04 | Noli Timere

Ternyata Benn tidak main-main dengan perkataannya. Dia benar-benar membawa anak itu lengkap dengan barang-barangnya yang dimasukkan ke dalam sebuah tas duffel besar di pundaknya. Gadis berambut perak itu berada dalam gendongannya. Sepertinya tengah tertidur atau mungkin merasa malu dan memilih untuk bersembunyi di balik dada pria itu.

Shanks berdiri melihat mereka menaiki tangga, entah kenapa perasaannya campur aduk. Dia marah, tidak suka, tapi di sisi lain dia cukup penasaran tentang gadis kecil tersebut. Tak lama Benn pun tersadar akan kehadirannya, membuat pria itu berhenti melangkah seraya mengelus kepala dan punggung Thalassa yang tertidur sejak mereka berjalan dari bar menuju kapal.

Shanks mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tapi beberapa detik kemudian dia tersadar, untuk apa dia marah dan kesal? Apakah karena Benn mulai berani mengancamnya? Atau karena gadis itu yang berhasil menarik simpati wakilnya hingga nekat mengambil keputusan yang cukup beresiko?

“Semua urusan anak ini adalah tanggung jawabku. Kau tidak perlu khawatir, Shanks.”

Benn membetulkan sejenak posisi tubuh Thalassa dan kembali berjalan menuju kabin pribadinya. Melewati Shanks begitu saja, membuat kapten bajak laut tersebut semakin merasakan sesuatu yang membuncah emosi di hatinya.

Tidak. Itu tidak mungkin, Shanks!

Anak itu bukan Nerina. Gadis kecil itu bukan bagian dari hatinya yang telah hilang 5 tahun lamanya. Dia adalah salah satu alasan wanita itu pergi meninggalkannya. Memilih untuk hidup bersama pria lain dan memiliki anak. Shanks tahu, tujuan Nerina dengannya dari dulu memang tidak pernah sejalan. Mungkin itu alasan mengapa dia memilih untuk pergi tanpa pamit.

Tapi tetap saja. Amarah yang sudah lama membeku itu tiba-tiba mencair dan kembali membara.

“Ayah!”

Kalau saja tidak ada suara seorang gadis kecil memanggilnya, mungkin telapak tangan Shanks akan berakhir berdarah karena mengepalkannya dengan sangat kuat. Pria itu cepat-cepat mengatur kembali ekspresinya dan menoleh ke arah sumber suara.

“Ya, Uta. Ada apa?” tanyanya. Tersenyum manis menatap anak angkatnya yang saat ini sudah berusia 7 tahun.

“Paman Benn membawa seorang anak kecil. Siapa dia?” tanyanya.

Shanks berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tubuh kecil Uta. Senyumnya belum luntur. “Dia bukan siapa-siapa. Benn hanya mengajaknya untuk tinggal bersamanya.”

“Apakah gadis itu putrinya?” tanya Uta sekali lagi.

Entah kenapa, Shanks tiba-tiba terdiam. Kalimat polos yang dilontarkan Uta sukses membuatnya sulit untuk merespon.

Tunggu! Perasan apa ini?

Kenapa Shanks kembali merasa marah hanya karena pertanyaan Uta barusan? Siapa yang peduli dengan anak berambut perak itu? Sekalipun dia putri kandung Nerina dengan entah siapa pria di luar sana, atau sekalipun Benn berniat mengadopsinya, itu bukan urusannya.

“Ayah?”

Pria berambut merah itu mengedipkan matanya sejenak. “Bukan, dia bukan putrinya.” Shanks mengusap kepala Uta dengan lembut. “Bagaimana jika kita ke dapur? Pasti Roo menyiapkan sesuatu yang enak untuk makan siang.”

* * *

Thalassa terbangun ketika mendengar suara decitan pintu lemari dibuka. Gadis itu merasa di sekitarnya bergoyang-goyang, membuat kepalanya sedikit pusing dan memutuskan untuk bangun serta melihat ke sekeliling. Dia berada di dalam kamar. Ada dua rak buku besar beserta meja kerja, tak luput dua lemari kayu yang terpajang di sisi lain kabin. Thalassa menahan napas saat mendapati sosok Benn yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari yang berukuran lebih kecil.

Merasa diperhatikan, Benn pun menoleh. Pria itu sedikit terkejut. Lantas menghentikan sejenak kegiatannya dan berjalan menuju meja kerjanya untuk mematikan rokoknya. Sepertinya mulai sekarang dia harus membiasakan diri untuk tidak merokok saat sedang bersama Thalassa.

“Kau sudah merasa baikan?” tanya Benn. Pria itu akui kemampuan unik yang dimiliki Nerina dulu rupanya diwariskan kepada putrinya. Benn ingat betul betapa mengenaskannya keadaan gadis kecil itu saat dia menemuinya di gang kecil tepat setelah para preman brengsek itu menyiksanya. Tidak butuh waktu sejam bagi tubuhnya untuk pulih dari luka dan memar.

“Aku ... Ada di mana?” Gadis itu justru malah bertanya.

“Di kapal. Kita telah meninggalkan pulau Deer. Kau aman sekarang. Tidak ada lagi orang-orang yang akan menyiksamu,” balas Benn. Pria itu mengambil sesuatu di lacinya. Sebuah ikat rambut dan jepitan berbentuk bintang—beberapa barang yang tidak sengaja tertinggal dari para wanita yang berhasil dia goda. Rupanya barang-barang aneh itu sekarang ada gunanya. “Kemari, Thalassa.”

