"The best soprano I've ever heard."
Buat yang berminat ikut early giveaway, komennya yang relevan sama cerita, ya. Kalau cuma emotikon mohon maap tidak termasuk 😘
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"PITALOKA Janari Dahayu." Senior laki-laki berseragam tartan toska berdiri di hadapanku, mengeja nama yang tercantum pada kover buku paranada yang kupeluk. Dia jangkung, sedangkan aku hanya di bawah bahunya. Aku malu tanpa sebab hingga otomatis menundukkan kepala.
Kemudian dia membungkuk seperti gerakan rukuk, lalu menengadah karena kini posisi matanya lebih rendah dariku. Mata pekat yang awalnya kupikir hitam, tapi dari jarak sedekat ini, begitu jelas iris bagian dalamnya adalah biru gelap. Kombinasi yang sempurna dengan rambut hitam tebal dan sedikit sentuhan kaukasoid di wajahnya.
Mata biru gelap itu menyipit, tersenyum, lalu sepasang lekukan muncul di pipinya. "What should I call you?"
Pandanganku makin turun pada ujung-ujung sepatu.
"Pita, Kak."
"Kelas?"
"Sepuluh-satu."
"Favourable genre?"
"Jazz."
"Vocal range?"
"Sopran."
"Which soprano?"
"Lirik."
"Pacar?"
Pertanyaan melenceng itu membuatku spontan mendongak. Dia menegakkan diri lagi, diiringi tawa ringan yang memacu debaran dadaku. Kenapa dia tertawa, apa mukaku aneh?
"Leher lo nggak pegel terus-terusan tunduk?" Dia merunduk lagi, kali ini sejajar di depan mataku. "Gue nggak bermaksud menekan lo. Kalau lo serem karena harus mendongak lihat gue, biar gue yang bungkuk supaya kita setara. See? Sekarang kita udah sama. Jadi jangan tunduk lagi. Ya, Pita?"
Dia bisa meraba alasan ketakutan yang bahkan nggak kuketahui. Peka sekali. Aku nggak bisa nggak mengangguk.
"Lain kali lo tunduk lagi, gue bakal rukuk atau sekalian berlutut di depan lo supaya bisa ngelihat lo. Deal?" Sepasang alis tebalnya naik-turun bergantian. Aku menggigit bibir untuk menahan senyum.
"Makasih, Kak."
"It's nothing." Senyumnya menguat lagi. "Kenapa paduan suara, Pita?"
"Saya suka nyanyi."
"Kenapa nggak band? Band juga nyanyi dan lebih populer."
"Saya takut, orang-orang melihat saya, itu menakut—" Aku hampir menunduk, tapi satu telunjuknya menaikkan daguku, mempertahankan kontak mata kami.
"Lo ini kecil, selalu sembunyi di belakang yang lain, pantesan gue baru sadar paduan suara kita punya lo. Jadi, kalau nyanyi rame-rame lo nggak keberatan?"
Aku mengangguk kecil. "Asalkan orang-orang nggak cuma merhatiin saya ...."
"Kalau gitu, jadi center diva kita buat Jakarta High School Choir Competition bisa, kan?"
Mendengar 'center diva', perutku langsung mual.
Diva adalah istilah yang kami gunakan untuk menyebut anggota paduan suara dalam satu grup. Sedangkan center diva adalah diva utama yang harus bernyanyi secara aria, alias solo vokal pada bagian-bagian tertentu, termasuk chorus—inti lagu. Dari namanya saja sudah jelas, posisi center diva berada paling depan, paling tengah, terpisah dari barisan. Pada beberapa kesempatan, center diva bahkan diberi kostum berbeda dan ditempatkan pada panggung kecil khusus agar mencolok daripada yang lain.
Mustahil suaraku bisa keluar dalam situasi seperti itu!
Lagipula ... "Center diva-nya kan sudah fix, Kak?"
"Siapa bilang? Well, Bu Ningsih memang cuma mention satu nama kandidat, tapi belum fix, dan sebagai pengurus gue punya wewenang buat mengajukan kandidat lain. Gue mau mengajukan lo, kalau lo bersedia. Gimana?"
