"Ten points to Hufflepuff, my dear Mr. Diggory."
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"APA yang lo harapkan dari diva yang live di depan lo doang nggak bisa, Hans? Jadi center? Ya, kecuali lo mau Simfoni Bastari kalah sejak babak eliminasi awal JHSC."
Ucapan Theo itu disetujui jajaran pengurus lain. Menurut mereka, kandidat tunggal center diva yang sekarang adalah paket lengkap: menarik secara fisik, percaya diri, penguasaan panggung, penjiwaan ekspresif, vokal mumpuni, semua dia punya. Sedangkan junior sopran cewek yang gue ajukan hanya sedikit lebih unggul pada aspek vokal. Selain itu, zonk.
Zonk? Pilihan gue?
"Come on, lo semua denger sendiri rekaman barusan. Tessitura* dia lebih luas dan movement-nya fleksibel banget. Oke, dynamic dia masih setengah-setengah karena dia belum mau all out, tapi poin-poin tambahan semacam itu bisa dipoles. She deserves the chance."
* rentang vokal yang paling dapat diterima dan dirasa nyaman untuk penyanyi tertentu
"Of course, maybe next event kalau dia bisa nunjukin progres yang signifikan dan memenuhi kualifikasi center diva. Tapi buat JHSC, sorry Hans, dua bulan nggak cukup. Lagian dia masih kelas 10, kan?"
Rapat siang itu berlangsung lumayan alot. Hampir dua tahun jadi pengurus padus, baru kali ini gue beda pendapat sampai nyaris cekcok sama pengurus lain. Untungnya Bu Ningsih mengambil keputusan yang gue rasa cukup adil.
I think that's enough for today.
Gue keluar dari ruang paduan suara dengan mixed feeling yang bikin nggak nyaman. Gue cuma mau detik-detik kepengurusan kami diisi dengan memberikan kesempatan yang sama buat semua diva. I mean, Simfoni Bastari punya banyak diva, kenapa yang dikasih spotlight itu lagi itu lagi? Sebelum lulus, setidaknya gue ingin memastikan padus ini punya generasi penerus yang bukan sekadar promising, tapi juga lebih baik.
Dan insting gue berkata, itu adalah 'dia'.
Cewek kelas 10-1 yang gue minta menunggu di perpustakaan sepulang sekolah. Sekarang dia lagi milih buku di depan satu rak besar dengan posisi membelakangi gue. Begitu seriusnya dia sampai nggak menyadari gue yang mengendap-endap ke sisi rak sebaliknya.
Dari celah antarbuku, gue mengamatinya yang sedang membaca. Bener-bener fokus. Maunya gue biarin aja, tapi semenit kemudian dia menengadah dan menemukan tampang gue. Dia tersentak mundur hingga menjatuhkan bukunya.
"Sorry!" seru gue setengah berbisik, buru-buru menghampiri dia yang memungut buku tanpa banyak bicara. "Dari tadi? Sorry, rapatnya lumayan alot."
Dia menggeleng kaku disertai senyum grogi, atau justru waspada. Emang gue semenakutkan itu?
"Gimana hasil rapatnya, Kak?"
Suaranya emang mini kek badannya, but somehow nyaman banget di telinga. Gue membungkuk supaya dia nggak perlu mendongak. "Boleh. Bu Ningsih bilang lo boleh masuk kandidat center diva."
"Boleh?" Matanya membesar. Gue tersenyum dan mengangguk antusias.
"Kandidatnya ada 3 termasuk lo. Seleksinya dua minggu lagi. Masih ada waktu buat persiapan. Nggak usah mikir macem-macem. Sekarang kita fokus membangun self-confidence lo, oke?"
"'Kita'?"
"Kita. Gue dan lo. Tapi peran gue sekadar pengawas, supporter, dan sharing partner. Gue juga bersedia bantu modal dan jasa, lo butuhnya apa bilang sama gue. Yang paling penting adalah pelaksananya, yaitu lo sendiri. Dari segi vokal gue jamin lo unggul, Pita, dan kalau lo mau ikhtiar membangun self-confidence, gue percaya lo bisa melampaui batas yang bahkan nggak pernah lo bayangkan sebelumnya."
Dia masih terdiam, tapi menilai perubahan ekspresinya, gue rasa dia sedikit tergugah. Wow. Cewek gue sendiri nggak pernah gue motivasi segininya. Tapi memang Sashi nggak punya krisis kepercayaan diri, beda sama Pita.
"Saya nggak tahu gimana caranya atau harus mulai dari mana, Kak."
Gue tertawa pelan. "Dari lo yang sekarang nggak nunduk atau berusaha menghindari mata gue, itu termasuk progress, Pita. You're doing good."
Senyumnya melunak, nggak ada ketegangan lagi. Nah, gini kan manis.
