Fujiyoshi's Gloves

Summary
Fujiyoshi Karin is the only member of The Elites who competes in Kōshien. Unfortunately, a severe injury forced her to leave the field for more than six months. Knowing Fujiyoshi Karin's disappointment, Watanabe Risa wanted to make her smile again.

Suara menggelegar dari nyanyian suporter yang duduk di tribun membuat semangatnya berkobar hebat. Karin dapat merasakan tubuhnya memanas karena adrenalin yang tak henti-hentinya terpacu sebagai efek dari kepercayaan tinggi atas kemenangan yang sudah di depan mata. Sudah memasuki inning kesembilan dan skor Red Lions--nama tim baseball mereka--mulai membuat jarak dengan tim lawan. 

Jersey yang ia kenakan basah oleh peluh dan kotor karena tanah. Helm yang ia kenakan juga sudah ia lepaskan, Karin menggantinya dengan topi karena mengganggu penglihatannya. Sudah tak terhitung berapa kali ia melemparkan dirinya sendiri ke tanah hingga membuat luka gores di siku dan wajah. Tapi ada rasa kepuasan tersendiri ketika ia berhasil menangkap bola yang dipukul oleh batter sebelum mereka mencapai first base.

Karin berlari kembali ke pitcher mound, melepaskan topi yang ia kenakan dan mengibas-ngibaskannya sejenak untuk menghilangkan butir-butir keringat yang menempel disana. Ia melirik ke arah tribun, The Elites, seperti biasa memimpin para siswi Sakurazaka Academy untuk meramaikan dan menyanyikan anthem mereka. 

Risa dan Hono berlari-lari naik turun tribun sambil mengibarkan bendera. Yui, si anjing gila, kini berubah menjadi singa gila. Ia berdiri di atas podium yang lebih tinggi dan mengenakan penutup kepala berbentuk kepala singa, lengkap dengan megafon di tangan. Sementara Seki dan Yuuka menabuh bass drum dan meneriakkan overture dengan suara lantang diikuti oleh seluruh pendukung Sakurazaka Academy. Meskipun stamina Karin terus terkuras dan mulai mendekati titik akhir, melihat tingkah laku teman-temannya justru membuatnya kembali bersemangat.

Terutama saat Risa naik ke atas podium dan mengajak Yui untuk melakukan battle dance. Tingkah dua orang itu langsung disorot ke dalam highlight dan membuat suasana makin ramai.

Karin mengangkat satu jarinya dan mengangguk pada catcher yang telah bersiap lebih dulu. Sekarang adalah saat yang paling menegangkan, ketiga pemain lawan telah bersiap di ketiga base. Jika Karin melakukan kesalahan sedikit saja, maka itu akan berakibat extra innings yang justru akan meningkatkan potensi pembalikan poin. 

Hanya tiga lemparan saja. Dan permainan akan berakhir

WHUNG

Karin melakukan lemparan pertamanya dengan menggunakan seluruh putaran badan dan ayunan penuh dari lengannya. Bola melesat dengan sangat cepat bahkan batter dari pihak lawan tak sempat melakukan pukulan karena bola tersebut sudah ditangkap lebih dulu oleh catcher.

"Strike!"

Acungan jempol dari penangkap bola jauh disana menjadi tanda bagi Karin untuk bersiap karena ia akan segera menerima lemparan bola untuk melakukan pitch kedua. Ketika bola dilempar, Karin hanya dapat melihat titik hitam yang melesat mendekatinya. Ia menangkap bola tersebut dengan glove yang ia kenakan di tangan kiri. 

Tanpa banyak bicara lagi, Karin mengerahkan seluruh kekuatannya untuk lemparan kedua. Sekali lagi, bola fastball itu melesat dan berhasil ditangkap oleh catcher dan gagal untuk dipukul. Karin mengepalkan tangan dan menghentakkan satu kakinya di tanah, hanya satu percobaan lagi. Pitcher berambut pendek itu mengerutkan dahi saat melihat batter lawan mulai menunjukkan tatapan tajam yang ditujukan kepadanya. Ia tak membiarkan tatapan tersebut membuat mentalnya goyah. 

