5. Sepotong Masa Lalu yang Tidak Dikespos

Sepanjang perjalanan Anshel hanya bisa diam dalam ketakutan. Pandangannya hanya lurus kedepan, sesekali menelan ludahnya.

"Sekarang kau sudah dikenal menjadi pasangan aktor, Anshel. Kau tahu, 'kan apa yang biasanya dilakukan oleh aktor? Menggunakan masker, menggunakan topi atau apapun untuk menutupi wajahnya. Paparaji itu tak pandang bulu. Netizen akan selalu mencari dan mengorek meski satu kesalahan dalam dirimu," jelas Elsa.

"Aku sungguh minta maaf. Aku tidak tahu dimana letak masker, jadi aku memutuskan untuk pergi keluar menemui teman-temanku."

"Seharusnya kau tidak keluar, bodoh. Kau sedang cacar. Bagaimana jika paparaji mengambil gambarmu secara sembunyi-sembunyi."

Perkataan Elsa dan Eizan memang benar. Kini Anshel bukan lagi orang biasa yang bebas berkeliaran semaunya. Kini hidupnya terjebak bersama aktor terkenal, Eizan.

"Batalkan saja janjimu dengan temanmu. Kalau bisa kau tidak boleh keluar atau pulang sampai cacarmu sembuh total."

"Tapi—"

"Itu perintah! Tidak ada penolakan."

Perkataan Eizan seolah menjadi hipnotis untuk Anshel. Meski marah Anshel seolah tidak bisa menolak perkataanya dan memilih patuh.

Jari-jari Anshel mengetik di atas ponsel. Ketika terdengar suara telpon terhubung Anshel mendekatkan ponsel ke telinganya. Anshel menjelaskan semua situasinya pada Agya dan Lila yang belum dia ceritakan sebelumnya.

Dari raut wajah Anshel, sepertinya permintaan maaf dari Anshel belum diterima sepenuhnya oleh Agya dan Lila membuat Eizan merebut ponsel dari genggaman Anshel.

"Kalian bisa menemui dan menjemput teman— saudari kalian lagi jika sudah sembuh. Untuk sekarang aku tidak bisa membiarkannya menemui kalian."

Setelah itu Eizan mematikan panggilan dari Agya. Tak berselang lama, ponsel Anshel kembali bergetar menampakan nama Bagas di layar ponsel.

"Bagas? Siapa dia?"

Anshel mencoba merebut ponsel itu dari Eizan. "Dia atasanku. Aku harus segera mengangkat telponnya, kalau tidak dia akan memecatku."

"Oya? Dia benar-benar atasanmu?"

"Apa pedulimu, Eizan? Bukankah sebelumnya kau tidak peduli padaku. Kembalikan ponselku." Anshel terdengar sedikit emosi dan merebut ponselnya dengan paksa.

Dalam hati Eizan bertanya-tanya. Anshel ada benarnya juga, mengapa dirinya harus peduli tentang hidup Anshel. Seharusnya dia bertingkah seperti biasanya.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Dokter sudah memeriksaku. Jika sudah sembuh aku akan menemuimu lagi, janji. Jaga kesehatanmu." Anshel kemudian menutup telponnya dan kembali menatap ke depan. Sesekali melirik Lin yang fokus pada jalanan.

°°°°

Tiba di lokasi syuting iklan, Eizan segera mengenakan topi dan masker serta jaket tebalnya. Sebelum Eizan keluar, Lin terlebih dahulu keluar dengan membuka payung.

"Sebaiknya kau ikut ke lokasi syuting. Pakai masker dan topi ini. Beruntung kau sedang mengenakan pakian panjang. Aku yakin tidak akan ada yang menyadarimu kalau kau sedang terkena cacar."

Anshel tersenyum dan berterimakasih pada Elsa. Elsa membalasnya dengan senyuman.

Eizan berjalan didampingi oleh Anshel di sebelah kirinya, Elsa di depannya, dan Lin memayungi Eizan dan Anshel di belakangnya. Bukan semata-mata memayungi Eizan begitu saja, tetapi cuaca saat ini sedang terik-teriknya. Matahari siang hari tidak sehat untuk kulit.

Dalam hidupnya Anshel tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi. Semenjak hari kemarin terlalu banyak kejutan yang diberikan Tuhan untuk Anshel. Di depan matanya kini Anshel melihat idolanya akan berakting menjadi model iklan minuman.

Elsa dan Eizan pergi menghampiri sutradara, sementara Lin dan Anshel menunggu di belakang kamera, cukup jauh. Meski begitu Anshel tetap bisa melihat Eizan langsung dari tempat yang teduh.