Bu Ningsih adalah pelatih yang kompetitif, meski bukan galak, tetapi sangat tegas. Aku takut mengecewakan beliau.
"Maaf, tapi, kenapa Kakak mau mengajukan saya?" Padahal calon center diva yang sekarang adalah ....
"Why not?" Senyumnya mengembang lagi. "Gue denger—oke, sorry, gue nguping—waktu lo evaluasi tengah semester satu-satu sama Bu Ningsih, di ruang padus ini. Dan ... lo boleh percaya atau nggak, tapi selama hampir tiga tahun gue padus, gue ikut event sana-sini dan mendengar ratusan atau mungkin ribuan orang menyanyi, but it's you. The best soprano I've ever heard is actually you."
Aku belum pernah dipuji mengenai suara. Ah, sebenarnya aku nggak pernah menerima pujian apapun dari siapapun, kecuali Papa dan Mama. Bang Elang pun nggak. Jika sekarang aku dipuji senior pujaan siswi satu sekolah ini, aku cuma bisa ... yah, mingkem.
"Lo bukan cuma sopran lirik biasa. Lo juga masuk coloratura, which means tessitura lo bisa sangat variatif. Meskipun rasanya perlu dipastikan sekali lagi dengan lo live di depan gue."
Napasku tertahan. "Gimana?"
"Live, sekarang." Dia mengangguk yakin. "Atau lo lagi buru-buru mau ke kelas? Kita janjian aja? Nomor lo ada di grup, kan? Gue izin save, ya?"
"Jangan!" Aku meringis, astaga dasar norak, kenapa harus teriak, sih? "Iya, boleh live sekarang, tapi ...."
"Ya?"
"Tapi Kakak jangan lihat saya."
Mata sipitnya memicing. "Memangnya kenapa, sih?"
"Itu ..." karena mulutku berat untuk dibuka dan suaraku tersangkut di tenggorokan setiap kali seseorang menatapku terang-terangan. Lihat? Seperti sekarang ini. Karena dilarang menunduk, mataku terarah pada grand piano hitam di sisi ruangan. Melihat apapun asalkan bukan Kakak ini.
"Okay, you win." Dia menegakkan diri lagi sambil mengangkat kedua tangan. "Yaudah gini. Lo tutup mata, hitung sampai sepuluh, gue sembunyi. Setelah itu terserah senyaman lo mau nyanyi di mana, asal jangan keluar dari sini. Bisa, ya?"
Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Semoga bisa.
"Sip. Thank you, Pita!" Tawanya terdengar ringan dan lega. Ya, senyum dan tawa memang paling pas untuk wajahnya. "Oh, sorry, telat ngenalin diri," dia mengulurkan tangan lalu menyebutkan nama dan kelasnya.
Kujabat uluran tangannya. Besar dan hangat. Kontras dengan tanganku yang kecil, dingin, dan licin karena keringat.
Omong-omong, sebenarnya dia nggak perlu memperkenalkan diri. Siapa sih di sekolah ini yang nggak tahu Hansel van de Jager?
•°•°•
Matahari bersinar terik sekali di atas langit Kota Osaka pagi ini. Waktu yang tepat untuk pengambilan gambar outdoor. Setelah menaiki ratusan anak tangga—but trust me, betisku makin terbiasa jalan berkilo-kilo dan naik tangga sejak di Jepang—rombongan kami tiba di pelataran luas Kastil Osaka.
"Oh, Jesus, masih kudu jalan lagi?!" Kak Milly mengeluh terengah-engah begitu kami menapaki anak tangga terakhir. Ya, dari sini masih harus menyeberangi halaman luas kira-kira 100 meter lagi.
Aku bergelayut di lengan Kak Milly. "Ntar gue massage deh, Kak. Kemarin kan lo massage gue pas sakit. Thanks, ya?"
Dia menyentil keningku. "Iye dah, yang langsung sembuh habis makan rendang gosong bumbu sayang."
