8. Kepingan Puzzle
Dr. Mahendra menyarankan agar Anshel dibawa kembali besok siang, yang berarti hari sabtu siang. Dr. Mahendra mengatakan, jika Anshel sudah mengoleskan salep lebih dari dua belas jam barulah Dr. Mahendra bisa membersihkan luka bekas cacar meski tidak akan sepenuhnya hilang. Tapi, Dr. Mahendra yakin lukanya bisa disamarkan oleh foundation atau concealer.
Setelah keluar dari rumah sakit, Lin hendak membawa Anshel menuju tempat syuting Eizan. Lin sesekali melirik Anshel yang tengah sibuk menghapal dan membaca kertas.
Kertas lima lembar itu berisi tentang informasi Azel, Eizan, dan hubungan mereka. Eizan yakin bahwa hal itu sangat penting. Jika Anshel tidak mampu menjawab pertanyaan dari presenter nanti, netizen akan sangat beringas di dunia maya sana.
Lin sedikit khawatir dengan kondisi Anshel. Pasti sangat tertekan jika berada di posisi Anshel saat ini. Apalagi Anshel harus berpura-pura menjadi orang lain demi Eizan. Fans Eizan yang lain belum tentu mampu seperti Anshel.
Lampu merah jalanan membuat Lin mengentikan mobilnya, membiarkan orang-orang yang menunggu menyebrangi jalanan menyebrang.
Satu wanita yang menyebrang mampu memberikan ketertarikan pada Lin. Bukan karena ketertarikan ingin memiliki, tetapi Lin merasa tertarik karena wanita itu mengenakan aksesoris, pakaian, hingga sepatu serba hitam.
Hanya beberapa menit menunggu akhirnya lampu hijau menyala. Lin langsung menginjak pedal gas hingga mobil mampu melaju. Matanya masih saja penasaran dan melirik melalui spion kanan mobil.
Angin bertiup membawa informasi. Topi hitam yang dikenakan wanita itu sedikit terangkat. Wajah yang berlindung di balik topi bundar itu sekilas terlihat membuat Lin mengerem dadakan kendaraanya.
Anshel merasa beruntung dirinya menggunakan sabuk pengaman akibatnya dia tidak membentur kaca depan mobil.
"Ow. Hampir saja. Apa yang kau pikirkan, Lin? Bagaimana jika tabrakan beruntun terjadi?" Anshel menatap kesal pada Lin, tapi bukannya meminta maaf Lin justru memperhatikan spionnya tanpa melirik ke arah lain.
Membuat Anshel curiga dia memperhatikan ke arah belakang. Wanita berpakaian serba hitam itu melirik sekitar lalu menaiki mobil yang baru saja menepi.
"Siapa wanita itu Lin?"
"Aku akan menjelaskannya nanti. Sekarang kencangkan sabuk pengamanmu. Kita akan mengikuti mobil wanita itu."
Tanpa banyak tanya Anshel mengikuti interupsi Lin. Setelah mobil yang ditumpangi wanita itu melaju cukup jauh barulah Lin melajukan mobilnya. Dia berusaha mengikuti mobil wanita itu setidak mencurigakan mungkin.
Mobil itu menepi di sebuah restoran bintang tiga. Yang pertama turun dari mobil adalah seorang pria yang membukakan pintu wanitanya. Pria itu mengulurkan tangannya, diterima oleh wanitanya. Ketika berjalan pun mereka berdua berbincang-bincang dan si pria merangkul pinggang ramping si wanita hingga masuk ke dalam restoran.
Setelah memarkirkan kendaraannya barulah Lin dan Anshel turun dari mobil. Mereka berdua berjalan normal hingga sampai di depan pintu, pelayan pria langsung menghadang mereka.
"Permisi, Tuan dan Nyonya. Apa sebelumnya kalian sudah memesan kursi di restoran ini?"
Jika dilihat dari interior dan wangi semerbak yang dihasilkan, tak salah lagi kalau ini adalah restoran italia. Lin dan Anshel tidak memiliki akses untuk pergi ke dalam. Mereka belum pernah memesan kursi sebelumnya. Terpaksa mereka harus kembali dengan tangan kosong.
"Sial!" Membanting pintu dengan keras, Lin mengumpat.
"Kita hanya bisa menunggunya selesai makan dan pergi. Aku ingin tahu kemana wanita itu akan pergi."
Anshel yang sedari tadi kebingungan akhirnya berani mengajukan pertanyaan. "Sebenarnya siapa wanita itu?"