Para MUA langsung mendandani Eizan ketika tiba dan mengganti pakaian sesuai perannya. Biasanya kejadian ini hanya bisa Anshel lihat dalam behind the scene tetapi, kali ini Anshel bisa melihat itu di depan matanya.

"Kau terlihat senang. Tidak usah menetaskan air mata seperti itu."

Anshel menghapus air mata yang membasahi pelupuk matanya dengan tangan. "Kadang aku masih tidak percaya dengan kejadian yang telah aku alami."

"Begitulah hidup. Penuh kejutan. Penuh misteri. Kadang manusia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi kedepannya. Inilah takdir."

Anshel setuju dengan pernyataan Lin. Kehabisan topik membuat Anshel ingin bertanya sesuatu akan hal yang mengganjal di dalam benaknya. Tapi, dia takut. Sangat takut. Mau bagaimanapun juga Anshel hanyalah orang asing.

"Ada yang mau kau katakan?"

Anshel terkejut mendengarnya. Lin seperti seorang cenayang yang bisa membaca pikiran.

"Tidak. Hanya saja aku memiliki sesuatu yang mengganjal di dalam benakku."

"Aku tidak akan memaksa kau bercerita."

Hening. Hanya suara deburan ombak dari lautan dan semilir angin yang terdengar.

Anshel melihat beberapa kali take video yang terus salah. Padahal Anshel merasa bahwa itu sudah sempurna. Harus berapa kali Eizan berakting dengan para wanita cantik itu. Jujur saja, meski Eizan tidak menganggapnya, rasa cemburu menguasai pikirannya.

"Kedepannya kau akan lebih sering menyaksikan hal ini. Jangan terlalu dibawa perasaan, aku tahu kau sedang cemburu."

Lagi-lagi ucapan tak terduga lolos dari bibir Lin. Lama-lama Anshel sedikit kesal karena ucapan Lin selalu tepat.

"Dari gestur dan ekspresimu kau mudah ditebak. Wajar saja aku tahu apa yang kau pikirkan."

"Benar begitu? Padahal aku hampir saja membencimu karena terus-menerus membaca pikiranku."

Lin hanya terkekeh mendengar kekesalan meluncur dari bibir Anshel.

"Apa kau tahu? Untuk sampai posisi ini sangatlah sulit."

"Sudah pasti banyak perjuangan untuk berada di posisi seperti ini."

Lin menoleh dan tersenyum singkat pada Anshel. "Mau mendengar kisah kami—aku, Eizan, Elsa—maksudnya?"

Meski terhalang masker, Lin dapat melihat aura ketertarikan dari Anshel dari mata dan gestur tubuhnya yang menyembunyikan rasa senangnya.

°°°°

Dua orang laki-laki dan satu orang perempuan berseragam tengah berkumpul di bawah pohon maple. Dari seragamnya bisa ditebak bahwa mereka adalah para pelajar SMA.

Mereka seperti sedang berdiskusi, tetapi salah satu laki-laki berdiri dengan kertas di tangannya. Dia sepertinya sedang membaca teks dalam kertas disertai gerakan-gerakan dari tubuhnya. Dilihat pun orang tahu, laki-laki itu sedang bersandiwara.

"Bagaimana? Bagaimana penampilanku, hah? Seperti aktor hollywood, 'kan?"

Laki-laki itu dengan bangga memamerkan bakat aktingnya. Dia terlalu percaya diri sehingga dua orang temannya tak bisa mematahkan kepercayaan dirinya.

"Kurasa untuk menjadi figuran pun rasanya belum cocok. Hahahaha." Perempuan dan laki-laki yang sedang duduk tertawa, sementara laki-laki yang tadi berakting mencebikkan bibirnya, sebal.

"Eizan. Kau sepertinya memang dianugerahi bakat berakting."

"Terimakasih, Lin. Kau memang sahabat sejati ku." Laki-laki bernama Eizan itu langsung menghamburkan diri memeluk Lin yang sedang duduk.

"Sebentar lagi, 'kan kita lulus. Jadi apakah jurusan akting mau kau ambil?" tanya laki-laki bersurai hitam menutupi sebelah mata, Lin.

"Tentu saja aku akan mengambil jurusan akting."

"Elsa. Jika sudah besar nanti, kupastikan kau akan jadi manajerku." Lagi-lagi dengan percaya diri Eizan menunjuk ke arah wajah Elsa.

"Bodoh! Setelah lulus aku akan jadi pramugari. Setelahnya aku akan pergi jalan-jalan keliling dunia tanpa mengajak kalian." Dengan mendelikan mata, Elsa juga berkata dengan percaya dirinya. Merasa geram, Eizan mencubit kedua pipi Elsa hingga keduanya bertengkar.

"Bagaimana dengan pertunjukanmu di festival bulan maret nanti?" tanya Lin yang diam-diam sedang menyeruput teh.

