8. Kopi Kenangan

Happy Reading

*****
"Dih, ngapain aku melakukannya? Memangnya kamu siapa sampai aku harus memata-mataimu?" elak Rasya.

"Justru karena aku bukan siapa-siapamu, jadi dari mana kamu mendapatkan semua ini? Aku berhak tahu. Bukankah kamu sendiri yang ngomong jangan mudah percaya pada orang lain. Bisa jadi, kamu juga melakukan manipulasi data sehingga mencurigai tiga orang yang disebutkan tadi," cecar Andini. Rupanya, perempuan itu masih sangat penasaran.

"Bodoh," sentak Rasya. "Mana mungkin aku melakukannya. Apa kamu nggak sadar jika aku sudah menggunakan nama besar Zafir Grup sebagai jaminan."

Davit dan Pratiwi saling memandang kemudian mereka menggelengkan kepala.

"Mau sampai kapan berdebat?" sela Davit ketika Andini akan melemparkan kalimat bantahan.

"Masalah ini, harus cepat kita selesaikan. Jadi, jangan berdebat lagi," tambah Pratiwi, "selain bukti ini, apakah kamu punya bukti kecurangan lain. Misal percakapan ketiga orang yang dicurigai ini."

Beruntung, Pratiwi sudah memindahkan ketiga orang yang dicurigai Rasya ke cabang. Perempuan itu mendapat bocoran dari Davit untuk mengamankan mereka supaya tidak ikut campur dalam penyelidikan kasus pembagian hasil laba-rugi.

"Kalau masalah ini, aku perlu bantuan kalian," jawab Rasya.

"Misalnya?" Davit memicingkan mata.

"Bisa nggak salah satu kalian meminjam HP mereka. Lalu, kita cari nomer yang sedikit aneh dan sering dihubungi. Aku yakin, mereka nggak bekerja sendirian."

"Kalau kamu bisa mendapatkan manipulasi bukti transfer seperti tadi dengan mudah. Harusnya, kamu juga bisa menyadap Hp orang-orang ini tanpa salah satu dari kami mesti melakukan peminjaman," sahut Andini. Dia masih fokus melihat laporan dan bukti transfer serta mencocokkan dengan yang selama ini dipegang.

"Terlalu beresiko, Bi. Nggak semua orang mudah kita pinjam HP-nya." Perempuan itu mendongakkan kepala, menatap sang mantan penuh welas.

Bola mata Rasya membulat, tersentak mendengar kalimat panggilan dari bibir sang mantan. Sejak dulu, Andini sudah tidak pernah mau memanggil dengan panggilan mesra itu, meskipun si lelaki meminta. Bukan cuma Rasya yang terkejut, Davit dan Pratiwi juga terkejut mendengar panggilan itu.

Namun, keduanya memilih tersenyum. Apalagi ketika melihat raut wajah Andini yang tidak sadar dengan panggilannya tadi.

"As you wish. Aku akan mencoba sesuai saranmu," putus Rasya pada akhirnya. Hatinya terlalu bahagia membayangkan panggilan mesra dari sang mantan tadi. Jadi, walaupun harus sedikit bersusah payah mewujudkan keinginan Andini, dia rela melakukannya.

Pembahasan terus berlangsung hingga Andini mulai menguap.

"Dav, mau kopi?" tanya Andini ketika kantuk mulai menyerang. Perempuan itu melihat rekan kerjanya juga mulai kurang fokus akibat kantuk.

"Tentu, dong," jawab Davit, "tau aja kalau aku mulai ngantuk. Mata perih nih lihat angka di layar laptop."

"Aku juga mau, Say," sahut Pratiwi, "dari pagi belum ngopi. Kok, kepala berada pening, ya.

"Baru juga beberapa jam bekerja keras sudah mulai ngantuk semua. Payah," sindir Rasya, "Lagian, orang yang bekerja di sini bukan cuma Davit dan Tiwi. Kenapa cuma Davit yang ditawari."

Sekalipun berkata demikian keras, tetapi tatapan mata Rasya masih terpusat pada layar laptop.

"Ada yang cemburu, Nih," celetuk Davit.

"Apaan, sih," sahut Andini, "kekanakan." Dia berdiri hendak membuat kopi.

"Cemburu itu, hanya untuk orang yang saling mencintai. Aku dan Andini bukan pasangan seperti itu. Sudah nggak ada kata cinta dan hubungan apa-apa lagi sejak saat itu."

"Nggak perlu diperpanjang," cegah si perempuan berjilbab.

Andini melenggang pergi. Turun ke lantai dasar dan membuatkan seluruh rekan-rekannya minuman berkafein sesuai selera masing-masing walau tak mengiyakan permintaan Rasya tadi. Andini cukup peka dengan jawaban yang disampaikan sang mantan pada Davit bahwa lelaki itu juga ingin dibuatkan kopi.

Bayangan perempuan itu, terlempar ketika mengadakan kemah bersama teman-temannya di SMA. Malam itu, Rasya menempel di sisi kirinya ketika Andini akan membuatkan kopi untuk teman-teman.

"Yang, kalau buatin kopi. Gulanya setengah sendok saja, terus kopinya dua sendok teh," bisik Rasya saat itu.

"Pahit, dong." Tangan Andini sibuk memasukkan takaran sesuai yang diinginkan kekasihnya. Walau sempat protes, tetapi dia menuruti selera Rasya.

"Pahit apanya? Kopi itu akan terasa manis saat aku minum. Apalagi ada kamu di sampingku." Rasya tersenyum penuh cinta menatap sang kekasih yang wajahnya mulai bersemi merah karena gombalan.

"Sana kembali sama yang lain, Bi. Dikira nanti, kita lagi ngapa-ngapain," alibi Andini supaya Rasya tidak menempel padanya.

"Biarin. Aku masih mau di sini menemani bidadari surga." Rasya sengaja menambahkan gombalan membuat pipi Andini semakin merah.

"Apa, sih." Si perempuan mendorong kekasihnya supaya menjauh.

Lamunan  Andini buyar ketika teko yang dia panaskan berbunyi. Ibu satu anak itu tersenyum ketika mengingat semuanya. Walau bagaimanapun, perpisahannya dengan Rasya adalah sebuah keterpaksaan dan ketidakberdayaan yang harus dijalani.

"Maaf, jika aku menyakitimu," ucap Andini lirih. Segera menuangkan air panas ke cangkir.

Menyajikan kopi pada masing-masing rekan kerjanya. Tangan Andini bergetar hebat kala menyodorkan cangkir berisi kopi ke hadapan sang mantan.

"Ternyata aku dibuatkan juga," kata Rasya.

"Protes aja terus. Nggak dibuatin salah, dibuatin malah ngomel."

"Siapa yang ngomel?"

"Hadeh, kalian ini. Sejak tadi berdebat terus. Apa nggak bosen?" sela Pratiwi.

Rasya tersenyum tanpa mau menanggapi perkataan rekan-rekanya lebih lanjut. Lelaki itu lebih tertarik melihat pekatnya kopi yang tersaji di hadapannya. Menuang sedikit pada lepek, Rasya mengirup aroma kopi yang masih mengepulkan asap. Lalu, setelah beberapa kali meniup, matanya membulat sempurna.

"Kopi ini kamu yang buat apa orang lain?" sentak Rasya pada Andini.

"Kenapa? Bukankah takarannya sesuai dengan kopi favoritmu dulu?"

"Seyakin itu kamu mengenalku." Suara Rasya makin naik.








*****
Banyuwangi, 26 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top