13. Pencuri Berkedok Pengemis
Setelah menghabiskan waktu untuk memancing, tampaknya ikan yang didapat cukup banyak. Azel dan Eizan berniat membawa hasil tangkapannya untuk anak-anak di desa, itu sebelum suara keroncongan terdengar dari perut Eizan.
Melihat Eizan kelaparan membuat Azel tak tega membiarkannya. Terbesit ide untuk membakar hasil tangkapan, sehingga Azel mengajak Eizan menuju tepi pantai dekat penginapan. Setidaknya jika berada dekat dengan orang-orang Azel merasa lebih aman pun dengan mudah Azel bisa mendapatkan korek dan penerangan dari penginapan.
"Bagaimana bisa lampu petromax kehabisan baterai ketika sedang dibutuhkan," keluh Azel ketika sedang menyalakan perapian dengan korek.
Perapian sederhana yang dibuat Azel dan Eizan dengan daun kering dan tempurung kelapa.
Ditemani suara musik dari radio, Azel dan Eizan sesekali bergantian mengipasi perapian sampai sedikit menjadi arang. Barulah Azel membakar ikan di atasnya dengan bantuan batang kayu.
Ternyata ada satu arang yang meloncat dari perapian. Ketika Eizan memainkannya dengan batang kayu, tak disangka itu arang yang sudah dingin. Mungkin saja sebelum mereka ada yang pernah membakar ikan di sini. Eizan melemparkan arang itu ke sembarang arah sampai tak sadar menggaruk pipinya.
"Eizan mukamu cemong," kata Azel tertawa
"Ah benarkah? Bukankah bagus? Sekarang aku sedang berperan menjadi seorang anak pantai." Eizan mengambil kembali arang dingin, mencoleknya dengan jari dan melukisnya di atas philtrum.
"Hebat. Eizan sekarang menjadi pria tua." Azel terkekeh ketika melihat kumis yang Eizan buat dengan arang. Masalahnya wajah putih bersih Eizan yang ternodai arang sangatlah menggemaskan sehingga Azel tak kuasa menahan tawanya.
"Dan sekarang Azel harus jadi wanita tua." Dengan entengnya Eizan mencoret pipi Azel dengan arang. Tak mau kalah, Azel membalasnya demikian hingga perang arang dimulai.
Mereka berdua berlarian menyusuri tepi pantai. Masing-masing dari mereka tak mau mengalah, terus menghindar demi tak terkena coretan arang. Azel mengenai kening Eizan, tapi Eizan tak berhasil membalasnya. Azel begitu lincah hingga Eizan tak memiliki kesempatan untuk mencoret wajahnya meski mengunakan cara apapun. Azel selalu bisa lolos dengan mudah.
Seolah semesta lebih memihak Eizan, tiba-tiba saja angin bertiup kencang sampai menerbangkan pasir-pasir pantai, dalam beberapa detik Azel harus melindungi matanya dari debu. Disitulah kesempatan Eizan. Dengan lembut Eizan menarik salah satu lengan Azel lalu melingkarkan tangannya pada pinggang Azel, memeluknya dari belakang.
"Kena kau." Eizan berbisik tepat di telinga Azel.
Pipi Azel kini merona merah disertai debaran jantung tak karuan. Beruntung malam gelap gulita mampu menyembunyikan segalanya. Azel perlahan menoleh ke belakang tanpa melepaskan pelukan Eizan yang melingkar erat di pinggangnya. Sedikit menengadah, barulah kedua mata Azel dan Eizan beradu. Hal itu tak berlangsung lama. Azel begitu gundah dan risau tiap kali menatap tatapan mata hangat Eizan padanya. Azel hanya bisa mengalihkan pandangan matanya ke arah lain sambil tersipu malu.
Eizan meletakkan dagunya di atas kepala Azel. Eizan juga merubah posisinya sehingga kini pemandangan laut malam tersaji tepat di hadapan mereka. Air laut di malam hari biasanya sedang mengalami pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan. Akibatnya, pasang laut menciptakan mahakarya indah seperti gulungan ombak yang meronta-ronta setinggi beberapa meter dari kejauhan. Tak hanya itu, langit gelap gulita dengan taburan bintang yang terlihat jelas, menandakan betapa bersihnya udara di pantai ini. Ditambah suasana pantai yang tidak terlalu ramai makin menambah kenangan indah yang tersimpan rapat di dalam memori keduanya.