Lemparan ketiga, Karin menggeram keras saat ia melepaskan bola di tangannya dengan ayunan penuh. Tubuhnya yang sudah mulai kehabisan tenaga goyah ke depan ketika ia melakukan ayunan, Karin berhasil mendapatkan keseimbangannya kembali dan berdiri dengan kedua tangan berpangku pada lututnya. 

Sebelumnya ia akan mengira pertandingan akan selesai begitu ia melemparkan bola terakhir. Namun, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Batter berhasil memukul bola yang ia lempar.

PRAK!

"T-Tidak!" 

Pandangan Karin terbagi menjadi dua. Pada arah mendaratnya bola dan pemain yang mulai berlari menuju homebase. Rekan satu timnya berhasil menangkap bola dan melemparkannya pada Karin. Seketika, kaki Karin bergerak tanpa menunggu perintah, dengan cepat ia mengejar bola tersebut dan memaksa kakinya untuk melompat setinggi mungkin untuk dapat meraihnya lebih dulu. Suara crack terdengar begitu ia mendarat dengan satu pijakan kaki. Tidak mempedulikan nyeri di lutut, Karin segera berputar 180 derajat dan berlari ke arah homebase.

Gerakan-gerakan cepat dan tajam itu membuat debu dan tanah yang ada di lapangan beterbangan dan menutupi penglihatannya. Karin terengah, dadanya perlahan terasa sesak dan panas ditambah lagi lututnya terasa sangat menyakitkan sekarang. Jarak antara pelari dan homebase semakin dekat, Karin tak memiliki pilihan lain selain melompat dan melakukan slide di sepanjang jarak yang tersisa. 

Ia tak dapat mendengar teriakan penonton. Yang dapat Karin dengar hanyalah suara napasnya sendiri serta suara menyakitkan saat tubuh--lengannya dihantam dengan sangat keras. 

Karin berhasil mencapai homebase terlebih dahulu dan menyentuh platenya dengan bola. Sayangnya, pelari lawan tidak sanggup menghentikan laju larinya yang sudah kelewat kencang sehingga ia tak sengaja menyeruduk Karin sehingga seolah-olah ia menendang tubuhnya. Pemain itu sendiri juga terjatuh terjerembab di tanah. 

Pitcher itu meringis menahan ngilu di sepanjang tangan kanannya, air mata mulai menganak di sudut mata. Ia merasa lengannya seperti hancur, remuk. Ia bahkan tak bisa merasakan apapun disana selain kebas. Karin meringkuk tak berdaya sementara ia memegangi tangannya yang cidera. Ia tidak bisa menggerakkan jari-jarinya, hanya nyeri yang ia rasakan ketika ia memaksa dirinya untuk melakukan. Ditambah lagi tulang-tulang di sepanjang lengannya seperti sangat rapuh, ia tidak bisa membiarkannya menggantung karena rasanya luar biasa sakit. 

"Fujiyoshi? Fujiyoshi! Medis, dimana petugas medis! Ada yang cidera disini!" suara pelatihnya bahkan tak begitu terdengear dengan jelas di telinganya. Tapi ia dapat merasakan tubuhnya diangkat dan dibopong oleh tandu. 

"Bertahanlah Fujiyoshi!"

"Pelanggaran! Dia pasti sengaja menendang pitcher kami!"

Suara-suara itulah yang berhasil ia tangkap. Namun, kesadarannya perlahan-lahan menghilang begitu saja. Hal yang terakhir yang ia dengar adalah sirine ambulans yang memekakkan telinga, dan kemudian semuanya menjadi gelap.

Sudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan fatal yang terjadi saat pertandingan semi final musim panas. Cidera itu mengakibatkan satu tulang rusuknya patah akibat tendangan, retak pada tulang hasta dan pengumpil, dan tempurung lutut yang bergeser. Cidera lututnya dapat dikatakan pulih lebih cepat sehingga kini Karin dapat berjalan tanpa menggunakan bantuan kruk. Tapi, cidera pada rusuk dan lengannya membutuhkan waktu recovery lebih lama.

Dengan berat hati, pelatih terpaksa memindahkannya ke kursi cadangan dan menggantikannya selama pertandingan final yang akan diadakan dua bulan lagi. Kalaupun cidera Karin pulih dalam waktu dua bulan itu, ia tetap tidak bisa bermain untuk mencegah cidera yang lebih parah. 

