14 | Karandika

Malam semakin larut, kru bajak laut Akagami memutuskan untuk kembali ke kapal dan bermalam hingga esok untuk melanjutkan perjalanan mereka di wilayah Paradise. Terkecuali Shanks seorang yang masih berada di bar tersebut. Pria itu masih memiliki pembicaraan yang perlu dibahas dengan pria tua itu dan istrinya.

Shanks menolak sebotol anggur yang diberikan Shakky. Dia sudah sedikit mabuk, tidak ingin memperparah kondisinya dan melupakan pembicaraan penting mereka di pagi harinya. Rayleigh dan Shakky kini menatap pria itu dengan tatapan menuntut. Rupanya selama 5 tahun ke belakang, ada beberapa hal yang tidak mereka ketahui. Baik dari pihak Shanks maupun Rayleigh.

“Jadi ... 5 tahun lalu Nerina memutuskan pergi dari bajak laut Akagami?” tanya Shakky saat mendengar penjelasan dari Shanks. Wanita itu melirik suaminya sejenak lalu kembali menatap pria berambut merah tersebut dengan ekspresi kebingungan.

“Ya. Ada apa? Kenapa ekspresi kalian seperti itu?” tanyanya.

Baik Shakky maupun Rayleigh terdiam. Pria tua itu menegakkan sejenak punggungnya dan menghabiskan isi gelas seloki-nya dalam sekali teguk. “Well, ini sedikit sulit untuk dijelaskan. Aku terikat janji dengan Nerina.”

Perkataan Rayleigh barusan sukses membuat kening Shanks mengernyit. “Apa? Janji? Sebelumnya kau pernah bertemu dengannya?!” tanya Shanks.

“Dia datang sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu dengan kondisi berbadan dua,” ucap Rayleigh.

Shanks menahan napas selama beberapa detik.

“Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya datang untuk menyapa dan mengatakan jika dia sudah menikah dengan seorang pedagang kain sutra.”

Shanks mencoba meneguk ludahnya, menyadarkan dirinya untuk menarik napas. Cerita itu selaras dengan yang diceritakan oleh Benn. Mengingatnya, membuat hati Shanks kembali terasa sakit. Pria itu memberanikan diri untuk mendongak, menatap Rayleigh lekat-lekat.
“Kapan tepatnya dia datang menemui kalian? Kapan tanggal pastinya?” tanyanya.

Baik Rayleigh maupun Shakky terdiam, mencoba mengingat-ingat kejadian lampau tersebut. “Mungkin ... Sekitar pertengahan bulan Oktober. Dia bilang ingin menyebrang ke Dunia Baru.”

Lagi-lagi Shanks meneguk ludahnya. Tangannya mengepal. Ada lagi satu pertanyaan yang ingin Shanks tahu. “Kandungannya ... Kalian tahu berapa usia kandungannya saat itu?” tanyanya mendesak.

Well, sebentar. Aku kurang ingat. Yang jelas perutnya sudah cukup besar. Nerina sempat mengatakannya, mungkin sekitar ... 5-6 bulan.”

Shanks terdiam selama beberapa detik, dia menghitung waktu tersebut, hingga kemudian punggungnya terasa lemas. Jantungnya terasa luruh, dia bahkan lupa bagaimana caranya bernapas. Shanks menutup matanya dengan tangan kirinya. Perlahan dia terisak tanpa suara. Matanya terasa panas, tenggorokannya tercekat membuat napasnya terasa berat.

Bulan Oktober ... Itu artinya 5 bulan setelah Nerina pergi meninggalkannya. 

“Aku mengerti perasaanmu, Akagami.” Shakky mencoba untuk menenangkannya. “Siapapun yang melihat kau dengan Nerina akan tahu seberapa besar perasaan kalian berdua.”

Shanks belum merespon apapun.

“Meskipun Nerina mengatakan dia bahagia dengan hidupnya sekarang, matanya tidak pernah berbohong jika dia masih menyimpan perasaan yang begitu besar untukmu,” ucap Shakky sekali lagi.

Sungguh, Shanks ingin sekali waktu kembali berputar. Seharusnya dia mendekap wanita itu dalam pelukannya, bukan membentaknya untuk menolak usulan bagi mereka agar pensiun dan membangun sebuah keluarga di suatu pulau. Seharusnya Shanks tidak meninggalkannya sendirian dan membiarkannya pergi begitu saja seorang diri. Seharusnya saat itu Shanks tidak mengutamakan ego dan amarahnya. Jika saja itu terjadi, mungkin Nerina masih setia bersamanya.

“Tentang anak itu ... Aku tahu kau mengenalnya. Apakah—”

Kalimat Shanks seketika langsung terpotong. Rayleigh paham betul apa yang akan pria itu katakan. “Shanks, Nerina memintaku untuk merahasiakannya, sekalipun itu denganmu. Dia dan anak itu adalah misteri. Tidak akan ada yang tahu kebenarannya.”

