[Part 1] Freshmen
Rena menegakkan tubuh dan mengangkat wajahnya dengan penuh kebanggaan sementara tangannya tidak berhenti bermain-main dengan ujung blazernya kendati diriya sedang berdiri dengan posisi siap. Saat dirinya tiba bersama siswi tingkat satu lain di gymnasium dan berbaris di depan senior-seniornya, Rena hampir tidak bisa menahan senyum sumringah. Otot-otot wajahnya terasa sedikit sakit karena kerasnya usaha untuk tidak tersenyum lebar di saat upacara penerimaan tersebut. Karena ia berada di barisan paling depan dan paling sudut, matanya menangkap seseorang yang segera mengalihkan perhatiannya dari kegembiraan yang ada di dadanya.
Tidak ada dari para perempuan dengan seragam putih yang komposisinya menggunakan fabrik terbaik itu yang menunjukkan raut wajah selain ekspresi datar dengan pandangan mata lurus ke depan dan bibir yang terkatup rapat. Nyaris seperti pasukan tantara yang sedang melakukan long march.
Salah satu colour guard yang membawa bendera Sakurazaka Academy berjalan tegap lewat di depan matanya, membuat suara hentakan lantang, dan berhenti di ujung barisan. Ada sesuatu yang membuat atensi Rena seolah hanya tertuju kepada sang pembawa bendera. Rena tak bisa menyimpulkan apa itu, tetapi ia sangat yakin jika itu berdasarkan sebuah kekaguman.
Siapakah dia? Dari tingkat berapakah dia? Paling tidak itulah yang ada di pikiran Rena. Ia tak bisa melihat seperti apa wajahnya karena perempuan itu hanya menatap lurus ke depan dan tidak bergerak sama sekali.
Hingga akhirnya sepanjang upacara penerimaan, Rena sama sekali tidak mendengarkan pidato dari headmaster hanya untuk memperhatikan The Colour Guard.
Rena nyaris saja terantuk oleh bongkahan semen yang mencuat keluar, sedikit retak sehingga potongan semennya berserakan di bagian atas jalan setapak. Peluh membasahi dahinya, menetes masuk ke dalam mata hingga ia mengaduh kesakitan. Itu terasa perih, dan juga konyol di waktu yang sama. Tangan kirinya menggenggam erat webbing tasnya. Agar benda berisi laptop dan buku-buku miliknya itu tetap tergantung pada pundaknya dan tidak jatuh berserakan di jalan sementara dirinya berlari tergesa-gesa menuju main hall.
Upacara penerimaan siswi baru kemarin benar-benar menguras seluruh energinya. Mulai dari susunan acara yang dimulai dari pagi buta dan baru selesai pada pukul enam sore. Meskipun ia termasuk ke dalam panitia yang bertugas, Rena bahkan tidak mengingat apa saja susunan acaranya karena ia tidak begitu memperhatikan—karena sebegitu banyaknya—tapi apapun itu, jelas sudah membuatnya letih hingga ia tertidur seperti orang mati pada malam harinya.
Ia baru bangun pada pukul enam lewat tiga puluh menit. Itu artinya empat puluh menit lagi bel akan berbunyi.
Sialnya lagi, ia menemukan dirinya terjebak di tengah kemacetan yang membuat mobilnya tertahan di jalanan utama selama lebih dari enam menit. Meski pada akhirnya ia berhasil mencapai wilayah akademi setelah mengorbankan body mobil yang tergores kendaraan lain. Tanpa merapikan seragam dan make-up tipis pada wajahnya, Rena segera berlari keluar mobil menuju main hall.
Seorang siswi yang sedang berada di main hall membuat Rena memperlambat langkahnya. Matanya memicing, merasa bahwa seorang gadis yang tengah berkutat dengan mesin scanner disana itu cukup familiar dengannya.
Itu dia, bukan? Pembawa bendera satu tahun lalu? Rena berusaha mengingat kembali bagaimana sosok pembawa bendera yang telah ia kagumi sejak pertama kali ia berada di Sakurazaka Academy, dan orang yang berada di depannya ini memiliki ciri-ciri yang seratus persen sama. Dimulai dari rambut hitam panjang dan wajahnya yang tampak tenang. Tak salah lagi, ini si pembawa bendera!
