09 | Kadeen
Sebenarnya, Thalassa pernah mengalami penyiksaan yang nyaris membuatnya mati berkali-kali. Seharusnya kejadian di mana Shanks mencekik lehernya dengan tatapan ingin membunuh bukanlah apa-apa baginya. Namun entah kenapa rasa sakit di lehernya sampai sekarang masih terasa, setiap melihat atau bahkan mendengar orang menyebut namanya saja membuat tubuh Thalassa bergetar ketakutan.
Seharusnya Thalassa tidak boleh takut. Kehadiran pria itu bukanlah sesuatu yang harus dia takutkan.
Tapi apa daya, Thalassa tidak berani untuk mengatakan yang sesungguhnya.
“Thalassa?”
Gadis itu terkejut, buru-buru mengubah posisi berbaringnya dengan memunggungi Benn yang barusan datang ke kabinnya. Thalassa memeluk bantalnya dan menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau mengatakan yang sesungguhnya pada Benn. Dia tidak mau membebani pria itu lagi setelah permasalahan dirinya dengan Uta.
“Hey, Thala. Kau baik-baik saja?” tanya Benn. Pria itu langsung mengambil duduk di pinggir ranjang dan menyentuh pundaknya. “Thalassa, aku tahu kau tidak tidur.”
Benn menghela napas kasar. Ternyata mengurus dan menghadapi anak kecil secara langsung itu begitu sulit dan merepotkan. Beruntung Benn menyayangi gadis itu. Kalau tidak, dia tidak akan mau repot-repot mengecek keadaannya. “Kau sudah tidak lagi membantu Roo memasak, bahkan kau jarang terlihat memancing bersama Yasoop. Ada apa, hum?” tanya Benn, berusaha untuk tetap bersikap lembut.
Tapi Thalassa tetap tidak bergeming.
“Thalassa, aku punya cookies cokelat favoritmu. Jika kau tetap diam saja, aku akan memberikan semuanya pada Uta.”
Thalassa mengigit bibir bawahnya. Beberapa detik kemudian dia melepas pelukannya pada bantal dan menatap Benn yang masih duduk di pinggir ranjang. “Mana cookies-nya?” tanya gadis itu dengan polos seraya merentangkan tangannya.
Benn terkekeh, dia merogoh saku celana kargonya dan memberikan 3 bungkus cookies tersebut padanya.
“Katakan padaku, kenapa kau akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktumu di dalam kabin? Apa ada seseorang yang membuatmu tidak nyaman?” tanya Benn, selagi anak itu menikmati kuenya.
“Tidak ada. Aku hanya ingin berada di kabinku saja.”
“Kau serius? Semua kru kapal menanyai keadaanmu. Biasanya kau menghabiskan waktu bersama mereka.”
Thalassa terdiam. Masih sibuk mengunyah cookies.
“Apa Uta kembali mengancammu?” tebak Benn. Gadis itu terbelalak, lantas langsung menggeleng. Mereka sudah tidak bermain lagi, bahkan berbicara pun tidak. Sekalipun bertemu hanya saat berada di ruang makan saja. “Apa Shanks membuatmu takut?” tanya Benn sekali lagi.
Thalassa berhenti mengunyah cookies-nya. Dia menatap Benn lekat-lekat. “Tidak. Aku tidak takut dengannya.”
‘Aku hanya belum punya keberanian untuk mengatakannya,’ lanjut Thalassa di dalam hati.
Benn menghela napas sejenak. Matanya tidak sengaja memperhatikan meja belajar yang tidak lagi terdapat figura foto keluarganya. “Di mana foto keluargamu? Kau tidak lagi memajangnya?” tanyanya.
Ditanya seperti itu, Thalassa dibuat berpikir sejenak. Tidak mungkin dia mengatakan jika foto itu dirusak oleh Shanks, meskipun dia tidak tahu apa alasannya.
