9. Semangkuk Bubur Penambah Semangat
Malam yang canggung bagi Anshel dan Eizan. Meski duduk di sofa yang sama, di bawah atap yang sama, tidak ada yang mau membuka mulutnya untuk mengatakan satu patah kata pun. Mereka justru menyibukkan diri masing-masing. Tak terduga, suara perut Eizan lah yang pertama kali memecah keheningan.
Tak mampu menahan tawa, Anshel membekap mulutnya, memalingkan wajahnya dari Eizan.
"Tertawa saja. Tidak ada yang melarangmu."
Baru saja Anshel tertawa lepas, perutnya juga sama berbunyi bahkan lebih nyaring dari Eizan. Sontak saja pipi Anshel memerah seperti tomat segar. Tak mau kalah, Eizan juga mengembalikan tawa lepas Anshel dengan cara membalasnya.
"Sepertinya kita sama-sama lapar."
"Baiklah, aku akan pergi keluar untuk membeli makanan." Eizan beranjak dari sofa hendak mengambil mantel.
"Tidak, tidak! Itu tidak perlu. Aku tadi membawa makanan mentah yang ada di kontrakan. Aku akan membuat tamagoyaki dan tumis sayur brokoli. Kau tinggal duduk manis dan menunggu di meja makan."
Anshel langsung berlari ke dapur. Dia membuka lemari pendingin, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk membuat tamago dan tumis sayur brokoli. Tamago adalah makanan khas negeri Matahari Terbit. Telur yang dikocok lepas, menggunakan irisan sayuran dan bumbu, lalu menuangkanya sedikit-sedikit ke dalam wajan. Jika sudah matang digulung-gulung tidak sampai habis karena akan ditambah lagi sisa adonan. Begitu saja terus sampai akhirnya adonan habis lalu dipotong kecil-kecil seperti sushi.
"Aku ragu kau bisa memasak." Merasa bosan menunggu, Eizan memutuskan pergi ke dapur melihat Anshel memasak.
"Kau bisa meremehkanku dalam hal apapun kecuali dalam urusan memasak." Tanpa melirik Eizan, Anshel fokus mengocok telur dan menuangkannya ke wajan.
Eizan hanya mengangguk-ngangguk sembari membuka lemari-lemari di dapur. Eizan menemukan kotak sereal yang sudah habis lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Oiya, saat sakit aku meminta serealmu."
"Bukan meminta, tapi menghabiskan." Eizan bersandar di lemari pendingin. Dia juga membukanya, tapi hanya minuman saja yang dia temukan.
Mencium aroma masakan yang menggugah selera, membangkitkan nafsu makan Eizan. Dia sampai menghampiri Anshel yang sedang memasak dan berdiri di belakangnya, memperhatikan.
"Ah, aku lupa!" Anshel reflek mundur, menginjak jari kaki Eizan. Eizan yang sedang berdiri di belakangnya pun meringis kesakitan.
Bukannya meminta maaf, Anshel justru tertawa dibuatnya. Menurut Anshel itu salahnya sendiri berdiri di belakangnya. Anshel sampai tak bisa bergerak dan fokus memasak saking gugupnya.
"Apa kau punya nasi?"
Eizan yang masih kesakitan lalu membuka rice cooker. Jawabannya adalah ... kosong. Jangankan nasi, sebutir beras pun tak nampak.
"Aku akan meminta nasi pada Lin."
°°
"Tidak ada. Aku tidak punya nasi." Lin dengan tega menutup pintu apartemennya begitu saja, menyisakan Eizan yang berdiri di luar sembari memegang piring kosong di tangannya.
Tidak ada pilihan lain. Padahal Eizan sedang tidak ingin menemui Elsa, tetapi ini demi keberlangsungan hidupnya dan Anshel.
"Oooh ... nasi. Sebentar. Masuklah dulu ke dalam."
Jika memasuki apartemen Elsa, itu jauh berbeda dari apartemen Eizan. Memiliki luas yang sama, tetapi nuansa elegan, nyaman, segar, dan penuh ketenangan seolah merasuki siapapun yang baru pertama kali memasuki apartemennya.
Menunggu Elsa menuangkan nasi ke piringnya, Eizan melihat-lihat kebun di balkon Elsa. Setiap orang pasti akan langsung mengetahui bahwa Elsa sangat menyukai tanaman. Buktinya berbagai tanaman singgah di sana. Mulai dari tanaman hias, tanaman obat, bumbu dapur, dan buah-buahan tersedia.
Dari semua itu, Eizan tertarik dengan dua kaktus mini yang sengaja dipisahkan di tempat berbeda, dekat jendela. Satu kaktus itu memang pemberian Eizan, dia masih ingat. Tapi, satunya lagi Eizan tidak tahu itu pemberian orang lain atau memang milik Elsa.
Untuk mengobati rasa penasarannya, Eizan mencoba melihat kaktus itu. Biasanya Elsa menuliskan sesuatu di bawah pot. Eizan ingat ketika pertama kali Eizan memberikan hadiah kaktus saat ulang tahunnya yang ke-17.
