7. Black Woman

Lima bulan yang lalu

Lantunan musik dari piringan hitam begitu sopan memasuki telinga. Musik klasik memanglah selalu menjadi favorit di zaman manapun. Suaranya cukup nyaring terdengar, mungkin disebabkan rumah sepi sehingga musiknya mengisi seluruh penjuru ruangan.

Dari salah satu ruangan yang tertutup, seorang wanita tengah menenggelamkan seluruh badannya ke dalam bak dalam posisi terlentang. Terlalu lama wanita itu mencelupkan wajahnya ke dalam bak bertabur bunga. Airnya mendadak menjadi tenang seolah tak ada kehidupan. Jika seseorang memperhatikannya mungkin akan menyangka wanita itu sudah tewas.

Beberapa detik kemudian gelembung muncul di permukaan air yang tenang. Air langsung meluber tumpah membasahi lantai beralas marmer. Wanita telanjang dengan rambutnya berkilauan indah kemudian turun dari bak mandi, menyudahi kegiatan berendamnya.

Sebelah tangannya mengambil bathrobe dari kapstok yang tersedia dan sebelah tangannya mengambil handuk untuk mengeringkan badan. Wanita itu menggunakan bathrobe (handuk kimono) setelahnya mengeringkan rambut menggunakan hairdryer.

Keluar dari kamar mandi wanita itu hanya melangkah satu hasta untuk sampai di kamar tidurnya. Pertama dia membuka lemari pakaiannya. Begitu lemari terbuka, seujung mata memandang tidak terdapat warna lain di dalam sana selain pakaian berwarna hitam.

Tak hanya pakaian, aksesoris dari ujung kaki sampai ujung rambutnya pun dominan warna hitam. Palingan bibirnya saja yang merah merona senada dengan bunga mawar merah sebagai aksesoris rambutnya.

Setelah menggunakan high heels  berwarna hitam wanita itu membuka pintu mobil yang sudah terparkir di depan pintu rumahnya.

"Supir, jalan." Perintahnya pada supir yang langsung dituruti.

Sepanjang perjalanan wanita itu tak mengeluarkan suara. Hanya kepulan asap yang keluar dari mulutnya. Tangan kanan sibuk bermain ponsel, sementara tangan kirinya sibuk memegang rokok di sela-sela jari.

°

Tak berselang lama wanita itu tiba di sebuah bangunan bernuansa klasik khas negeri Menara Eiffel, Paris Prancis. Papan hologram di atas bangunan yang di sekelilingnya dihiasi lampu warna warni bertuliskan "Big Black Box ". Tak dijelaskan pun sudah tahu, ini adalah tempat si wanita mencari pundi-pundi rupiah.

Dia memasuki bangunan itu dengan tas jinjing hitam di tangannya. Di dalam sana banyak orang sudah berlalu-lalang mengerjakan urusannya masing-masing.

"Good morning, Miss. Evangelion," sapa salah satu wanita yang membawa kotak besar. Sepertinya dia akan menyimpan kotak itu menuju gudang.

"Morning too, Elena. Hati-hati dengan barang bawaanmu."

Evangelion kemudian naik ke lantai dua berbeda arah dengan Elena. Dia merogoh sakunya mencari kunci untuk membuka pintu di depannya. Setelah menemukannya lantas suara pintu yang dibuka terdengar.

Baru saja hendak membuka pintu Evangelion nampaknya merasakan seseorang sudah duduk di kursi kebesarannya. Dia merogoh tasnya, mengambil pisau lipat untuk berjaga-jaga dan memasukannya ke dalam saku mantel.

"Miss. Evangelion. Bagaimana kabarmu?"

Padahal Evangelion sudah menyiapkan pisau lipat, tetapi dirinya hanya bisa mendengkus setelah mengetahui orang yang duduk di depannya adalah anak dari atasannya.

"Seharusnya kau tidak duduk di kursi yang bukan milikmu, Mike."

"Ups." Pria yang dipanggil Mike oleh Evangelion menutup mulutnya pura-pura bersalah lalu beranjak dari kursi Evangelion menjadi duduk di meja.

Evangelion kemudian duduk di kursinya setelah menyimpan tas di gantungan besi bersama topi dan kacamata hitamnya.

"Apa yang kau inginkan dengan datang ke tempatku, Mike? Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu meladenimu." Melihat Mike yang tak kunjung pergi membuat Evangelion akhirnya bertanya.

"Ayahku memiliki misi baru. Kali ini sasarannya adalah artis yang sedang tenar." Mike memberikan map coklat pada Evangelion.