“...”

“Nerina ingin melupakanmu. Itu sebabnya dia nekat memulai lembaran baru, meski dia tahu itu akan sulit karena kenangan bersamamu akan selalu menghantuinya.”

Shanks menundukkan kepala. Melemaskan tangannya yang terkepal, kemudian berdiri dan mengenakan topi jeraminya. Shakky hendak menahan pria itu yang ingin pergi, namun Rayleigh menahannya. Membiarkan Shanks untuk pergi, sebab melihat reaksinya barusan, pria itu pasti butuh waktu sendiri.

Kapten bajak laut itu meninggalkan bar tersebut. Dia tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Dia hanya ingin kembali ke kapal dan bertemu dengan gadis kecil itu. Gadis yang berhasil membuat pikirannya jungkir balik seperti dirinya yang dibuat demikian oleh ibunya.

Sekarang di pikiran Shanks bukan lagi hasrat ingin membenci atau membunuh agar entitas kecil itu bisa hilang di dunia. Melainkan sebaliknya. Dia tidak ingin gadis kecil itu pergi, sama seperti ibunya yang tidak akan pernah kembali lagi. Persetan dia anak biologisnya atau bukan, selagi ada darah Nerina mengalir di nadinya, Shanks akan menjaganya meski nyawanya yang harus dipertaruhkan. Dia ingin gadis yang mewarisi mata biru serta rambut peraknya itu tetap hidup, menyayanginya seperti dia menyayangi Uta.

Sesampainya dia di kapal, Shanks membuka pintu kabin Thalassa. Penghuninya sudah tertidur pulas. Shanks bisa merasakan suara dengkuran halusnya dan gerak dadanya yang teratur. Rambut peraknya sedikit acak-acakan, selimutnya juga sudah tidak menutupi seluruh tubuhnya.

Pelan-pelan Shanks membetulkan selimut tersebut dan merapihkan rambutnya yang menutupi wajahnya. Senyum tak lama terukir di sudut bibirnya kala melihat wajah yang damai tersebut. Dia ingin menunduk dan mengecup pucuk kepalanya, namun kilasan memori di mana dia nyaris membunuh gadis itu terlintas di kepalanya. Membuat pria buru-buru mengurungkan niatnya.

Shanks menghela napas kasar. Matanya menoleh ke sekitar ruangan, hingga tak sengaja mendapati sebuah kalender yang tergantung di dinding. Di salah satu tanggal, dilingkari dengan spidol hitam, lengkap dengan keterangan; ‘my B-day!’

Tanggal 20 Desember. Itu hari ulang tahunnya. Dan yang mengejutkan, itu adalah besok.

Besok adalah hari ulang tahunnya yang ke 6 tahun.

Pria itu kembali tersenyum. Tangannya refleks mengelus kepala Thalassa dan beberapa detik kemudian dia memutuskan untuk segera keluarkan dari kabinnya sebelum ada orang yang sadar akan kehadirannya.

Besok hari ulang tahunnya.

* * *

Saat sarapan, Thalassa cerita kepada Benn jika ada penjual kaki lima di sekitar taman hiburan yang menjual lampu tidur. Lampu tidur itu mirip dengan gambar-gambar di majalah yang pernah dia baca. Benn yang paham ke mana arah bicara gadis itu, langsung mengizinkannya untuk membeli benda tersebut tanpa Thalassa minta.

Thalassa ini terbilang anak yang tidak pernah menuntut apapun. Dia jarang meminta dibelikan sesuatu kecuali dipaksa oleh Benn. Bahkan uang jajan yang diberikan rutin olehnya selalu tersisa banyak dan kadang disimpan di celengan babi yang dia koleksi di lemarinya.

Itu sebabnya saat mendengar gadis kecil itu yang tertarik dengan lampu tidur, membuat Benn senang dan tanpa berpikir panjang mengiyakan permintaannya.

“Belilah. Setelah sarapan, kita akan ke sana.” Benn mengusap kepalanya. Membuat mata biru itu bersinar akibat sang empunya merasa senang.

“Ekhm!” Seseorang berdeham. “Bukankah kau memiliki banyak urusan, Benn?” Shanks tiba-tiba mendekat dan melayangkan sebuah pertanyaan.

Benn melirik sejenak ke arah kaptennya itu. Kehadirannya yang tiba-tiba itu cukup mengejutkan, membuat pria berambut hitam panjang tersebut menaikkan salah alisnya. “Aku bisa melakukannya setelah mengantarnya.”

“Sebaiknya biar aku saja yang mengantarnya. Urusanmu tidak bisa kau tunda, bukan?” tanya Shanks. Dia melanjutkan, “Kau tahu kan, kita harus segera berlayar tanpa menimbulkan masalah dengan Angkatan Laut.”