"Itu akan jadi pentas terakhirku di SMA. Tidak terasa, sudah dua tahun aku selalu menjadi pemeran utama dalam pentas. Tetap saja aku tidak bisa menjadi pemeran utama jika Amubari tidak lulus ketika aku duduk di bangku kelas dua."

"Kudengar dia sering menjadi model majalah remaja dari kelas satu SMA. Benar demikian?" tanya Elsa sedikit menunjukkan ketertarikannya.

"Ya. Itu benar. Bahkan aku sering melihat majalahnya dipajang di etalase toko."

Tak terasa bel masuk pun berbunyi. Itu tandanya ketiga sahabat itu harus menyudahi istirahatnya.

Setelah bel masuk berbunyi, rasanya waktu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan ujian untuk masuk ke universitas tanpa ditunggu pun menghampiri.

Di antara ketiga sahabat itu tidak ada yang tidak serius dengan masa depannya. Yang pertama dikabarkan lulus masuk universitas adalah Elsa. Setelah kabar bahagia dari Elsa, barulah kabar bahagia dari Lin dan Eizan menyusul.

Lulus dari SMA, ketiga sahabat itu mengambil jalan masing-masing. Mereka mulai sibuk dengan jurusannya masing-masing Lin di jurusan seni, Elsa di jurusan pramugari dan Eizan di jurusan akting. Meski begitu Lin dan Eizan komunikasinya masih sangat bagus. Wajar saja, kosan mereka bersebelahan.

Tahun silih tahun berganti, lagi-lagi Elsa lah yang pertama lulus dari kuliahnya. Sebelum lulus sepertinya Elsa sudah diterima di sebuah maskapai penerbangan yang cukup terkenal. Hal itu bisa dilihat dari unggahannya di media sosial.

Lin dan Eizan hanya mampu memberikan selamat melalui panggilan video. Pun Elsa tak ada waktu untuk merayakan keberhasilannya menjadi seorang pramugari yang digadang-gadang sedari SMP.

Disela kesibukan Elsa menjadi seorang pramugari, Eizan tak mau kalah. Meski skripsi terus menghantuinya, tetapi dia selalu saja mendaftarkan diri, mengikuti casting yang diadakan di kota dekatnya tinggal.

Beberapa kali penolakan nyatanya mampu membuat Eizan sedikit frustrasi. Bisa dilihat dengan kosongnya kertas di layar laptop Eizan.

"Sudahlah. Jangan menyerah. Jika gagal coba lagi." Kata-kata itu selalu diucapkan dari mulut Lin. Beruntung, dalam hal terburuk pun Eizan selalu didukung oleh Lin.

Sudah hampir satu tahun Elsa bekerja di maskapai penerbangan. Ketika Eizan dan Lin sedang memakan mie instan di malam dengan angin berembus kencang, pintu kosan Eizan tiba-tiba terbuka dengan lebar.

Ya. Di malam menjelang akhir tahun itu Elsa datang dengan koper di tangannya. Elsa menatap kosong pada Eizan dan Lin. Rambutnya yang diikat cepol juga berantakan. Pelupuk air matanya tak sanggup menahan air mata yang terus mengalir, membuat maskara waterproof-nya pun ikut luntur. Jika dilihat dari seragamnya yang kusut, Elsa belum mengganti pakaiannya sejak pagi hari.

"Aku ingin tinggal bersama kalian."

Kata-kata yang meluncur dari bibir seorang wanita yang dirundung kemalangan itu seolah menyadarkan Eizan dan Lin. Asap dari mie instan masih mengepul, tapi mereka meninggalkannya demi memeluk sahabat mereka, Elsa. Bukanlah rumah yang Elsa pilih, melainkan kosan sederhana yang ditinggali oleh sahabatnya. Beruntung satu kosan masih tersedia.

Setelah kejadian itu dia bungkam. Beberapa kali Lin dan Eizan bertanya, hanya jawaban bosan lah yang keluar dari mulut Elsa. Menyerah, Lin dan Eizan tidak lagi bertanya alasan pada Elsa.

Adanya Elsa menjadi pelengkap kebahagiaan Lin dan Eizan. Skripsi Eizan yang kurang terurus kini terurus dengan adanya Elsa. Eizan sangat sibuk mengikuti casting.

Di tengah teriknya matahari membuat Lin dan Elsa membuka pintu kosan. Dari kejauhan Eizan tampak berlari dengan wajah penuh kebahagiaan.

"Teman-teman. Aku diterima!"

Kata-kata penuh kegembiraan itu membuat Lin dan Elsa memiliki raut wajah yang sama.

"Ada sutradara bernama Pak Boy. Dia menawariku menjadi pemain figuran bersama artis besar."