Evangelion menerima map coklat yang diberikan Mike. Dia langsung membukanya dan membaca semua isi dari map coklat. Butuh beberapa menit Evangelion memahami misinya hingga dia memasukan kembali semua berkas ke dalam amplop.

"Aku tidak tertarik berurusan dengannya. Aku butuh sesuatu yang lebih menarik."

"Ayolah. Ini misi tingkat C. Sangat mudah. Kau hanya harus mendapatkan satu akun tabungannya saja. Ayahku bilang dia tidak akan mengambilnya darimu."

Kedua alis Evangelion saling bertautan. Keningnya mengkerut. "Lalu untuk apa aku mengambil misi ini?"

"Tentu saja untuk kesenanganmu. Lakukan apapun padanya. Anggap saja ini cuti untukmu. Hanya enam bulan. Setelahnya kau bisa membeli ini." Mike menunjukkan beberapa obat dalam kotak sebesar korek api pada Evangelion. Tak hanya memperlihatkan, dia juga menawari Evangelion untuk meminum obat berbentuk seperti rokok itu.

"Narkoba ini dibuat oleh ayahmu untuk menghancurkan manusia-manusia tidak berguna. Jika kau memaksaku memakan obat ini, itu berarti kau menganggapku wanita tidak berguna."

Evangelion sudah naik pitam. Dia merebut map coklat dari Mike dan pergi di balik pintu bersama aksesoris-aseksorisnya.

"Sepertinya aku benar-benar menyukainya. Evangelion selalu terlihat cantik walau sedang marah." Mike meminum obat di tangannya lalu turun dari meja meninggalkan ruangan Evangelion.

°°°°

Dari kejauhan, Evangelion mengintip Eizan yang sedang melakukan pemotretan majalah di sebuah taman.

Evangelion sudah mengganti riasan wajah beserta pakaiannya seperti wanita normal pada umumnya.

"Tidak mau merokok, Miss. Evangelin?" Mike yang ternyata mengekor di belakang Evangelion tadi kini berada di samping Evangelion.

"Aku tidak akan menerima hal-hal seperti itu darimu, Mike. Apalagi namaku ini Evangelion bukan Evangelin." Setelah mengalihkan pandangan dari Eizan meladeni Mike, kini pandangnya kembali ke Eizan.

Mike yang jahil juga ikut mengintip hingga pipinya kini sudah menempel dengan pipi Evangelion. Merasa risih, Evangelion akhirnya memutuskan untuk keluar mobil dan segera melancarkan aksinya.

°

Seperti biasa, ketika istirahat maupun selesai syuting Elsa mengelap wajah Eizan dengan tisu atau handuk. Dia juga memberikan kipas elektrik pada Eizan.

"Setelah ini kita pergi ke mana?" tanya Eizan pada Elsa.

Elsa mengecek buku agendanya sebelum menjawab. "Hari ini tidak ada kegiatan apapun. Kau luang sampai besok."

Eizan merasakan udara kebebasan memasuki rongga hidungnya. Eizan meregangkan seluruh badannya dan berjalan-jalan di sekitaran taman didampingi Elsa, tak lupa menggunakan masker dan topi.

Langkah Elsa terhenti membuat Eizan juga menghentikan cerita dan langkahnya.

"Aku harus mengurus sesuatu dulu. Kau bisa menungguku sebentar, 'kan?" pinta Elsa pada Eizan.

Eizan memelas. "Baiklah. Jangan terlalu lama."

Tentu saja Eizan bercanda. Mana mungkin dia mau diam saja menunggu Elsa yang entah sampai kapan akan kembali. Dia memutuskan untuk jalan-jalan sekitar hingga menuju tempat yang agak ramai. Taman ini terlalu sepi untuk Eizan.

Ketika sedang berjalan di trotoar, dari kejauhan Eizan melihat balon berterbangan ke udara. Balon itu terbang bukan karena ulah manusia melainkan faktor alam. Angin berembus dengan kencang sehingga membuat balon itu terlepas dari genggaman anak kecil.

Banyak sekali anak kecil yang menangis karena kehilangan balonnya. Seperti sudah terbiasa seorang wanita yang bersama mereka menenangkannya. Dengan senyum sehangat mentari, rambut hitam kecoklatannya ikut tertiup angin.

Wanita itu mengganti balon yang tertiup angin dengan setangkai bunga tulip. Hanya hal kecil seperti itu ternyata mampu membuat anak-anak berlarian dengan tawa bahagia.

Eizan untuk pertama kalinya melihat pemandangan langka di depan matanya. Dia sebelumnya belum pernah menyaksikan kejadian yang membuat hatinya terasa hangat hanya dengan melihat senyuman wanita dan tawa anak-anak.