Baru saja Eizan memegang pot kaktus, Elsa lebih dulu menahan tangannya. "Sudah kubilang jangan menyentuh tanaman-tanamanku."
Eizan hanya tertawa renyah sementara sebelah tangannya menggaruk tengkuknya.
"Terimakasih atas nasinya."
Setelah Eizan menutup pintu dia lalu kembali ke apartemennya. Dari depan pintu aroma masakan ini makin menjadi-jadi. Sedikit berlari Eizan dapat melihat Anshel mengenakan celemek, mempersiapkan masakan yang masih mengepul di atas meja. Anshel juga sudah menyiapkan piring dan sendok untuk keduanya.
Eizan jugalah pria normal. Dari lubuk terdalam hatinya Eizan memuji penampilan Anshel yang menurutnya luar biasa, menawan.
Langsung saja Eizan duduk di kursi, berhadapan dengan Anshel. Anshel menuangkan nasi ke dalam piring kosong Eizan tak lupa sayur beserta tamago.
Eizan hanya menganga lebar melihat Anshel menyediakan semuanya untuk Eizan. Dari penilaian Eizan, tidak ada maksud terselubung di dalamnya. Hal itu terbukti dengan Anshel yang mengambil piring berisi nasi itu dan dia pakai untuknya sendiri.
Setelah berdo'a, mereka berdua makan dengan lahap. Sesekali Eizan dan Anshel mencocolkan tamago mereka pada saus sambal dan kecap asin.
"Enak. Ini enak. Ternyata kau memang memiliki bakat masak."
Pujian yang keluar dari mulut Anshel membuat Anshel terbang ke awang-awang. Anshel merasa bahwa akhirnya dia bisa berguna bagi Eizan.
"Sebaiknya kau berhenti saja dari kantormu itu. Kau bisa membuka rumah makan sendiri atau paling tidak menjadi asisten rumah tangga di rumahku nanti. Ha-ha-ha."
Padahal pujian Eizan membuat imajinasi Anshel berkelana. Tetapi, ketika melanjutkan perkataannya membuat Anhsel ingin sekali melempar piring pada wajah mulus Eizan.
Anshel buru-buru memakan makanannya. Hampir saja tersedak, tapi tidak jadi. Setelah selesai dia mencuci piringnya sendiri bersama alat-alat masak.
"Cuci piringnya sendiri. Aku tidak akan membantumu."
Anshel melpaskan celemeknya dan dia lipat untuk disimpan di lemari dapur. Hendak pergi, tiba-tiba
Hachim!
Makanan yang berada di mulut Eizan hampir saja menyembur keluar. Anshel segera berlari kembali untuk memeriksa Eizan.
Eizan beberapa kali bersin dan mengeluarkan lendir dari hidungnya. Sontak saja membuat Anshel panik dibuatnya.
Tanpa permisi, Anshel memegang kening Eizan. "Kau demam."
°°
Raut wajah yang asalnya terlihat segar bugar kini mendadak muram. Lingkar mata panda langsung terlihat dengan sangat jelas. Anshel menyelimuti seluruh tubuh Eizan dengan selimut, setelahnya Anshel mengganti kompresan beberapa menit sekali.
Eizan sudah menghubungi Dr. Mahendra. Dia tadi sempat datang memeriksa Eizan dan memberikan obat. Dr. Mahendra menyarankan Eizan untuk beristirahat sampai sembuh.
Jika saja tidak akan ada acara talk show itu Anshel tidak akan lebih khawatir dari ini. Bagaimana jika esok hari demamnya belum reda? Urusannya bisa barabe.
"Tidak perlu panik atau khawatir. Aku sangat yakin besok akan segera sembuh. Pergilah istirahat! Aku juga akan istirahat."
"Tidak! Saat aku sakit kau juga mengganti komperesanku. Aku harus melakukan hal yang sama."
"Jika kau kurang tidur, besok ketika talk show kau akan kehilangan fokus karena kurang tidur. Jangan sia-siakan usahamu. Besok aku akan sembuh."
"Tapi—"
"Ini perintah! Apa kau sudah lupa dengan perjanjian itu?"
Anshel terdiam sejenak dengan kain di tangannya. Kali ini Anshel tidak bisa menolak. Dia memutuskan menyimpan kain itu dan pergi meninggalkan Eizan.
Sebenarnya Anshel tidak sepenuhnya ingin meninggalkan kamar Eizan, tapi ini perintah. Anshel hanyalah orang asing. Lalu, sampai kapan Anshel harus menjadi orang asing bagi Eizan?
°°
Sebelum matahri terbit, Anshel sudah terbangun. Semalaman dia tidak bisa tidur nyenyak karena gugup, memikirkan syuting pertama kalinya bagi Anshel.
Anshel sedikit melamun sembari mengaduk-aduk bubur yang dia buat untuk Eizan. Sampai buburnya hampir jadi, pintu kamar Eizan terbuka.