Rena mungkin terlalu tenggelam dalam rasa bahagia dan gugup hingga membuatnya tidak sadar bahwa sejak tadi Rei memanggil namanya. Ia terkesiap saat Rei melangkah mundur dari mesin scanner dan meminta Rena untuk mengisi presensi kehadiran lebih dulu. "Kartu milikku sepertinya sedang kotor jadi mesinnya menolak untuk membacanya. Kau bisa duluan, tidak apa-apa." Rena tidak tahu jika seniornya ini bisa selembut itu.
"Eh, terima kasih banyak, senior...?"
"Ozono Rei. Tingkat tiga, kelas B, konsentrasi Bahasa dan Literatur. Senang bertemu denganmu, kupikir hanya aku yang datang sedikit terlambat hari ini. Sejak tadi aku gelisah sampai-sampai tidak menyadari kartuku kotor."
"Moriya Rena. Aku berada di tingkat dua."
Ozono Rei, Rena mengangguk pelan dan menyelesaikan pengisian presensinya. Ia kemudian membiarkan Rei melakukan hal yang sama pada mesin scanner dan kali ini mesin itu dapat membaca kartu Rei sehingga presensinya dapat segera tercatat pada sistem. Dalam hati, Rena terus menerus mengulang nama senior di depannya ini—Ozono Rei, Ozono Rei, Ozono Rei.
"Moriya...? Kau tidak memakai dasi, ya?"
Rena terkesiap, hampir saja menjatuhkan kartu pelajar yang sedang ia masukkan pada dompetnya. "B—Benarkah?" balasnya. Ia kemudian meraba kemejanya, dan memang benar. Ia tidak merasakan simpul dasi yang biasanya selalu terselip di kerah kemeja. "ini... gawat."
"Tunggu sebentar—"
"Ozono Rei!" meskipun bukan dirinya yang dipanggil oleh pemilik dari suara yang luar biasa kerasnya, Rena tetap merasa panik dan terkejut. Hal itu bukan karena Risa dan Seki mendekati mereka dengan langkah cepat, melainkan karena seniornya itu tiba-tiba berdiri di depannya—menyodorkan sebuah benda berwarna abu-abu di depan matanya.
Rei telah meminjamkan dasi miliknya dan memakaikannya pada selipan kemeja abu milik Rena.
Raut wajah Rei tidak menunjukkan ekspresi apapun selain senyuman tipis kepadanya. Ia kemudian mendorong tubuh Rena dan memintanya meninggalkan koridor. Awalnya Rena sedikit ragu untuk meninggalkan Rei sendirian disana. Ditambah lagi Rei memberikan dasinya untuk ia pakai. Bagaimana jika Rei tertangkap saat inspeksi seragam?
Rei mengernyit saat menyadari Rena masih berdiri di belakangnya dengan wajah ragu. Ia segera menoleh, dan berbisik "Sudah cepat pergi. Ingat saja wajahku jika kau memang ingin mengembalikan benda itu!"
"Hei, hei, hei, pendek! Kau mau lari kemana? Berdiri disini!"
Ah, terlambat.
Rena menghembuskan napas kasar. Risa telah berada di depan Rei dan ia juga melihat Rena yang hendak pergi meninggalkan tempat itu. Rena menengadahkan kepalanya, menatap Risa dengan wajah takut-takut. Terutama saat anggota Dewan Pelajar itu mulai memperhatikan seragam yang ia kenakan dengan sangat teliti. Risa bahkan memutar-mutar tubuhnya, memastikan bahwa ia tidak mengotori insignia atau bahkan merobeknya.
Di Sakurazaka Academy, merusak atau mengotori insignia yang ada pada seragam adalah sebuah pelanggaran. Karena insignia tersebut adalah identitas dan jati diri mereka sebagai bagian dari akademi elit yang satu ini. Jadi wajar saja jika anggota Dewan Pelajar akan memeriksa dan menyidang siapa saja yang ketahuan merusak insignia tersebut.
Rena tampak gugup karena ini adalah kali pertamanya berhadapan langsung dengan anggota The Elites. Bagaimana mungkin ia tidak gugup saat kepalanya dipaksa untuk mendongak untuk menghadap dua orang siswi yang bertubuh jauh lebih tinggi darinya—belum lagi dengan tatapan Risa yang mengintimidasi. Dua orang di depannya ini berada di posisi lebih tinggi darinya karena mereka menjabat di dalam organisasi tertinggi di akademi, jadi Rena tidak bisa menyepelekan mereka begitu saja.
