10 | Thantophobia

Warning: bloody content.

*

Thalassa tidak terlalu panik saat mereka dihadang dari dua sisi oleh sekelompok remaja nakal barusan. Thalassa juga masih bisa bersikap tenang di saat Uta terlihat panik memikirkan cara bagaimana bisa kabur dari mereka.

Sebab pada dasarnya, kejadian ini sudah menjadi makanan sehari-harinya dulu. Jadi, yang dia khawatirkan saat ini adalah Uta. Gadis itu terlihat sekali sangat ketakutan. Satu hal yang Thalassa sesali, dia tidak punya nyali untuk melawan. Sebab dulu, yang dia lakukan bukanlah melawan atau menghindar, melainkan menerima semua siksaan hingga dia semaput dan tak sadarkan diri.

“Jangan mendekat!!” teriak Uta dengan suara yang bergetar.

Si ketua kelompok tersebut tertawa mengejek. “Kau ketakutan, anak kecil.”

“Aku tidak takut! Aku adalah seorang bajak laut!! Untuk apa aku takut pada orang payah sepertimu?!”

Sial. Uta terlalu besar omong! Dilihat dari manapun mereka akan kalah telak dengan kelompok remaja tersebut.

“Pfftt! Bajak laut? Gadis kecil sepertimu ini bajak laut?”

Uta menggeram kesal, namun remaja itu lebih dulu menarik Uta dan menjambak rambutnya hingga mendongak menatapnya. “Rambut yang aneh!” ledeknya lalu detik berikutnya si remaja itu menamparnya dan mendorong tubuh Uta ke pinggir jalan.

“Uta!” teriak Thalassa. Gadis itu hendak menghampirinya, namun beberapa orang bawahan si remaja lebih dulu menahan kedua tangannya untuk tidak mendekat.

Remaja itu terkekeh dan menginjak dada Uta agar gadis itu tidak bisa pergi ke mana-mana, selang beberapa detik kemudian dia mengeluarkan sebuah pisau lipat. Memperlihatkan mata pisau itu yang tajam dan berkilau.

Baik Uta maupun Thalassa terbelalak. Mereka semakin takut, alhasil hanya terdiam dengan tubuh yang gemetar. “Ti—tidak! U—Uta!”

Thalassa tidak tahu apa yang terjadi, namun dia tidak mau sesuatu terjadi pada Uta. Ditambah kedua tangannya ditahan begitu erat. Satu hal yang bisa dia pikirkan adalah menggunakan kemampuan sihirnya. Namun Thalassa tahu dia tidak bisa menggunakannya dengan sempurna. Ibunya tidak sempat mengajarinya dasar-dasar tentang kemampuan yang diturunkan olehnya pada semasa hidupnya.

Tapi rasa takut Thalassa mengalahkan segalanya, saat sebuah cahaya muncul, dan keajaiban pun terjadi. Gadis berambut perak itu berhasil mengubah posisinya dengan Uta. Di mana Thalassa dengan bodohnya menjadi korban dari tusukan pisau tersebut yang menancap tepat pada lehernya.

Kejadiannya begitu cepat. Semua orang terkejut, terutama si remaja pemilik pisau lipat.

“Sial! Apa yang terjadi?!” paniknya. Lantaran sasarannya tiba-tiba berubah orang. Ditambah yang tadinya hanya ingin melukai bagian lengan korban, pisaunya justru malah mengenai bagian leher. Karena dilanda panik, remaja itu menarik kasar pisau tersebut dari leher Thalassa.

Darah yang tadinya mengalir, kini beralih memancar dengan aliran yang deras.

Wajah Uta membiru, dia panik, sepanik-paniknya. “THALA!!”

Kelompok remaja nakal itu pun pergi meninggalkan mereka tanpa bertanggung jawab. Tersisa Thalassa yang terkulai lemas seraya menekan luka tusuk di lehernya. Piyamanya dan sebagian rambutnya sudah berubah warna menjadi merah karena pancaran darahnya yang begitu menakutkan.

