9. Calon Istri

Happy Reading

*****

"Yakin banget. Bukankah kamu yang selalu mengatakan padaku dulu. Setiap kali kamu minta dibuatkan kopi. Kamu akan selalu berkata takarannya," jawab Andini. Sama sekali tak gentar dengan wajah garang Rasya.

"Kalau begitu, coba sebutkan!"

"Harus, ya?" Andini mulai jengkel. Akan melanjutkan perkataan, terdengar dering panggilan masuk di ponselnya.

"Ya, Sayang. Ada apa?" tanya Andini saat mengangkat ponselnya. Jelas terlihat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan itu pamit tanpa suara pada rekan-rekannya yang lain. Jelas hal itu makin menimbulkan kecurigaan sang mantan.

Lirikan Rasya begitu tajam. Mengkode sahabatnya untuk memastikan pendengaran tidak salah menangkap suara Andini tadi.

"Anaknya kali. Gitu aja cemburu."

"Aku nggak cemburu. Cuma memastikan kabar yang aku dapat semalam. Tapi, hari ini dia sudah memanggil sayang pada orang lain. Rancu, kan, jadinya." Mencoba menutupi kegalauan hati, lelaki berkulit kuning langsat itu mencemooh sang mantan.

"Kalau mau berjuang mendapatkan Andini lagi. Sebaiknya, kamu dekati sayangnya itu," sahut Pratiwi. Walau tak begitu jelas mendengar percakapan kedua lelaki tersebut. Namun, Pratiwi bisa memastikan jika yang mereka bicarakan adalah sahabat baiknya.

"Siapa juga yang mau balikan sama dia. Aku bukan pebinor, ya." Rasya melengos. Kembali menatap layar laptop untuk menenangkan hatinya yang sejak tadi bergemuruh hebat.

"Hampir saja aku tertipu. Kukira, kopi yang dibuat tadi menunjukkan perasaannya yang masih sama seperti dulu. Ternyata aku salah. Ingat pada kebiasaanku minum kopi bukan berarti dia masih menyimpan cinta itu. Bodoh," umpat Rasya dalam hati pada dirinya sendiri.

"Dav, kamu nggak cerita sama Rasya tentang suami Andini?" Pratiwi menatap serius rekan kerja sekaligus mantannya.

"Nggak usah pura-pura bodoh, Ras," kata Davit, "jangan tertipu oleh tipu muslihatnya, Wi."

"Hmm. Rupanya seperti itu." Merotasi bola mata, Pratiwi mulai malas dengan sikap Rasya. "Semula, aku berpikir kamu akan berjuang mendapatkan Andini, tapi kayaknya aku salah. Kamu pasti cuma mau balas dendam karena perbuatannya dulu."

"Nggak gitu juga, Wi," sanggah sang pemimpin Zafir grup.

"Ini ada apa?" tanya Andini. Dia merasakan aura perdebatan. Saat tatapan Rasya bertemu dengannya, ada kemarahan yang jelas terlihat.

Rasya sengaja membuang muka demi menghindari kemarahan yang makin menjadi. Dia sengaja mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya untuk mengalihkan perhatian.

"Ya, Mi," kata Rasya. Mendengarkan  beberapa detik perkataan lawan bicaranya. Lelaki itupun menjawab. "Sudah kubilang. Jangan membuat kencan-kencan nggak jelas lagi. Aku sudah punya calon sendiri."

Hening, ketiga rekan kerjanya saling menatap satu sama lain. Andini bahkan mengumpat dalam hati. Rasa bersalah yang semula ada, kini berganti. Semula, dia menganggap jika Rasya menjomblo karena belum bisa move on darinya, tetapi semua pemikiran itu terbantahkan setelah mendengar perkataan tadi.

Davit tertawa, lalu berkata dengan lirih pada sahabatnya. "Kali ini wanita mana lagi yang kamu akui sebagai kekasihmu."

Rasya membalas perkataan sang sahabat dengan menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. Tanda bahwa Davit harus diam.

"Aku nggak bohong. Nanti, akan kukenalkan pada Mami. Kirim saja nama restorannya."

Setelah panggilan Rasya selesai, semua orang diam. Larut dalam pekerjaan dan pikiran masing-masing. Tak ada perdebatan tentang masalah pribadi seperti sebelum-sebelumnya.

Waktu terus berlalu, mereka berempat terus bekerja tanpa mengenal lelah. Cuma terjeda karena salat dan makan siang saja.Rasya bahkan sangat serius meneliti semua laporan MCD kafe yang sudah dia dapatkan dari Andini.

