05 | Athazagoraphobia

Sudah lebih dari seminggu Thalassa berlayar bersama bajak laut Akagami. Sudah seminggu pula hidupnya berubah. Sesuai dengan perkataan Benn, pria itu merenovasi gudang penyimpanan barang-barang bekas menjadi kabinnya. Ada kasur lipat, meja kecil, cermin dan lemari pakaian. Semua Benn yang mengurus kebutuhannya. Pria itu selalu memastikan dia tidak kekurangan apapun dan memperlakukannya dengan amat baik. Bahkan orang-orang di kapal juga ramah padanya, sehingga Thalassa tidak begitu kesulitan untuk cepat beradaptasi.

Tapi ada dua orang yang membuatnya merasa kurang nyaman. Sang kapten dan putrinya, Uta.

Thalassa bukan tidak menyukai mereka. Hanya saja dia merasa tidak nyaman saat ditatap tajam oleh Shanks dan tidak nyaman saat bermain dengan Uta.

Gadis berambut perak itu suka bermain masak-masak atau bermain boneka seperti anak kecil pada umumnya, Thalassa juga suka menggambar saat Uta mengajaknya melakukannya dan meminjamkannya krayon atau pensil warna miliknya. Hal-hal yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya sebagai anak berusia 5 tahun akhirnya terwujud. Untuk pertama kalinya dia merasa hidupnya normal.

Namun entah ini perasaannya saja atau bukan, tapi perlakuan Uta padanya sedikit aneh. Dia tidak mau protes, sebab gadis itu adalah putri kapten, dan sudah seharusnya Thalassa bersyukur Uta mau mengajaknya bermain serta meminjamkan mainannya.

“Tunggu! Jangan gunakan pakaian yang itu!” Uta tiba-tiba berseru dan mengambil secarik pakaian boneka Barbie yang baru saja diraih oleh Thalassa dari box mainan. “Gunakan yang ini saja. Itu cocok untuk boneka Barbie-mu!” lanjutnya seraya memberikan beberapa carik pakaian lain kepadanya.

Thalassa mengangguk. Tidak berkomentar apa-apa saat dia sadar jika pakaian yang barusan dia ambil terlalu bagus untuk boneka Barbie yang tangannya telah patah dan hilang entah ke mana. Uta bilang, boneka itu adalah boneka Barbie pertamanya saat dia berusia 5 tahun. Sedangkan boneka yang tengah gadis itu pegang adalah barang baru yang dibeli beberapa bulan lalu oleh ayahnya.

“Kau tahu, beruntung aku belum membuangnya. Sehingga kau bisa bermain boneka denganku,” kata Uta seraya menyisir rambut pirang boneka Barbie di tangannya. “Sebab kata Ayah, barang-barang yang sudah rusak sebaiknya harus segera dibuang.”

Thalassa menatap Uta lekat-lekat. Dia jadi teringat dengan ucapan orang-orang di desanya dulu. Tentang dirinya yang hina seperti sampah dan tempat yang pantas baginya hanyalah tempat sampah itu sendiri. Saat Uta mendongak, Thalassa cepat-cepat menunduk dan membetulkan pakaian boneka Barbie yang terlihat sudah usang dan banyak noda spidol di bagian rok gaunnya.

“Ngomong-ngomong Thala, apa benar kau bukan anaknya Paman Benn?” Uta tiba-tiba bertanya. Mereka saling bertatapan. Iris violetnya bertabrakan dengan iris biru lautnya.

“Bu—bukan. Dia bukan ayahku.”

“Lalu siapa orang tuamu? Kenapa mereka membiarkan Paman membawamu?” tanya Uta sekali lagi.

Thalassa meremas lututnya. Dengan hati-hati dia menjawab, “Ibuku sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun. Lalu ayahku ... Aku tidak terlalu mengingatnya, tapi kata Ibu dia seorang pedagang kain sutra. Ayah tidak pernah kembali lagi karena hanyut bersama kapalnya dan tidak ada satupun orang yang selamat.”

Uta mengedipkan matanya. Dia sedikit menyesal telah bertanya. “Kau sedih? Bagaimana rasanya tidak memiliki orang tua?” tanyanya.

Remasan di lututnya merenggang. Thalassa menatap Uta datar. Dia tidak menyangka akan mendapatkan pernyataan yang sulit seperti ini. Lebih sulit ketimbang ditanya apa tulisan komposisi makanan yang ada di balik kemasan.

“Rasanya ... Sedih. Aku hanya bisa menangis saat itu,” balas Thalassa apa adanya. “Saat Ibu sakit, tidak ada satupun orang yang mau membantu.”

Uta menghela napas sejenak. Mood-nya untuk bermain hilang setelah mendengar penuturan teman satu-satunya itu. Uta sudah menganggap gadis berambut perak itu sebagai temannya. “Sekarang aku bosan,” katanya. Dia menaruh boneka Barbie-nya di lantai. “Bagaimana jika kita menggambar? Aku suka menggambar jika sedang sedih.”

Thalassa tersenyum. Setuju dengan usulan temannya itu.

* * *

Ada beberapa hal yang tidak Uta sukai. Sayuran, pakaian yang jelek, dan meredupnya perhatian orang-orang terhadapnya. Hal yang terakhir baru dia sadari sejak kedatangan Thalassa di kapal.

