15 | Ruminate
Thalassa dilanda rasa canggung tak berkesudahan.
Dia berjalan selangkah di belakang mereka berdua. Kedua tangannya memegang tas selempangnya seraya terus menelan ludahnya setiap beberapa detik sekali. Matanya diam-diam menatap punggung pria itu dan tangannya yang tengah menggenggam tangan putrinya yang berjalan di sampingnya. Lalu setelahnya dia akan kembali menunduk menatap kedua kakinya yang melangkah seirama dengan langkah mereka. Perasaan aneh muncul tiap kali dia menghela napas.
Tak lama pertanyaan muncul di benaknya.
Apakah hubungan ayah dan anak seperti yang dia lihat sekarang? Thalassa tidak tahu rasanya memiliki seorang ayah. Apakah jika memiliki ayah dia akan disayang seperti Uta?
Lalu ... Apakah Shanks mau menerimanya sebagai putrinya? Sedangkan pria itu saja membencinya dan pernah nyaris membunuhnya.
Tanpa dia sadari, Thalassa menyentuh lehernya dan kembali meneguk ludah.
Tidak. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberitahunya. Gadis itu masih terlalu takut untuk menerima reaksi banyak orang. Terutama Uta.
Mungkin ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Uta akan menerimanya dengan senang hati, lalu melupakan rasa kebenciannya. Atau, gadis itu akan semakin membencinya dan benar-benar ingin dirinya menghilang dari muka bumi.
Padahal kalau Thalassa bisa memilih, dia hanya ingin menjadi putri Ayah Zack. Benar-benar putrinya hingga kejadian membingungkan ini tidak perlu sampaikan menyeretnya hingga dia kelimpungan sendiri.
Thalassa seketika tersadar dari lamunannya, saat Shanks dan Uta berbelok ke arah toko pakaian. Gadis itu buru-buru mengikuti mereka dengan terus berjalan beberapa langkah di belakang mereka. Rupanya, Uta ingin membeli beberapa setel pakaian. Thalassa menunggu di kursi yang disediakan seraya melihat-lihat pakaian khusus anak kecil tersebut. Thalassa pernah beberapa kali membeli pakaian bersama Benn. Namun dia tidak pernah ke toko yang begitu mewah seperti ini. Pakaian kasualnya yang terlihat tomboy membuatnya tidak pantas untuk berada di sini.
“Thalassa, Uta ingin membeli beberapa pakaian. Tidak apa-apa kan, jika kau menunggu sebentar?” Shanks tiba-tiba berbicara padanya.
Cepat-cepat Thalassa berdiri dari duduknya dan mengangguk beberapa kali, yang menandakan jika dia sama sekali tidak keberatan. Toh, dia bisa duduk menunggu tanpa merasa kepanasan. 30 menit berlalu. Uta akhirnya selesai berbelanja.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Thalassa tetap berjalan selangkah di belakang Shanks dan Uta. Gadis itu semakin merasa canggung saat mendengar percakapan mereka mengenai beberapa tempat yang pernah mereka kunjungi. Percakapan tersebut terdengar mengasyikkan hingga Thalassa merasa seperti pengganggu. Dia jadi membayangkan, pasti kehadirannya ini begitu aneh. Hidup mereka sudah sangat bahagia, eksistensinya hanya akan mengacaukan segalanya.
Apakah lebih baik Thalassa menutup mulutnya rapat-rapat dan melupakan wasiat ibunya? Sehingga hubungan ayah-anak antara Shanks dan Uta tetap harmonis. Thalassa tidak masalah dengan itu, selama dia masih bisa melihat wajah Papanya. Itu sudah cukup baginya. Lagi pula, ada Benn yang sudah seperti figur pengganti ayah untuknya. Lalu hal apa lagi yang harus Thalassa cari?
Dia tidak boleh egois, bukan?