Rasya melirik arlojinya ketika kemilau jingga mulai terlihat. "Sepertinya, sudah waktunya makan malam. Bagaimana kalau kita semua makan dulu. Aku yang traktir."

"Bukankah kamu ada janji makan malam dengan mamimu," jawab Andini, "aku pulang saja. Sekalian salat Magrib. Panggeranku pasti sudah menunggu di rumah."

Kalimat yang dilontarkan Andini sungguh ambigu membuat Rasya begitu cemburu. Ingin sekali mengetahui siapa pangeran yang dia maksud. Kemarahan itu mencuat tanpa alasan yang jelas, hanya karena Andini menyebut seseorang dengan kata pangeran.

"Kenapa? Apa kamu takut bertemu dengan kekasihku jika kita makan malam bersama?" sahut Rasya.

"Aku nggak takut. Lagian kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi, bukan urusanku kamu mau mengenalkan cewek mana pun pada Tante Hawa."

Davit dan Pratiwi saling pandang. Mereka berdua menggelengkan kepala.

"Hadeh. Mulai lagi," kata Pratiwi

"Angel ... Angel kalau cinta lama belum kelar," tambah Davit

"Diam," bentak Andini dan Rasya berbarengan.

Andini menyambar tas dan memasukkan laptopnya. Lalu, memandang Rasya dengan tajam. "Ayo kita makan malam bersama. Aku nggak takut dengan ajakanmu."

"Tapi, Din. Kamu akan bertemu Tante Hawa," cegah Pratiwi.

"Kenapa jika bertemu mamiku?" tanya Rasya. Keningnya berkerut, dia seperti mencium sesuatu yang tidak beres.

Andini langsung menggelengkan kepala memberi kode pada Pratiwi agar tak menjelaskan apa pun. Kisahnya dengan Rasya sudah selesai sepuluh tahun yang lalu.

"Nggak ada apa-apa. Ayo berangkat sekarang. Kasihan cewekmu kalau sampai menunggu," sahut Andini. Dia sudah berdiri lebih dulu, berusaha tegar dan tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi nantinya. Bukankah masalah tidak akan pernah selesai jika kita terus menghindari. Sama halnya dengan kisah cintanya dan Rasya. Harus selesai tanpa ganjalan sama sekali. Jika bisa, dia hanya akan menganggap sang mantan sebatas rekan kerja sekaligus pemodal di kafenya.

Sepanjang perjalanan tak ada seorang pun yang berbicara. Mereka sengaja menggunakan kendaraannya Rasya karena setelah makan malam akan melanjutkan pekerjaan yang hampir selesai.

"Din, kamu yakin nggak masalah kalau ketemu Tante Hawa?" bisik Pratiwi, "dulu, dia."

"Hust," kata Andini disertai jari telunjuk yang menempel di bibir. Kepalanya juga ikut menggeleng tanda jika Pratiwi harus diam.

"Oke. Aku ngerti."

"Ada apa?" tanya Davit. Kepalanya menengok ke belakang, memastikan jika dua perempuan yang duduk di belakangnya baik-baik saja.

"Nggak usah kepo sama urusan cewek," sahut Pratiwi.

Tawa Rasya mengembang. "Sudahlah, Dav. Emang paling bener itu diam. Cewek itu maha benar."

"Nggak gitu juga. Kami akan mengalah dan minta maaf jika memang salah. Kalian saja yang terlalu egois," tambah Andini.

Sekarang, giliran Davit yang tertawa lebar. Seolah-olah mengolok-olok sahabatnya. Rasya seketika diam. Dia kembali fokus sampai di sebuah restoran tertutup.

Menunggu beberapa menit di meja yang telah dipesan Rasya. Entah mengapa jantung Andini berdetak tak karuan. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Sementara itu, sang mantan sok sibuk dengan ponselnya, entah siapa yang dihubungi.

"Jadi, di mana kekasih yang kamu katakan pada Tante Hawa tadi," tanya Davit.

"Tunggu sebentar. Dia masih di jalan," sahut Rasya. Davit tersenyum dengan bola mata yang memutar.

Pratiwi menyenggol lengan sahabatnya ketika melihat Hawa berjalan mendekati mereka. Di belakang perempuan paruh baya itu ada seorang cewek cantik dan seksi mengikuti langkahnya. Mendadak, Andini seperti kehabisan napas apalagi ketika Hawa sudah berada tepat di depannya.

"Jadi, mana perempuan yang kamu sebut pacar tadi?"

"Ini," tunjuk Rasya membuat Davit dan Pratiwi membulatkan mata. Semua orang menoleh, termasuk Andini yang sejak Hawa berada di dekatnya menundukkan pandangan.





*****
Banyuwangi, 28 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top