Wanita itu sepertinya melihat Eizan yang berdiri mematung memperhatikannya dari kejauhan. Wanita itu mendekatinya dan mengatakan, "Tidak ada bunga tulip lagi. Sudah habis."

Tentunya Eizan tidak bodoh. Wanita itu hanya basa basi. "Benarkah? Sepertinya kau berbohong."

Wanita itu tertawa lepas hingga energinya mengalir pada Eizan. Mereka jadi tertawa bersama.

"Maafkan aku. Aku memiliki tiga bunga tulip lagi. Tapi, di belakangmu ada tiga anak perempuan. Seharusnya kau mengalah dan membiarkan peri-peri kecil ini memilikinya." Wanita itu jongkok mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan bocah-bocah perempuan yanh baru datang. Setelah bunga tulip itu diberikan, barulah bocah-bocah itu berlari pergi.

"Sekarang habis, 'kan?"

Eizan mengangguk. "Kau memang pintar, Nona—"

"Azel. Azelila." Wanita itu mengulurkan tangannya, langsung diterima oleh Eizan. "Eizan."

Wanita itu tersenyum. "Nama yang bagus dan unik."

"Kau tidak mengenalku?" tanya Eizan sembari membuka topi dan maskernya.

"Mengenalmu? Tentu saja aku tidak mengenalmu. Kita baru saja bertemu, bukan?"

Rasa kaget, tidak percaya, dan kagum semua campur aduk dalam otak Eizan. Haruskah dia percaya? Atau itu hanyalah tipu muslihat semata?

"Aku tidak pernah menyangka ada seseorang yang tidak mengenaliku."

"Aku hanyalah gadis desa. Pekerjaan sehari-hariku menanam bunga di kebun mendiang ibuku dan merawat kakekku. Beliau satu-satunya keluarga yang aku miliki. Jadi, tidak ada waktu untuk mengetahui banyak hal tentang dunia."

Eizan mengangkat sebelah alisnya. Evangelion yang kini menyamar jadi Azel lalu menarik tangan Eizan dan membawanya masuk ke dalam toko bunga Azel.

Di belakang toko ini ternyata hamparan rupa-rupa bunga memenuhi halaman belakang tokonya. Di sana ada seorang pria tua renta duduk di kursi roda menatap hamparan bunga warna-warni. Jangankan untuk mengajaknya bicara, mendengar dan melihat pun dia terbatas.

Setelah melihat itu barulah Eizan percaya. Eizan akhirnya percaya pada wanita yang baru pertama kali dia temui, Azel.

Menahan air mata jatuh dari pelukpuknya, Azel mengajak Eizan pergi ke depan danau untuk melihat anak-anak bermain di pinggirannya.

Pemandangan yang sangat indah. Anak-anak bermain air, kejar-kejaran, sementara di tangan mungil mereka bunga tulip sangat erat digenggam.

Di bawah salah satu pohon, Eizan melihat pedagang es krim yang lemas lesu akibat dagangannya tidak laku, membuat Eizan merasa empati. Eizan kemudian memborong semua dagangan es krimnya dan dia berikan kepada anak-anak yang sedang bermain. Tak lupa Eizan memberikan satu cone es krim untuk Azel dan satu untuk dirinya.

"Boleh aku berfoto denganmu, Azel?"

Ini adalah pertama kalinya dalam hidup Eizan. Selama kariernya menjadi artis, fansnya lah yang selalu meminta foto ketika bertemu. Tapi, kali ini berbeda. Eizan meminta berfoto bersama dengan wanita yang baru dia temui.

Dua foto sudah tersimpan dalam galeri ponsel Eizan. Ketika tengah asyik mengobrol, suara anak-anak meminta tolong terdengar. Buru-buru Eizan dan Azel menghampiri sumber suara.

Melihat anak laki-laki hampir tenggelam membuat Azel tak pikir panjang menceburkan diri ke dalam danau.

Entah apa yang dipikirkan Azel. Meski tak bisa berenang dia menyelamatkan bocah yang hampir tenggelam. Eizan baru mengetahui Azel tidak bisa berenang dari gaya berenangnya. Jika dibiarkan Azel akan tenggelam. Eizan harus membuang rasa gengsinya demi menyelamatkan nyawa seorang wanita dengan mencelupkan diri ke dalam danau.

Bocah itu ternyata bisa berenang, hanya saja kakinya tersangkut tumbuhan merambat sehingga kesusahan berenang dan hampit tenggelam. Eizan segera menarik Azel yang benar-benar tenggelam. Merangkul pinggangnya hingga kini jarak di antara mereka hanya beberapa senti. Azel mengatur napasnya yang terengah-engah perlahan begitu pula dengan Eizan.