Dengan langkah terseok, Uta mendekat. Matanya berkaca-kaca karena saking merasa takut bercampur panik. “Tha—Thala!”

“Te—tenang. Ak—aku masih bisa bernapas!” ucap Thalassa dengan suara yang sedikit tersendat.

Uta justru malah menangis. Gadis itu segera membantu Thalassa untuk berdiri. Namun karena tubuhnya terlalu lemas dan tidak memungkinkan untuk berjalan. Alhasil Thalassa menggeleng pelan.

“A—aku tidak bisa berjalan. Tolong ... Tolong panggil seseorang.”

Uta mengusap air matanya dengan kasar dan mengangguk. “Kau tunggu di sini aku akan berlari memanggil Ayah dan yang lain!!”

Tanpa menunggu respon Thalassa, Uta segera berlari menuju bar tempat Ayah dan krunya berada. Saat di pertengahan jalan dia tidak sengaja berpapasan dengan Gab yang terlihat panik karena tidak menemukan keberadaan mereka di vila.

“Uta?!”

“Pa—Paman Gab! Hiks!”

Gab memegang pundaknya. Mendadak semakin panik karena penampilan Uta yang berantakan dan penuh keringat. “Uta, apa yang terjadi denganmu? Di mana Thalassa?!” tanya Gab.

“Thala—hiks—Thala tertusuk pisau! Di—dia berdarah sangat banyak! Huaaa!”

Mendengarnya Gab tentu ikutan panik. Cepat-cepat dia meminta gadis itu mengantarnya menuju lokasi Thalassa. Sesampainya di sana, tubuh Gab mendadak ikut lemas ketika melihat darah di mana-mana. Thalassa sudah terlihat sangat pucat, dan perlu penanganan medis secepatnya.

“Uta! Cepat temui ayahmu dan Hongou untuk segera datang ke ruang klinik di kapal!”

Uta berbalik badan dan kembali berlari menuju bar untuk memberi tahu ayahnya dan yang lain tentang Thalassa.

* * *

Shanks kalang kabut. Dia tidak bisa berpikir jernih sesaat setelah Uta muncul mendadak ke bar dan memanggilnya dengan wajah yang banjir air mata. Semua orang menatap gadis berusia 7 tahun itu penasaran. Shanks dan Benn seketika menghampirinya untuk menanyai keadaanya.

“Thala—Thala terluka! Dia tertusuk pisau! Da—darah! Dia mengeluarkan banyak darah!”

Deg!

Detik itu pula Shanks langsung bergegas menuju kapal, diikuti oleh yang lain. Selama perjalanan pria itu dibuat tidak mengerti dengan respon yang dirinya berikan. Mengapa dia harus ikut-ikutan panik seakan-akan peduli dengan gadis berambut perak tersebut? Padahal jelas-jelas Shanks membencinya, bahkan nyaris pernah membunuhnya beberapa bulan yang lalu.

Tapi tubuhnya bagai bergerak sendiri. Jantungnya tidak mau sejalan dengan otaknya. Memberikan gelenyar rasa takut saat mendengar gadis itu kenapa-kenapa. Tepat saat mereka tiba di kapal, Shanks, Hongou dan Benn segera mendatangi klinik yang di dalamnya telah terdapat Gab serta Thalassa yang terbaring di salah satu bangkar. Tungkai Shanks terasa lemas saat melihat kondisi gadis itu yang berdarah-darah.

“Hongou! Darahnya tidak kunjung berhenti! Aku sudah mencoba menekannya untuk menahannya!” ucap Gab. Wajah pria bertubuh tinggi besar itu terlihat pucat, tangan dan beberapa bagian tubuhnya terkena noda darah milik Thalassa.