"Kakak nggak perlu membungkuk setiap ngomong sama saya. Biar saya aja yang berusaha nggak nunduk."
'Berusaha'. Gue senang dia menggunakan kata itu. Gue menegakkan diri dan menyimpan satu tangan di saku.
"Jadi lo mau, kan, kita latihan? Targetnya sampai lo bisa nyanyi di depan anak-anak padus waktu seleksi nanti." Sekali lagi gue memastikan.
Kali ini dia mengangguk yakin bersama, "Bismillah." Thank God.
"Ehm, lo pulang naik apa?" Ibu jari gue menunjuk ke luar. "Mau bareng?"
Dia menggeleng. "Makasih, Kak, angkot banyak."
"Oh."
Gue mengusap tengkuk. Baru ini ada cewek lebih milih angkot daripada gue. Padahal gue pengin tahu rumah dia.
"Itu baca apa?" Gue memiringkan kepala, menyelisik buku yang dipeluknya. "Detective Conan." Gue tersenyum ketika tangannya berusaha menutup-nutupi. "Gue juga baca."
Alasan kenapa gue memilih perpustakaan sebagai tempat janjian kami adalah karena ini. Beberapa kali, gue menemukan Pita lagi membaca di sini. Bacaan dia lumayan spesifik dan berbau Jepang, seperti Ikigai, Chanoyu Ceremony, Toto-chan, novel-novel Keigo Higashino, dan sekarang satu-satunya serial manga yang ada di perpus sekolah kami: Detective Conan.
"Oh, ya? Kak Hans suka Conan?" Dia tersenyum, menunjukkan buku volume 1 yang langka itu.
"Suka, dong. Gue sama adek koleksi di rumah. Yang gue suka Shuichi Akai, by the way, especially pas dia megang 308 Winchester." Gue berlagak layaknya sniper yang mengangkat rifle dengan kedua tangan, lalu membidik Pita sebagai target dengan satu mata tertutup. "Psiu!"
Harapan gue dia ketawa, ternyata cuma setengah meringis. Susah amat nih cewek, heran.
"Kalau saya sukanya—"
"Biar gue tebak," potong gue cepat, membuat kedua alisnya terangkat. "Karakter kesukaan lo adalah ...."
•°•°•
Baru juga gue sama Pin kelar wudu sebelum subuhan, kami menemukan Milly lagi serius mengeriting rambut Pita di sofa ruang tengah. Keriting gantung kecil-kecil dari atas sampai bawah. Dan, yep, rambut Pita jadi megar banget kek sapu ijuk. Waktu gue dekati, ternyata dia sudah bermakeup smokey yang strong di sekitar lingkar mata dan tulang pipi.
"Ini lo cosplay jadi siapa, Pit? Mak Lampir apa Kuntilanak?" tanya Pin seenak jidat.
Pita mendelik dan, asli, serem bener. "Who do you think I am, you filthy mudblood?" Dia mendesis bahkan tanpa menggerakkan giginya.
Gue menahan tawa. Entah Pita memilih jadi siapa, tapi akting dia barusan cukup meyakinkan hingga Pin yang berperan sebagai Harry bergidik ngeri.
"Lo Slytherin, kan? Hmm ...." Pin mengusap dagu. "Lord Voldemort?"
"Voldemort plontos mana punya rambut? Ten points from Gryffindor, Mr. Potter!" maki Milly, mengemasi peralatan tempurnya setelah mengikat rambut Pita.
Gue merunduk, meneliti Pita yang sedang memeriksa hasil kerja Milly dengan cermin kecil. Makeup smokey gothic dengan lipstick merah gelap; rambut keriting megar nggak jelas yang sebagian diikat di atas; dan Slytherin. Rasanya gue tahu.
"Bellatrix Lestrange."
Pita beralih ke gue, terkekeh melengking, kemudian ujung kuku-kuku palsunya yang panjang dan hitam menggoda dagu gue dengan belaian manja. "Ten points to Hufflepuff, my dear Mr. Diggory."
Gue menelan ludah, menyelipkan rambut keritingnya di balik telinga untuk menemukan sepasang mata cokelat terangnya. Mau ditutupi riasan Mak Lampir atau Bellatrix Lestrange, she's still my pretty Pita Janari, after all. Gue mengambil lalu mengecup punggung tangannya yang lembut dan dingin.
"That's very kind of you, Madame Lestrange."
Tapi kemudian Pin menyeret paksa lengan gue. "Astagfirullah, Cedric, wudu lagi sono!"
•°•°•
Setelah memastikan kami berempat standby di posisi masing-masing dengan latar belakang sebuah fountain bola dunia raksasa bertuliskan UNIVERSAL, Pak Hamdan mulai menyerukan, "Rolling ... action!"
