07 | Zoilist

Menurut Thalassa, Uta adalah anak yang penuh bakat. Dia pandai membaca dan menghitung, dia juga pandai bernyanyi dan menggambar. Sangat berbanding terbalik dengannya yang sama sekali tidak pernah merasakan hal itu saat masih berada di pulau Deer. Dia hanya pernah diajarkan membaca oleh ibunya selama beberapa bulan hingga akhirnya Ibu jatuh sakit dan Thalassa disibukkan membantu merawat ibunya hingga beliau menghembuskan napas.

Itu sebabnya progres belajar Thalassa sedikit telat dibandingkan Uta yang katanya di usia 5 tahun sepertinya sudah lancar membaca, menulis dan menghitung. Beruntung Benn mau bersabar mengajarinya kembali dari awal, dan memotivasi gadis itu bahwa progres dan kesempatan orang itu beda-beda.

Satu bulan lebih Thalassa tinggal bersama mereka, semakin berkembang pula kemampuan belajarnya. Tapi tetap saja tidak bisa menandingi Uta yang sudah sangat lancar dan bisa dikatakan pintar. Pernah beberapa kali putri kapten tersebut merendahkannya karena tidak bisa lancar membaca beberapa kosa kata atau pernah dia terang-terangan meledeknya bodoh karena terlalu lama menghitung.

“Itu dibacanya menanggulangi, bukan mengulangi! Baca yang benar, dong!

Atau,

“Ya ampun lama sekali kau menghitung! Di sisi sampingnya ada 5 kotak, lalu di sisi atasnya ada 10 kotak. Kau tinggal kalikan saja 5 dikali 10, hasilnya 50, bodoh! Kalau kau menghitung satu-satu, itu terlalu lama!”

Saat itu Thalassa hanya tersenyum kuda seraya menggaruk kepalanya kikuk. Masalahnya, dia baru 2 minggu yang lalu kembali belajar dari awal. Dia juga belum belajar perkalian atau pembagian. Wajar saja jika Thalassa terlalu bodoh untuk ukuran Uta yang pintar. Tapi karena Thalassa bukan siapa-siapa—hanya bocah kabin yang menumpang hidup—alhasil dia hanya bisa menerima cemoohan itu untuk dijadikan bahan introspeksi diri.

“Aku bingung Paman, kenapa kau mau mengajari Thala yang bodoh dan super lambat ini? Lihat, dia membaca 2 paragraf saja lama sekali! Bagaimana jika harus membaca satu novel?” Uta pernah berkata demikian kepada Benn saat pria itu tengah melakukan sesi belajar bersama Thalassa.

Benn saat itu hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Thala itu berbeda, dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk belajar di usianya. Itu sebabnya dia sedikit terlambat.”

Saat itu, Thalassa ingin sekali memeluk Benn yang telah membelanya dan tidak ikut-ikutan mengatainya lambat dan bodoh.

Uta mendengkus kesal. Akhir-akhir ini, dia semakin memperlihatkan jika dia tidak suka dengan kehadirannya. Hal itu membuatku Thalassa jadi merasa canggung dan kurang nyaman saat bersamanya. Pasti saja ada hal yang membuat Uta meledeknya dan menyudutkannya hanya karena hal sepele.

“Kau bau bawang! Apa kau tidak mencuci tanganmu?!” tanya Uta saat mereka tengah menggambar di kabinnya. Seperti biasa gadis berambut merah putih itu meminjamkannya krayon dan pensil warna miliknya untuk digunakan bersama-sama.

Thalassa refleks mencium kedua telapak tangannya. Tadi siang dia memang membantu Roo mengupas kulit bawang. Dia bahkan sudah mencuci tangannya menggunakan sabun yang banyak. Tapi mungkin aroma bawangnya terlalu kuat hingga membekas seperti ini. “Ma—maaf, aku sudah mencuci tanganku. Tapi sepertinya baunya belum hilang.”

Uta memutar bola matanya jengah. Dia berdiri dan mengambil parfum di meja tolet, lalu tanpa aba-aba menyemprotkannya ke pada Thalassa banyak-banyak. Gadis berambut perak itu bahkan sampai terbatuk-batuk dibuatnya.

