2.Di Pagi Hari yang tak Bersalju

Aku kembali mencium aroma itu, kini aku tau itu adalah campuran wangi Apel, Vanila, dan Woody yang begitu khas. Namun, sekarang ditambah sedikit bau sup ayam. Ah, mungkinkah aku ada di surga sehingga apa yang kuinginkan didetik-detik terakhir hidupku bisa kudapatkan?

Kurasa benar, karena sekarangpun aku juga merasa sangat hangat seakan ada sebuah mantel lagi yang membungkus tubuhku. Aroma sup itu semakin kuat membuatku penasaran hingga memaksa untuk perlahan membuka mataku.

Pemandangan pertama yang kulihat adalah sesuatu yang melekat di tubuhku. Rupanya bukan mantel melainkan sebuah selimut. Lalu, sebuah tembok? Jadi, Apa aku tidak mati? lantas di mana ini? Apa seseorang menolongku dan membawaku ke rumah sakit? Tidak, sepertinya bukan. Dinding rumah ini berwarna biru navy dan sedikit aksen warna biru dongker di lain sisinya. Rumah sakit tidak akan memiliki warna seperti itu. Kecuali mungkin di Roma begitu.

Ke samping, kulihat seorang pria tengah berkutat di depan pantry dengan celemek yang melekat di badannya. Hanya kurang topi putih yang biasanya menjulang tinggi di atas kepala, maka ia akan terlihat seperti koki. Apa aku ada di restoran? Ah, tidak mungkin.

"Dove sono?" tanyaku pelan membuat pria itu menghentikan aktifitasnya dan berbalik ke arahku.

Kedua bola mataku langsung menangkap wajah sesosok malaikat dengan mata abu abu yang lembut. Rupanya ini surga, nyatanya ada malaikat di depanku.

"Kau sudah bangun?"

Mataku seketika membelalak. Bukan karena nada suaranya yang berat dan merdu itu, tapi sebuah fakta bahwa ia baru saja mengucapkan sepatah kata berbahasa Indonesia.

"Ini di apartemenku," jelasnya tanpa harus lebih dulu kutanyakan.

"Oh, rupanya bukan surga," gumamku.

"Apa?" tanyanya bingung, mungkin karena mendengar gumaman kecilku barusan.

"Bukan apa-apa," jawabku mencoba membuatnya melupakan kata-kata konyol itu.
"Kenapa aku bisa ada disini?"

"Kemarin aku melihatmu hampir mati di depan Colloseum." Pemuda itu mendekat, aroma apel dan kawan-kawannya menyeruak memanjakan indra penciumanku, sekarang bisa kutebak dari mana aroma itu berasal.

Aku berdeham sekali. "Dari mana kau tau aku orang Indonesia?"

Kuakui itu pertanyaan paling aneh dan tidak penting dari segala pertanyaan yang ada. Hanya saja dengan kulit putih, mata besar dan bibir yang kecil, orang-orang bilang wajahku lebih mirip idol korea dibanding indonesia, Serius!

"Aku lihat paspormu."

Kata-kata singkatnya itu mampu membuatku terlonjak dan langsung mencari keberadaan mantelku. Mengecek kebenaran ucapannya kalau pasporku masih setia bersamaku. Aku menghela napas lega. Ia memang benar-benar masih berada di sini. Waktu itu koperku sangat penuh dengan baju sehingga aku harus meletakkan paspor dan dokumen penting untuk beasiswaku di kantong mantel yang lumayan besar. Untunglah ...

"Makanlah ini," kata pria itu lagi sambil menyerahkan semangkuk sup.

Asapnya menari-nari di udara hingga sampai ke hidungku dan menguasainya sepenuhnya. Menyingkirkan aroma apel itu untuk sesaat. Tanganku terulur untuk menyambut mangkuk kecil yang ia sodorkan tapi tiba-tiba berhenti ketika sebuah ekspektasi melintas di benakku.

"Itu tidak beracun," katanya, lagi-lagi seakan dapat membaca pikiranku.

Ia membuatku tertawa kecil lalu tanpa ragu lagi meraih sup hangat itu. Sambil menemaniku memakan sup buatannya, pria itu beranjak menjauh menuju balkon apartemen yang ditutupi sehelai kain tipis berwarna biru yang berada di balik sofa tempatku duduk.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan di sana?"

Aku batal menghirup kuah kaldu kedua yang sudah kusendokkan ke depan mulut dan mulai mengingat kejadian itu.
"Sebenarnya aku ditipu," jawabku dengan sedikit malu.

"Sesuai dugaanku," katanya seraya melipat tangannya di depan dada.
"Kau baru pertama kali ke sini?"

Ia berbalik untuk sekedar melihatku menganggukan kepala sedang tubuhnya di tumpukan pada birai balkon yang menegaskan bahwa apartemen ini mungkin berada cukup tinggi dari permukaan tanah, bisa kutebak sepuluh atau belasan lantai.