Butir-butir air dingin menetes jatuh dari kepalanya saat ia membungkukkan tubuh, merasakan air dari botol itu mendinginkan isi kepalanya yang mendidih. Dengan marah ia kembali menumpahkan seluruh isi botol pada kepalanya dan menginjak botol itu hingga hancur. Ia sangat kecewa, marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia menjadi seceroboh itu, mengorbankan satu poin hanya untuk membuatnya cidera separah ini? Sepertinya ia tidak akan pernah bisa memaafkan tindakan egoisnya kala itu.

Perhatiannya dari amarah yang melanda teralihkan oleh kedatangan Yui dan Risa. Dua gadis itu mendekatinya dengan membawa box berisi beberapa botol air dingin.  Kelihatannya Risa baru saja menyelesaikan latihan basketnya karena ia masih mengenakan jersey dan Yui menemaninya karena gadis itu masih mengenakan seragam lengkap dengan jaket varsity berlogo SA. Karin mengabaikan sapaan dari kedua rekannya itu dan hanya melirik sinis ketika mereka membuka mesin pendingin dan memasukkan botol air di dalamnya. 

"Kau mau air lagi, Fujiyoshi?" Yui bertanya, mencoba memecahkan kecanggungan. Gadis itu melepaskan varsity jacket yang ia kenakan dan melipatnya di atas bangku basecamp klub baseball Red Lions. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas paha Karin. "ini roti."

Siapa yang akan menyebut ini sebagai batu bata? Karin menatap bungkusan itu sejenak. Sedikit merasa bersalah karena telah menjadikan kedua temannya itu sebagai sasaran amarah. "Terima kasih."

"Tidak masalah. Aku tahu kau menolak untuk memakan jatah makan siangmu karena hal ini," Yui berjalan mendekati lemari besi tempat penyimpanan alat-alat latihan. Ia mengambil satu buah baseball bat dan membawanya. "pelatihmu mengistirahatkanmu ya?"

"Ya. Aku tidak bisa menyalahkannya."

"Itu untuk pemulihanmu, Fujiyoshi. Kau tidak boleh berlaga di pertandingan itu sebelum tulang-tulang di tanganmu merekat dengan sempurna." Yui menjawab lagi.

Risa menutup pintu kulkas dengan satu jeblakan kuat. Sedari tadi ia berkutat dengan pintu kulkas yang selalu terbuka lagi setiap ia menutupnya. Akhirnya karena kesal, ia menendang pintu itu dan setidaknya berhasil membuat pintu sialan tersebut tidak terbuka lagi. Mengeluarkan helaan napas dari bibir, Risa berjalan menempatkan dirinya di samping Karin. 

Gadis berambut pendek itu menatap ke langit yang mulai berwarna oranye cerah tanpa awan. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri, di samping itu Risa juga tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan dengan Karin yang sedang tidak dalam keadaan mood yang baik. Yui menyentuh bahunya, tangan gadis itu melewati tubuh Karin yang lebih menunduk daripada mereka. 

Yui menunjuk Karin dengan jari dan berbicara tanpa suara. Risa tidak mengerti apa yang ia coba katakan, jadi selama beberapa menit keheningan itu mereka berdua berperang dengan ucapan bisu seperti penerjemah bahasa isyarat hingga mendadak Karin meluruskan punggungnya. Itu membuat Risa dan Yui dengan cepat segera menatap ke depan--ke arah lapangan.

Risa tahu Karin hendak mengatakan sesuatu karena gadis berambut pendek itu membiarkan bibirnya terbuka selama beberapa saat, meski akhirnya ia menutupnya kembali dan menggantinya dengan helaan napas yang berat. 

Jengah dengan keheningan yang ada, Risa lantas berdiri dan menepuk pundak Karin yang lesu. "Ayo bermain ringan. Kau bisa melempar dengan tangan kiri, kan? Ayo latih kemampuanmu itu. Kau mau ikut juga, Yui?"

Menggelengkan kepala, Yui menjawab, "Tidak. Aku memiliki janji dengan tukang reparasi mobil satu jam lagi jadi aku harus segera pergi." ia kemudian mengambil glove dan helm pelindung dari dalam lemari sebelum berlari kecil menuju lapangan. Sebelum meninggalkan base camp, Yui melanjutkan kata-katanya. "tapi aku akan menjadi catcher selama tiga puluh menit."