Gadis itu berhasil menarik perhatian banyak orang. Dia cepat bergaul dan akrab dengan para kru kapal. Tidak hanya bermain dengannya, Thalassa ternyata juga aktif melakukan banyak kegiatan setiap harinya bersama kru. Dia sering membantu Gab mencuci pakaian, membantu Roo memasak, membantu lime dan Punch mengangkat barang-barang dari gudang ke dapur, serta membantu Snake dan Yasoop membersihkan kapal. Meski tubuh gadis itu kecil dan sedikit lebih pendek darinya, rupanya dia cukup bisa diandalkan dalam hal pekerjaan.

Tak ayal, orang-orang banyak yang memujinya. Namun hal sepele seperti itu justru malah membuat Uta dongkol. Gadis itu pernah beberapa kali mencoba membantu pekerjaan kru kapal, dan selalu berakhir buruk karena dia tidak terbiasa melakukan pekerjaan berat.

“Sudahlah Uta. Kau hanya membuatnya semakin buruk. Biar aku dan Thalassa saja yang melakukannya.” Itu adalah salah satu kalimat yang pernah Uta dapat saat membantu memotong kentang dan wortel, sebab tangannya berakhir teriris.

Selain merasa sakit di jarinya, dia juga merasa kesal karena orang-orang lebih mengandalkan kemampuan Thalassa.

“Hai Uta, kau sudah sarapan?”

Lamunan gadis berambut merah putih itu buyar, dia cepat-cepat menoleh saat mendengar suara Thalassa. Gadis itu mengenakan celana pendek dan kaus kuning yang warnanya telah kusam, tak lupa sendal jepit jelek bewarna hijau lumut yang menambah kesan buruk pada penampilannya.

“Sudah. Kau sendiri sudah sarapan?” tanyanya. Mereka tengah berdiri di samping pagar pembatas seraya melihat lautan dan langit yang cerah.

“Sudah barusan. Telur omelette buatan Roo tidak pernah gagal!” balas Thalassa ceria. “Ngomong-ngomong kau mau menu makan siang apa? Roo bilang dia bingung menentukan menu untuk 3 hari ke depan. Sebelum akhirnya kapal berlabuh di suatu pul—”

“Apa yang kau kenakan di rambutmu itu?”

Kalimat Thalassa dihentikan oleh Uta saat gadis itu melihat sebuah jepitan berbentuk pita kecil bewarna hitam yang terlihat kontras dengan warna rambutnya. Thalassa menyentuh benda tersebut dan melepasnya. “Oh ini, sepertinya lebih baik aku gunakan dari pada disimpan di lemari.”

Tanpa diduga, Uta langsung merampas jepitan tersebut dan membuangnya begitu saja ke laut. Jelas, Thalassa terkejut. Matanya terbelalak dan menatap ke bawah kapal. “A—apa yang kau lakukan?! Kenapa kau membuangnya?!” tanyanya panik.

Uta hanya menatapnya datar. Selang beberapa detik dia maju mendekat membuat Thalassa merasa terintimidasi. “Benda itu terlalu bagus untuk penampilanmu yang kampungan. Lebih baik kau buang karena tidak pantas untuk kau gunakan,” katanya dengan nada datar.

Thalassa yang mendengarnya cukup terkejut. Kenapa Uta melakukan itu? Dia salah apa?

“Ta—tapi kenapa harus dibuang? Kalau kau mau, kau bisa memakainya! Aku tidak keberatan untuk berbagi denganmu!”

“Untuk apa aku menerima barang darimu? Aku bisa mendapatkannya yang lebih bagus!”

Thalassa semakin bingung dengan perubahan sikap temannya ini. “Jika kau tidak suka, sebaiknya kau katakan saja. Aku tidak akan memakainya. Jepitan itu hadiah dari Paman Benn!”

“Lalu apa? Kau akan mengadukan perbuatanku tadi pada Paman kesayanganmu itu?” tanyanya.

Gadis berambut perak itu tiba-tiba mati kutu. Jika dibandingkan dengan Uta, jelas Thalassa bukan apa-apa. Temannya ini adalah putri kapten yang paling berkuasa di kelompok bajak laut Akagami. Salah sedikit saja, bisa jadi dia akan didepak dari kapalnya.

“Tapi—”

Lagi-lagi kalimat Thalassa dihentikan oleh Uta yang tiba-tiba menginjak kaki kiri gadis itu kuat-kuat. Thalassa meringis saat kulitnya mengenai bawah sepatu boot Uta yang cukup tajam. “Apa? Kau ingin berbicara apa?” tanyanya, semakin memojokkan Thalassa.

Thalassa terdiam. Dia menundukkan kepalanya, menatap sebelah kakinya yang diinjak olehnya. Perlahan dia menggeleng. “Bukan apa-apa. Maafkan aku.”

Uta tersenyum penuh kemenangan. Dia melepas kakinya dan mundur selangkah. “Ayo kita bermain puzzle!” ajaknya seraya menarik tangan Thalassa menuju kabinnya. Mood-nya tiba-tiba berubah dengan cepat.

Gadis berambut perak itu tersenyum kecil. “Iya, ayo.”

* * *

Note:

Athazagoraphobia (n.) The fear of being forgotten or ignored, or being replace.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top