02 | Suckrifice
Dia bukan Nerina.
Orang bodoh pun tahu, Nerina tidak mungkin menciut menjadi sosok anak kecil setelah menghilang kurang lebih 5 tahun lamanya. Siapapun gadis kecil itu, jelas dia bukan Nerina.
Sial. Persetan dengan wanita perak itu! Dia pergi dan tidak ingin lagi dicari setelah pertengkaran hebat mereka malam itu. Kepergiannya berhasil membuat semua orang bertanya-tanya, sebab dia pergi seakan-akan dunia melahapnya tanpa sisa. Semakin lama Shanks memikirkannya, dia semakin sadar jika penyihir pada dasarnya adalah makhluk yang amat licik. Pria itu sudah memberikan segalanya. Raganya, hatinya, pikirannya, semuanya. Lalu setelah semua itu dia berikan, wanita sialan itu justru pergi meninggalkannya beserta para krunya.
“Mungkin itu hanya kebetulan, Bos.”
Kalimat Roo, sang koki kapal membuyarkan lamunannya. Dia menoleh ke rekannya tersebut dan mengernyit. “Kuharap begitu.”
Roo menggaruk tengkuknya kikuk. “Atau mungkin bisa saja ... dia menggunakan trik sihir yang mengubah tubuhnya menjadi anak kecil. Kau tahu sehebat apa dia saat bersama kita dulu, bukan?”
Sehebat itu sampai berhasil menyihirnya hingga menjadi manusia paling bodoh di muka bumi.
“Dia bukan Nerina.” Benn muncul dan ikut bersandar di pagar pembatas. “Nerina tidak mungkin membiarkan dirinya dilecehkan seperti itu. Dia cukup kuat untuk melawan puluhan pria brengsek seperti mereka.”
“Jika itu bukan Nerina. Lalu siapa? Anaknya?” tanya Roo asal.
Shanks spontan tertawa sarkas. Tangannya mengepal dan tak lama dibenturkannya ke pagar pembatas. “Rupanya dia tipikal yang mudah melupakan masa lalu. Kalau itu benar anaknya, maka alasanku untuk bermalam di sini semakin jelas!”
Benn dan Roo terdiam. Mereka berdua saling tatap sebelum akhirnya berdeham menginterupsi. “Tapi Bos—”
“Kemungkinan besar dia pasti tinggal di pulau ini. Aku akan menemuinya dan menghunuskan pedangku tepat di dadanya!” ucapnya penuh dengan dendam. Sebab membayang wanita itu bercinta dan memiliki anak dengan pria lain membuat darahnya semakin mendidih.
“Shanks, kau tidak boleh mencari masalah di tempat ini. Penduduk di pulau ini anti dengan yang namanya bajak laut!”
Shanks tidak mengatakan apa-apa. Toh, dia bisa membunuh tanpa bersuara. Sial, belum apa-apa tangannya sudah terasa gatal.
“Bos, apa kau memikirkan apa yang aku pikirkan?” Roo tiba-tiba berceletuk. Baik Shanks maupun Benn menoleh dan mengerutkan keningnya.
“Apa?”
“Kau dan Nerina dulu memiliki hubungan lebih dari seorang sahabat. Mungkin saja anak itu—”
“Tidak mungkin.” Shanks langsung memotong. “Aku selalu menggunakan pengaman. Dia bukan anakku!”
Benn menghela napas panjang. Pria itu mengambil selinting rokok dan menaruhnya di celah bibirnya, sebelum akhirnya membakar ujungnya. “Terserah. Yang jelas besok kita harus kembali berlayar.”
Shanks berbalik badan dan pergi meninggalkan mereka. Dia kembali menuju kabinnya dan duduk di kursi kerjanya. Tangannya masih terkepal, matanya tertuju pada sebuah foto kecil yang terpajang di pinggir meja. Itu Nerina. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan wanita itu setelah sekian lama.
* * *
Katanya, selain terlahir sebagai sampah, dia juga ditakdirkan sebagai hama. Sulit untuk disingkirkan.
Berkali-kali orang berusaha menyiksanya, dia tidak akan mati semudah itu. Meskipun tulang-tulang di sekujur tubuhnya patah, keesokan harinya dia bisa kembali berjalan seakan-akan tidak terjadi apa-apa padanya. Pernah dia dicekoki sebotol racun mematikan, tapi pada akhirnya dia tidak mati. Hanya pingsan dan kejang-kejang selama semalaman. Jadi, itu mungkin salah satu alasannya mengapa orang-orang tega menganiaya bocah berusia 5 tahun itu tanpa takut akan membunuhnya.
Rutinitas sehari-harinya terbilang cukup sibuk. Selain menjadi samsak portable masyarakat, dia juga memiliki dua pekerjaan utama. Pagi-pagi biasanya dia akan mengantarkan sandwich buatan kepala desa ke para nelayan yang selalu memesan menu sarapan tersebut padanya. Kalau suasana hati para nelayan sedang bagus, mereka biasanya suka melayangkan ledekan yang menyayat hati.
“Totalnya 30.000 Berry.”
Salah satu nelayan yang merupakan ketua dari regunya tersenyum meledek. “Seperti biasa,Tikus. Refleksikan dirimu terlebih dahulu, baru aku akan bayar.”
Si Tikus menghela napas dengan pelan. Dia sudah sering diperlakukan seperti ini, seharusnya tidak apa-apa. Yeah, tidak apa-apa. Sebab jika dia marah, memberontak ataupun menangis yang ada urusannya jadi akan semakin panjang.
“Aku ... Tikus si Hama. Aku terlahir dari wanita hina ... Aku terlahir sebagai sampah ... Aku tidak berhak mendapatkan apapun ... karena aku lebih layak berada di tempat sampah.”