Satu jam telah berlalu. Perjalan menuju lokasi penjual lampu tidur terasa begitu lama. Lantaran Uta kerap kali meminta mereka untuk melipir dan membeli sesuatu yang menarik perhatiannya. Entah itu sepatu, makanan, minuman, mainan, bahkan hal-hal kecil seperti pewangi ruangan yang dijual di pedagang pinggir jalan. Thalassa tidak mungkin bisa protes begitu saja. Dia hanya bisa diam, mengikuti mereka dan menunggu.
Tenggorokannya terasa kering, baik Uta maupun Shanks tidak menawarkan minuman padanya. Jika Thalassa membeli minum, dia takut uang pemberian Benn tidak cukup untuk membeli lampu tidur yang dia inginkan. Bahkan kakinya sudah lecet akibat flatshoes yang tidak gentle pada bagian tumitnya. Saat gadis itu mengeceknya, ada bercak darah di kedua tumitnya. Tapi sebisa mungkin Thalassa tidak mengeluh. Dia tidak ingin merepotkan Shanks dan Uta.
Lagipun, keluhan Thalassa tidak mungkin akan didengar oleh mereka, kan? Jadi lebih baik dia diam saja.
“Thalassa, kau haus?”
Thalassa yang sedang melipir sembari menunggu, seketika menoleh mendapati Shanks yang menyodorkan segelas jus jeruk padanya. Gadis itu jelas terkejut, meski dia merasa haus, namun entah kenapa dia justru malah menggeleng menolak pemberiannya. “Ti—tidak apa-apa. A—aku tidak haus.”
“Kau sudah berjalan cukup jauh, dan belum meminum apapun. Ambilah,” ujar Shanks.
Uta menatap Thalassa dengan tatapan yang sulit diartikan. Merasa ditatap, perasaan aneh langsung muncul di dadanya. Ragu-ragu Thalassa menerima jus jeruk pemberian Shanks. Meneguknya sedikit dan kembali menatap ujung kakinya agar tidak merasa canggung.
“Baiklah. Uta, kau sudah cukup banyak berbelanja. Sekarang kita ke tempat penjual lampu tidur.” Shanks mengusap kepala Uta dan merangkul pundak gadis itu untuk kembali berjalan.
Uta menghembuskan napas kasar. “Ayah, aku pegal. Aku tidak kuat berjalan lagi!” keluhnya.
Thalassa menoleh sejenak. Di tangan Uta terdapat beberapa tas belanjaan. Jika dia pegal, lebih baik dia tidak memegang barang bawaan yang banyak, kan?
“Thala, boleh tolong bawakan barang belanjaanku?” pinta Uta.
Gadis berambut perak itu terdiam. Dia menatap tas belanjaan tersebut selama beberapa detik seraya berpikir. Jika dia menolak permintaan Uta, dia pasti akan mendapatkan masalah. Meskipun tumitnya lecet dan mengeluarkan bercak darah, itu tidak sebanding dengan rasa pegal yang dialami putri kapten tersebut.
“Bo—boleh. Tentu saja,” jawab Thalassa seraya mendekat untuk mengambil alih barang bawaannya.
Namun Shanks buru-buru menahannya. “Tidak. Jangan, Thalassa. Biar aku saja yang bawa.”
Thalassa bingung. Sedangkan Uta menatap Ayahnya tidak percaya. “Tidak apa-apa Ayah, Thalassa sendiri tidak keberatan.”
Shanks menatap putrinya dengan mata yang memicing. “Thalassa dua tahun lebih muda darimu. Tubuhnya lebih kecil dibandingkan denganmu. Biar Ayah saja yang bawa.”
Uta semakin terkejut. Dia makin dibuat keheranan dengan sikap ayahnya yang peduli dengan anak yatim-piatu tersebut. “Ta—tapi, Ayah!”
“Uta, hentikan. Kita sudah menghabiskan banyak waktu.” Shanks meraih barang-barang Uta. “Sebentar lagi kita harus segera berlayar. Ayo.”
* * *
Akhirnya penantian Thalassa berakhir.
