0 6
Kemarin Karamatsu tidak datang dan kamu benar-benar tidak tahu harus berbuat apa jika ia tidak datang juga hari ini.
Sejak siang hari kamu sudah berada di sana. Berharap ia akan menampakkan diri.
Sayangnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Namun, kamu melihat beberapa orang mirip dengan Karamatsu lewat di jembatan itu beberapa kali saat sudah agak sore. Orang-orang itu memakai sweater yang berbeda. Pertama yang lewat adalah merah, lalu hijau, dan terakhir kuning.
Jelas itu kembarannya Karamatsu. Masing-masing mempunyai aura yang berbeda-beda.
Kalau kembarannya ada, lalu Karamatsunya di mana?
Kamu sudah berusaha menghentikan mereka, sekadar untuk bertanya dimana Karamatsu berada, apakah ia baik-baik saja, dan semacamnya. Ah, berhenti saja tidak, bagaimana mau dijawab. Mereka semua tampak seperti sedang mencari sesuatu. Entah apa.
Jangan bilang Karamatsu hilang.
Tidak, tidak. Itu tidak mungkin terjadi kan?
Lagi pula, berdasarkan apa yang Karamatsu katakan di surat terakhirnya, saudara-saudara kembarnya tidak akan mencari dirinya kalau ia hilang. Kamu benar-benar berusaha keras untuk tidak mempercayai yang satu itu.
Namun, meskipun kamu melihat saudara kembarnya, Karamatsu tidak datang.
Matahari sudah mulai tenggelam. Kamu bertanya-tanya apa yang dilakukan Karamatsu sekarang sampai sebuah pertanyaan terlintas di kepalamu.
Apa jangan-jangan dia sengaja tidak datang untuk menghindarimu?
Itu ... bukan hal yang tidak mungkin.
Mungkin saja Karamatsu menyesal menceritakan masalah personalnya kepada orang lain. Mungkin saja Karamatsu—
"(F/N)-san."
Perhatianmu langsung teralihkan. Suara itu. Suara Karamatsu.
"Karamat—"
Ucapanmu berhenti ketika kamu melihat kondisinya.
Ini jauh dari kata baik. Jauh lebih parah dari semua yang pernah kamu lihat.
Kali ini ia memakai sweater birunya—kamu pernah lihat ia memakainya beberapa kali sebelumnya. Kepalanya dan mata kanannya diperban. Pipi kirinya juga. Tangannya kirinya sepertinya patah. Tangan Karamatsu satu lagi penuh dengan kruk. Kakinya juga terluka, diperban, penyebab ia harus menggunakan kruk.
Bukan hal itu saja yang mengkhawatirkan. Seandai apapun Karamatsu berusaha menyembunyikannya, kamu tahu dengan jelas kalau ia sehabis menangis.
Semuanya bukan pertanda baik. Surat di tanganmu kamu genggam kuat-kuat. Terkejut melihat keadaan Karamatsu.
"Kamu kenapa, Karamatsu?!"
Karamatsu tetap diam saja. Pertanyaannya itu dijawab dengan senyuman—yang sangat dipaksakan.
Keheningan menyelimuti kamu dan Karamatsu sebelum akhirnya laki-laki biru itu berbicara.
"Kau tahu, aku selalu berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk percaya kalau mereka sebenarnya masih sayang padaku?"
Kamu rasanya tahu siapa yang dimaksud dengan 'mereka' di sini.
"Setiap hari aku bangun dengan pikiran, 'Ah, mereka hanya jelek dalam menunjukkan kasih sayangnya kepadaku.' Aku berusaha percaya dengan pikiran itu."
Kamu tetap diam, semua perhatianmu tertuju pada Karamatsu.
"Tapi, hari ini—"
Karamatsu terhenti. Kamu yakin sekali ia tengah menahan sebuah isakan. Perlahan-lahan, tanganmu terulur untuk mengelus-elus punggung Karamatsu pelan. Meminta Karamatsu melanjutkan perkataannya dalam diam sekaligus usaha memberikan ketenangan.
"Hari ini rasanya aku sadar betapa salahnya aku. Mereka—"
Perkataannya lagi-lagi terhenti. Kali ini Karamatsu benar-benar terdengar seperti menahan isakan.
"Mereka lebih sayang pada Ichimatsu. Aku—"
Tangisan itu keluar. Kamu berusaha sebisamu untuk menenangkan dia.
"Shh, aku ada di sini. Semuanya akan baik-baik saja."
Tak lama, kamu dan Karamatsu sudah berpelukan. Kamu tetap berhati-hati, takut akan membuat Karamatsu tambah kesakitan.
Kamu tidak tahu siapa Ichimatsu—sepertinya saudara krmbar Karamatsu jika dilihat dari namanya—, tapi kamu tidak peduli. Yang penting sekarang adalah Karamatsu yang menangis di hadapanmu.
Kamu merasa kamu tidak layak berada di posisi ini. Kamu merasa bukan seharusnya kamu yang menenangkan Karamatsu, tapi melihat keadaan Karamatsu, kamu tidak begitu peduli.
Kamu hanya ingin senyuman bodohnya itu kembali sekarang.
Karamatsu sendiri tidak menoleh dipeluk dirimu. Ia malah menjatuhkan kruknya, memakai tangannya yang bebas itu untuk membalas pelukanmu. Kepalanya ia benamkan di pundakmu.
"Maaf, maaf, maaf..."
Kamu dapat mendengar rentetan permintaan maaf darinya.
"Sshh, tidak usah minta maaf. Bukan salahmu. Bukan salahmu."
Musim semi ini akan panjang. Kamu merasa bersyukur telah menulis surat kepadanya. Surat itulah yang membawa kalian berdua sampai di titik ini.
Di bawah bunga sakura yang bermekaran dan disinari cahaya matahari sore, kamu tetap berpelukan dengan Karamatsu di sana. Berusaha menenangkan tangisannya.
Semuanya akan baik-baik saja.
Semuanya akan baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top