Risa tentu sangat menyadari kegugupan Rena—apalagi anak itu sejak tadi tampak sekuat tenaga menahan napasnya. Ia tak berniat membuat siswi yang ia periksa ketakutan atas kehadirannya karena, toh, ia hanya menjalankan tugasnya selaku anggota Dewan Pelajar yang bertugas mendisiplinkan para siswi. Jadi ia hanya tertawa sengak begitu ia menyelesaikan inspeksinya pada Rena, tentu saja meskipun Risa tidak berniat mengintimidasi, tindakannya itu sukses membuat tangan Rena yang berpegangan pada webbing gemetar.
"Kau ini tidak pernah belajar dari kesalahan, ya. Astaga, lihat dia. Lagi-lagi kau melanggar aturan akademi." Suara Seki membuat perhatian Risa dari Rena teralihkan. Gadis tinggi itu memerintahkan Rena untuk mengikutinya dan segera mendekati Seki yang tengah menuliskan sesuatu dari buku catatan yang ia bawa.
"Benarkah itu, Rei? Apakah juniormu ini yang sebenarnya tidak mengenakan dasi dan kau yang meminjamkan dasi milikmu padanya?" Risa berkata. Ia menyentuh dasi yang ada di tangan Rena, memperhatikannya selama beberapa detik. "karena dasi Moriya terlalu panjang untuk tinggi tubuhnya."
Rei tersenyum tipis pada Risa, "Sama sekali tidak. Lagipula Junior Moriya sedang dalam masa pertumbuhan, tidakkah masuk akal jika ia membeli dasi yang sedikit lebih panjang saat ia berada di tingkat satu?"
Risa mengangkat satu alisnya, dalam hati membenarkan pembelaan dari seniornya ini. Tapi sebenarnya, ia tertawa dalam hati. Dirinya tahu jika dua orang di depannya ini sedang berbohong. Ia melihat sendiri Rena berlari masuk ke lobi utama tanpa mengenakan dasi dan ia juga melihat saat Rei mengalungkan dasi miliknya pada Rena. Ia menyisihkan hal itu, karena ia juga tak ingin berlama-lama menahan dua orang ini di koridor dan membuang waktunya yang lebih berharga ketimbang menindak pelanggaran-pelanggaran ringan seperti ini.
Ada beberapa alasan mengapa the president atau Sugai Yuuka selalu memasangkan Risa dengan Seki untuk melakukan inspeksi rutin di pagi hari dan bukan dengan Kobayashi Yui—yang mungkin lebih disegani oleh sebagian besar kelompok siswi ketimbang Seki—itu karena kecermatan Seki dalam membaca gerak-gerik seseorang. Ia bisa mengetahui apakah seseorang sedang berbohong atau tidak hanya dengan memberinya beberapa pertanyaan yang memancing atau memperhatikannya selama beberapa saat.
Bahkan sekarang pun, tatapan Seki yang menyelidik pada Rena tentu membuatnya semakin tak nyaman. Hal itulah yang memperkuat keyakinan Risa atas analisisnya barusan.
Akhirnya ia menyentuh bahu Seki, memintanya untuk tidak menekan Rena lebih jauh lagi. Risa menyentuh tengkuknya dengan tangan kiri, memperhatikan Rena melalui sudut matanya. "Masuk ke kelasmu, Moriya." Katanya.
Seki terhenyak. Ia menyentuh lengan blazer Risa dan menariknya sedikit. "Apa? Kau melepaskannya begitu saja?"
"Aih, sudahlah, Seki Yumiko. Biarkan saja dia pergi. Kita tidak punya hak untuk menahannya lebih lama dan membuat anak ini melewatkan jam pagi." Risa memutar kepalanya, menyadari bahwa Rena masih berdiri di sana bersama mereka. "tidakkah aku sudah menyuruhmu untuk masuk ke kelasmu, Moriya? Apakah ucapanku masih belum juga jelas?"
Rena tersentak saat Risa mulai berjalan mendekatinya. Akhirnya tanpa membuang waktu lagi, ia segera membungkuk dan berbalik pergi dengan perasaan bersalah yang menyelimuti hatinya. Setidaknya ia masih dapat mendengar suara Seki yang meminta senior yang bernama Ozono Rei itu untuk kembali dan menemui mereka setelah pulang sekolah.