"Iya, ini bahkan pertama kalinya aku ke luar negeri."

"Kau pasti di datangi para pria ramah yang kemudian mengajakmu berfoto di depan Colloseum," tebaknya dengan tepat di iringi tatapan tajam dari iris mata berwarna abu-abu itu.

Lagi-lagi pemuda itu harus membuatku melebarkan mata sembari mempertanyakan dalam hati, dia ini siapa? Jangan-jangan dia peramal hingga bisa menebak dengan begitu tepat.

"Itu memang sudah menjadi modus kejahatan di Italia," lanjutnya lagi yang membuat semua prasangkaku hilang seketika.

"Jadi mereka sudah sering melakukannya? Kenapa tidak ada yang melapor?"

"Bukan mereka saja, ada banyak yang melakukan hal seperti itu," Pria itu berhenti menatapku dan kembali melihat ke arah barisan gedung bertingkat di luar sana.
"Biasanya sasaran mereka adalah para wisatawan yang memang belum terlalu hafal seluk beluk Roma dengan segala ancamannya."

"Yah, mereka mendatangi orang yang tepat." Aku merutuki diriku sendiri dan mengikutinya menuju balkon.

"Dan bahkan kalau di jalanan kau lihat ada yang melempar bayi dari dalam mobil, jangan dikejar. Kalau tidak, mereka akan merampokmu."

"Kejam sekali pada bay---"

"Itu bukan bayi, hanya boneka."

"Bagaimanapun mereka sudah mengambil uangku dan sekarang aku tak tau harus bagaimana." Saat melirik sebentar, dapat kulihat ia  tengah menikmati sapaan angin pagi yang belum terlalu dingin.
"Bolehkah aku tinggal di sini?"

"Apa?" teriaknya terlonjak kaget atas pertanyaan---ralat---permintaanku.

Iya, ini gila, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak mengenal siapa siapa di sini. Lagi pula aku kehilangan kontak dengan lembaga yang membiayai beasiswaku.

"Tidak lama, hanya sementara saat aku sudah bisa menemukan apartemen sendiri," pintaku memelas.

"Tapi----"

"Kumohon."

Pria itu tampak berpikir. Aku tau rasanya canggung sekali jika membiarkan orang yang baru saja dikenal untuk ikut tinggal walau hanya beberapa waktu. Akupun sadar diri kalau aku adalah seorang gadis, tidak seharusnya merengek pada seorang pria agar bisa tinggal di kediamannya. Tapi, apa boleh buat?

"Baiklah tapi hanya sampai kau menemukan apartemenmu, segera," katanya setelah menimbang-nimbang cukup lama.

"Terima kasih, kau baik sekali, by the way kita belum kenalan kan? Namaku Salju."

"Aku sudah tau dari paspormu."
Pria itu lagi-lagi tersenyum bak malaikat.
"Namaku Angkasa, kau bisa panggil Anka"

Walaupun sebenarnya aku yang pertama-tama memperkenalkan diri, tetapi Anka lah yang mulai mengulurkan tanggannya lebih dulu. Saat itu, entah kenapa malah membuat aku merasa seperti mengalami deja vu?

"Rupanya ada," lirihku

"Benar-benar ada." Perlahan kudengar ia menggumam.

"Apa?"

"Oh ya, aku harus pergi bekerja," kata Anka setelah melirik sebentar ke arah arlojinya dan beralih mengambil mantel biru dongker miliknya.

"I ... iya."

"Jika kau keluar rumah jangan lupa untuk mengunci pintu," pesannya seraya melangkah keluar.

Tak berselang berapa lama, kepala Anka kembali menyembul dari balik pintu membuatku sedikit tersentak karenanya.
"Satu hal lagi, jangan sampai orang orang berpikir yang aneh-aneh tentang kau yang ada di rumahku."

Aku mengangguk pelan. Tempat ini sepi seketika. Mungkin Anka memang hanya tinggal sendirian di sini. Aku melihat sekeliling dan mendapati ruangan apartemen ini cukup berantakan. Dapat kumaklumi karena Anka memang seorang pemuda.

Aku mulai meletakkan beberapa bumbu dapur yang ia letakkan sembarangan di pantry itu kembali ketempatnya. Lalu menyapu beberapa bagian diantaranya yang terjatuh di lantai. Kupikir tidak ada yang salah kalau aku membantu membersihkan apartemen milik orang yang telah menyelamatkan nyawaku.
Setelah mengikat rambutku yang semenjak tadi hanya tergerai bebas, aku kembali memunguti beberapa sampah yang lolos dari tempatnya karena mulai terisi penuh, lalu membuangnya keluar.