“Terakhir, Tikus. Katakan dengan lantang!” pinta nelayan itu seakan-akan menantangnya.
Si Tikus menundukkan kepalanya. Jika dia ketahuan melayangkan tatapan tajam, mereka pasti akan marah dan mengikat dirinya lalu menenggelamkannya di laut. Dia tidak tahu apakah kehabisan napas di dalam air akan benar-benar membunuhnya atau tidak.
“Aku ... Aku pantas mati!” katanya. “Aku pantas mati!”
“Sekali lagi!”
“AKU PANTAS MATI!!”
Gelak tawa terdengar tak lama kemudian. Mereka dengan enteng menertawakan dirinya yang hina ini seakan-akan dia adalah humor di pagi hari. Tapi gadis itu bisa apa? Dia tidak punya banyak pilihan selain direndahkan. Sebab sejak dia mengetahui jika dia hidup dan bernapas di dunia, dia sudah dipaksa untuk diperlakukan seperti ini. Percuma melawan, yang ada dia akan menerima rasa sakit berkali-kali lipat.
Meskipun dia tidak akan mati, namun tetap saja rasa sakit yang nyaris membunuhnya akan menggerogoti tubuhnya tanpa ampun. Itu lebih menyiksa dibanding kata mati itu sendiri.
Uang 30.000 Berry itu dilempar hingga mengenai wajahnya, lalu berhamburan di tanah. Gadis kecil itu berjongkok dan memungut uang-uang tersebut lalu bergegas pergi menuju toko roti. Tempat di mana dia menghabiskan waktunya hingga malam hari. Meskipun tempat itu bagai neraka, tapi hanya di sana dia diterima bekerja dan mendapatkan upah meski hanya sedikit.
Oh salah, biar dia ulangi. Dunia ini baginya bagai neraka. Orang-orang tidak ada yang baik seperti mendiang ibunya. Cita-citanya sejak dulu adalah mati menyusul wanita yang dia cintai itu. Tapi apa daya, dia sulit untuk mati. Ditambah ibunya memberikannya wasiat.
Untuk tetap hidup dan bertemu dengan pria itu.
“Kau baik-baik saja?”
Dia berhenti melangkah bersamaan dengan aktivitas melamunnya yang juga terhenti. Gadis itu mendongak, tapi buru-buru dia kembali menunduk menatap sepasang sepatu boot milik pria yang ada di hadapannya. Sepertinya hari ini benar-benar sial. Ini masih sangat pagi, bahkan dia yakin pasar saja belum ramai. Tapi dia harus kembali babak belur?
Lihat sepatunya! Itu pasti berat dan kasar. Bagaimana jika mengenai kepala dan wajahnya. Dia pasti akan pingsan dalam sekali tendangan. Haruskah dia bersujud agar diberi ampun? Atau minimal bisakah pria itu menyiksanya nanti malam saja?
Pria itu berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan tingginya yang belum sampai sekaki orang dewasa. Gadis itu terkejut, terlebih saat melihat ekspresi pria itu yang tersenyum ramah. Dari semua orang yang pernah dia temui, hanya ibunya saja yang pernah tersenyum tulus seperti itu padanya.
Siapa pria ini? Kenapa dia tersenyum seperti itu padanya?
“Aku melihatmu semalam di bar. Kau baik-baik saja?” tanyanya. Matanya meneliti penampilannya yang beruntung semua memar dan lebam kemarin malam telah menghilang. Mungkin bibirnya saja yang sedikit pucat karena belum sarapan.
Lagi-lagi gadis itu tersentak saat pria itu mengangkat tangannya yang hendak menyentuh kepalanya untuk membetulkan helai rambutnya yang menutupi wajahnya. Sayangnya aksinya tersebut justru disalah artikan oleh gadis berusia 5 tahun tersebut. Sebab setiap orang yang mengangkat tangan ke arahnya, pasti akan berakhir pada sebuah pukulan atau tamparan yang menyakitkan. Alhasil, gadis itu mundur selangkah seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pria berambut hitam panjang itu tersenyum getir. “Tenang. Aku tidak berniat menyakitimu,” katanya, lagi-lagi terdengar lembut di telinga.
Pelan-pelan, gadis itu menurunkan tangannya dan mulai memberanikan diri menatap langsung wajah pria itu.
“Siapa namamu?” tanyanya.
Gadis itu lagi-lagi terdiam. Seumur hidupnya, dia tidak pernah mendengar pertanyaan tersebut. Siapa namanya? Bahkan orang-orang tidak peduli siapa namanya. Mereka memanggilnya dengan panggilan Tikus, Hama dan Sampah. Hanya ibunya seorang yang benar-benar memangil namanya dengan benar dan penuh kasih sayang.
Sebenarnya siapa orang ini? Kenapa dia begitu aneh? Kenapa pria ini tidak langsung memukulnya saja?
“Na—nama?”
“Yeah, namamu. Namaku Benn, siapa namamu?”
“Na—namaku ... Namaku Tha—Thala ... Namaku Thalassa.”
Benn tersenyum. “Thalassa. Nama yang indah,” pujinya. Entah kenapa untuk pertama kalinya Thalassa bisa tersenyum karena sikap seseorang padanya. Rasanya dia ingin menangis sekarang juga.
“Ngomong-ngomong Thalassa, di mana ibumu?”
Bagai mendengar cermin yang retak, senyum Thalassa seketika luntur. Dia meremas ujung roknya dan kembali menunduk menatap ujung kakinya. “Ibu ... sudah tidak ada.”
* * *
Note:
Suckrifice (n.) doing what you must absolutely must do, even though you really, really hate it.
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top