"Azel," jawab Lin singkat. Lin merasa bahwa hal ini tidak perlu dirahasiakan dari Anshel.
"Eh? Serius itu Azel?" Anshel tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.
"Selama ini aku memang belum pernah bertemu langsung dengan Azel. Aku selalu merasa curiga karena Azel meminta pada Eizan untuk tidak didampingi siapa pun jika sedang berkencan. Hanya Elsa yang pernah bertemu langsung dengannya."
"Lalu bagaimana kau bisa seyakin ini? Bagaimana jika itu orang yang salah."
"Meski Azel meminta hal aneh pada Eizan, tentu saja aku tidak membiarkan mereka berkencan tanpa pengawasanku. Meski aku hanya mengikuti mereka dari kejauhan aku dapat melihat dengan jelas lekuk wajahnya, lekuk tubuhnya, tinggi badannya, bentuk hidung, mata, dan bibirnya. Aku mengingatnya dengan sangat jelas."
Anshel diam sejenak. Dia mencoba mencerna kata-kata Lin yang diucapkan dari awal sampai akhir. Anshel merasa janggal dengan perkataan Lin tentang Elsa yang hanya pernah bertemu dengan Azel. Selama ini Anshel berpikir bahwa Lin yang pernah bertatap muka langsung dengan Azel jika mengingat kejadian malam itu. Tetapi, kenapa Elsa salah mengenali orang jika sebelumnya dia pernah bertemu dengan Azel? Anshel yakin Elsa tak seceroboh itu.
"Jika Elsa pernah bertemu dengan Azel, lantas mengapa dia menyeretku malam itu? Apa kalian ... mencoba mempermainkanku?"
Lin terdiam sejenak mendengar pernyataan sekaligus tuduhan dari Anshel. Mungkin Anshel ada benarnya juga, tapi sungguh Lin dan Elsa tak ada niatan mempermainkan Anshel.
Tatapan bersalah tersirat di mata Lin. "Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Biarkan Elsa yang memberitahunya secara langsung. Percayalah kami melakukannya demi kebaikan Eizan."
"Hah? Kalian melakukan ini semua demi kebaikan Eizan, tapi tak memikirkan diriku? Aku ini awalnya orang asing, loh buat kalian. Seegois inikah kalian menyeret orang asing?" Kesal. Jengkel. Sakit hati. Bercampur menjadi satu.
"Bukankah kau sendiri yang bersedia? Aku memang memaksamu, tapi Elsa tak demikian. Mungkin saja jika saat itu kau menolak permintaanku kau tidak akan di posisi ini, Anshel."
Kata-kata Lin memang ada benarnya. Sejak awal Anshel sudah mengambil resikonya. Seharusnya Anshel menolak, tapi dirinya sendiri yang memilih untuk terlibat hingga berada di posisi ini. Lagian, Anshel juga senang bisa mengukir kenangan semasa hidupnya dengan Eizan.
Perdebatan keduanya harus segera disudahi. Mereka kembali memerhatikan orang-orang yang keluar dari dalam restoran.
"Itu dia!" Anshel menunjuk ke arah pintu masuk restoran.
Mereka menunggu Azel menaiki mobil bersama pria tadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sih pria yang bersama Azel? Apa dia ... selingkuhannya?" Anshel menganga lebar. Kedua tangannya menyentuh pipi hingga matanya ikut tertarik.
Lin tak bergeming. Hanya wajah masamnya saja yang dapat Anshel lihat.
Mobil Azel perlahan melaju diikuti Lin. Lin dan Anshel tidak tahu seberapa jauh perjalanan yang akan mereka tempuh. Semakin jauh perjalanan, semakin asing tempat yang mereka jamah.
Bahkan Lin kebingungan dengan arah yang akan dituju oleh mobil Azel. Mereka mengambil arah menuju wilayah sepi. Sepanjang mata memandang hanya pepohonan pinus yang dapat terlihat. Hanya sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah pohon. Dinginnya seolah menyelimuti seluruh tubuh membuat bulu kuduk meremang. Meski pakaian panjang digunakan Anshel dan Lim, tetapi pakaian tipis itu tak mampu menghalau dinginnya hutan.
Jalanan ini membentang cukup panjang. Dari jarak pandangan Anshel dan Lin mereka akhirnya menemukan titik terang. Teriknya mentari akhirnya menghangatkan kembali tubuh Anshel dan Lin.
Ternyata setelah keluar hutan ada beberapa rumah dan bangunan berdiri di sana. Tidak sebanyak di kota, tetapi cukup untuk meramaikan daerah pinggiran kota.