Rena menunggu dengan sabar di depan Kantor Dewan Pelajar. Menghabiskan waktunya dengan mendengarkan music dari earphone yang hanya dipasang pada satu sisi telinganya. Kira-kira sudah satu jam lamanya ia berdiri di sana dan tidak ada tanda-tanda pintu kayu besar itu akan terbuka. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang harus diselesaikan saat itu, Rena juga tidak akan mau repot-repot untuk berdiri di depan ruangan keramat itu.
Pasalnya, sudah bukan rahasia umum jika ruangan tempat The Elites berkumpul adalah salah satu dari area yang menurut siswi Sakurazaka Academy haram untuk dilewati kecuali jika memang terpaksa. Tidak, bukan berari semua siswi takut dengan mereka. Mungkin daripada disebut sebagai takut mereka lebih merasa segan jika berada di dekat mereka.
Ya, mengingat bagaimana posisi dan jabatan mereka dalam hirarki akademi, siapa sih yang tidak segan?
"Tidakkah kau anak dari kelas tetangga? Siapa namamu?"
Rena tersentak, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan apakah memang benar dirinya adalah orang yang diajak berbicara oleh salah satu siswi yang baru saja keluar dari ruangan di depannya itu.
Perempuan berambut pendek itu kemudian menghela napas kasar, menarik-narik ujung lengan blazernya yang terlipat hingga mendekati siku. Sepasang matanya masih saja memperhatikan Rena yang tampak panik. "Aku berbicara padamu, kau tahu? Menurutmu siapa lagi orang yang berdiri di koridor ini jika bukan kau?"
"B—Benar juga." Rena menjawab dengan agak kikuk. Sementara Karin hanya menatapnya dengan satu alis terangkat seperti mempertanyakan alasannya berdiri seorang diri di depan kantornya dan bukan pulang ke rumahnya. "begini, Fujiyoshi, aku sedang mencari Senior Ozono."
Karin mengernyitkan dahinya sejenak, tetapi kemudian dengan cepat menutupi perubahan raut wajahnya. "Ah... Ozono Rei, ya? She's inside, siswi kelas tiga itu baru saja menyelesaikan urusannya dengan Yuuka. Seharusnya ia akan keluar dalam beberapa menit."
Rena menggumam pelan. Ia kemudian menundukkan kepalanya dan mengambil ponsel dari dalam saku blazer, berniat untuk mematikan musik dan melepaskan earphone yang ia pakai karena Karin sedang berdiri di depannya. Rasanya tak sopan jika Rena terus memakai alat tersebut sementara Karin sedang mengajaknya berbincang.
Ia lalu mengangkat kepalanya, baru saja akan menanyakan sesuatu kepada salah satu anggota The Elites itu. Masalahnya adalah, Karin sudah tidak ada di depannya lagi. Dan saat Rena memutar kepalanya ke kiri, ia menemukan Karin tengah membungkuk di depan vending machine untuk mengambil minuman kalengnya dan melenggang pergi meninggalkan area tersebut. Beruntung setelah kepergian Karin, pintu kantor Dewan Pelajar terbuka dan Rei berjalan keluar dari dalam sana.
"Halo."
"Senior..." Rena sedikit tergagap saat melihat Rei berjalan ke arahnya, menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. Tangan Rena bahkan nampak gemetar saat ia mengeluarkan dasi abu-abu yang ia simpan dalam kantung blazernya. "aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku yang disidang, tapi malah kau yang ada disana dan menerima hukuman."
Rei menatap ke bawah, pada dasi abu-abu yang Rena sodorkan padanya. "Yuuka memberiku dasi yang baru jadi aku tak perlu mengikuti sidang." Perempuan itu tertawa tipis, menggunakan telapak tangannya untuk menutupi mulutnya—yang Rena anggap sebagai tindakan yang cukup elegan. "kau bisa menyimpan dasi itu. Aku sudah memiliki penggantinya yang lebih bagus."
"Eh?"
"Tentu saja lebih bagus. Ini diberikan gratis oleh the president secara langsung, tidak ada siswi lain yang memiliki dasi ini selain aku. Tidakkah itu benar?"
Rei lantas melepaskan senyuman pada Rena dan itu seketika membuat wajah Rena memanas hingga ia merasakan sesuatu yang basah pada rongga hidungnya. Selalu begitu tiap kali ia merasa terlalu excited akan suatu hal. Apalagi kali ini, orang yang ia kagumi sejak lama telah berdiri di depannya dan memamerkan senyumannya yang semanis gula—ah, tidak. Mungkin gula akan kalah jika disandingkan dengan Ozono Rei!