"Kamu curang, Eizan," lirih Azel.
"Kenapa aku curang? Bukankah seharusnya aku yang berkata begitu?"
"Aku sangat menyesal meninggalkanmu malam itu. Andai saja aku memaksa datang, mungkin bukan wanita lain yang ada di sampingmu saat ini."
"Simpan saja penyesalan itu dalam hatimu. Aku sengaja tidak akan memaafkannya, supaya kamu berhutang seumur hidup padaku."
Azel menyikut perut Eizan membuat Eizan mengerang kesakitan. Ingat dengan perut, Eizan juga ingat dengan ikan.
"Azel, apa kita melupakan sesuatu?"
Azel yang menikmati angin malam pun langsung melepaskan diri dari pelukan Eizan. "Ikannya!"
Mereka berdua langsung berlari menghampiri bakaran ikan. Semakin dekat dengan perapian, semakin tercium juga bau tak sedap. Ikan berwarna hitam hampir mirip dengan arang masih tergeletak di atas bara api yang menyala. Eizan langsung mengangkat ikan dari atas bakaran, melihatnya penuh penyesalan.
"Ah, sial. Padahal aku sudah bersusah payah menangkapmu," kata Eizan memelas.
"Memangnya ini salah siapa? Jika saja kamu tidak mengejarku, mungkin perutku sudah kenyang."
"Itu salahmu karena berlari."
Azel memelototi Eizan geram. Tidak ada gunanya berdebat dengan Eizan selain membakar ikan baru dan menjaganya sampai matang.
°°°
Sudah menjadi hukum alam bilamana di pinggiran terdapat kampung kumuh, maka di tengahnya pasti terdapat kota makmur tempat tinggal penduduk menengah keatas hingga kaum borjuis.
Tepat di dekat lampu merah, anak-anak Desa Cendana mengangkat tangan mereka pada orang-orang yang melintas atau pada pengendara yang melihat mereka iba.
Dalam segala hal pasti selalu ada persaingan bahkan dalam menjadi pengemis. Tidak hanya dari Desa Cendana, dari berbagai tempat kumuh lain pun berdatangan untuk mencari rupiah di lampu merah.
Berbekal ilmu yang diberikan Evangelion, inilah saatnya Delta melancarkan aksinya ditemani Irgi dan Bonny.
Delta adalah anak laki-laki dengan surai berwarna hitam dan rambut cepak. Memiliki tinggi rata-rata seperti anak seusianya.
Irgi adalah anak laki-laki yang seumuran dengan Delta. Bersurai hitam dengan model belah tengah. Jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya, dia lebih tinggi.
Sementara Bonny, dia adalah anak perempuan seusia dengan Delta dan Irgi. Memiliki adik perempuan bernama Enny. Tingginya hampir sama dengan Irgi, rambut dikepang dua hitam legam, dan topi koboi untuk menahan teriknya matahari.
"Target sudah terlihat," bisik Delta pada Irgi dan Bonny.
Target mereka kali ini adalah dua orang pria borjuis. Yang satu dengan mantel coklat seperti usia 30-an, sementara satunya lagi pria bermantel hitam berumur 40-an.
Begitu rencana sudah tersusun rapi, Bonny mulai berlari kencang. Cukup pintar bagi anak seusianya untuk berakting ketika pura-pura tersandung dan jatuh di depan dua pria borjuis tanpa ketahuan kerumunan di sekitarnya.
Siapa yang tidak iba jika melihat gadis kecil terjatuh dan menangis terisak seperti orang yang paling tersakiti. Tentu saja dua pria itu langsung bersimpuh, membantu menenangkan Bonny supaya tak menangis.
Sepertinya kedua pria itu sangat risih karena orang-orang yang melintas di dalam mobil menatap mereka rendah seperti mencelakai gadis kecil, begitu juga dengan orang-orang yang baru melintas tanpa tahu kejadian sebenarnya.
Di situlah Irgi memainkan peranannya. Dia menghampiri Bonny, berbicara seolah dia adalah saudara kandung Bonny. Padahal, ketika Irgi sedang dimaki oleh dua pria itu, Delta dengan mudahnya mengambil dompet di saku mantel coklat milik si pria muda.
Seperti sudah berpengalaman, Delta mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya bersembunyi di antara pejalan kaki lainnya.
