13 | Enigma
Katakanlah, Thalassa merasa ingin sekali marah saat tahu jika dia tidak sengaja mengkonsumsi makanan yang mengandung udang di dalamnya. Semua orang di kapal Red Force ini tahu dia alergi terhadap udang. Mungkin saja ini sebuah kecerobohan atau murni ketidaksengajaan.
Benn datang tak lama kemudian sesaat setelah Thalassa mendapatkan pertolongan dari kapten bajak laut tersebut. Dia tidak bisa berpikir apa-apa, rasa sakit akibat alerginya yang kambuh terlalu menyita perhatiannya hingga membuatnya lupa jika pria berambut merah itu sempat memeluknya selama beberapa menit.
“Menjauh darinya!”
Benn menarik Thalassa dan mengangkat tubuhnya untuk segera dibawa keluar dari kabin tersebut.
“Tunggu!” Shanks menahan wakilnya itu. “Biarkan dia beristirahat dulu di sini!” lanjutnya.
Benn menatap datar pria itu. “Tidak perlu repot-repot, Shanks. Aku akan membawanya ke klinik.”
Shanks terdiam, namun dia mengeraskan rahangnya seraya mengepalkan tangannya saat melihat pria berambut hitam panjang tersebut membawa gadis kecil itu. Di balik dekapannya, Thalassa mengintip dari balik bahu Benn dan menatap Shanks dengan mata yang cukup bengkak.
“Kau masih merasa sakit?” tanya Benn, mengalihkan perhatian Thalassa.
Gadis itu menggeleng, tidak mau berbicara sebab masih merasa bingung dengan kejadian yang dia alami barusan. Kata ibunya, dia alergi udang karena dulu waktu kecil pernah mengalami gatal-gatal dan pembengkakan beserta muncul ruam-ruam seperti yang terjadi padanya sekarang. Itu sebabnya dia sudah didoktrin untuk menjauhi yang namanya udang.
Terlebih, siapa pula yang memberikannya sandwich berisi udang? Mustahil jika Roo melakukan kecerobohan. Pria itu mencatat dengan baik menu makanan apa saja yang cocok dan tidak cocok pada setiap orang di kapal. Beberapa kali bahkan Roo selalu memberikan makanan terpisah padanya jika ada beberapa menu yang menggunakan bahan tambahan udang. lalu bagaimana mungkin sandwich itu bisa ada di tangannya? Atau jangan-jangan ... Uta?
“Ya Tuhan! Thalassa apa yang terjadi denganmu?!”
Benn memelankan langkahnya kala Hongou, Lime, Yasoop dan Snake yang tengah berkumpul di dek kapal datang menghampiri mereka. Thalassa yang tahu penampilannya begitu buruk, lantas mengeratkan pelukannya pada leher Benn dan menyembunyikan wajahnya di balik bahunya.
“Alerginya kambuh?!” tanya Hongou yang jelas tahu gejala yang terjadi padanya. “Bagaimana bisa dia sampai mengkonsumsi udang?!” tanyanya lagi.
Thalassa mencoba untuk mengintip, dan mendapati keberadaan Uta bersama mereka yang sedang duduk di kursi seraya memegang sebungkus sandwich. Thalassa mengerutkan keningnya, bukankah temannya itu bilang ingin makan di kabin seraya menulis lirik lagu? Selain itu, dia juga melihat terdapat stiker bulan yang menempel di depan bungkus sandwich miliknya. Itu stiker yang selalu Roo gunakan setiap menandakan makanan khusus untuknya.
Jika memang benar Uta yang melakukannya, pertanyaannya ... Kenapa?
“Dia sudah diberikan obat alergi. Mungkin aku butuh salep untuk meredakan ruam-ruam di kulitnya.” Benn mengelus kepala Thalassa dengan lembut. Membuat Thalassa tersadar dari lamunannya.
Tak lama Hongou pun segera menuntunnya menuju klinik untuk segera memberi pengobatan lebih lanjut.
* * *
Selama seminggu terakhir, Thalassa sering merenungkan sesuatu. Tentang kejadian dia yang tidak sengaja memakan sandwich udang hingga membuat wajahnya bengkak dan banyak ruam-ruam merah di sekitarnya.
Dia tidak bisa menuduh Uta selaku orang yang memberikannya sandwich, dia juga tidak bisa meminta Benn memarahinya begitu saja. Dia sadar dengan posisinya. Lagi pula ada kemungkinan Uta tidak sengaja menukar sandwich miliknya hingga kejadian tidak diinginkan itu pun terjadi.
Namun satu hal yang bisa Thalassa yakini setelah merenungkan segala banyak kejadian yang telah dia alami, bahwa Uta memang setidak sesuka itu padanya. Gadis berambut merah putih itu hanya akan baik padanya saat di waktu-waktu tertentu saja.
Selama beberapa momen Thalassa tersadar, teman yang baik bukanlah teman yang suka menyakiti fisik dan perasaan temannya, bukan? Jika Uta marah atau merasa tidak suka dengannya dia sering merusak barang-barang berharganya, bahkan sampai hati menginjak kakinya, melukai tangannya dengan pensil hingga terluka. Setiap kali Thalassa bertanya apa salahnya, Uta selalu memojokkannya dengan mengatakan jika dirinya hanya anak yatim-piatu yang tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini.