"Oh... baiklah, singa putih." Risa mencibir.

"Diam kau, Watanabe!"

Risa tertawa lepas begitu ia mendengar balasan Yui yang terlihat sangat kesal. Sejak Yui dipaksa menggunakan kostum maskot saat pertandingan waktu itu, Risa jadi lebih sering menggodanya dengan memanggil Yui sebagai singa putih. Tak jarang juga Risa memuji kemampuan Yui yang tak pernah ia duga sebelumnya--Yui dapat melakukan backflip dan gerakan akrobatik lain yang mendukung perannya sebagai maskot Red Lions yang berkarakter aktif dan atletik.

Mungkin penonton tidak tahu jika seseorang dibalik kostum itu memiliki wajah seperti dikejar-kejar debt collector. Suram.

Tapi jika Yui tersenyum, Risa tidak bisa menampik lagi bahwa senyumannya itu yang terbaik sedunia!

Melihat Karin mengambil glove miliknya dari dalam tas, Risa dengan lancang menyerobot benda itu dari tangannya. Karin, tentu saja terkejut dan baru saja akan memprotes hal itu. Tapi ia tidak bisa mengatakan apapun lagi karena Risa langsung memasangkan glove tersebut pada tangan Karin yang tidak cidera.

"Kau tidak boleh menggunakan tanganmu yang itu. Jadi aku akan membantumu memakai sarung tangan ini."

Karin mendadak bisu. Matanya tak lepas dari sosok Risa yang dengan penuh ketekunan memakaikan glove pada tangan Karin. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya, pun di dalam kepalanya, Karin tidak bisa menggumamkan apapun. Ia benar-benar dibuat aneh oleh tingkah laku Risa.

Pitcher itu terkejut saat Risa tiba-tiba berdiri, menepuk-nepuk kotoran yang menempel pada lututnya. "Apa yang kau tunggu, Karin?" ucap Risa. Karin tak sadar sama sekali bahwa tongkat baseball yang sebelumnya ada di dalam lemari besi sudah berkurang satu. Risa membawa tongkat itu dan berdiri di tempatnya, mengayunkan tongkatnya dengan bersemangat. "akan aku tunjukkan padamu, seberapa hebat diriku ini."

"Akan kupukul kau jika tongkat itu sampai menyentuh kepalaku. Cukup satu kali kau mematahkan batang hidungku dengan bola basket, Ris." Yui berkata dengan nada sengak begitu Risa berdiri di depannya. 

"Sudah kubilang, aku tidak melihatmu karena kau terlalu pendek." dan benar saja, Yui benar-benar memukul Risa setelah gadis tinggi itu melontarkan jawaban yang menyebalkan dengan nada mengejek. Dua orang itu berakhir saling tertawa dan Karin terpaksa membiarkan hal itu untuk sementara waktu dengan raut wajah tanpa ekspresi.

Meskipun Kobayashi bersedia menjadi catcher, gadis itu hanya bisa menemani Karin dan Risa bermain selama kurang lebih dua puluh lima menit. Setelah mengobrol selama beberapa detik dan memberikan sentuhan ringan pada lengan Risa, Yui pun berlari mendekati Karin dan membisikkan kata hati-hati padanya sebelum ia meninggalkan lapangan untuk menuju base camp untuk mengambil jaket dan tas. Risa memperhatikan gerak-gerik Yui dan melambaikan tangannya saat gadis itu keluar dari base dan berjalan menuju tempat parkir. 

"Ayo lempar lagi, Fujiyoshi. Aku mau membuat homerun."

Sesuai permintaan Risa, Karin kembali melemparkan bola kepadanya. Hanya, tidak secepat dan sekuat biasanya. Tubuhnya masih belum pulih sempurna. Tiap kali ia memutar tubuhnya untuk membantu ayunan lengan, Karin langsung dibuat ingin menangis karena nyeri di dada. Ditambah lagi ia melempar dengan tangan kiri yang bukan tangan dominan. Tapi entah kenapa permainan di sore hari itu membuat kekesalan Karin menghilang entah kemana.