"Kak!" Astaga. Aku melotot gemas. Kak Milly yang baru sadar bahwa kami masih on-cam segera meminta Mas Eko dan Mas Rei menghapus yang barusan.
"Pita, gomeeen!" Kak Milly mengatupkan kedua tangan di depan dada. Sekarang kami sudah di depan kastil. Pak Hamdan dan Bu Rena sedang mengatre di loket tiket, sementara Kak Pin dan Hans lagi take perkenalan kastil. Aku dan Kak Milly melipir duduk-duduk di bawah sebuah pohon. "I'm sorry about earlier. Lupa gue masih on-cam. Maaf banget, Pit."
Aku menengadah, tersenyum hambar memandangi atap Kastil Osaka yang didominasi genting hijau dan ukiran emas murni.
"Nyesel gue ngasih tahu lo, Kak."
"Khilaf banget gue, maaaaf ...." Kak Milly memelukku dari samping. Aku mengusap-usap lengannya. "Gue janji akan lebih aware kamera. Maafin, ya?"
"Yaudah, next time please be careful, Kak." Kutatap Kak Milly yang benar-benar menunjukkan raut penyesalan.
"Will do." Dia mengangguk. "Lo was-was gini karena komentar-komentar episode Sendai kemarin, ya? Penonton curiga karena syalnya Hans tiba-tiba pindah ke leher lo."
"Salah satunya, sih," gumamku. Aku nggak mengira perkara syal doang bisa jadi topik panas di kolom komentar. "Nggak masalah bikin spekulasi sendiri-sendiri. Cuma gue nggak suka kalau udah kelewatan, like, gimana bisa sih mereka sehalu itu ngebayangin Hans nge-french kiss gue setelah makein syal? Ngimpi sono!"
Kak Milly tertawa melepaskanku. "Lo kek baru kenal netizen aja, Pit. Tau nggak, sih, gue pernah baca alternate universe Pita Janari X Pinandito Rahagi beredar di Twitter? Atau sekali-kali lo silaturahmi ke platform kepenulisan, beuh, fanfic lo mantap-mantap sama Cha Eunwoo ada yang nangkring di peringkat tagar #erotis. As for cerita mesum lo sama Hans tinggal tunggu waktu aja, gue rasa."
Jantungku melorot.
"Berengsek!"
"Sad truth loh, Sis. Ya walaupun jelas nggak se-menjamur cerita mesum BTS. But what can you do? That's out of our control, mungkin HYBE bisa aja kalau mau somasi mereka satu-satu, tapi nyatanya nggak, because deep down they know that yang kayak gitu mati satu tumbuh seribu dan butuh effort and resources yang nggak sedikit, jadi lebih baik digunakan buat berkarya aja."
Bahuku turun lemas. "Iya, sih. Gue bisa apa. Tapi, Kak, halunya mereka berdampak ke medsos gue yang kebanjiran teror ...."
"Ha? Teror gimana?"
Kutunjukkan akun Instagramku pada Kak Milly. Baik DM dan komentar feed-ku berisi kecaman yang mendesakku supaya menjauhi Hans. Si paling-kecakepan, si nggak-cukup-satu, si dua-laki-masih-kurang, dan sindiran-sindiran lain. Jangan lupa bahwa mereka bilang akan me-report massal akunku kalau sakura kiss-ku nanti adalah Hans.
Kak Milly geleng-geleng kepala. "Setahu gue fangirl-nya Hans emang banyak yang barbar, sih. Sorry, bukan maksud gimana, tapi faktanya aja."
Ya, aku tahu, kelakuan fangirl Hans memang begitu. Sudah sejak dulu.
•°•°•
Pagi sampai siang yang kuhabiskan di Kastil Osaka lumayan hangat, tapi ketika malam turun, begitu pula salju. Serpihan putih itu menghiasi langit hitam sepanjang Jalan Dotonbori. Shopping street pedestrian sepanjang 2,5 kilometer yang merupakan ikon Kota Osaka, berlokasi di daerah Namba.
