03 | Cingulomania
Nerina sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu. Dia hidup sebatang kara bersama putrinya dan mengalami banyak diskriminasi oleh masyarakat desa. Banyak rumor yang bilang, wanita itu adalah seorang penyihir gelap yang suka mencuri organ dalam anak kecil. Sebab ada legenda dari nenek moyang yang mengatakan, ciri-ciri seorang penyihir adalah mereka yang memiliki tanda bulan sabit di punggungnya. Nerina dan putrinya memilikinya, maka dari itu dia dianggap ancaman.
Kira-kira begitu informasi yang didapatkan oleh Benn maupun Shanks dari orang-orang di desa. Rencana untuk menemui Nerina pupus begitu saja. Bahkan Shanks meminta krunya untuk segera bergegas meninggalkan pulau tersebut. Mereka tidak ada alasan lagi berlama-lama di pulau tersebut.
“Aku berniat untuk membawa anak itu.”
Benn tiba-tiba menghampiri Shanks dan mengatakan hal yang cukup membuatnya terkejut. Pria berambut merah itu menukik alisnya, tanda tidak setuju.
“Alasan apa yang membuatmu ingin membawa gadis menyedihkan tersebut?”
Pria yang merupakan wakilnya itu memejamkan matanya sejenak. “Aku sudah menganggap Nerina sebagai adikku. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi adikku. Aku tidak ingin membiarkan putrinya tinggal seorang diri dan disiksa oleh orang-orang yang tidak mengenalnya!”
Shanks menyeringai. “Dia anak dari pria yang telah merebut wanitaku! Membawanya ke kapal, sama saja kau akan membangkitkan singa yang tertidur!”
Benn menatap Shanks tajam. “Kau tidak akan melakukannya,” ucapnya. Sukses membuat Shanks semakin kalut. “Kau tidak akan melukainya, karena kau masih mencintai Nerina!” lanjut Benn.
Sesuatu muncul seperti ada yang menghantam dada Shanks. Dia tersentak, tidak menyangka pria macam Benn akan melontarkan kalimat melankolis seperti itu padanya. “Omong kosong! Anak itu tidak kuizinkan naik ke kapalku!”
Pria berambut hitam panjang itu mengepalkan tangannya. “Kalau begitu keputusanmu, aku turun dari kapal.”
Jelas ucapan Benn sukses membuat Shanks terkejut. Pria berambut merah itu mendekat dan menarik bagian depan pakaian Benn seraya melotot tidak setuju. “What the hell are you talking about?!” tanyanya penuh dengan penekanan.
“I said I'll leave this ship to take care Nerina's daughter.”
“I don't give you any permission!” bentak Shanks.
“You know I don't need your permission Captain,” balas Benn dengan sarkastik. “Kau yang bilang semua orang di kapal ini adalah keluarga. Nerina masih bagian dari keluarga tersebut, aku tidak mau meninggalkan peninggalan satu-satunya tersiksa dan mati sia-sia!”
Shanks mati kutu. Dia membenci situasi ini. Benn adalah wakil kapten. Dia orang nomor dua di kelompok bajak laut Akagami. Bagaimana mungkin Shanks membiarkan rekannya pergi begitu saja meninggalkan kapal. “Damn it!” makinya.
“15 minutes!” putus Shanks.
Benn terdiam. Menerka sejenak maksud dari pria di hadapannya ini.
“Kuberi waktu 15 menit. Bawa anak itu ke kapal! Aku tidak mau berlama-lama di pulau menyedihkan ini!”
* * *
Tugas Thalassa di dapur toko roti adalah memanggang dan mengoleskan mentega saat roti baru diangkat dari oven. Pekerjaannya cukup menyenangkan, namun karena jam kerja yang over limit dan target penjualan yang tidak setara dengan karyawan, membuat gadis kecil itu harus mati-matian bekerja menangani job desk lain tanpa ada kenaikan upah. Tangannya terlalu kecil untuk mengangkat loyang besar ke dalam oven yang terkadang membuatnya ceroboh dan menjatuhkan loyang yang masih terdapat adonan mentah.
Thalassa tahu, dia yang sepenuhnya bersalah di sini. Dia ingin sekali minta maaf, tapi Tuan Hugo selalu lebih dulu memukulnya. Ditambah dia juga tidak bisa melawan mengingat hidupnya bergantungan dengan pekerjaan yang dia berikan. Ibunya bilang, kalau dia harus bertahan. Pasti akan ada keajaiban.
“Taruh loyang itu, Tikus! Ada pesanan 30 box roti cokelat ke rumah keluarga Ferdinand. Antar pesanan itu bersama Kevin! Ingat, jangan sampai ada kesalahan!”
Hari itu untuk sementara waktu dia dilepas tugaskan dari pekerjaannya di depan oven. Dia harus mengantar pesanan tersebut bersama Kevin, remaja berusia 15 tahun yang (mungkin) tidak terlalu akrab dengannya. Lagi pula, untuk apa bersikap baik dengan seonggok sampah sepertinya? Bahkan Kevin pernah menyiksanya dengan kejam seperti kebanyakan orang.
Tapi setidaknya dia bisa istirahat dari loyang-loyang yang kerap kali membuatnya takut terjatuh dan memancing emosi Tuan Hugo. Yeah, mungkin hati ini akan sedikit lumayan menyenangkan.
