan, laut dan bulan yang membisu.

* * *

Note:

Gumusservi (n.) moonlight shining on water.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top