°
Nyatanya selalu ada hal yang tak terduga terjadi. Di sebuah gang gelap dan sempit tempat Delta, Irgi, dan Bonny menghitung harta, mereka menemukan sebuah kalung dengan permata ruby berwarna merah terang. Siapa yang tak tergoda dengan perhiasan mewah seperti itu, membuat ketiga bocah itu langsung menyembunyikan kalungnya di saku Bonny.
Benar saja, beberapa detik kemudian seorang wanita dengan pria tampak sedang mencari kalung ruby, terdengar dari percakapan mereka. Tidak ada negosiasi dalam hidup ketiga bocah itu. Meninggalkan orang yang sedang tertimpa kemalangan rasanya lebih baik. Untuk apa memperdulikan orang lain ketika dunia pura-pura tutup mata dan telinga pada mereka.
"Hei itu kalungku!"
Ketika ketiga bocah itu berjalan dengan santai, wanita tadi menunjuk-nunjuk ketiga bocah sambil berteriak. Sial. Seharusnya kecerobohan tidak boleh terjadi dalam segala kecurangan. Rantai dari kalung ruby sedikit menonjol dari saku Bonny. Rantainya menyala ketika dalam tempat yang terang.
Apa yang ketiga bocah itu bisa lakukan selain berlari sampai titik darah penghabisan. Sayangnya, langkah mereka terlalu kecil untuk sekelas orang dewasa sehingga mau tak mau harus mengorbankan salah satu diantaranya.
Bersikeras tak mau menyerahkan harta yang berharga, berakhir dengan bonyoknya salah satu bocah, Delta. Tidak kehabisan akal, Bonny dan Irgi berencana akan menjadikan Delta sebagai penarik simpati Eizan.
°°°
Saat Eizan sedang mencari udara segar di bawah terik matahari tengah hari, dia melihat remaja laki-laki sedang membawa jerigen di kedua tangannya. Merasa kenal dengan remaja itu membuat Eizan menghampiri dan menyapanya.
"Hei!"
"Kak Eizan? Sedang apa di sini? Di sini sangat panas," kata remaja itu sembari menatap Eizan dengan mata menyipit karena silaunya cahaya matahari.
"Kau pula apa yang sedang kau bawa?"
"Ini bahan bakar untuk perahu."
"Sini biar kubantu."
"Serius mau bantu? Ini berat, lho."
"Tidak apa-apa. Anggap saja aku sedang latihan."
Eizan kemudian membawa satu jerigen yang dibawa laki-laki itu. Ternyata benar, jerigen ini cukup berat dan bau bahan bakar yang tak sedap sedikit menganggu indera penciuman Eizan.
Tidak perlu waktu lama sampai mereka di pelabuhan tempat perahu-perahu berada. Padahal tidak terlalu jauh, tapi keringat yang dihasilkan Eizan sudah seperti orang yang sedang joging di lapangan.
"Siapa namamu?"
"Carlos, Kak."
"Oh ... Carlos. Kenapa hari ini pelabuhan sangat ramai tidak seperti kemarin?"
Di pelabuhan begitu banyak perahu-perahu berukuran sedang dengan mesin tempel. Begitu pula dengan para nelayan sedang bersiap-siap di atas perahu mereka masing-masing.
"Ini mau ada apa sebenarnya?"
"Setelah matahari tenggelam kami akan menangkap ikan bilis atau Kakak lebih mengenalnya dengan sebutan ikan teri."
"Pantas saja ramai. Kau masih kecil seperti ini mau ikut?"
"Meski aku masih kecil, jangan remehkan kemampuanku dalam hal menangkap ikan."
"Sudah ya, Kak. Aku masih banyak urusan."
Setelah Carlos pergi Eizan masih berdiri di pelabuhan memerhatikan setiap nelayan yang sibuk di atas perahunya. Ada satu hal yang menarik perhatian Eizan, yaitu seorang wanita dengan dress berwarna cream yang terhalang oleh seorang pria nelayan.
"Tunggu. Dia tampak seperti ...."
Baru saja berpikir demikian, akhirnya Eizan bisa melihat wanita itu dengan jelas. "Azel!" Rupanya mata Eizan tak menipu. Benar itu adalah Azel. Wanita itu seperti membaur dengan para nelayan, mengobrol bersama, bercanda bersama bahkan Azel tampak lebih bersinar dari biasanya.