Sayangnya tidak ada hari beruntung di kalendernya. Ketika Kevin meninggalkannya saat beberapa preman menyadari keberadaannya dan menghadangnya. Mereka menyeretnya ke gang kecil, sedangkan Kevin membawa semua roti dan pergi tanpa dirinya. Thalassa hendak memanggil rekan kerjanya tersebut, tapi dirinya lebih dulu ditampar dengan keras oleh salah satu preman. Rasa panas langsung menyengat pipi kanannya.
Oh tidak. Lagi-lagi harinya hancur di pagi hari.
Baiklah, gadis itu bisa menahannya. Dia sudah mendapati perlakuan tak senonoh ini sejak lama. Seharusnya beberapa pukulan masih bisa dia tahan.
Ouch!
Satu pukulan berhasil mengenai ulu hatinya. Tapi itu masih tidak apa-apa. Lanjut dua pukulan mengenai perutnya membuatnya terjatuh membungkuk memegangi perut dan dadanya. Preman lainnya tidak mau kalah mereka ada yang mengambil sebilah kayu dan tanpa berpikir panjang memukul tubuh kecilnya berkali-kali hingga tersungkur di tanah. Pukulan di kepalanya, pukulan di tubuhnya dan pukulan di kakinya. Sebisa mungkin Thalassa menahan semua rasa sakit tersebut.
Salah satu dari mereka menarik lehernya hingga posisi tubuhnya terangkat. Gadis itu meronta-ronta karena merasa lehernya terasa sesak. Belum sampai di situ, preman itu melayang tinjunya berkali-kali ke wajahnya hingga rasa pusing menggerogoti kepalanya. Sial, tulang hidungnya sepertinya patah. Jika mereka terus menerus meninju wajahnya, dia akan mengalami pendarahan hebat.
“Katakan sesuatu, Sampah!” katanya seraya menghentikan aksinya sejenak.
Hal tersebut Thalassa gunakan untuk menarik napas. Hidung, leher dan dadanya terasa perih. Tapi syukurlah dia masih selamat.
Plak!
Oh iya. Pria itu tadi bertanya, dia lupa tidak segera menjawab. “Apa kau tuli, Sampah?! Katakan apa yang harus kau katakan!”
“Ampun ...”
Plak!
“Aku minta maaf ...”
Plak!
Oh, Ya Tuhan! Kepalanya terasa mau pecah.
“A—aku minta maaf!” ucap Thalassa dengan mata yang berkaca-kaca. “Maaf karena sudah lahir di dunia ini!”
Plak!
Cengkramannya lepas, namun itu tidak membuat Thalassa bisa bernapas lega, lantaran sepersekian detik berikutnya, pria itu menendang telak dadanya hingga tubuhnya terlempar ke tumpukan kayu bekas di gang kecil tersebut. Jelas gadis itu terkejut. Punggungnya langsung sakit. Pandangannya sudah semakin buram. Jika dia kembali dihajar secara bertubi-tubi lagi seperti sebelumnya, dia akan semaput. Padahal dia harus menyusul Kevin agar tidak diomeli Tuan Hugo. Dia tidak mau dipecat.
Sebab hanya pekerjaan itu yang bisa menerima sampah masyarakat sepertinya ini.
“Aku minta maaf ... Aku minta maaf ... Aku minta maaf.”
Thalassa tidak bisa melihat dengan jelas apa yang para preman itu lakukan sekarang. Telinganya mulai berdengung, matanya sudah berkunang-kunang. Sekedar untuk menoleh saja lehernya terasa sakit. Alhasil, dia hanya bisa mengucapkan sepatah kalimat minta maaf tersebut agar mereka mau memberikannya keringanan.
“Aku minta maaf ... Aku minta maaf ... Aku minta maaf sudah terlahir di dunia ... Aku minta maaf ...”
Thalassa terus terisak. Dia ketakutan. Rasanya jika terus begini, dia benar-benar ingin mati, namun dia tahu itu tidak akan mudah baginya.
“Thalassa.”
Tubuh gadis itu tersentak. Meski pandangannya terlihat buram akibat rasa sakit di kepalanya serta air mata yang membasahi bola matanya, dia dapat melihat seseorang bertubuh tegap berdiri di hadapannya. Bibir Thalassa semakin bergetar. “Aku minta maaf ... Hiks hiks ... Aku minta maaf sudah terlahir-hiks!”
“Thalassa, ini aku.”
Pria itu berjongkok di hadapannya. Tangan kekarnya mengusap air matanya hingga pandangannya sedikit terlihat lebih jelas.
“Benn?”
Benn tersenyum getir. Dia membetulkan rambut gadis itu yang menghalangi wajahnya. Kini terlihat jelas seburuk apa perlakuan orang-orang pada dirinya yang hanya sekedar anak kecil. Pria itu semakin yakin untuk membawanya pergi dari neraka ini secepat mungkin.
“Hiks, hiks ... Aku minta maaf, aku minta maaf ...”
“Kau tidak perlu minta maaf. Kau tidak melakukan kesalahan.” Pria itu dengan hati-hati menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. Dia memeluknya dengan penuh perasaan. “Kau tidak bersalah. Tidak perlu meminta maaf.”
Thalassa semakin menangis. Sudah lama dia tidak merasakan yang namanya dipeluk. Terakhir seseorang memeluknya, orang itu kemudian pergi untuk selama-lamanya. Dia tidak tahu harus bereaksi apa selain menangis dengan tersedu-sedan.
“Ayo kita pergi dari sini, Thalassa.”
* * *
Note:
Cingulomania (n.) a strong desire to hold a person in your arm.
Drop my tears down bitjh. Now I love you Benn.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top