"Selamat pagiii dan ohayou gozaimasu dari Osaka, Travel Buddies!" Pin berseru dan kami berempat melambaikan tongkat sihir masing-masing di depan kamera utama. "Akhirnya ya, setelah dari subuh kita rempong-rempong cosplay ala warga wizarding world of Harry Potter, sekarang kita sudah sampai di depan ikon Universal Studios yang tersohor di mana-mana. Eh, Pipit, lo pernah ke Universal Studios mana aja?"
Pita mengikik melengking lalu mengetukkan tongkatnya pada petir di dahi Pin. "Eh, Potter, gue baru ini ke luar negeri. Lo mau coba avada kedavra gue?"
"Expelliarmus!" Pin menangkis tongkat Pita yang sayangnya nggak kena karena Pita berkelit. Dia ketawa ala Mak Lampir lagi.
Duet bareng Milly yang cosplay jadi Luna Lovegood dari Ravenclaw dengan pakaian eksentriknya, Pita membahas rangkuman rundown acara kami hari ini di Universal Studios Japan. Sesekali, karena terlalu menghayati karakter Bellatrix, Pita menggigiti ujung tongkatnya dengan dagu terangkat sinis. Gue tersenyum memunguti butiran salju yang nyangkut di rambut gimbalnya.
Kalau melihat Pita yang seperti ini, siapa yang menyangka bahwa dulunya dia selalu menyembunyikan diri, menundukkan kepala, dan menghindari tatapan orang-orang? Perubahannya benar-benar signifikan, dalam artian positif di mana dia mampu mengenali self-worth-nya sendiri. Gue harap gue bisa kembali ke masa lalu dan menamparkan fakta ini ke semua pengurus padus yang waktu itu mengatakan bahwa Pita Janari, pilihan gue, adalah zonk. They were totally wrong.
Speaking of pengurus padus, dari kemarin gue belum meriksa WhatsApp kedua yang notifikasinya memang gue matikan. Sambil menunggu gate dibuka, begitu selesai take, gue membuka balasan dari Sashi sudah masuk sejak kemarin siang.
Sashi
Iyaa gue inget, dia keluar padus pas kenaikan kelas, pas lo lulus. Sayang banget padahal dia potensial :( tapi sekarang udah glowing shining shimmering splendid, pangling gue.
Lo lagi di Jepang sama dia? Salam yaa, tanyain masih inget gue nggak?
Hans, reuni terakhir lo nggak dateng ya? Nggak ada lo rasanya kurang. I miss you by the way
Gue mengetik balasan seperlunya.
Dia nggak bilang keluar kenapa?
Lima menit belum read, gue menyimpan ponsel kembali dalam jubah Hufflepuff.
•°•°•
The Wizarding World of Harry Potter adalah area pertama yang langsung kami datangi setelah melalui security check. Of course, menyesuaikan dress up kami yang totalitas ini dan semangat pagi yang masih tinggi. Bukan hanya kami, puluhan pengunjung lain berseragam sesuai asrama masing-masing juga memenuhi jalanan batu Hogsmeade.
Hogwarts Express, peron 9 ¾, The Three Broomsticks, Ollivander, toko-toko suvenir, restoran, dan kafe bergaya desa British musim dingin tahun 80an seolah menyeret gue ke lokasi pengambilan gambar Harry Potter yang gue tonton sejak kecil. Belum lagi OST legendaris opening film itu yang berkali-kali didengungkan Pita sambil menikmati segelas butterbeer panas.
"Oishi!" Dia bergidik dengan ekspresi menggemaskan yang sama sekali nggak masuk dengan karakter Bellatrix Lestrange. "Mirip rootbeer, ya? Ada sedikiiit gurih butter sama krimnya."
Gue masih tersenyum mengamati kumis busa di atas bibirnya, sampai Rei yang ada di sebelahnya membungkuk dan bertanya pelan, "Suka, Ta?"
Nggak usah heran kalau gue dengar
"Suka, Mas. Enak, bikin hangat di dalam." Pita menyeruput gelasnya lagi. "Tapi ini nggak bikin mabuk, kan? Harry pernah minum ini terus mabuk berat."
"Aslinya bikin mabuk, Ta, tapi yang ini child-friendly jadi bebas alkohol. Nggak bakal mabuk." Rei menenggak habis minumannya, lalu menatap Pita lagi. "Ya kecuali saya minumnya sambil lihat kamu seperti ini."
Rahang gue mengeras, terutama ketika Rei mengusap kumis busa dari bibir Pita. Berengsek.
"Kalau sambil lihat saya gimana, Rei? Muntah, ya?" Lidah gue gatel kalau nggak nyeplos. Sorry.
Pita cekikikan melengking. "Saya sih iya. Saking telernya bisa muntah seember!" Sial, untung gue sayang.