Hongou mengambil senter dari meja dan mengecek reaksi pupil mata gadis tersebut. Merasa reaksinya masih normal, kini dilanjut mengecek napasnya yang terasa lemah. “Tekan terus pendarahannya!” pinta sang dokter. Pria itu mengambil tabung oksigen dan mengenakan alat bantu pernapasan tersebut pada Thalassa. “Bertahan, Thalassa.”

Shanks berkali-kali menelan ludahnya. Memerintah dirinya untuk tenang walaupun sulit. Thalassa putri Nerina. Dia sempat dengar jika gadis itu mewarisi kemampuan ibunya yang dapat meregenerasi luka-luka dengan cepat. “Dia bisa beregenerasi dengan cepat. Sama seperti Nerina,” jelas Shanks. Pria berambut merah itu mendekat dan meneliti keadaan gadis itu yang begitu mengenaskan.

Gab menyingkir dari posisinya digantikan oleh Hongou yang mulai melakukan pekerjaannya untuk menutup luka tusuk di lehernya. Shanks tidak sanggup melihat aliran darah yang terus mengucur, alhasil dia mengalihkan tatapannya pada wajah Thalassa yang begitu pucat. Uap terlihat di masker alat bantu pernapasan. Meski lehernya tersayat begitu parah, beruntung jalur napasnya tidak terpotong.

20 menit berlalu dalam tegang. Lukanya berhasil ditutup. Hongou kembali membersihkan darah yang menyebar di sekitar leher, dada, dan tangannya. Lalu setelahnya melepas sarung tangan latex serta masker yang menutup hidung dan mulutnya.

“Bagaimana? Dia baik-baik saja?” tanya Benn yang sedari tadi hanya diam memperhatikan dari kejauhan. Lantaran tidak tega melihat darah keponakannya yang begitu banyak.

“Semua aman. Selagi dia masih bisa bernapas ... Tapi—”

“Tapi? Tapi apa?” desak Shanks.

“Darahnya terlalu banyak yang keluar. Ada kemungkinan dia ...” Hongou menggantungkan kalimatnya saat melihat reaksi tubuh Thalassa yang mendadak kejang-kejang. Matanya terbuka namun hanya terlihat bagian sklera-nya saja. Shanks kembali panik, dengan siap menahan kedua bahu gadis itu agar tidak banyak membuat pergerakan yang mengakibatkan luka jahitannya kembali terbuka.

“Dia kekurangan darah! Lakukan sesuatu Hongou!” Benn berteriak.

Tanpa diperintah pun Hongou sudah mengerti. Dokter kapal tersebut segera mengambil sampel darah milik Thalassa dan melakukan tes golongan darah saat itu juga. Lantaran Hongou belum sempat melakukan medical check-up internal pada Thalassa dikarenakan gadis itu yang takut dengan jarum suntik.

Sampel darah diteteskan pada kertas reaktor. Setelahnya dia meneteskan beberapa cairan antigen golongan darah, dan menunggu beberapa saat untuk melihat apakah terjadi gumpalan darah atau tidak.

“Cepatlah Hongou!” teriak Shanks kalang kabut. Sebab keadaan Thalassa sudah begitu parah dan menakutkan. “Apa golongan darahnya?!”

Hongou terdiam selama beberapa detik. Dia meneguk ludahnya sejenak dan menatap kaptennya tersebut. “XF.”

Semua orang di dalam ruangan termasuk beberapa sisanya yang menunggu di luar dibuat terdiam. Lagi-lagi sebuah kebetulan yang begitu mengganjal.

Golongan darahnya XF! Golongan darahnya XF!

Ingatkan Shanks untuk kembali tersadar jika ada sesuatu hal yang lebih penting. Nyawa anak di sampingnya sedang berada di ujung tanduk. Meskipun Shanks berharap gadis itu hilang dari muka bumi, namun melihatnya sekarat dan menderita membuatnya merasa seperti ada ribuan jarum menancap di jantungnya.

“Tunggu apa lagi, Sialan?! Ambil darahku!!”

* * *

Note:

Thantophobia (n.) the phobia of losing someone you love.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top