Mereka sampai di pedagang penjual lampu tidur yang gadis itu ceritakan. Lampu yang dimaksud berbentuk persis seperti bulan purnama dengan diameter 25 centimeter. Ukurannya itulah yang menjadi daya tarik, seakan-akan mempresentasikan bentuk bulan sesungguhnya. Tanpa banyak basa-basi, Thalassa langsung membelinya dan segera membayarnya.
“Harganya 170 berry. Kau ingin menggunakan bubble wrap tambahan?”
Thalassa terdiam seraya melihat isi tasnya yang berisi sejumlah uang pemberian Benn. Gadis itu menatap pedagang tersebut dengan wajah memelas. Dengan terbata-bata dia berkata. “Ma—maaf, uangku kurang ... Lampunya tidak jadi saja.”
Pedagang itu menghela napas sejenak. Mungkin kecewa karena pelanggan pertamanya membatalkan pesanannya begitu saja. “Yasudah, aku beri diskon jadi 150 berry.”
Thalassa semakin merasa tidak enak. “Maaf, tapi pamanku hanya memberiku 100 Berry. Bagaimana jika 110 Berry?” tawarnya. Dia menemukan 10 Berry di kantung depan tasnya.
Pedagang itu lagi-lagi menghela napas. “Pria topi jerami itu ayahmu, bukan? Kenapa tidak minta uang saja padanya?!” tanyanya sedikit merasa kesal.
Shanks yang sedang melihat-lihat lampu tiba-tiba datang saat mendengar percakapan mereka. Pria itu menyentuh kepala Thalassa dan bertanya, “Ada apa? Apa lampunya jelek?”
“Enak saja kalau kau berbicara!” protes si pedagang. “Lampuku ini berkualitas! Anakmu kekurangan uang, beri dia uang agar bisa membeli lampunya!” tambah si pedagang.
Shanks terdiam. Tiba-tiba tangannya terangkat, tersadar jika barusan dia menyentuh rambut perak tersebut. Ditambah ucapan pedagang itu membuatnya merasa kurang nyaman. Pria itu mengira Thalassa adalah anaknya.
“Berapa harganya?” tanya Shanks.
“170 Berry. Karena kalian pembeli pertama, kuberi diskon jadi 150 Berry.”
Thalassa sedikit panik. Gadis itu takut Shanks benar-benar akan membelikannya. “Ti—tidak, Kapten. Aku tidak jadi beli lampunya!”
“Kenapa tidak jadi?” tanya Shanks seraya menaikkan salah satu alisnya.
“Itu ...” Thalassa menoleh sejenak ke arah Uta yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan tidak suka. “Aku akan kembali lagi setelah mengambil uangnya di kapal.”
Shanks menghela napas. Pria itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada pedagang tersebut. “Bungkus yang dia ingin beli tadi. Kembaliannya ambil saja.”
Hal tersebut sukses membuat Thalassa terbelalak. “Ka—Kapten, kau tidak perlu lakukan itu! Aku—”
Kalimat Thalassa terhenti saat Shanks kembali menyentuh kepalanya. Mengusap pucuknya seraya tersenyum lembut. “Hari ini ulang tahunmu, bukan? Anggap saja itu hadiah dariku.”
Thalassa terdiam. Tidak menyangka pria itu tahu hari ulang tahunnya. Bahkan Benn saja belum mengatakan apa-apa. Tapi ... Kenapa Shanks mau repot-repot melakukan ini? Bukankah dia ...
“Ada apa? Kau tidak suka?” tanya Shanks.
Karena tidak mau membuatnya salah paham, buru-buru Thalassa menggeleng. “Tidak. Maksudku, aku sangat berterimakasih!” ucapnya yang kemudian membungkuk 90 derajat untuk menghormatinya.
Shanks kembali tersenyum. Dia ingin sekali memeluknya, namun rasa bersalah masih terus menggerogotinya. Membuatnya sungkan dan hanya bisa sebatas mengusap pundaknya. “Sudah, tidak perlu sungkan. Ambil lampunya, kita harus segera kembali ke dermaga.”
* * *
Note:
Ruminate (v.) to think deeply about something.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top