Benn meminta gadis itu untuk turun dan berdiri di depan cermin. Pria itu menyisir rambut peraknya yang terlihat kusut, lalu mengikatnya, tak lupa menjepitkan poninya dengan jepitan agar wajahnya makin terlihat lebih segar. Benn tersenyum menatap pantulan cermin di hadapannya. Gadis kecil itu terlihat lebih baik.

“Untuk sementara waktu, kau akan tidur di kabinku. Aku akan merelokasi gudang kecil di samping kamar Uta agar bisa kau gunakan sebagai kabin.”

Thalassa tidak begitu paham ucapan Benn barusan. Alhasil dia hanya mengangguk mengiyakan. Setelah merasa penampilannya cukup baik, pria itu mengajaknya keluar dari kabin dan berkeliling melihat ruas kapal. Thalassa tidak pernah menginjakkan kaki di atas kapal layar sebesar ini, dia hanya pernah melihatnya dari kejauhan kapal-kapal para pedagang yang berlabuh di dermaga. Kening gadis berambut perak itu mengernyit saat melihat layar besar serta bendara Jolly Roger yang membentang di atas sana.

Meski Thalassa tidak mendapatkan pendidikan apapun setelah ibunya meninggal, dia jelas tidak asing dengan tanda itu. Ibunya pernah menceritakan sebuah cerita seorang kapten bajak laut yang tidak akan pernah dia lupakan—mungkin sampai dia dewasa nanti.

“Ba—bajak laut?” Tanpa gadis itu sadari, bibirnya bergerak sendiri.

Benn berdeham. Dia sudah sempat memikirkan hal ini. “Kami memang bajak laut. Tapi aku berjanji, kami tidak seperti orang-orang di tempat kau tinggal dulu.” Pria itu mengusap kepalanya lembut seraya tersenyum. Hal tersebut membuat hati Thalassa sedikit tenang.

Meski cerita bajak laut yang sering ibunya ceritakan tidak begitu menakutkan, tapi orang-orang di desa selalu membicarakan seburuk apa para kelompok perompak tersebut.

“Kau tidak perlu takut. Sekarang, semua orang yang ada di kapal adalah keluargamu,” ucap Benn.

Thalassa berhenti melangkah. Genggaman tangannya refleks terlepas dari tangan Benn. Dia terdiam menatap kosong ke depan. Keluarga? Memangnya mereka mau menerimanya yang menyedihkan ini sebagai keluarganya?

Benn menghela napas sejenak. Pria itu berjongkok dan meraih kedua tangan Thalassa. “Thala, tidak apa-apa,” ucapnya. Pria itu lagi-lagi tersenyum, mencoba menenangkan gadis itu yang terlihat gelisah, bingung, dan takut. “Ayo kita ke dapur dan bertemu dengan orang-orang di kapal. Aku yakin mereka akan menerimamu dengan baik.”

Gadis itu tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Benn yang kembali menuntunnya ke belakang dek kapal dan masuk ke dalam kabin besar yang Thalassa tebak adalah dapur dan ruang makan. Saat pintu dibuka, semua orang-orang yang tengah sibuk bercengkrama seraya menikmati makan siangnya menoleh ke depan pintu. Thalassa semakin gelisah, refleks dia menundukkan kepalanya dan mundur selangkah untuk bersembunyi di belakang kaki Benn.

“Hai anak kecil, ke marilah, jangan takut. Kau pasti lapar!”

Seorang pria bertubuh gempal mendekat. Dia mengenakan kaus hijau bergaris serta kaca mata bulat yang menutupi seluruh matanya yang kecil. Benn menatapnya, meyakinkan dirinya agar menerima ajakan sang koki. Dan butuh beberapa detik bagi Thalassa untuk memberanikan diri, dan masuk ke ruangan itu bersama Benn yang masih setia menggandeng tangannya. Mereka duduk di meja panjang yang telah diduduki oleh beberapa orang. Thalassa nyaris lupa bagaimana caranya bernapas saat semua orang melempar senyum tulus padanya.

“Siapa namamu, anak kecil?” tanya seorang pria yang duduk tepat di sampingnya. Pria itu berkulit cokelat gelap dengan rambut panjangnya yang gimbal.

“Tha—Thalassa.”

“Itu nama yang indah,” balasnya.

Thalassa mencoba untuk menatap wajah mereka satu persatu. Semua menatapnya dengan tatapan tulus. Tidak ada tatapan menjijikan dan kebencian terhadap dirinya. Entah kenapa ini terasa hangat dan berhasil membuat Thalassa ikut tersenyum.

Namun saat pandangannya beralih pada seorang pria berambut merah di ujung meja sana, waktu terasa berhenti. Tubuh Thalassa terasa kaku. Memori-memori yang pernah ditanam oleh ibunya mencuat di kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang dan dadanya terasa sesak.

Benn yang merasa jika tatapan Shanks berbeda dari semua orang yang ada di ruang makan, cepat-cepat berdeham dan mengusap punggung Thalassa. “Dia Kapten  kami. Kau tidak perlu takut.”

Perlahan Thalassa mencoba untuk menenangkan dirinya, dia beralih menatap seorang gadis kecil yang sepertinya beberapa tahun lebih tua darinya, duduk di sebelah sang kapten. Gadis itu memiliki 2 warna rambut. Setengah merah, setengah sisi lainnya bewarna putih. Mata violetnya menatap Thalassa penasaran.

“Ayah, mata birunya sangat indah!” ucapnya seraya menyentuh lengan pria berambut merah di sampingnya.

Thalassa lagi-lagi terdiam mendengarnya. Ayah? Gadis berambut merah putih itu memanggilnya ayah?

* * *

Note:

Noli Timere (latina) don't be afraid.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top