Di antara banyaknya bangunan, ada satu bangunan yang mencolok. Bangunan bernuansa klasik khas Prancis. Di depannya dua orang penjaga dengan senjata laras panjang mempersilakan mobil Azel masuk. Lin terpaksa menghentikan mobilnya beberapa meter dari bangunan itu di depan restoran cepat saji.
"Sudah kuduga. Ada yang tidak beres dengan Azel." Lin tampak geram. Itu terlihat dirinya memukul stir cukup keras.
Anshel menaikan sebelah alisnya. Selama ini pikirannya terus memikirkan hubungan antara Eizan dan Azel. Anshel merasa bahwa sebenarnya cinta Eizan bertepuk sebelah tangan.
"Sudah lama aku ingin bertanya satu hal padamu Lin." Akhirnya Anshel memberanikan diri untuk bertanya.
"Apakah cinta Eizan pada Azel bertepuk sebelah tangan?" Anshel menunduk tak berani menatap Lin. Dia takut terlalu ikut campur dalam percintaan yang rumit ini.
Lin menatap Anshel. "Bagaimana bisa kau berpikir demikian?"
"Aa-aku hanya berspekulasi. Lupakan saja semuanya. A-aku mungkin salah."
"Apa yang kau rasakan juga sama seperti yang Aku dan Elsa rasakan." Lin akhirnya angkat bicara. "Azel selalu menghilang. Sangat sulit kadang mencari keberadaannya. Dia sangat aneh. Datang dan pergi sesuai keinginannya. Tidak ada seorangpun yang bisa mengendalikannya."
Mendapat jawaban dari Lin membuat Anshel teringat sesuatu. Anshel merogoh tasnya dan mengeluarkan puluhan struk yang dia temukan di tempat sampah.
"Aku menemukan banyaknya struk belanja di dalam tong sampah saat aku tidak sengaja menendang dan merapikannya kembali."
Lin memeriksa satu persatu struk itu. Isinya daftar belanjaan keperluan wanita. Tak hanya itu, struk transferan uang juga terselip di antranya.
"Ini sudah kelewatan. Wanita licik itu ternyata hanya memanfaatkan harta Eizan. Sihir apa yang digunakan wanita itu sampai-sampai Eizan mengeluarkan uang sebanyak ini hanya dalam satu hari."
"Hah? Darimana kau tahu satu hari?"
"Anshel, Eizan itu orang sibuk. Sudah kukatakan Azel itu tak bisa ditebak. Dia datang dan pergi sesuai keinginannya. Dia datang jika Eizan sedang luang. Dia pergi ketika Eizan kembali sibuk. Bukannya menemani, dia malah pergi dengan mudahnya. Dari penjelasanku kau bisa menyimpulkannya sendiri."
Lin kembali memerhatikan keadaan di depannya. Azel sepertinya sudah masuk ke dalam bangunan itu. Sangat mustahil bila Lin dan Anshel masuk begitu saja tanpa persiapan. Dilihat dari keamanannya saja Lin yakin itu bukan tempat biasa.
Sebelum memutuskan untuk kembali, Lin memotret bangunan di depannya. Nama "Big Black Box" menjadi perhatian Lin. Setelah pulang, Lin harus mencaritahu tentang tempat itu.
"Lin bisakah kita mampir ke kontrakanku dulu sebelum ke apartemen Eizan? Aku harus membawa beberapa pakaian. Tidak enak rasanya terus meminjam punya Elsa." Di perjalanan Anshel baru teringat suatu hal yang penting.
"Baiklah. Dengan senang hati."
°°°°
Di bawah atap salah satu apartemen kawasan elit, lampu menyala dengan terang. Elsa dan Eizan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tak berselang lama, Eizan melempar sebuah naskah ke atas meja membuat kening Elsa berkerut.
"Elsa. Bagaimana bisa kau menyarankan film aneh ini padaku." Eizan meletakan kedua tangannya di dada sementara bahunya bersandar di sofa.
Elsa keheranan. Apa maksud Eizan? Padahal dia sudah merekomendasikan film yang menurutnya bagus untuk Eizan. Sekedar informasi, sebelumnya Eizan tidak pernah menolak saran Elsa karena saran Elsa memang selalu membawa keberuntungan bagi Eizan. Elsa mengambil kembali naskah film dan membaca ulang isinya.
"Tidak ada yang aneh di dalamnya, kok. Ini hanya bercerita tentang seorang pria yang hendak melamar pacarnya, tetapi dia malah melamar kembaran—"
"Ya. Itu yang aneh, Elsa. Apa kau berniat menyindirku?"