"Sejenis Malioboro juga, ya?" gumamku, melihat kanan-kiriku dipadati pertokoan yang saling berhadapan. Papan billboard digital dengan berbagai macam bentuk, ukuran, mulai neon sampai LED menyumbang sekitar 80% penerangan di jalan ini. Menarik sekali.
"Lebih ke Broadway-nya New York, Ta, mungkin dalam skala lebih kecil? Di sini banyak teater kabuki, restoran, kafe, toko-toko unik," kata Mas Rei, tersenyum saat mengimbangi langkah di kiriku.
"Or perhaps Broadway dengan sentuhan Venice, Pit? Ada kanal di sepanjang jalan yang bisa dilewati gondola," kata Hans, merapat di kananku sambil menunjuk sebuah gondola kuning yang baru saja melintasi bawah jembatan. Dia membalas lambaian turis-turis asing di atas gondola barusan.
Ya, kata 'bori' dari 'Dotonbori' sendiri berarti kanal. Kanal Doton. Dotonbori adalah jalan di sepanjang kanal Doton, yang membuat lokasi ini paling tepat dijadikan tujuan wisata malam. Lihat saja aliran air kanal yang memantulkan cahaya dari ribuan lampion yang berderet di sisinya. Sangat berkilau.
"Souka, saya setuju sama Mas Hans. Dotonbori adalah persilangan Broadway dan Venice dengan kearifan Jepang," timpal Mas Rei, makin rapat di sampingku dan menoleh pada Hans. "Mas Hans pernah ke Venice? Saya pernah ke Broadway, tapi kalau Venice belum."
"Pernah, waktu summer vacation sama keluarga. Naik gondola seru, tuh," jawab Hans, makin mendesakku, dan entah kenapa aku merasa terjepit di tengah? "Kamu pernah naik gondola, Pit?"
"Pernah, gondola gantung waktu main ski kemarin." Aku tersenyum. Mas Rei terkekeh pelan.
"Venice kan belum. Shall we?"
"Nggak deh, jauh, mana mahal. Saya pernah kok naik speed boat ke Kepulauan Seribu. Palingan sama."
Mas Rei hampir tertawa. Senyum Hans masih bertahan meski sudah luntur setengahnya. Dia sakit hati? Alhamdulillah.
"Hello, good night!" Kami baru saja melewati seorang cewek bermakeup tebal yang membagikan pamflet. Aku terus berjalan karena nggak berminat menerima apapun, tapi cewek itu mengikuti kami sambil menyodorkan pamfletnya. Dia ngomong Bahasa Jepang dan aku nggak paham.
Mas Rei berhenti untuk meladeni perkataan cewek berjaket pink itu. Setelah pamflet diterima Mas Rei, cewek itu berterima kasih lalu pergi dengan senyum lebar di wajahnya.
"Itu kenapa?" Hans menyuarakan kebingunganku juga.
Mas Rei memberikan pamflet itu padaku. "Ini buat Pita. Coba buka."
Aku mengernyit, tapi kemudian menemukan saset putih kecil dengan ikon bibir pink di tengahnya. "Wah, sampel lip product!" Aku membaca keterangannya, itu masker pelembap bibir. "Arigatou, Mas. Ya ampun, kenapa tadi saya tolak? Rejeki saya, untung ada Mas Rei!"
Mas Rei tertawa pelan. "Dicoba, ya? Ntar kalau cocok dan suka, bilang sama saya."
"Gimana, Mas?" Aku nggak paham.
"Tadi, dia bilang ini buat pacar saya. Katanya kalau pacar saya suka, saya disuruh beliin buat kado."
•°•°•
Sebelum take, sebenarnya kami sudah makan malam di sebuah restoran wagyu halal untuk mengisi tenaga. Tapi setelah jalan jauh dan meliput ini-itu di depan kamera, ditambah aroma jajanan street food yang sejak tadi menggoda hidung, kami sepakat untuk wisata kuliner sepuasnya. Tanpa kamera.