Bahkan saat Rei mengajaknya untuk berjalan bersama menuju tempat parkir, ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar dan membuat seniornya merasa aneh. Ia tak ingin meninggalkan kesan buruk padanya jadi ia harus tahu bagaimana caranya bersikap. Tidak ada yang meminta, itu hanya sebuah respon langsung. Kita semua ingin dipandang dengan cara yang baik oleh orang yang kita sukai, kan?
Rena ingin sekali bertanya lebih banyak tentang padanya, tentang segala hal hanya agar mereka memperlambat langkah kaki mereka atau agar Rei melemparkan senyuman seperti tadi padanya. Hanya saja, Rei sudah berada di dekat motornya dan Rena tentu tak bisa menahannya lebih lama lagi. Terutama saat Rei memberi tahu bahwa ia sedang menjalani beberapa les yang menghabiskan waktu istirahat sepulang sekolahnya.
Ia kecewa, tapi harus tetap bersikap normal. Bahkan saat mengucapkan selamat tinggal saja membuat sesuatu yang aneh menjalari dadanya—ini terasa sakit, kalau boleh jujur.
"Junior Moriya, tunggu sebentar!" suara Rei terdengar, disusul oleh suara langkah kaki yang mendekat dan berhenti di sampingnya. Rei masih mau mengejarnya bahkan setelah ia memakai helm yang menutupi hampir keseluruhan wajah yang terpahat sempurna itu. "boleh aku meminta nomor ponselmu?"
Tunggu...
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Senior Ozono meminta nomorku?
"Nomor ponsel? Kode serial? Nomor IMEI?"
Oke, kali ini Rena sudah benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Padahal ia hanya langsung menjawab digit-digit angka saja, tetapi ia malah membalas dengan pertanyaan aneh seperti itu. Argh, ia ingin berlari dan menyembunyikan dirinya di dalam bak sampah saja saat Rei tergelak karena jawaban tak terduuga yang ia buat. Lagipula, nomor IMEI? Untuk apa Senior Ozono membutuhkan IMEI ponselnya?
"Tidak, bukan yang itu. Nomor ponsel, hanya untuk berjaga-jaga jika aku ingin berbicara denganmu di luar lingkungan sekolah atau saat hari libur."
Itu adalah obrolan terakhirnya bersama Senior Ozono sejak hari dimana mereka saling bertukar kontak. Setiap malam Rena sengaja tidur lebih larut untuk menunggu chat masuk dari seniornya dna itu berakhir sia-sia. Tidak ada satupun pesan masuk darinya kendati ia berjanji akan langsung menghubungi setelah ia tiba di rumah—dan sekarang sudah lima hari lamanya, dan Rena masih saja berharap.
Padahal, Rei terlihat selalu aktif saat malam hari. Di akademi juga begitu, ia seringkali melihatnya berkeliaran di cafetaria atau di perpustakaan selama jam istirahat. Bahkan pagi itu, ia melihat Rei sedang bersama dengan salah satu anggota The Elites—Kobayashi Yui, si vice president di hallway. Kelihatannya, mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius karena lembaran-lembaran kertas yang ada di tangan Kobayashi sampai lusuh karena ia mencengkeramnya kelewat kuat.
Beberapa detik berlalu dan Kobayashi berbalik meninggalkan Rei sendiri, di tengah jalan ia membuang kertas-kertas yang semula ia bawa ke tempat sampah dan melenggang pergi melewati Rena begitu saja. Tentunya Yui mengetahui keberadaan Rena yang telah mencuri dengar, oleh sebab itu Yui sempat meliriknya selama sepersekian detik sebelum benar-benar mengabaikannya.
"Oh? Junior Moriya!" Rei memanggilnya.
"Maafkan aku. Aku kebetulan saja lewat di koridor ini dan aku baru tahu ternyata kalian sedang bertengkar." Mengusap-usap tengkuknya yang agak gatal, Rena kembali bertanya. "kenapa vice president tampak begitu kesal? Tidak biasanya ia menekuk dahinya sedalam itu seperti tadi."
"Yah... vice president Kobayashi memang sangat ketat dalam hal yang berhubungan dengan pendanaan. Ia menemukan dugaan adanya penyalahgunaan dana yang ada dalam klub, jadi ia memanggilku secara pribadi dan memintaku untuk memberikan proposal yang baru."