“Aku menyimpannya. Akhir-akhir ini aku sedang merindukan Ibu, kalau aku keseringan melihat foto itu entah kenapa aku merasa sedih,” jawab Thalassa tidak sepenuhnya berbohong, sebab tiada hari tanpa merindukan sosok ibunya. “Aku juga selalu membayangkan bagaimana jika Ayah masih ada. Aku ingin sekali bertemu mereka.”
Benn seketika menyesal telah bertanya. Dia lagi-lagi menghela napas, dan tersenyum simpul.
“LAND HO!!”
Terdengar suara Snake yang berteriak pada kru kapal. Tanda jika mereka sudah sampai di suatu pulau untuk berlabuh sejenak. Benn mengusap kepala Thalassa dan membersihkan sedikit noda cokelat yang terdapat di sudut bibirnya. “Kita sudah sampai di daratan. Ayo ikut aku menemui seorang kenalan.”
* * *
Di pulau tersebut mereka memiliki seorang kenalan yang merupakan pemilik vila di pinggir pantai. Kedatangan mereka pun juga disambut dengan baik olehnya, bahkan mereka diberi fasilitas vila selama 3 hari 3 malam.
Semua kru kompak memanjakan diri mereka dengan fasilitas gratis tersebut. Termasuk para gadis-gadis kecil yang entah bagaimana kembali akrab dikarenakan kolam renang setinggi lutut orang dewasa yang dipenuhi bola-bola kecil berwarna-warni. Mereka seketika lupa jika sedang bersitegang perkara krayon patah. Hal ini membuat Benn akhirnya bisa merasa lega dan bisa sedikit bersantai menikmati hari tenangnya.
Bahkan pria itu menitipkan Thalassa kepada Gab yang memang lebih memilih bersantai di vila dan menolak ajakan untuk bersenang-senang di bar yang terletak di pusat kota.
“Biasanya jika Ayah dan yang lain pergi ke bar, mereka pasti akan pulang tengah malam. Jadi, hanya ada kita bertiga di sini,” jelas Uta.
“Kenapa kita dilarang ikut?”
Uta mengendikkan bahunya. “Entahlah. Ayah bilang anak kecil dilarang mengunjungi bar saat malam hari. Sebab banyak wanita yang suka makan anak kecil di sana.”
Thalassa mengernyit. Selama dua tahun tinggal di gudang penyimpanan anggur suatu bar, dia tidak pernah melihat wanita menyeramkan. Hanya ada orang-orang mabuk, wanita cantik yang mengenakan pakaian terbuka, orang-orang yang marah dan masih banyak lagi. Hal yang ditakutkan bagi Thalassa saat harus melewati bagian depan Bar adalah menjadi samsak tinju mereka yang ingin melampiaskan amarahnya.
Uta tiba-tiba menepuk lengan Thalassa seraya menunjuk ke arah sofa panjang tempat di mana Gab tengah tertidur. “Hey, lihat! Paman Gab sudah tertidur. Ayo kita keluar!”
“Apa? Tapi kita kan, dilarang keluar! Benn sudah memintaku berjanji agar tetap berada di vila!”
“Tidak jauh dari vila ada toko es krim. Kau suka es krim, bukan?”
Aduh! Thalassa paling lemah sama yang namanya makanan manis. Dia suka makanan manis.
“Ayo, Thala! Aku traktir!” ajak Uta.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, dia menyetujui ajakan Uta. Mereka mengendap-endap melewati pintu belakang, dan pergi ke toko es krim yang dimaksud Uta.
Thalassa menolak ditraktir, dia bisa beli sendiri karena uang pemberian Benn tadi siang masih tersisa banyak. Mereka akhirnya duduk di depan toko seraya menikmati es krim cone masing-masing. Sejenak Thalassa sangat menikmati momen ini. Dia bisa duduk makan makanan favoritnya dengan tenang tanpa takut dipukuli atau dirundung orang-orang. Dia juga senang Uta bersikap baik padanya.
“Kau pernah mencoba mesin capit berisi banyak boneka itu?” Uta tiba-tiba menunjuk sebuah kotak besar setinggi lemari di seberang toko es krim.
“Tidak. Tempatku tinggal dulu tidak semaju kota di pulau ini.”
