10. Curiga

Happy Reading

*****

"Jangan sembarangan, Rasya!" bentak Andini, "Bukankah kekasihmu adalah cewek yang ada di belakang Tante Hawa?"

Perempuan yang berdiri di belakang Hawa, menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia tersenyum bingung sekaligus takut melihat tatapan majikannya. "Saya nggak punya hubungan apa pun dengan Pak Rasya, Bu. Bener, saya berani bersumpah," ucap si cewek. Jari tengah dan telunjuk ke atas sebagai bukti sumpahnya.

Cewek itu menatap Andini tajam. "Mbak jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Saya mana berani menaruh rasa pada Pak Rasya. Saya ini cuma perempuan biasa yang nggak pantas bersanding dengan beliau. Jangan fitnah, dong, Mbak. taruhannya pekerjaan saya, lho."

Andini terdiam, dia bahkan tidak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk dalam menyadari semua prasangkanya salah dan bisa menyebabkan orang lain dalam masalah. Tahu persis bagaimana watak Hawa dalam menjaga pergaulan putranya, mamanya Bisma berkata, "Maaf, jika saya salah."

Saat ini, Hawa masih diam dan berdiri menatap tajam ke arah putranya. Dia mulai menyadari jika Rasya masih penyimpan perasaan pada sang mantan kekasih. Padahal beberapa tahun belakangan, putranya itu sudah tidak pernah berhubungan dengan Andini. Namun, entah mengapa saat ini mereka malah makan malam bersama walau tidak berdua.

"Kamu nggak salah mengatakan dia pacar? Apa kamu buta, Ras?" amuk Hawa. Wajahnya memerah dengan mata melotot menatap Andini. Tak bisa lagi menahan kekesalan membayangkan Rasya kembali pada mantannya. "Dia itu wanita bersuami. Apa kamu mau disebut perusak rumah tangga orang lain. Ingat jabatan dan nama baik keluarga Zafir. Jika kabar ini beredar, perusahaan yang kamu pimpin sekarang pasti terdampak akibatnya."

"Kata siapa dia bersuami?" tantang Rasya. Terlalu santai lelaki itu menanggapi perkataan maminya. Dia bahkan pindah posisi, berdiri di sebelah Andini.

Mamanya Bisma diam seribu bahasa. Membantah perkataan orang tua perempuan Rasya sama dengan bunuh diri. Dia sudah pernah melakukannya dan berakhir dengan kesakitan hingga sekarang. Apa pun yang terjadi saat ini, Andini cuma berharap semua akan segera berakhir. Hidupnya kembali normal seperti sebalum kehadiran Rasya walau dia tengah berada dalam situasi sulit karena ditinggal sang suami yang entah di mana keberadaannya sekarang.

"Apa kamu wanita tak tahu diri, Din?" cibir Hawa. Aura kebencian begitu kuat terpancar di wajah. Bola mata melotot hampir keluar dari kelopaknya. Siapa pun, pasti akan keteakutan melihat kemarahan perempuan paruh baya itu sekarang.

"Kamu dulu meninggalkan Rasya dengan memilih lelaki matang dan kaya. Sekarang, saat anakku lebih bersinar dengan serakahnya kamu kembali. Kamu nggak ubahnya seperti pelacur jika seperti ini sama seperti ibumu, murahan."

"Mam!" teriak Rasya tak terima dengan perkataan Hawa.

"Tante!" rintih Andini. Hatinya benar-benar terluka. Tersayat oleh benda tak kasat mata. Harusnya, dia tidak terlalu sombong dengan mengabaikan peringatan dari Pratiwi tadi. Jika sudah begini, harga dirinya hilang dan diinjak-injak.

Semua orang yang ada di meja itu memprotes perkataan Hawa. Andini menarik napas panjang berusaha tetap tenang walau sakit itu kian mendera batinnya. Bukan sekali ini, dia mendapat hinaan dari perempuan paruh baya yang memakai kulot dan kemeja hitam di hadapannya.

"Kenapa diam?" tanya Hawa masih berusaha memancing emosi Andini, "Apa semua perkataanku benar? Kamu memang seperti pelacur berkedok perempuan lugu."

"Cukup, Tan," teriak Andini, "saya nggak pernah mimpi untuk kembali pada Rasya. Apa yang terjadi di masa lalu, sudah berakhir. Jadi, tolong tanya pada anak kesayangan Tante itu. Mengapa dia berkata sembarangan? Sejak tadi, saya berusaha diam, tapi mulut Tante begitu lancang menghina ibu. Asal tante tahu, kehidupan saya dan keluarga cukup bahagia sebelum kemunculan Rasya. Hinaan sepuluh tahun lalu, saya sudah memaafkan. Tapi, jika saat ini Tante kembali menginjak harga diri saya. Maka, dengan ini saya menyatakan perang." Andini dengan mata merah dan wajah penuh kemarahan, menyambar tas dan melenggang pergi meninggalkan semua orang di meja tersebut.

"Din, tunggu," teriak Pratiwi. Dia berusaha mengejar sahabatnya setelah pamit pada kedua rekan kerjanya. 

"Din, tunggu!" Pratiwi berusaha mengejar Andini sekuat tenaga.

Merasa namanya dipanggil, Andini menoleh dan menghentikan langkah ketika mengetahui Pratiwi mengejarnya. "Kenapa kamu mengejarku?" Air mata sudah meleleh menghiasi wajahnya.

Pratiwi memeluk sahabatnya erat. "Jangan menangis. Kamu pasti bisa melewati semua ini," bisiknya memberi semangat pada sang sahabat.

Sepeninggal dua perempuan tadi, tatapan Rasya tajam pada sang Mami. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun ketika mendengar perkataan jahat Hawa pada pujaannya.

"Ceritakan padaku apa yang terjadi sepuluh tahun lalu, Mi? Apa yang telah Mami lakukan? Apakah ini salah satu sebab Andini meminta putus?!" bentak Rasya.

*****
Banyuwangi, 29 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top