"Komunitas?"
"Ya, komunitas riset. Bulan lalu kami mengajukan dana untuk melakukan penelitian di luar lingkungan akademi, saat itu aku meminta perwakilan kami untuk memberikan rinciannya di kantor mereka dan hari ini aku memberinya lagi. Kukira semua sudah selesai, tapi justru sebaliknya. Ia tampak agak marah dan membuang proposal kami disana."
Sedikit terkejut dengan perlakuan sang vice president yang terlihiat berlebihan, bahkan sampai membuang kertas laporan membuat Rena mengernyit. "Kau tidak bisa meminta anggota Dewan Pelajar lain untuk me-review proposal pengajuanmu? Kelihatannya Fujiyoshi Karin dan Tamura Hono lebih jinak darinya."
Sayangnya, Rei menggelengkan kepala akan sarannya itu. "Tidak bisa. Kobayashi bertanggung jawab atas hal ini. Lagipula aku juga memerlukan tanda tangannya agar Yuuka mau menandatangani lembar pengesahan. Memang sulit, tapi tak apa." Yang lebih tua kemudian berjalan mendekati tempat sampah. Diambilnya lembaran kertas lusuh yang kini semakin terlihat memprihatinkan. "sepertinya memang ada beberapa kesalahan disini. Tak heran dia tampak marah. Mungkin ia mengira kami akan menipu Dewan Pelajar."
Aku tidak tahu jika semua prosedurnya cukup rumit. Rena mengangguk mengerti. "Mungkin aku bisa membantu? Jika kau berkenan dengan hal itu."
Rei terdiam sejenak. Tampak memikirkan jawaban yang tepa tatas penawaran Rena. Selama ia terdiam, pandangannya beralih dari kertas laporan lusuh yang ada di dalam tempat sampah kepada juniornya yang berdiri dengan sabar di sampingnya. Rei tidak bisa serta merta meminta bantuan orang di luar komunitas untuk yang satu ini karena ia akan melanggar peraturan yang dibuat oleh jajaran internal. Jadi akan lebih baik jika ia menolak bantuan yang ditawarkan oleh Rena.
Lagipula akan sangat memalukan jika seorang senior meminta bantuan kepada junior. Itu akan menyematkan kesan sebagai senior yang tidak bisa diandalkan padanya.
"Aku sangat senang kau mau memberikan bantuan kepadaku. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Kau bukan anggota komunitas jadi aku tidak bisa seenak hati menerima bantuanmu." Akhirnya Rei menghembuskan napas panjang, berjalan menuju main hall beriringan dengan Rena. Perempuan yang lebih pendek itu tampak kesulitan menyamai langkah Rei karena tinggi badan mereka yang terpaut cukup jauh. "ah tapi, bisakah aku menghubungimu secara pribadi jika sewaktu-waktu aku ingin mengantarkan berkas ini ke kantor Dewan Pelajar?"
Jantung Rena nyaris jatuh dari tempatnya saat Rei dengan santainya menyentuh lengan Rena sembari mengatakan hal itu. Ia sendiri tidak menduga jika Rei justru akan meminta Rena untuk ikut dengannya ke dalam kantor Dewan Pelajar. Di samping ia tak pernah ke sana sebelumnya, ia juga bertanya-tanya mengapa Rei harus memilihnya daripada teman-temannya yang lain. "Kenapa aku?"
"Kenapa ya? Mungkin karena aku merasa kau dapat menemaniku daripada yang lainnya sih." Rei menurunkan tangannya dari lengan blazer Rena. Kini menyematkan kedua tangannya ke dalam saku blazer.
Mungkin ia tahu apa arti warna merah yang semakin lama semakin nampak jelas di telinga Rena. Jadi Rei memutuskan untuk segera melepaskan sentuhan tangannya dari si junior.
Seperti yang dijanjikan. Rei benar-benar menghubungi Rena satu minggu setelah hari itu dan keesokan harinya, Rei menjemput Rena di depan kelasnya.
Kantor Dewan Pelajar mungkin adalah ruangan yang memiliki kondisi terbaik nomor dua setelah ruang headmaster, bahkan lebih baik daripada ruang pengajar. Saat pintu dibuka, aroma bunga lavender yang lembut langsung masuk dengan sopan ke dalam indra penciuman Rena. Saat melangkah masuk dan menengok ke samping, yang pertama kali menarik perhatian Rena adalah bingkai foto besar yang menunjukkan foto bersama dari seluruh anggota Dewan Pelajar yang berjumlah enam orang—bingkai itu diletakkan tepat di bawah lambang Sakurazaka Academy yang berada di dinding. Sementara di bagian kanan dan kiri, tepat di atas jendela terdapat foto-foto formal dengan nama mereka terukir di bagian bawah bingkai.