Eizan meregangkan seluruh otot-ototnya. Sepertinya perkataannya itu benar. Eizan sembuh hanya dengan istirahat dan minum obat.
Dia mencium wangi masakan dari dapur. Siapa lagi kalau bukan Anshel yang sedang memasak.
Setelah mencuci muka, Eizan memutuskan untuk duduk di sofa, menonton telivisi sembari menunggu bubur jadi.
Anshel mematikan kompor dan menuangkan bubur ke dalam mangkuk. Asapnya masih mengepul. Dia hendak menuju ruang tempat Eizan duduk sebelum pintu apartemen Eizan terbuka.
"Eizan!" Dari balik pintu itu memperlihatkan seorang wanita masih mengenakan piyama, membawa mangkuk berisi bubur di tangannya.
"Semalam Anshel memberitahuku bahwa kau terkena demam. Aku sampai tak bisa tidur nyenyak memikirkanmu."
"Benarkah? Itu bagus aku tertarik mendengar ceritamu semalam, tapi yang lebih menarik perhatianku kali ini adalah bubur di tanganmu."
"Ah iya. Aku sudah membuatkan bubur kesukaanmu, Eizan."
Anshel hanya melihat itu dari dapur. Rasa kecewa tergambar jelas baik di wajah maupun gestur tubuhnya. Anshel tidak akan menganggu, dia memutuskan untuk makan sendiri di dapur. Memendam emosinya dalam diam.
"Benarkah? Kau membuatkan bubur untukku? Sudah lama sekali aku tidak memakan masakan buatanmu, Elsa. Semenjak aku sibuk kau juga ikut sibuk." Eizan mencebikkan bibirnya. Dia seperti anak kecil yang marah pada ibunya.
Elsa yang sibuk meniup bubur panas di sendok itu hanya tersenyum. Dia menyuapi bubur pada Eizan.
Ekspresi senang yang ditimbulkannya jelas berbeda dengan ekspresi yang ditimbulkan semalam. Eizan begitu senang dan lahap disuapi bubur oleh Elsa. Bahkan, dia terus memuji di setiap suapannya sampai mengatakan bahwa bubur buatan Elsa adalah bubur penambah semangat.
Eizan mengelus-ngelus rambut Elsa beberapa kali dan tawa kebahagiaan muncul di antara keduanya ketika bercerita.
Lin yang baru masuk ke apartemen pun mereka hanya menyapanya sekilas lalu mereka kembali mengobrol. Lin memutuskan untuk pergi ke dapur, menemani Anshel. Anshel sudah hilang semangat, terlihat dari bubur yang dia mainkan menggunakan sendok.
"Sudah kubilang kau akan menyaksikan banyak hal seperti ini. Jangan terlalu diambil hati, mereka sudah biasa seperti itu."
Lin benar. Anshel seharusnya tidak merasa marah apalagi cemburu. Elsa sudah lebih lama bersama Eizan daripada dirinya.
"Kau—"
"Kenapa? Kau tidak sadar aku memakan bubur ini dari tadi?"
Anshel hanya tersenyum, menggelengkan kepala kemudian melahap buburnya hingga habis. Sama dengan bubur yang habis di mangkuk Elsa.
"Karena bubur ini sudah habis, aku akan pulang dan mandi. Jika sudah memakan buburku, kupastikan kau sudah sehat." Sebelum pergi, Elsa mengacak-acak rambut Eizan, tak lupa Eizan berucap terimakasih.
Kini tersisa Anshel, Eizan, dan Lin. Keheningan sempat melanda. Eizan memutuskan beranjak dari sofa dan menuangkan bubur buatan Anshel pada mangkuk.
Eizan duduk di antara Lin dan Anshel yang sama-sama kebingungan melihat tingkahnya.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Aku belum kenyang, sehingga aku harus memakan bubur buatan Anshel."
Lin dan Anshel yang tadi diam melanjutkan makannya, sementara Elsa menuangkan lagi bubur ke mangkuknya. Eizan yang pertama menghabiskan bubur kemudian langsung pergi ke kamar mandi.
"Itu ucapan terimakasihnya. Dia menghargai masakan buatanmmu. Dia tidak ingin menyakiti perasaanmu."
Anshel tersenyum ketir.
"Kumohon maafkan Elsa. Dia adalah seseorang yang sangat baik. Kau tahu, Elsa dan Eizan itu seperti kakak beradik. Sering bertengkar, saling melindungi, saling membantu. Jadi bukannya dia tidak mengetahui itikad baikmu dan mencoba menyakiti perasaanmu."
Setelah mengatakan itu Lin juga telah menyelesaikan sarapannya. Dia beranjak pergi meninggalkan apartemen Eizan.
Anshel yang sempat termenung kembali bersemangat. "Anshel bodoh. Apa yang sebenernya kau pikirkan? Sudah jelas mereka itu sudah bersahabat lama. Tentu saja Elsa lebih peduli pada Eizan daripada dirinya.
°°
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top