“Baiklah, sekarang sudah tidak bau. Lain kali, belilah parfum. Kalau kau sadar, kau itu terkadang bau dapur bercampur keringat dan matahari! Itu sangat menggangu!”

Lagi, Thalassa hanya tersenyum dan mengiyakan. Mungkin nanti dia mau meminta Benn membelikannya parfum khusus anak-anak (kalau diizinkan).

Pletak!

Thalassa terbelalak. Dia terkejut bukan main saat krayon yang tengah dia gunakan patah. Tubuh gadis itu seketika menegang, disusul oleh Uta yang terdiam menatap krayon bewarna hitam itu dengan datar.

Oh sial, dia akan mendapatkan masalah besar!

“U—Uta. A—aku minta maaf. A—aku tidak sengaja!”

* * *

Insiden krayon patah menjadi alasan Uta bersikap dingin kepadanya. Thalassa merasa takut. Tidurnya tidak tenang dan selalu memikirkan krayon hitam yang dia patahkan beberapa hari yang lalu. Dia terus memikirkan banyak cara bagaimana untuk bertanggung jawab mengganti rugi. Satu-satunya yang masuk akal adalah mengganti krayon tersebut dengan yang baru, yang tidak patah.

Akhirnya tepat pada saat kapal berlabuh, Thalassa ikut bersama Benn menyusuri pasar. Pria itu membelikannya beberapa setel pakaian dan jajanan pasar yang terlihat menggiurkan. Hingga kemudian gadis itu dengan ragu-ragu meminta sesuatu kepada pria berambut hitam panjang tersebut.

“Paman, apakah aku ... Boleh minta sesuatu?”

Benn menaikkan salah satu alisnya. Menunggu Thalassa melanjutkan kalimatnya barusan.

“Aku ... Merasa tidak enak selalu terus meminjam krayon kepada Uta. Kemarin aku tidak sengaja mematahkan krayonnya yang bewarna hitam. Aku khawatir dia marah padaku.”

“Jadi itu sebabnya kau tidak lagi bermain dengannya dua hari ini?” tanya Benn.

Thalassa mengangguk.

Ya Ampun, pantas saja dari kemarin gadis ini selalu murung. Ternyata ini sebabnya? Benn menyentuh kepalanya dan mengacak-acak rambut berwarna perak tersebut. “Baiklah. Ayo kita ke toko buku.”

Akhirnya, rencana Thalassa berjalan dengan mulus. Benn mau membelikannya krayon—meski isi dan warna tidak selengkap milik Uta, namun gadis itu bisa pastikan jika ada warna hitam di dalamnya. Dia akan menemui Uta dan mengganti krayon yang telah dia patahkan tersebut dengan yang baru. Maka dengan begitu mereka bisa kembali bermain.

Besoknya, saat kapal sudah kembali berlayar, Thalassa memberanikan diri datang menemui Uta. Dia tengah berbincang dengan ayahnya di dek atas, tapi itu tidak menyurutkan niat Thalassa untuk bertanggung jawab. Shanks yang sadar akan kehadirannya langsung menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Sedangkan Uta, dia langsung memandangnya tidak suka seraya berkacak pinggang.

“Ada apa?” tanyanya ketus.

Thalassa mencoba untuk mengusir rasa gugup dan gelisahnya sebab ditatap langsung oleh orang yang paling dia segani di kapal. “A—ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

“Sesuatu? Sesuatu apa?” tanyanya.

“A—ayo ke kabinku. Ba—barangnya ada di sana!” ajak Thalassa. Di pikirannya sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa menghindar dari pria berambut merah tersebut. Sebab tatapan pria itu benar-benar seperti ingin membunuhnya.

Beruntung Uta mengiyakan dan mereka pun bergegas menuju kabin Thalassa. Sesampai di sana, gadis itu memperlihatkan krayon barunya dan memberikan salah satu krayon berwarna hitam kepadanya. “Ini. Kau bisa menukarkan milikmu yang rusak dengan milikku. Aku minta maaf telah mematahkan krayonmu.”

“Kau sekarang sudah memiliki krayon?” Bukannya merespon usulan Thalassa, Uta justru malah bertanya. Kepalanya menoleh ke arah meja. Di sana tergeletak satu set pensil warna yang terlihat masih baru. “Bahkan sekarang kau juga sudah memiliki pensil warna?”