Aku naik ke atas atap apartemen ini dengan membawa ember yang berisi pakaian yang telah kucuci. Rupanya dugaanku benar, di atap memang disediakan banyak media untuk menjemur cucian. Aku melihat banyak ibu-ibu yang juga menjemur baju di sana. Pagi ini salju belum turun, meski kemarin hampir saja menjadi malaikat pencabut nyawaku.

Kudengar, perubahan cuaca yang aneh seperti itu memang kadang bisa terjadi disebabkan pemanasan global yang memang telah menyentuh hampir seluruh belahan bumi. Aku tak sengaja menjatuhkan ember berisi cucian itu, untungnya isinya tidak sampai keluar sehingga aku tidak perlu lagi mencucinya kembali. Suara berisik dari ember yang jatuh itupun membuat para ibu menengok kearahku serentak. Akhirnya, tersenyum adalah satu satunya hal yang bisa kulakukan untuk menutupi suasana awkward ini.

"Are you ok?" tanya seorang ibu dengan bahasa inggris, mungkin dia belum lama tinggal di sini.

"Tidak apa," kataku pelan sambil menghampiri jemuran baju itu.
"Apa aku boleh menjemurnya di sini?"

"Tentu saja," jawab yang lain.

"Kau baru ya? dari kamar mana?" Seorang ibu kembali bertanya padaku, kali ini dengan logat Italia yang kental.

"Aku dari kamar nomer 303," jawabku setelah mengingat ingat nomer yang tertera di depan pintu Anka.

"Oh, bukankah itu apartemen Chef Anka?" Seorang ibu yang telah selesai menjemur pakaiannya tampaknya sadar tentang hal itu.

Aku tertegun mendengar kata 'Chef ' yang dikatakan ibu tadi. Namun, jika mengingat sup enak yang ia sajikan tadi aku yakin itu bukanlah sekedar bualan.

"Ya, kurasa begitu."

"Kau ini adiknya?" tanya kumpulan ibu itu lagi, dapat kutarik kesimpulan kalau ibu-ibu di sini hampir sama kepo-nya dengan ibu-ibu di Indonesia.

"Bukan."

"Kalau begitu saudaranya yang lain?"

"Bukan juga," kataku sambil sesekali melempar senyuman dibalik pakaian yang kujemur.

"Ah, aku tau kau pasti kekasihnya Chef Anka"

"Aku---"

"Kau ini bagaimana nyonya Smith, Chef Anka bukan anak muda yang dengan mudah membawa kekasihnya ke apartemen," kata seorang ibu yang bahasa italianya paling lancar diantara yang teman-temannya itu.

"Ya, aku memang tak sekalipun melihat seorang wanita masuk atau keluar dari apartemennya," bela yang lain.

"Jadi, kau ini pasti istrinya kan?" celetuk seorang ibu dengan mata sipit khas orang Tionghoa.

"Apa?"

Aku ingin mengelak, tapi tiba-tiba kata-kata Anka melintas didepan mataku.

... jangan sampai orang orang berpikir yang aneh aneh tentang kau yang ada dirumahku ...

Alhasil, aku malah mengangguk pelan.

"Nah benar, kan?" Ibu-ibu itu bersorak senang seperti telah memenangkan undian.

"Sayang sekali, sebenarnya aku berniat untuk mengenalkan Chef Anka pada putriku nanti," kata seorang ibu yang mungkin asli penduduk italia tadi.

***

Sudah dari beberapa jam yang lalu aku selesai membersihkan apartemen Anka yang berantakan. Sekarang aku hanya termenung sambil duduk di sofa yang tepat menghadap ke arah televisi. Jujur saja aku bosan. Beranjak dari tempat dudukku. Kuraih mantel yang tadi kugantungkan di dekat pintu dan mulai berjalan keluar rumah.

Kembali menyusuri jalanan Roma yang masih saja memutih di kanan dan kiri jalan meski pagi ini salju tak turun. Di ujung jalan itu aku melihat seorang anak dengan senyum cerahnya sedang memainkan biola bernada riang sedangkan orang di sekitarnya berlalu-lalang acuh.

Aku menghampiri anak itu tanpa takut akan hal yang terakhir kali kualami. Lagipula hal kejam macam apa yang bisa dilakukan seorang gadis kecil yang masih polos. Dia menatapku hangat dan tersenyum lembut sambil sesekali menggerakkan badannya mengikuti irama biola yang ia mainkan. Saat kujatuhkan beberapa keping logam uang Italia dia mengangguk seperti mengucapkan terima kasih tanpa berhenti memainkan biolanya. Kulihat kembali orang-orang di sekitar yang seakan tak melihat eksistensi gadis kecil yang sedang bermain biola walaupun sebenarnya lumayan bagus.

"Kau ingin kutunjukkan bagaimana caranya agar mendapat banyak uang?"

Gadis kecil itu menatapku dan berhenti bermain.
"Bagaimana caranya?"

"Pinjamkan aku biola itu."

.....

To Be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top