Prolog

Nafasku berlomba diantara derap langkah berlari menyusuri stasiun untuk mengejar kereta api yang baru saja berangkat saat aku menginjakkan kakiku beberapa menit lalu ditempat ini. Kedua tungkaiku sudah mau lepas rasanya, tapi sekuat apapun aku mengejar tetap saja tak mampu mengimbangi kecepatan kereta api yang tengah melaju diiringi bunyi dua kali klakson itu.

Memilih menyerah, aku membungkukan tubuh sambil menumpukan tanganku dilutut dengan napas yang masih memburu. Asap kereta api mengepul ke udara saat keluar dari stasiun seakan melambaikan tangan sebagai ganti ucapan selamat tinggal.

Aku mendesah frustasi kala kutatap tiket kereta eksekutif yang telah dipesankan bunda jauh-jauh hari sebelumnya dengan harga yang lumayan mahal. Bunda tau aku tak terbiasa untuk berdesak-desakan jika menaiki kereta api kelas ekonomi yang biasanya penuh sesak apalagi di jam kerja begini. Akhirnya tiket ini harus hangus karena kecerobohanku yang terlambat bangun pagi.

Aku merogoh tas kecil yang sedari tadi menggantung di leherku saat mengejar kereta api itu, sedang tangan kananku sibuk menyeret koper dengan warna biru langit. Setidaknya aku masih bisa bernapas lega saat melihat isi dompetku yang masih cukup untuk membeli satu tiket lagi.

Sambil menunggu keberangkatan kereta berikutnya aku duduk santai memperhatikan stasiun kebanggan warga Malang ini. Kota yang menjadi saksi tangisan pertamaku di dunia ini sebentar lagi akan kutinggalkan bersama hiasan kenangan yang merenda di dinding waktu. Diantara langkah kaki orang yang berlalu lalang, kulihat seorang anak yang tengah menjajakan apel dengan warna merah yang menggoda.

"Hei dek, beli apelnya!" seruku yang langsung disambutnya dengan anggukan kecil.

"Mau beli berapa, kak?" tanya anak kecil itu setelah berlari-lari kearahku.

"Lima ya."

Tanpa mengucapkan apa apa lagi, anak kecil yang sepertinya baru berusia sepuluh tahunan itu mengambil lima buah apel besar besar yang kemudian diserahkannya padaku dengan kantong plastik berwarna putih buram.

"Wah, uangnya besar sekali kak! aku cari kembaliannya dulu ya," ujarnya ketika melihatku menyerahkan selembar uang kertas seratus ribuan.

Aku hanya meresponnya dengan anggukan, meski aku tau betul bahwa anak yang tengah mencari-cari uang kembaliannya di balik kotak kayu tempatnya menampung apel-apel itu takkan melihat tindakanku. Seorang ibu datang terburu buru menghampiri anak perempuan yang tadinya duduk di sampingku. Kudengar samar-samar sepasang ibu dan anak itu mengobrol. Tak mau jadi penguping, aku memilih kembali memperhatikan sekitar dan berlagak seolah tak menghiraukannya. Seakan penjual apel yang masih sibuk menghitung uangnya itu lebih menarik dari apapun juga.

Tapi diekor mataku aku masih bisa melihat saat ibu itu mulai menggendong anaknya seraya mengambil secarik tiket yang terletak di bangku panjang. Tunggu ... ya, anak perempuan di sampingku tadi memang juga membawa tiket, tapi apa tiket yang diambil oleh ibu tadi adalah tiket yang benar? Baru saja mulutku hendak terbuka untuk memanggil ibu-ibu dengan dandanan menor itu, suara anak penjual apel tadi mengalihkan fokusku.

"Kak, ini kembaliannya."

"Ya, terima kasih," kataku seraya menyambut uluran tangannya yang berisi uang kembalian.

Aku kembali teringat tentang tiket itu dan bergegas menuju tempat dudukku sebelumnya, dan rupanya persepsiku benar.

Tiketnya tertukar!

Aku mengumpat kesal atas kecerobohanku hingga akhirnya di pagi yang cerah ini, aku terpaksa harus menaiki kereta api kelas ekonomi yang benar-benar penuh. Berulang kali kugigit bibir bawah agar tak menimbulkan isakan diantara tangisanku. Setidaknya aku tak perlu membeli tiket lagi, karena jurusannya masih sama.

Mengantarkan aku ke tempat di mana apel yang tadi kubeli itu jadi terasa sangat manis dilidahku. Memang tak ada yang bisa mengalahkan pesona apel Malang. Apalagi jika memakannya ditempat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih sebelas jam lamanya, aku akhirnya sampai di ibu kota Jakarta dan berhasil menginjakkan kakiku di Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Jujur saja, ini pertama kalinya aku naik pesawat. Perjalananku belum selesai. Kakiku melangkah pasti diantara para pengunjung lain yang hilir mudik di bandara itu.

"Rome, i'm coming!"

***









Cerita ini di publish untuk ikut RWC bersama DolceMedia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top