Aku langsung mengantre di sebuah booth takoyaki yang mempunyai reklame gurita merah 3D, raksasa, seukuran manusia. Antreannya lumayan panjang, tapi melihat orang-orang keluar antrean membawa semangkuk takoyaki yang asapnya masih mengebul, berisi potongan gurita raksasa yang saking besarnya hingga tentakel merahnya mencuat keluar, lambungku merengek meminta makanan ini.
"Takoyaki lagi? Di Sendai kan udah," celetuk seseorang di belakangku, yang tanpa berbalik pun aku tahu itu Hans.
"Takoyaki Sendai versus takoyaki Osaka beda, ya. Sama bedanya kayak rendang Padang versus rendang Jepang."
Dia mendengkus, menyingkirkan salju dari kepalaku dengan tepukan-tepukan ringan. "Am I weird, Pit? Makin kamu galak aku makin suka."
Aku berbalik. "Suka saya? Sejak kapan? Sejak Kakak kepo tentang jaman kita sekolah dulu sampai cari tahu entah dari mana bahwa saya keluar padus dan masuk KIR? I'm sorry but that is curiosity, not attraction."
"Aku nggak berdebat hanya supaya perasaanku terlihat meyakinkan di matamu. I think it's useless." Hans tersenyum, lalu merunduk menyejajarkan tatapannya denganku. "For now, I don't mind if you can't trust me. What I know is that I love you and that's all."
Dulu sekali, aku pernah menginginkan kata-kata ini darinya. Tapi sekarang, aku nggak yakin apakah aku masih menginginkannya. Dia cuma kepo, kan? Dia hanya merasa berdosa karena mengira dialah penyebabku keluar dari padus, kan?
Wait. Kenapa aku terdengar seperti ingin mendapat kepastian bahwa dia memang menyukaiku?
"Dan tentang keluar dari paduan suara, why, Pita?"
Hans merendahkan tubuhnya lagi, lebih, hingga dia harus sedikit menengadah untuk tetap menatapku. Billboard bercahaya di atasku menerangi matanya, memperjelas serat-serat biru tua pada iris bagian dalamnya. Warna mata yang dulu sangat kusukai, kupikir itu sudah selesai, tapi nyatanya saat ini aku menahan napas.
"Kenapa? I've told you, the best soprano I've ever heard is you. Even Bu Ningsih setuju sama aku dan memilih kamu jadi center diva kita buat JHSC. Kita sudah latihan, kan? You were progressing, waktu itu kamu bisa nyanyi di depan kami tanpa nunduk atau mengalihkan mata. Kamu ikut event itu, kan? Apa yang salah sampai kamu harus keluar dari padus setelah aku lulus?"
Lidahku terasa pahit. "Saya bosan."
"Bosan? Kamu bosan menyanyi dan mundur setelah tim kita kalah satu kali? Sedangkal itu mentalmu, Pita? I don't think so, melihat sekarang kamu juara utama The Super Show tahun ini."
"Saya bukannya kalah!"
"Then what?"
"Saya—"
Nggak. Aku mengatup mulut. Tahan, jangan terpancing, jangan menghancurkan usahaku selama 6 bulan terakhir dengan tangan sendiri. Atau tangan Hans. Atau tangan siapapun yang berniat seperti itu dengan membawa-bawa masa laluku.
"Papa! Papa!"
Seorang anak laki-laki berlari entah dari mana, tiba-tiba memeluk kaki Hans. Kami melongo. Orang-orang menatap kami.
"Papa, ye ...." Bocah itu menangis sambil mengadu dalam bahasa asing. Bukan Bahasa Jepang, Inggris, Korea, apalagi Indonesia.
Kemudian dia mendongak dan tersentak kaget. Mungkin baru sadar kalau salah orang. Dia hampir berlari lagi sebelum Hans menahan lengan kecilnya, lalu berlutut di hadapannya.
"Hoi, meng yo ...." Hans bicara entah apa, mata ke mata dengan anak itu. Sesekali, anak itu menanggapi lirih sambil mengucek matanya yang sembap. Kemudian Hans mengambil tangan kecil itu dan menyentuhkannya di dadanya. "Ik ben Hans."