Risa selalu mengajaknya berbicara. Memberinya kalimat-kalimat penyemangat dan candaan ringan selama mereka bermain hingga langit perlahan-lahan menggelap. Karin tidak tahu, kapan terakhir kali ia tertawa lepas seperti sekarang ini. Mungkin dua... ah, tidak. Tiga tahun lalu? Saat ia pertama kali mendapatkan kesempatan untuk bermain di liga senior. Ia telah banyak mengalami tekanan di dalam tim (karena ia pemain paling muda), di sekolah, maupun di lingkungan rumah. Agaknya semua hal yang terjadi itu sukses membalik kepribadiannya menjadi semakin pendiam dan tak banyak berbicara. 

Karin tak pernah menunjukkan apa yang benar-benar ia rasakan saat itu pada seseorang. Tapi tiap kali ia bersama Risa, ia tak tahu mengapa dirinya dapat mengekspresikan emosinya lebih baik. Pernah suatu ketika Karin bertanya-tanya, apakah ia menyukai Risa karena ia merasa seperti dibuat nyaman olehnya?

Dan jawabannya adalah, tidak. Karin hanya menganggap Risa sebagai senior yang ia hormati, bagaimanapun juga. Lagipula ia juga tahu jika Risa menyukai Kobayashi Yui sejak di mereka masih ada di sekolah menengah pertama. Melihat bagaimana sosok Kobayashi yang memiliki banyak keahlian khusus dan visual yang sempurna, Karin menjadi semakin yakin, kalaupun memang benar dirinya menyukai Risa tidak mungkin juga seseorang seperti Watanabe Risa akan membalas perasaannya.

Tapi walaupun begitu, Karin sangat ingin sekali, setidaknya satu kali saja. 

Satu kali saja Risa memujinya seperti seorang kakak kepada adiknya.

"Apa yang membuatmu tersenyum begitu? Itu tidak seperti dirimu."

Risa tergelak kecil saat ia berbalik dan berjalan menuju batter box. Gadis itu kemudian mengayunkan baseball bat yang ia genggam, kemudian berdiri dengan posisi siap memukul. "Entahlah. Mungkin karena aku melihatmu tersenyum dan tertawa seperti itu?" ia kemudian tertawa kecil, kembali menatap Karin yang agak terkejut dengan apa yang Risa katakan. 

Watanabe Risa adalah orang yang tertutup dan tidak mungkin mengatakan hal-hal seperti itu dengan orang sembarangan, meskipun pada orang terdekat. Sejauh ini Karin tahu, Risa hanya mengatakan sesuatu yang sejenis dengan kalimat itu kepada Kobayashi Yui saja dan sekarang Risa mengatakan hal itu kepadanya? Tanpa sadar, genggamannya pada bola di tangannya menjadi semakin erat. 

"Kau terlihat seratus kali lebih manis saat kau tersenyum. Jadi kau harus lebih sering tersenyum lagi ya, Karin?"

"Aku tidak mendengar apa yang kau katakan, kepala panci bodoh." jawab Karin sembari melemparkan bola curve pada Risa.

Ia kemudian membungkuk dengan satu tangan menopang beban tubuh bagian atas. Sembari mengusap peluh di wajahnya, Karin diam-diam menutupi senyuman kecilnya dari Risa yang terus berteriak, memastikan bahwa ia baik-baik saja dan tidak merasakan sakit yang mengganggu.

Karin tak bisa menutupi perasaan bahagia di hatinya.

Akhirnya Risa memuji dirinya juga. 










Glosarium

*Kōshien adalah liga baseball amatir bagi tingkat SMA di seluruh Jepang. Pemain-pemain terbaik dari yang terbaik di liga ini akan mendapatkan undangan khusus untuk berlaga di NPB (Nippon Professional Baseball). Di Unnatural 1, Karin sudah mendapatkan undangan tersebut dan akan memulai karir di NPB saat ia lulus dari Sakurazaka Academy. Namun hal itu tidak terjadi karena Karin meninggal dunia saat ia berada di tingkat kedua.

*Maskot singa putih yang dari tim Red Lions diambil dari Leo, maskot tim baseball Saitama Seibu Lions.









Coming up, next
About Moriya Rena, a first year student who will never be able to express her feelings to Ozono Rei, a third year student who will graduate in four months.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top