"Nggak lah, Mas, saya bercanda aja godain Pita." Rei tertawa santai, tapi gue mengernyit dan mendekat. Gue nggak mau bercanda.
"Hey, Bro, wake up. Dia bilang dia nggak suka sama lo, kenapa masih lo bercandain? Flirting ya flirting tapi tau diri. That was irritating and you should know when to stop."
"Kak Hans—"
"Dan menurut lo menyentuh bibir adalah candaan yang appropriate untuk dilakukan ke perempuan yang sudah jelas nolak lo?" Gue menepis Pita yang hampir menyentuh lengan gue tanpa berpaling dari Rei.
"Hansel, stop—"
"It's okay, Ta, nggak papa. Mas Hans benar, yang saya lakukan memang inappropriate. Kamu juga sudah bilang bahwa kamu nggak nyaman dengan beberapa tindakan saya, tapi sayanya yang maju terus. Maaf ya, Ta. Saya akan lebih berhati-hati." Rei tersenyum bergantian ke Pita, lalu gue. "Mas Hans juga, terima kasih sudah mengingatkan saya."
"Makasih, Mas Rei. Saya mau bicara sebentar sama Kak Hans," jawab Pita, kemudian menyeret lengan gue melewati lima orang lain yang sejak tadi menonton kami.
Dia melepaskan gue di belakang sebuah food truck kayu merah berbentuk barel yang menjual butterbeer. Matanya meletupkan kemarahan yang nggak berusaha ditutup-tutupi dan, honestly, makeup Bellatrix Lestrange-nya menciutkan nyali gue. Serem gila.
"You know what, Kak, satu-satunya orang di sini yang irritating buat saya dan should know when to stop itu Kakak. Apa-apaan barusan? Tantrum di depan semua orang karena Mas Rei mendekati saya? Why are you so immature?" Dia menekan dada gue dengan tongkat sihir.
"Apa kamu lebih suka dipegang-pegang sama dia? Aku cuma ngasih tahu dia supaya lebih sopan sama kamu!"
"Oh well, ngajarin Mas Rei sopan santun dengan terang-terangan bilang bahwa saya sudah menolak dia, yang pada akhirnya bikin Mas Rei merasa saya menjatuhkan harga dirinya dengan menggembar-gemborkan penolakan itu?"
"Itu—" Gue terkesiap.
Pita benar. Seharusnya Rei nggak perlu tahu bahwa gue tahu tentang penolakan itu. Lagipula itu cuma lucky guess gue, bukan Pita yang gembar-gembor.
Dia menurunkan tongkat dari badan gue. Tatapan marahnya berubah sendu, dan ... kecewa. Gue mengecewakan dia. Gue nggak bisa berpikir jernih karena ....
"Saya harus tegas menolak Mas Rei karena perlakuan spesialnya bikin saya nggak nyaman, tapi saya tetap mau hubungan pertemanan yang sehat. Kak Hans, maaf, tolong berhenti ikut campur sama hidup saya. Tolong berhenti bicara seakan Kakak punya rasa buat saya. Tolong berhenti bersikap seolah Kakak peduli sama saya. Tolong berhenti berpura-pura panas seolah Kakak cemburu sama Mas Rei. Kakak nggak seperti itu. Kak Hans cuma ... cuma sedikit penasaran dan merasa bersalah ... mungkin?"
Entah mana yang membuat tenggorokan gue sakit. Tawa Pita yang terdengar lemah dan serak, napasnya yang ditekan kuat-kuat agar air matanya nggak tumpah, atau kenyataan pahit bahwa dia nggak menganggap serius perasaan gue. I'm a big bullshit for her.
"Tolak aku, Pit."
Kedua mata merahnya menatap gue lagi, menyiratkan kebingungan.
"Look at me, tolak aku dengan tegas seperti kamu nolak Rei. Itu caramu, kan? Tolak aku. Bilang kamu nggak punya perasaan yang sama dengan yang aku rasakan untuk kamu."
Selama Pita diam, selama itu pula gue menahan napas, sampai dia menyeringai dan menyeka sudut matanya bergantian. "Jadi ini karena saya belum tegas? Sorry."
Dia mendekati gue lagi dengan senyuman paling dingin yang pernah gue terima dari seorang perempuan. "Ya udah deh saya ngaku. Maaf. Maaaaf banget saya nggak tegas. Karena sebenernya saya memang suka sama Kakak."
Gue mengeryit.
Oke, dia bilang suka gue, tapi alih-alih baper, yang gue dapat justru worst feeling.
"Dulu."
•°•°•
Ini tuh seharusnya belum selesai, tapi kepanjangan, jadi kupecah jadi 2 part. 350 votes + 350 votes dulu buat update part berikutnya, besok. 🤭 (masih POV Hans di USJ)
Minami-Kusatsu, Shiga, 28 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top