Oke, aku roaming, angkat tangan.
Aku bertanya ke beberapa orang yang kebetulan bisa berbahasa Inggris. Anak bule usia sekitar TK itu tersesat. Orang-orang ingin membawanya ke pos polisi terdekat, tapi anak itu meraung ketakutan ketika disapa. Kurasa itu karena dia nggak mengerti Bahasa Inggris.
Kerumunan terurai setelah kubilang akan membujuk si kecil untuk ke pos polisi bersama Hans. Aku ikut berlutut dan tersenyum di samping Hans. Hans memperkenalkanku pada si tembem bernama Noah itu, dengan Bahasa Belanda tentunya.
Air mata Noah berhenti setelah Hans menggendongnya di punggung. Mereka menunjuk-nunjuk reklame gurita raksasa di atas booth takoyaki, lalu tertawa bersama. Aku merapat dan mencolek lengan Hans.
"Ini nggak dianter ke koban (pos polisi) dulu?" bisikku.
"Dia bilang ortunya mau beli takoyaki di sini. Dia nggak mau ke koban."
Waduh. "Terus gimana? Kita tunggu?"
•°•°•
Kami keluar dari antrean dengan tiga mangkuk takoyaki jumbo. Kabar baiknya, ketika kami bertiga makan sambil duduk-duduk menghadap kanal, seorang pria dan wanita bule menghampiri kami. Noah langsung meletakkan takoyaki-nya lalu berlari memeluk keduanya.
Aku dan Hans berpandangan, bertukar senyum lega.
Hans bercakap-cekap dengan papanya Noah yang memang berpostur sama dengan Hans dan kebetulan mengenakan outfit yang mirip. Pantas saja Noah salah mengenali. Di sisi lain, Noah menangis sesengukan di depan mamanya, terbata-bata mengatakan sesuatu. Kurasa sedang menceritakan pengalaman buruknya, hilang di tengah lautan manusia dewasa.
Kemudian, beliau mencium putranya dengan cara yang mengingatkanku pada ciuman Mama. Satu di kening, satu di pelipis kanan, satu di pelipis kiri. Lalu, anak-ibu itu saling menggosokkan pipi dan pipi bergantian, diakhiri dengan nose kisses hidung dan hidung. Begitu saja, kemudian Noah terkekeh geli seakan dia nggak pernah terpisah dari sang mama.
Air mataku turun tanpa bisa kucegah, tapi segera kuhapus ketika keluarga kecil itu berpamitan. Aku melambaikan tangan seiring mereka menjauh, terutama pada Noah yang menyerukan namaku dan Hans.
Sepeninggal mereka, Hans merunduk, mengusap sudut mataku yang rupanya masih basah. "Kangen Mama, ya?"
Kutepis tangannya dari wajahku, tapi dia tersenyum.
"It's natural. Mirip yang aku rasakan setiap ngelihat kamu teleponan sama papa kamu, then I suddenly missed my parents."
"Ya." Kubalas senyumnya dengan kaku. "Alhamdulillah, Noah ketemu mamanya."
"Yep, jadi kita nggak harus ke koban. Takutnya malah kamu yang ditahan atas tuduhan—"
"Mencuri hati Kakak? Basi. Stop, jangan diterusin, saya mual."
Aku kembali menempati bangku, menyilangkan kaki, menikmati takoyaki. Kurasa tebakanku benar karena Hans langsung duduk di sampingku dengan raut kecut. Bibirnya maju, dia bersungut-sungut saat mengambil mangkuk dan sumpitnya.
"Sangat tidak ramah, bintang satu ...."
Aku tertawa malas meskipun itu nggak lucu. "Rating saya cuma segitu dari orang yang satu jam lalu bilang suka sama saya."
"Bintang satu-satunya di hatiku."
Lalu, aku batuk hebat tersedak gurita.
•°•°•
Baca dari bab pertama sampai sini, tapi gak mau vote/komen? SANGAT TIDAK RAMAH, BINTANG SATU.
Minami-Kusatsu, Shiga, 24 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top