Entah karena kebetulan semata atau memang keberuntungan sedang berada di pihak Rena, semua anggota Dewan Pelajar sedang berkumpul di ruangannya. Meja panjang berbentuk huruf U itu nyaris sepenuhnya terisi, kecuali beberapa kursi yang berada di dekat pintu masuk. Sugai Yuuka berada di ujung meja, tampak berdiri dan memasang senyuman ramahnya untuk menyambut tamu yang masuk ke dalam kantor. Bersamaan dengan berdirinya Yuuka, kelima anggota lainnya turut berdiri dan menganggukkan kepala pada Rei dan Rena yang kompak membungkukkan tubuhnya.
Yui kembali mendudukkan tubuhnya pada kursi miliknya. Ia menggeser laptopnya ke samping, memberikan sedikit ruang di meja kerjanya yang penuh. "Kau tak perlu memberitahu apa yang kau butuhkan, Ozono. Kau bisa langsung menyerahkan kertas laporanmu tak akan kulihat apakah aku perlu membuangnya lagi." Rei mengangguk dan meletakkan lembaran proposalnya di atas meja. "terima kasih. Kalian berdua bisa menunggu dan duduk disana sementara aku me-review ini."
"Kau membuang kertasnya?" Yuuka menyela, matanya terbelalak. "itu tidak seperti dirimu, Yui."
"Aku tidak bisa bertingkah lunak sejak ada klub yang memalsukan rincian dana pada proposal mereka agar mendapatkan uang yang bisa mereka bawa pulang. Itu perbuatan korup." Gemerisik kertas terdengar saat Yui mulai membuka dan membaca cepat lembaran-lembaran pertama proposal tersebut. Ia sudah hafal betul apa saja isinya jadi ia tak perlu mencermatinya lebih teliti daripada bagian yang menunjukkan perincian dana.
Sementara Yui terdiam dan tampak fokus dengan pekerjaannya, Yuuka berdiri dari kursinya dan mengambil posisi di belakang Yui. Tangan kanannya menunjuk beberapa poin pada lembaran kertas tersebut dan memberikan isyarat pada Yui untuk mengambil pena. Sembari menunggu, Rena mengedarkan pandangan pada keempat anggota lain dengan takut-takut. Risa berada disana, bersandingan dengan Karin yang tampak sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya dan sesekali mengeklik touchpad. Sepertinya Risa sedang mengajari Karin untuk mengerjakan sesuatu. Di seberangnya Seki sedang berkutat dengan laptopnya—seperti biasa—dan Hono sedang memakan makan siangnya dengan mata tertutup.
Selama Yui memeriksa proposal, suasana kantor tiba-tiba berubah menjadi kelam. Itu membuat Rena sedikit gelisah. Berada satu ruangan dengan orang-orang dengan jabatan tinggi di akademi membuatnya serba salah. Kini ia menundukkan kepalanya, memainkan jari jemarinya yang basah oleh keringat dingin. Rei menengok ke samping, mendapati Rena menggigit bibir seraya menekan-nekan ibu jari. Apa yang membuatnya takut? Rei menggumam pada dirinya sendiri. Ia kemudian memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursinya dan menatap ke depan—pada masing-masing anggota The Elites yang sibuk dengan urusan masing-masing.
Ia yakin otaknya tidak mengirimkan perintah untuk hal yang satu ini. Rasanya tangannya bergerak tanpa diperintah dan tanpa ia pikirkan sebelumnya. Karena saat ini tangan Rei tiba-tiba menyentuh tangan Rena yang tampak kaku di atas pahanya. Rena terkejut akan hal itu, dan begitu pula dengan Rei. Ia tak tahu tangan Rena menjadi sedingin ini sekarang. Mungkin untuk saat ini tak masalah jika Rei berniat untuk menghangatkan tangan Rena dengan menggenggamnya dalam diam di bawah meja.