“... Ya? I—itu, Paman Benn—”

“Paman yang membelikanmu? Dia baik sekali, padahal kau bukan siapa-siapanya dia. Ayah bilang kau hanya anak yatim piatu yang dianggap sampah di desamu. Hal spesial apa yang dilihat Paman padamu, ya?” ucap Uta memotong kalimatnya.

Thalassa terdiam. Dia tidak menyangka gadis itu akan mengatakan hal tersebut tentangnya.

“Loh? Ada apa? Apakah aku salah berbicara?” tanya Uta. Gadis itu mengambil salah satu pensil warna di meja dan duduk di lantai. “Duduklah. Coba kulihat krayonnya,” pintanya.

Mau tidak mau, Thalassa menurut. Dia ikut duduk di hadapannya dan menaruh krayonnya di lantai. Uta meraih krayon hitam yang dimaksud olehnya itu dan tersenyum penuh arti. “Thala, sebenarnya kau tidak perlu repot-repot menggantikan krayonku,” ucapnya sembari tersenyum manis. “Itu hanya sebuah krayon. Santai saja.”

Hati Thalassa terasa lega. Dia tersenyum sumringah seraya menghela napas. Namun tanpa dia duga, tiba-tiba saja Uta mematahkan krayon hitam tersebut. Thalassa tersentak, dia nyaris tidak bernapas saat krayon itu terbelah menjadi dua. Dirinya semakin syok saat Uta tertawa manis melihat ekspresinya yang terkejut bukan main.

“Kau mematahkan krayonku, dan aku mematahkan krayonmu. Kita impas bukan?”

“...”

“Tapi karena sudah ada satu yang patah, bukankah lebih baik jika semuanya juga patah?” tanyanya.

Lalu tanpa bisa Thalassa tebak, Uta dengan gesit mematahkan krayon lainnya. Membuat mata biru laut tersebut terbelalak dan bibirnya memekik terkejut. “Tu—tunggu! Apa yang kau lakukan?!” tanya Thalassa. Gadis itu langsung menjauhkan kotak krayonnya dari Uta.

Untuk pertama kalinya dia berani menatap tajam Uta. Ada perasaan kesal dan marah kala melihat gadis itu dengan enteng mematahkan krayonnya. Lupakan dirinya yang hanya sekedar bocah kabin yang tidak memiliki orang tua. Juga lupakan dirinya yang bodoh dan memiliki masa lalu yang suram. Sebab orang bodoh sekalipun tidak ada yang suka ketika sesuatu yang dia miliki dan dia jaga baik-baik dirusak begitu saja tanpa alasan yang jelas

“Apa kau gila?! Benn baru kemarin membelikan krayon ini! Jika kau tidak suka, sebaiknya—”

Kalimat gadis itu terpotong saat Uta tiba-tiba menancapkan pensil warna yang sebelumnya dia pegang ke tangannya. Refleks Thalassa meringis seraya menatap temannya itu.

“Ternyata kau bisa berisik juga, ya? Bahkan kau juga sudah berani mengataiku gila,” ujarnya, semakin menekan ujung pensil di kulit tangannya. “Jika aku merusak krayonmu? Lalu apa? Tidak akan terjadi apa-apa padaku. Kau hanya anak yatim-piatu yang beruntung dibawa Benn tinggal bersama kita.”

Mendengar kalimat dari Uta, membuat Thalassa tanpa sadar meneteskan air mata. Dia lagi-lagi tidak menyangka Uta akan sejahat ini padanya.

“Oh, kau menangis?” ledeknya.

Buru-buru Thalassa mengusap matanya kasar. Menghapus air matanya yang luruh begitu saja. Kalau dipikir-pikir sudah lama dia tidak menangis. Ditambah dia menangis bukan karena rasa sakit di tangannya, namun hatinya terasa sakit mendengar temannya mengatakan hal tersebut padanya.

“Ayolah, yang aku katakan benar, bukan? Kenapa kau harus menangis?”

“...”

“Ingat, Thala. Kau tidak punya siapa-siapa di sini. Orang tuamu sudah tidak ada. Paman Benn juga bukan orang tuamu. So, you better know your place.”

* * *

Note:

Zoilist (n.) Someone who takes joy in finding fault.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top