Sebelah alis Elsa terangkat.
"Bagaimana mungkin Eizan. Aku hanya tidak ingin melihat kau terlalu kelelahan, sehingga memilihkan film yang tidak terlalu berat untukmu. Aku tidak ingin kau tertekan. Setelah masalah bertubi-tubi menimpamu, hanya ini yang bisa kulakukan." Elsa tertunduk lesu. Elsa hampir saja menangis sesenggukan jika Eizan tidak segera menghentikannya.
Eizan memegang tangan Elsa, menggenggamnya erat nan lembut. Eizan menyingkirkan rambut hitam lebat milik Elsa yang menghalangi pandangannya dan menyelipkannya ke telinga. Dia mengusap ujung mata Elsa, menyingkirkan air mata yang hampir mengalir deras.
"Kau sudah melakukan yang terbaik untukku, Elsa." Eizan mengangkat dagu Elsa dengan tangannya membuat Elsa menengadah menatap Eizan.
"Dengar. Tidak ada film yang ringan dan tidak membuatku lelah. Semua film baik bergenre; romance, action, fantasi, atau apapun aku harus berakting menggunakan seluruh jiwa dan raga. Tapi, aku heran. Kenapa genre romance yang selalu kau berikan padaku?"
"Itu karena aku ingin kau berubah."
Suasana melankolis kini berbuah menjadi suasana cukup tegang. "Aku ingin kau menemukan cinta sejatimu dan melupakanku sepenuhnya. Aku ingin kau mencintai wanita lain dengan tulus."
Eizan tak bergeming. Rahangnya seolah kaku, matanya juga memancarkan kesedihan yang mendalam dari relung hati terdalamnya. Perlu beberapa detik untuknya kembali normal. Untuk mengatasinya, Eizan tertawa canggung. Dia mencoba mencairkan suasana.
"Ma-mana mungkin a-aku belum melupakanmu. Apa kau bilang? Mencintai wanita dengan tulus? Tentu saja. Aku mencintai Azel dengan tulus. Kamu— ma-maksudku kau juga tahu itu."
Raut wajah Elsa tak berubah sedikitpun. Dia menatap dalam mata Eizan seolah kesedihan di mata Eizan dapat dia lihat dengan jelas.
"Mungkin kau bisa membohongi semua orang. Kau bisa bersandiwara. Tapi, kau tidak bisa membohongiku."
"Su-sudahlah. Baiklah, baiklah. Aku akan mengambil film itu. Sekarang kau senang, 'kan?"
Perlahan Elsa tersenyum lebar, cukup menyeramkan ketika Elsa menampakkan deretan gigi putihnya. "Benarkah? Serius?"
"Ya." Eizan yang merasa ketakutan melihat ekspresi Elsa sehingga hanya jawaban singkat yang lolos dari bibirnya.
Elsa langsung berdiri dan bersorak girang. Dia bahkan melompat ke sana kemari. Dari satu sofa ke sofa lain saking senangnya.
Eizan hanya tersenyum miring, menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh sungguh aneh. Entah mengapa Elsa sesenang itu ketika Eizan mengabulkan keingannya. Bahkan tanpa sadar Elsa mendekati Eizan dan mengecup pipinya.
"Terimakasih selalu mengabulkan keinginanku. Sekarang aku akan pulang."
Elsa keluar apartemen Eizan tanpa rasa bersalah. Sementara Eizan masih diam mematung, meraba pipinya perlahan. Sekilas Eizan tersenyum, tapi ekspresinya menunjukkan kesedihan.
"Bagaimana bisa aku melupakanmu jika kau terus memperlakukanku seperti ini, Elsa."
Baru saja Elsa keluar, Lin dan Anshel datang. Eizan berdeham langsung bertingkah seperti biasanya seolah tidak ada sesuatu yang terjadi.
"Darimana saja kalian?" tanya Eizan berkacak pinggang.
Lin menunjukkan koper di tangannya. "Dia harus mengambil barang-barangnya."
Lin berlalu dari Eizan dan Anshel. Setelah meletakkan koper di kamar kosong yang sekarang menjadi kamar Anshel, dia pamit pulang.
Tinggal tersisa Anshel dan Eizan dalam posisi sejajar.
"Aku akan mandi dulu."
Dalam situasi canggung Anshel segera berlari ke kamarnya. Melihatnya membuat Eizan tersenyum. "Ada apa dengan orang-orang hari ini?"
°°°°
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top