Sontak saja, sebuah bola besi panas seperti dimasukkan ke dalam tenggorokan Rena. Memancing jantungnya untuk berpacu lebih cepat dari tempo yang sewajarnya. Ia melirik tangan Rei, mengatakan dalam hati jika akan cocok sekali jika mereka terus seperti itu.
"ASTAGA, ASTAGA! KARIN KAU SALAH MENJAWAB YANG SATU ITU!"
Teriakan Risa sukses membuat semua orang yang ada disana tersentak kaget. Hono sampai menjatuhkan sumpit yang ada di tangannya dan tersedak oleh makanannya sendiri. Sayangnya, Risa tidak berhenti disana. Ia terus melanjutkan, namun kali ini dengan suara lebih rendah. "Anak ini hampir saja mendapat poin tertinggi dalam try-out dan dia mengacaukannya dengan menjawab salah pada satu jawaban. ARGH, FUJIYOSHI KARIN!"
"Eh, poin tertinggi?" Seki menyahut, kepalanya mendongak, menatap Karin dan Risa dari sisi layar laptop. "Fujiyoshi, kau bisa belajar juga ya? Berapa delapan dikali tiga?"
"Dua puluh satu."
Hono menutup kotak makanannya dan menyela, "Itu salah, Karin."
"Tambahkan itu dengan tiga dan kau akan mendapatkan jawaban yang benar." Sahut Yui, ia sempat tersenyum miring dan menunjuk Risa dengan pena di tangan. "Risa, kau tidak benar-benar mengajarinya ya? Kau tidak mengajarkan Karin hal yang lain 'kan?"
"Tentu saja aku mengajarinya semua yang aku ketahui dengan matematika. Dan jika kau berbicara tentang biologi, tentu saja aku sudah mengajarinya juga. Contohnya—" Risa tidak menyelesaikan kalimatnya lebih lanjut karena Yui melempar kepalanya dengan kotak pensil.
"Mereka selalu seperti itu. Maafkan kami jika kau merasa terganggu." Yuuka tersenyum kikuk, sedikit merasa canggung karena Risa masih tidak berhenti berdebat dengan Karin. The president itu menuangkan minuman hangat pada dua buah cangkir dan menyajikannya pada Rei dan Rena.
"Tidak masalah. Ini pertama kalinya aku melihat The Elites begitu aktif, terutama Risa."
Yuuka menengok ke belakang setelah mendengar jawaban Rei. "Percayalah dia tidak semenakutkan seperti yang kau lihat di luar sana. Kami semua hanya dilarang menunjukkan gigi kami saat sedang bertugas."
Rei mengangguk mengerti dan dengan itu, Yuuka berbalik mendekati meja Yui. Ia baru sadar jika tangan kirinya masih singgah di atas tangan Rena. Dan Rei tidak menduga jika Rena justru akan menggenggam tangannya lebih erat. Gadis itu memberinya sebuah pena. Yuuka lantas menandatangani sebuah lembaran dan membubuhinya dengan stempel sebelum Yui menyerahkan proposal pada Seki untuk menginputnya dalam database.
"Proposal kalian sudah disetujui, Yuuka juga sudah menandatangani lembar pengesahan. Kau bisa menunggu paling lambat dua hari sebelum dana turun." Mengabaikan Risa dan Karin yang masih berdebat perihal jawaban yang salah, Yui berdiri dari tempatnya dan mendekati meja Rei. Ia meletakkan proposal di atas mejanya. "beberapa bulan lagi kau akan menjalani ujian. Tapi kenapa kau masih saja ingin melakukan project citizen?"
"Terima kasih banyak, vice president." Rei membawa proposal di tangannya dengan hati-hati. Kemudian, ia menjawab lagi. "sebenarnya aku tidak akan terlibat lebih banyak dalam penelitian ini, berbeda dengan sebelumnya. Untuk projek kali ini, aku hanya akan bertugas sebagai pemandu saja, juniorku yang sepenuhnya melakukan penelitian di lapangan."
Suara tawa terdengar dari belakang ruangan. Itu adalah suara tawa Yuuka. "Anak-anak muda memang selalu bersemangat."
"Kau harus tahu jika kita semua berada satu tingkat di bawahnya." Risa menjawab. "Ozono, jika kau tidak memiliki urusan lain dengan Dewan Pelajar, bisakah kau keluar lewat pintu disana itu?"
"Tentu, Watanabe. Ayo, Junior Rena."
Sekali lagi Rena tidak mengatakan apapun saat Rei menggaet lengannya dan menuntunnya keluar ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top