Mereka saling bertatapan. Manik mata hazel Eizan menusuk lurus manik mata hazel Azel. Diterpa sinar matahari sore membuat kedua mata mereka bersinar. Kicauan burung di atas langit menambah nuansa romansa di antata keduanya. Pun sorak-sorai anak-anak yang kegirangan makin membuat suasana canggung antar mereka.

Jantung Eizan berdegup kencang. Ini sedikit memalukan baginya mengingat Eizan sudah sering melakukan adegan seperti ini sebelumnya. Tapi kenapa? Dia sangat gugup untuk mengucapkan sepatah katapun. Yang kali ini Eizan inginkan hanyalah menyalurkan perasaannya pada Azel.

Dari matanya Azel juga merasakan hal demikian. Canggung, gugup, senang bercampur jadi satu. Wajahnya sedikit menengadah untuk menatap dalam bola mata Eizan. Azel mengerti arti dari tatapan itu. Perlahan Azel memejamkan matanya.

Eizan merasa bahwa Azel merasakan hal yang sama dengannya. Eizan melihat bibir merah ceri milik Azel sedikit gemetaran, mungkin karena dinginnya air. Perlahan wajah Eizan dan Azel memerah. Eizan mendekatkan wajahnya dengan Azel hingga hidung mereka saling bertabrakan. Ketika kening dan hidung mereka beradu, barulah Azel membuka matanya perlahan.

"Apakah ini tidak terlalu dekat?" tanya Azel berbisik.

"Tidak. Biarkan saja seperti ini."

Momen beberapa detik itu rasanya begitu lama bagi Eizan dan Azel. Anak-anak juga menutup mata mereka dari pemandangan yang tidak boleh mereka lihat.

Sayang sekali, momen keromantisan keduanya harus digagalkan ketika Elsa datang sembari berkacak pinggang.

"Eizan!!!"

Teriaknnya mampu membuat jarak antara Eizan dan Azel langsung meregang. Eizan dengan cepat membawa Azel ke pinggir danau. Setelah sampai di permukaan, bukan apa-apa yang dikatakan Eizan selain tentang mantel.

"Elsa. Apa kau membawa mantel punyaku?"

Elsa mendengkus kesal lalu memberikan mantel di tangannya pada Eizan.

"Ini. Gunakanlah ini sebelum kau masuk angin." Eizan memakaikan mantelnya pada Azel. Padahal badan dan bibir mereka sama-sama bergetar sebab merasakan dinginnya air di musim gugur.

Elsa menganga lebar melihat tingkah laku Eizan pada wanita asing di depannya, seolah mereka sudah kenal lama. Apa yang sebenarnya terjadi ketika Elsa meninggalkan Eizan? Pertanyaan itu mulai mengisi pikiran Elsa.

"Setelah ini aku akan kembali ke kota asalku. Tapi sebelumnya, bolehkah aku meminta alamat e-mail atau nomor ponselmu?" pinta Eizan sebelum pergi.

"Ponsel? Maksudmu telpon rumah? Jika itu aku ada, tapi untuk ponsel aku tak memilikinya. Harganya sangat mahal, mana mungkin aku bisa membeli hal semahal itu."

Tanpa pikir panjang Eizan meminta dompetnya pada Elsa. Elsa yang paham tak banyak tanya memberikan dompet  pada Eizan.

"Setelah ini belilah ponsel di toko ponsel terdekat. Ini kartu namaku. Jangan lupa hubungi aku secepatnya." Setelah memberikan kartu nama dan uang pada Azel, Eizan mengenggam tangan mungil nan halus Azel. Bertatapan cukup lama, Eizan pergi dengan Elsa yang mendampinginya tanpa menoleh ke belakang.

°°

Memasuki toko bunga, suara tepukan tanggan terdengar begitu nyaring di telinga Evangelion.

"Kerja bagus. Sangat bagus. Aktingmu luar biasa, Evangelion. Bahkan artis profesional sepertinya pun bisa tertipu oleh sandiwaramu."

"Dia hanyalah anak kemarin sore. Aku lebih profesional dalam hal akting, Mike." Evangelion meletakan mantel Eizan di kursi dan menutup pintu toko rapat-rapat.

"Mana pakaian yang kuminta?"

Mike tersenyum. "Rasanya aku sudah seperti pembantumu saja, Evangelion. Bagaimana kalau menjadi pacarmu saja supaya aku melakukannya dengan sukarela?"

"Kubur saja mimpimu dalam-dalam." Evangelion merebut pakaian dari tangan Mike. Dia langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat.

°°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top