Di sanalah mereka bertiga bersorak gembira. Di bawah atap sebuah bangunan kecil, kosan.

Perjalanan Eizan masih sangat panjang. Dia mulai sering dijadikan pemain figuran yang cukup berpengaruh. Hingga ketika Lin, Eizan, dan Elsa sedang merayakan kemenangan mereka, salah satu pria berumur dengan mantel coklat dan rokok yang mengepul dari mulutnya menghampiri meja Eizan.

Dialah Pak Roy. Dia menawari Eizan menjadi pemeran utama dalam filmnya yang berjudul "Troy, Where Are You?". Nahas kemalangan masih melanda Eizan. Pak Roy ditangkap atas kasus pedofil. Sehingga, film yang baru berjalan setengahnya gagal tayang.

Tuhan selalu memberikan rencana terbaik untuk umatnya. Di tengah kesedihan Mr. Gresna datang mengulurkan tangannya. Katanya, dia sedang mencari seseorang yang cocok mengisi peran utama dalam film perdananya.

Mr. Gresna adalah seorang novelis terkenal. Buku perdana yang dia filmkan berjudul "Mom, I'm Sorry". Film itu bercerita tentang seorang ibu yang memiliki kelainan. Kelainan itu belum pernah ditemukan sebelumnya di dunia. Ibu itu mengalami kelainan karena melahirkan anak yang terlalu jenius, sehingga si anak terus merasa bersalah seumur hidupnya hingga bunuh diri. Setelah si anak bunuh diri, barulah kelainan yang diderita si Ibu sembuh.

Film menyedihkan itu ternyata booming di kalangan remaja hingga dewasa. Film cukup menyayat hati itu nyatanya membuka jalan baru untuk Eizan. Dari sanalah banyak kerjasama berupa iklan yang diajukan pada Eizan. Mulai dari media sosial, majalah, dan televisi.

Tak berhenti di situ, berkat saran Elsa, Eizan kembali bermain menjadi pemeran utama dalam film berjudul "Help Me, Captain". Film itu lebih meledak dari yang diduga. Nama Eizan terus melejit hingga Eizan berada di posisinya yang sekarang.

°°°°

Cerita yang mengesankan untuk Anshel. Di balik maskernya dia terus berdecak kagum akan kisah yang belum pernah dia temukan di internet.

"Kisah yang luar biasa. Mengapa aku tidak pernah menemukannya di internet?" Akhirnya rasa penasaran di benaknya tersalur.

"Karena kami tak ingin mempublikasikan itu. Kami ingin menulisnya untuk kami tidak untuk diekspos. Biarkan itu menjadi kenangan."

"Lau bagaimana dengan kuliah senimu? Tak kusangka kau memiliki bakat seni."

"Banyak orang berkata demikian. Aku juga lulus. Meski pada akhirnya aku menjadi asisten Eizan. Entah apa yang pantas disebut untukku, karena sepanjang karirku aku hanya menjadi pendukung Eizan. Dia percaya penuh padaku. Tak apa. Aku menikmati posisiku yang sekarang. Mendapat gaji, tinggal di apartemen bersebelahan dengan sahabatku, dan mampu berinteraksi dengan banyak orang penting."

"Bagaimana dengan Elsa?"

"Sampai sekarang dia tidak pernah menceritakan alasannya berhenti dengan jujur. Tapi, sepertinya dia kemarin mulai mengatakan rahasia kelamnya. Ketika kau diusir dari apartemen Eizan."

"Seperti tidak terbayang dari seorang yang selalu ceria seperti Elsa."

"Seperti pribahasa, jangan melihat buku dari sampulnya."

Dari kejauhan Anshel dan Lin dapat melihat. Sepertinya syutingnya berjalan sukses. Eizan yang bercucuran keringat langsung dilap oleh Elsa menggunakan tisu dan dikipasi oleh kipas elektrik.

Lin mengajak Anshel untuk menemui Elsa dan Eizan. Sepertinya wajah puas dan bahagia terukir di wajah Eizan. Eizan begitu bersemangat meminum minuman suplemen yang disediakan oleh Elsa.

"Luar biasa. Aku selalu kagum pada usaha kalian, kawan." Lin menepuk bahu Eizan dan Elsa secara bersamaan.

Anshel dapat melihat persahabatan ketiganya begitu terjalin dengan baik, seperti tidak pernah ada perdebatan. Dalam hatinya Anshel seperti orang asing yang mencoba masuk ke dalam persahabatan mereka.

"Kerja bagus teman-teman," kata Anshel mencoba akrab.

"Kau juga," balas Elsa.

Senyuman tersungging sekejap di wajah Anshel sebelum Eizan berkata, "Siapa yang sudah menjadi temanmu di sini?"

°°°°

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top