Benn menatap Thalassa sejenak. Lalu beralih menatap Shanks. Dia memang perlu bernegosiasi dengan salah satu penjaga port untuk membiarkan Red Force kembali berlayar tanpa diketahui oleh angkatan laut. Dan mungkin saja itu membutuhkan waktu yang lama.

“Sial.” Pria itu mengumpat seraya menggaruk kepalanya kasar. “Jangan sampai Thalassa lecet atau terluka sedikitpun! Aku tidak akan segan untuk berurusan denganmu!” ucap Benn, mengancam Shanks.

Lawan bicaranya itu mendecih. “Tch, kau bersikap sudah seperti ayahnya saja!”

“Mau dilihat dari manapun, aku sudah menjadi figur ayah baginya.” Benn berjongkok di hadapan Thalassa, melupakan sejenak kehadiran Shanks dan memusatkan perhatiannya pada gadis berambut perak tersebut. “Maaf, Thala. Aku masih memiliki banyak urusan hingga beberapa jam sebelum kita kembali berlayar.”

Thalassa masih terdiam. Padahal tidak masalah jika Benn tidak bisa mengantarnya. Lagipula jika dipikir-pikir, lampu tidur itu tidak terlalu penting untuknya.

“Se—sepertinya ... Beli lampu tidurnya tidak jadi.” Thalassa tiba-tiba langsung berubah pikiran. Dia menyentuh lengan Benn dan menatap mata hitam gelapnya dengan gugup. “Belinya lain kali saja.”

Benn menghela napas. “Tidak. Beli lampunya sekarang! Shanks akan mengantarmu.”

Gadis itu masih memberikan tatapan yang sama.

“Tidak usah takut Thalassa, Shanks sudah berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang buruk pada mu. Sekali berjanji, dia tidak akan mengingkarinya.”

Thalassa menoleh sejenak ke arah Shanks yang sedari tadi masih menatap nya. Iris biru lautnya selama beberapa detik bersitatap dengan milik pria itu. Shanks sontak tersebut simpul. Berharap gadis itu tidak takut padanya, setelah perbuatannya yang patut membuatnya trauma.

“Thalassa.”

Jika Benn tidak memanggilnya, mungkin dia masih terus menatap kapten bajak laut Akagami itu. Thalassa refleks menoleh kembali ke arah Benn, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengatakan, “Baiklah, Paman.”

Benn tersenyum. Dia mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang dan memasukkannya ke dalam tas selempang kecil milik Thalassa. “Jangan jauh-jauh dari Shanks. Ikuti perintahnya dan jangan nakal!” pinta Benn.

Thalassa hanya mengangguk dan akhirnya berjalan mendekati Shanks yang tengah mengenakan jubah hitamnya serta topi jeraminya. Gadis itu memperhatikan pria itu diam-diam, kepalanya sibuk memikirkan apakah ini adalah kesempatan emas baginya untuk memberikan kalung milik Ibu? Atau lebih baik jangan? Hampir 5 detik dia terdiam, hingga sebuah suara yang sudah sangat dia kenal membuyarkan lamunannya.

“Ayah? Ayah mau ke mana?” tanya Uta. Gadis itu menatap ayahnya penasaran dan tak lama menatap Thalassa curiga.

Lagi-lagi perasaan takut, canggung, dan sungkan muncul menyesakkan dadanya. Hal tersebut lantas membuat Thalassa cepat-cepat menunduk menatap sepatu flatshoes cokelat yang dia kenakan.

“Ayah ingin mengantar Thalassa sebentar. Ada barang yang ingin dia beli. Kau bisa tunggu—”

“Aku mau ikut!” Uta tanpa basa-basi langsung memotong kalimat ayahnya. “Di sini membosankan. Aku mau ikut!” lanjutnya.

Shanks tersenyum. “Baiklah.”

Uta meraih tangan Shanks dan membiarkan pria itu menggandeng tangannya. Shanks sempat menoleh ke arah Thalassa yang ternyata sedari masih menunduk dan tak berkutik sedikitpun.

“Thalassa?” panggilnya.

Gadis itu mendongak perlahan. Sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata dengan mata lawan bicaranya maupun gadis yang berada di sampingnya. “Ya—Ya?”

“Kenapa masih di sana?” tanyanya. Shanks menjulurkan tangannya, menawarkan gadis itu agar bisa digandeng olehnya.

Thalassa sempat terdiam selama beberapa detik seraya menatap tangan pria itu. Ini terlalu aneh baginya, alhasil dia menggeleng dengan sopan. “Terima kasih. Tapi aku bisa jalan sendiri.”

* * *

Note:

Karandika (sundanese) hope, wish or desire.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top