“Mau mencobanya?” tawar Uta.
Thalassa terdiam sejenak. Tidak ada salahnya untuk mencoba bukan? Lagi pula itu hanya permainan. Gadis itu mengangguk mengiyakan. Akhirnya setelah es krim mereka habis, Uta langsung menariknya ke mesin capit tersebut.
Banyak sekali jenis boneka di dalamnya. Mulai dari ukuran yang kecil hingga ukuran yang besar. Uta merogoh sebuah koin dari saku piyamanya, dan memasukkannya ke dalam lubang yang telah disediakan. Tak lama, mesin pun bergetar, Uta langsung mengendalikan capit dengan tuas katrol ke arah boneka yang dia tuju. Setelah yakin dengan posisinya, dia menekan tombol berukuran besar untuk mencapit bonekanya. Kemudian,
“Yah!!”
Baik Uta maupun Thalassa memekik kecewa lantaran capit tersebut tidak menangkap boneka dengan benar. Uta pun mengambil koin lainnya dan mencobanya lagi, dan hasilnya tetap sama. Gagal.
Kini giliran Thalassa mencobanya. Dia cukup percaya diri akan mendapatkan boneka yang paling dekat dengan lubang tempat boneka itu akan dijatuhkan, tapi di luar perkiraannya, dia juga gagal. Gadis itu sukses cemberut dan merutuki mesin capit itu yang sepertinya bermasalah.
“Coba sekali lagi, Thala!” pinta Uta.
Begitu seterusnya hingga koin mereka hanya tersisa satu. Thalassa yang sudah jengkal memberikan koinnya ke Uta. “Kau saja yang main, aku akan membantunya dari luar!”
“Hah? Apa maksudmu?” tanya Uta.
“Lakukan saja. Kau ingin boneka yang mana?” tanya Thalassa.
“Yang mana saja.”
Akhirnya koin terakhir itu dimasukkan. Mesin kembali bergetar. Selagi Uta fokus, Thalassa juga fokus mengaktifkan energi sihirnya untuk menggerakkan dua boneka berukuran sedang yang terletak paling dekat dari lubang. Saat capit gagal mengambil boneka, dua boneka yang menjadi incaran Thalassa pun mendadak bergerak dan jatuh begitu saja ke dalam lubang.
Uta terkejut, sontak dia menoleh ke arah Thalassa. Beberapa detik kemudian mereka terpekik kegirangan. Gadis itu buru-buru berjongkok dan mengambil dua boneka tersebut.
“Hore!!” Teriak mereka.
Namun belum semenit berlangsung, boneka yang dipegang Uta secara tiba-tiba direbut oleh seorang remaja laki-laki. Mereka terkejut, lantas menoleh dan mendapati remaja tersebut datang secara bergerombolan.
“Baru kali ini aku melihat ada yang berhasil mengambil boneka dari mesin bodoh tersebut,” ucapnya. Dia menatap boneka tersebut lalu beralih menatap dua gadis kecil di hadapannya.
“Hey! Kembalikan bonekaku!” teriak Uta tidak terima.
“Huhh? Kau bisa berteriak juga rupanya!” katanya yang kemudian menyeringai. “Ini.” Tak lama dia pun menurunkan boneka tersebut. Saat Uta hendak meraih bonekanya kembali, remaja itu tiba-tiba kembali menaikkan boneka itu tinggi-tinggi hingga Uta gagal mengambilnya.
“Dasar brengsek! Kembalikan bonekaku!” teriak Uta sekali lagi. Namun mereka hanya tertawa dan mengolok-olok mereka. Hingga tanpa mereka duga, Uta menendang tulang kering remaja tersebut dengan keras, membuat sang empunya mengaduh kesakitan.
Gadis berambut merah putih itu dengan gesit mengambil kembali bonekanya dan menarik tangan Thalassa untuk berlari meninggalkan mereka secepat mungkin.
“Sialan! Kejar mereka, bodoh!! Kenapa kalian diam saja?!”
* * *
Note:
Kadeen (arabic origin) friend; companion
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top