Carlos segera menghampiri Azel dan membisikan sesuatu padanya. Kemudian mata Azel mencoba mencari-cari hingga melihat Eizan sedang berdiri di pelabuhan.
"Eizan!" teriak Azel dengan melambai-lambaikan sebelah tangannya. Wajahnya berseri-seri menampakkan deretan gigi putihnya. Rambut hitam yang terterpa cahaya matahari terlihat berwarna kecoklatan, mata hazelnya juga bersinar, membuat Eizan terus-menerus memuji Azel dalam hatinya.
Eizan hanya membalas lambaian tangannya. Azel berpindah dari satu perahu ke perahu lain supaya bisa menghampiri Eizan di daratan. Eizan mengulurkan tangannya ketika Azel hampir dekat dengannya, tentu saja Azel menerimanya dan kini Azel tepat berada di depan Eizan.
"Fyuh. Rasanya melelahkan."
"Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" tanya Eizan sembari mengelap keringat Azel dengan sapu tangannya.
"Aku sedang membantu Carlos beserta para nelayan lain. Setelah matahari tenggelam mereka akan menangkap ikan. Kabar gembiranya aku akan ikut."
"Hah?!" Eizan yang kalem mendadak berteriak. Eizan masih tak percaya akan sesuatu yang baru saja dia dengar.
"Apa-apaan ekspresi aneh itu."
"Kamu yakin?"
"Tentu saja. Bagaimana dengan kamu Eizan? Mau ikut atau tidak?"
Dari lubuk hati terdalam Eizan, sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal-hal yang merepotkan seperti ini. Tapi, karena dirinya seorang pria sejati, dia tidak boleh kalah oleh seorang wanita apalagi itu adalah pacarnya.
"Aku akan menjagamu." Kata-kata keren dari Eizan meluncur dengan lancar dari bibirnya. Sontak saja Azel bersorak girang lalu menghamburkan pelukan pada Eizan sangat gembira. Hampir saja Eizan terjatuh, untung saja Azel tak seberat itu.
"Bagaimana kalau kita pulang dulu? Sudah cukup membantunya. Matahari tenggelam masihlah sangat lama."
Dengan patuh Azel mengangguk dan menggandeng tangan Eizan dengan sumringah.
°°°
Menunggu Azel berganti pakaian, Eizan berniat mengambil sepatu dari mobilnya. Sepanjang perjalanan kembali, dia bersenandung di gang sepi sampai terdengar suara tangisan perempuan.
Seketika bulu kuduk Eizan meremang dan memilih mempercepat langkahnya. Semakin Eizan mempercepat langkahnya, semakin keras juga tangisan yang dihasilkan.
Eizan menepis segala pikiran-pikiran negatifnya. Dia lebih memilih berpikir positif dan mencari tempat sumber suara. Siapa tahu, 'kan ada orang yang butuh pertolongan.
Eizan perlahan memasuki bangunan tua nan usang setengah jadi. Jika malam hari mungkin akan menyeramkan, tapi ini sore hari. Mungkin saja tidak semenyeramkan ketika malam hari.
Semakin Eizan masuk, semakin terdengar suara isak tangis perempuan. Ternyata ada satu ruangan yang jadi sumber suara tidak bermaskud menguping, di balik dinding Eizan bisa mendengar perbincangan anak-anak.
"Enny berhentilah menangis. Delta tidak akan kenapa-napa. Ini hanya kecelakaan biasa." Suara anak perempuan lainnya sedang menenangkan anak perempuan yang menangis.
"Iya, Enny. Tenang saja. Meski Delta terluka, setidaknya masih ada kami yang bisa membuatkan kue ulang tahun untukmu." Selanjutnya suara anak laki-laki.
"Sungguh? Kalian akan membuatkan kue ulang tahun untukku?"
"Iya. Jadi berhentilah menangis."
Akibat anak-anak lain menenangkannya, akhirnya gadis bernama Enny berhenti menangis. Dari balik dinding Eizan hanya bisa tersenyum. Andai Eizan memiliki waktu luang, mungkin saja Eizan akan menghampiri dan menghibur anak-anak malang itu.
"Ulang tahun, ya? Mungkin itu akan sedikit menghibur," gumam Eizan sebelum pergi meninggalkan bangunan setengah jadi.
°°°°
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top