“Ayah! Kakiku capek! Apakah bar Shakky itu masih jauh?” Suara Uta yang berjalan di depannya membuat kepalanya menoleh. Gadis itu merengek pada ayahnya dan tak lama pria yang mengenakan topi jerami itu menggendong dirinya.
“Sebentar lagi kita sampai, Uta.” Shanks menepuk-nepuk punggung putrinya itu, membuat Uta tersenyum simpul dan meletakkan kepalanya di bahu sang ayah.
Thalassa yang berjalan beberapa meter di belakang dengan tangan yang digandeng oleh Benn masih setia menatap mereka berdua. Pikiran Thalassa tiba-tiba kosong, teringat perkataan dan wasiat ibunya, serta segala rencana yang sudah dia susun namun entah kenapa selalu hancur sebelum dimulai.
Perlahan, tatapan Thalassa beralih pada punggung kapten Akagami itu, bayangan sosok ibunya tiba-tiba terlintas, membuatnya merutuki dirinya sendiri yang begitu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya. Andai saja rambutnya bewarna merah, bukan putih perak seperti ibunya. Setidaknya dengan hal itu, bisa membuat orang-orang cukup percaya jika dirinya adalah putrinya. Putri kandungnya.
Tapi Thalassa terlalu takut untuk mengungkapkannya. Dia takut pria yang merupakan papanya itu akan mencoba membunuhnya seperti saat itu.
“Kau lihat apa?”
Thalassa tersentak, buru-buru menoleh ke asal suara, yang tak lain tak bukan adalah Uta. Gadis berambut perak itu cepat-cepat menggeleng dan menunduk agar aman dari masalah.
Benar. Uta adalah masalah baginya. Dia tidak mau mencari masalah dengan berurusan pada anak sepertinya. Ditambah, Uta adalah kesayangan sang kapten. Rencananya yang hancur akan semakin hancur jika dia membuat masalah.
5 menit berlalu, mereka akhirnya sampai di kawasan Grove 13, lokasi di mana bar Shakky yang dimaksud berada. Di sana, mereka disambut dengan ramah oleh seorang wanita berambut pendek dengan rokok panjang di tangannya. Beberapa orang memanggilnya Shakky, yang membuat Thalassa akhirnya tahu kenapa bar ini dinamai demikian.
“Wah, ada wajah baru di sini. Siapa—” Wanita itu terkejut saat matanya bersitatap dengannya. Saking terkejutnya dia sampai tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Thalassa jadi merasa kikuk. Dia cepat-cepat membuang muka dan menunduk menatap lantai kayu.
“Dia Thalassa. Putri Nerina.” Benn mencoba untuk menjelaskan. Pria itu paham dengan ekspresi terkejutnya.
Shakky tidak bisa berkata apa-apa, lantas menoleh menatap Shanks yang sudah mengambil duduk di kursi bar. “Shanks, dia anakmu?!”
Shanks yang baru saja meneguk birnya, langsung tersedak saat Shakky melemparkan pertanyaan tersebut padanya.
“Bukan. Ceritanya panjang, yang jelas hubungan Shanks dengan Nerina sudah lama kandas.” Lagi-lagi Benn yang berinisiatif menjawab pertanyaan sakral tersebut.
Thalassa yang sedari tadi menundukkan kepalan, semakin menundukkan kepalanya. Rupanya wanita itu mengenal ibunya.
“Itu sebabnya dia tidak bersama denganmu lagi? Di mana dia sekarang? Kenapa hanya ada putrinya saja yang datang bersama kalian?” tanya Shakky secara beruntun.
Shanks berdehem. “Can we talk in another section? She's passed away. That’s too hard for her,” ucapnya dengan suara yang terdengar sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh gadis berambut perak tersebut.
Shakky lagi-lagi terkejut. Namun berapa detik kemudian dia kembali mengatur ekspresinya. Tak lama datang seorang pria tua dari pintu belakang bar. Semua orang kompak menyapanya dengan gembira. Thalassa yang duduk bersama kru lain mencoba untuk tidak terdeteksi, agar tidak memperburuk suasana karena wajahnya yang mirip sekali dengan ibunya. Dia berani bertaruh, semua orang di bar ini bisa dipastikan kenal baik dengan beliau.
“Sudah lama sekali, Rayleigh!” sapa Shanks.
“Yeah, ini sudah lama sekali.” Pria yang bernama Rayleigh itu menatap anak didiknya tersebut selama beberapa detik, sebelum akhirnya tiba-tiba menoleh ke arah Thalassa yang memang sedari tadi diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Senyum terukir di wajahnya yang telah mengkriput itu. “Wah, ini benar-benar takdir yang unik,” ucapnya pada Shanks.
Shanks mengerutkan keningnya.
Rayleigh kini beralih menatap pria berambut merah tersebut. “Tanpa disangka, anak itu berakhir bersamamu. Bukankah ini takdir yang begitu unik?”
* * *
Note:
Enigma (n.) a person or thing that is mysterious or difficult to understand.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top